20 Juni, 2009

Pencideraan Sistematis Pemilu Iran

Lewat SMS, email dan komentar di Facebook saya ditanya mengenai kekisruhan pasca Pemilu Iran bahkan ada yang meminta untuk menarik tulisan saya di Tribun Timur, “Pelajaran Berharga dari Pemilihan Presiden Iran” (15/6), “Apa yang mau dipelajari dari Pemilu Iran kalau begini? Pemilu berdarah? Pemimpin Otoriter? Pemilu dengan indikasi kecurangan?,” begitu saya ditanya. Sebagai orang yang tengah berada di Iran, wajar jika saya ditanya dan memang saya merasa perlu memberi jawaban. Diantaranya jawaban saya, berkenaan dengan opini saya sebelumnya, yang berharga dari Pemilu Iran yang menurut saya patut menjadi pelajaran adalah, Pemilu Iran untuk kedua kalinya berhasil menggolkan figur Mahmoud Ahmadi Nejad yang bukan siapa-siapa menjadi Presiden. Ia bukan Mullah, bukan dari sentra kekuasaan kanan dan kiri, bukan orang partai, bukan orang kaya, bukan anak pejabat, bukan bangsawan, bukan dari kalangan militer, bukan pengusaha, bukan orang yang mendapat dukungan dari AS bahkan dimusuhi AS, bukan orang gagah bahkan terkesan lusuh dan bukan pula figur yang sebelumnya dikenal sebagai politikus. Mahmoud Ahmadi Nejad dalam pidato kemenangannya berujar, “Saya adalah bukti sebuah demokrasi.” Benar, tidak pernah diduga sebelumnya, ia yang hanya seorang mantan relawan perang (basiji) yang pada Pemilu empat tahun lalu mampu mengalahkan Hashemi Rafsanjani, seorang mantan presiden dua periode berturut-turut, pernah menjadi ketua parlemen dan juga disebut-sebut sebagai tokoh revolusi Islam Iran yang masih hidup hingga kini. Dan pada Pemilu yang ke-10 tahun ini secara telak mampu mengatasi keroyokan tiga kandidat lainnya yang memiliki jam terbang yang tinggi dalam kancah perpolitikan Iran, Mantan Perdana Menteri (1981-1989) Mir Hossein Musavi, Mantan Ketua Parlemen Republik Islam Iran (2000-2004) Mahdi Karoubi dan Mantan Panglima Pasukan Garda Revolusi Islam Iran (Pasdaran), Mohsen Rezai.
Sayangnya, Pemilu Iran yang spektakuler dengan melibatkan partisipasi 85% rakyatnya sampai hari ini masih juga berupaya diciderai oleh mereka yang mengklaim diri sedang memperjuangkan tegaknya demokrasi. Sejak penghitungan suara pemilu menunjukkan tanda-tanda kemenangan Ahmadi Nejad, media-media mainstream Barat sudah mulai mengeluarkan koor serupa, curiga adanya kecurangan hasil Pemilu Iran. Dua hari setelah Pemilu (14/6) Associated Press merilis berita “AS menolak klaim kemenangan Ahmadinejad” dengan mengutip pernyataan Wapres Joe Biden dan Menlu Hillary Clinton yang menuduh adanya kecurangan dalam pemilu. Tentu saja kita perlu bertanya, dari mana AS tahu ada kecurangan?. Hampir mustahil memberi penilaian apalagi menuduh telah terjadi kecurangan terhadap pemilu di suatu negara tanpa pengamatan langsung di lapangan. Terlebih lagi Presiden AS, Barrack Obama sendiri mengatakan, “Kami tidak sedang di lokasi dan tidak ada pengawas Internasional berada di sana”. Soal adanya sejumlah daftar pemilih dalam pemilu legislatif Indonesia yang dipaksa golput secara massif saja sampai saat ini belum ada satu pihakpun yang berani menyatakan bahwa kesalahan itu adalah hasil dari upaya kecurangan sistematis yang disengaja.
Hal lain adanya ketidakwajaran dari tuduhan tersebut, hasil pemilu Iran diumumkan hanya selang satu hari dari hari pemilihan, itupun selang hari itu diisi sepenuhnya dengan aktivitas penghitungan suara. Ada satu prinsip dalam pemilu yang mesti diingat: semakin cepat hasil pemilu diketahui, maka semakin kecil pula peluang untuk melakukan kecurangan. Benar-benar sangat luar biasa, dalam waktu yang sangat singkat, Ahmadinejad mampu “mencuri” puluhan juta suara dalam tampilan statistik yang tidak mencurigakan dan berada dalam pengamatan saksi ketiga kandidat lainnya. Meskipun tidak mampu menunjukkan bukti, tuduhan-tuduhan dan klaim dengan mudahnya dilontarkan untuk menutupi kespektakuleran dan keberhasilan pemilu Iran yang dimenangkan kembali Ahmadi Nejad.
Tuduhan AS dan media-media Barat semakin menjadi-jadi dan merasa diamini oleh orang dalam Iran, dengan adanya klaim dari kubu kandidat presiden lainnya, Mir Hossein Mousavi dan Mahdi Karoubi bahwa pilpres Iran yang memenangkan kembali Mahmoud Ahmadinejad sarat dengan penipuan dan kecurangan. Sampai saat ini, saya belum mendapat informasi mengenai laporan dan alasan kuat kubu Musavi dan Karoubi sampai mengatakan adanya kecurangan dalam Pemilu. Saya hanya ingin mengajukan sebuah analisa sederhana, bahwa kemenangan Ahmadi Nejad atas rival terberatnya Mir Hossein Mousavi dengan rasio kemengan mutlak 2:1 atau 63% berbanding dengan 34%. Benar-benar sebuah ketidakwajaran dan hanya terjadi di Iran pihak yang kalah telak menyatakan adanya kecurangan. Rahbar Republik Islam Iran Sayyid Ali Khamaeni mengenai hal ini berkata, "Ada sekitar 11 juta suara yang berbeda. Bagaimana satu orang bisa membuat kecurangan sebanyak 11 juta suara?". Kita tentu belum lupa hasil Pilkada Sul Sel yang memenangkan Syahrul Yasin Limpo sebagai gubernur baru, adalah wajar jika kubu Amin Syam sebagai rival terberat menyatakan kecurigaan adanya indikasi kuat terjadinya kecurangan dan manipulasi dalam Pilkada, toh selisih perolehan suara keduanya sangatlah tipis.
Di sinilah letak bukti adanya upaya-upaya pencideraan itu. Media-media Barat saban hari memberitakan demonstrasi dari kubu Musavi yang dikatakan mendapat respon brutal dari pihak keamanan Iran. Dari Uni Eropa, keluar pernyataan, “Pemerintah Iran harus memperlakukan para demonstran dengan penuh penghormatan”. Dari Perancis, presiden Sarkozy menyatakan, aksi protes sangat wajar terjadi karena besarnya kecurangan. Sarkozy rupanya tiba-tiba mengidap amnesia, bahwa kemenangan dirinya dalam pilpres Prancis Mei 2007, juga diwarnai dengan kerusuhan besar-besaran yang mengakibatkan rusaknya sekitar 700 mobil dan sejumlah gedung pemerintahan dan tentu saja ada banyak demonstran yang ditahan polisi Perancis. Dina Sulaeman, penulis buku, Ahmadinejad on Palestina (2008) mengajukan pertanyaan, “Lalu, apakah jika aksi-aksi brutal para demonstran itu terjadi di Iran, penyikapan harus berbeda?. Mereka melakukan aksi-aksi brutal, merusak gedung-gedung. Apa yang musti dilakukan polisi menghadapi aksi seperti ini? Diam saja? Apa kalau polisi Prancis boleh menangkapi demonstran yang memrotes Sarkozy, polisi Iran tak boleh?”. Media-media mainstream Barat juga dalam mengajukan pemberitaan mengenai kerusuhan pasca Pemilu melakukan pemanipulasian jumlah massa. Massa dari kubu Mousavi yang dikatakan menolak hasil pemilu selalu dikatakan berjumlah sekitar ratusan ribu orang, sementara fakta di lapangan jumlah mereka tidak pernah mencapai 100 ribu orang. Sementara massa pendukung Ahmadi Nejad yang juga turun ke jalan menyatakan dukungan dan kesetiaan terhadap panji-panji Revolusi Islam dengan jumlah yang lebih besar tidak pernah mendapatkan peliputan yang seimbang. Bahkan BBC tertangkap basah melakukan pemanipulasian berita. Mereka menggunakan foto Ahmadinejad yang sedang pidato dgn massa yang sangat banyak. Foto itu di-zoom, lalu dipotong gambar massa-nya saja, dan diberi caption: massa Mousavi yang sedang protes. Jadi, image yang tergambarpun, massa Mousavi memang sangat banyak. Kalau memang benar rakyat Iran mendukung Mousavi dimana pendukung Mousavi dari kota-kota lain? Mengapa tidak melakukan aksi dukungan serupa?. Bagaimanapun, benar tidaknya kecurangan dalam pemilu Iran harus dibuktikan bukan lewat asumsi-asumsi belaka, apalagi melalui unjuk rasa yang merusak stabilitas negara. Analisa sementara yang bisa diberikan mengapa harus ada pemberitaan negatif yang secara tendensius diarakan kepada Pemilu Iran yang memenangkan Ahmadi Nejad, dari dalam Iran, menolak hasil pemilu karena Ahmadi Nejad pernah berjanji akan membongkar korupsi para mantan pejabat Iran dan dari luar, mereka menolak karena menganggap Ahmadi Nejad adalah ganjalan paling serius bagi proses hegemoni Barat dan ancaman bagi eksistensi Israel.
Wallahu 'alam bishshawwab

17 Juni, 2009

Beda Ahmadi dan Musavi

Lewat email, sms, dan komentar di Face Book saya ditanya, apa respon saya mengenai kekisruhan yang terjadi di Teheran pasca Pemilihan Presiden Iran yang mencatat Ahmadi Nejad sebagai pemenangnya secara mutlak dengan kurang lebih 24 juta pendukung (63 %) sementara Hussain Musavi berada di urutan kedua dengan sekitar 13 juta pendukung (33%).
Untuk sementara saya juga sedang menganalisanya (sok mikir ^_^) dan nda mau gegabah memberi jawaban, sebab saya bukan saksi kejadian langsung meskipun berada di Iran (saya di Qom, dan luar biasa damai) untuk sementara saya hanya bisa melampirkan gambar-gambar berikut....

Aksi pendukung Musavi, mereka anak2 muda; kereng2, bapaknya kaya dan sedikit

Aksi pendukung Ahmadi Nejad, mereka mahasiswa, pelajar agama, nda
kerenji tapi banyak
Tante-tante pendukung Musavi

Nenek-nenek pendukung Ahmadi Nejad

AS dan Israel prihatin dengan hasil pemilu Iran karena Ahmadi Nejad yang menang, kalau Musavi, mungkin mereka akan berbicara lain.... Wallahu 'alam bishshawwab