04 Juli, 2008

Kekerasan dalam Islam, Untuk Siapa ?

Berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya, yang lebih ‘mengandalkan’ do’a dan bantuan kekuatan dari langit, Muhammad SAW memilih belepotan lumpur dan debu perjuangan untuk mewujudkan kehendak Ilahi. Ia mengajak sahabat-sahabatnya yang setia untuk menabuh genderang perang, mengangkat pedang dan membentangkan tinggi-tinggi panji perlawanan. Di mata para musuhnya, Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak ubahnya gerombolan manusia bar-bar yang haus darah dan kekuasaan. Islam bagi mereka adalah kabar buruk dan doktrin yang hanya akan merongrong kekuasaan yang telah ribuan tahun berada ditangan. Pandangan negatif tentang Muhammad dan ajarannya berlanjut sampai pada pergulatan wacana kontemporer dikekinian. Pemikiran Islam dianggap sebagai sosok dengan wajah angker, intoleransi, arasioanal, literalis bahkan terbelakang. Karenanya, setiap gagasan untuk memasukkan Islam kedalam wilayah publik akan di beri label-label pejoratif, radikal, puritan, fundamentalis dan merupakan tindakan teror. Setidaknya oleh Karen Armstrong, kekeliruan ini berusaha ditepis. Dalam bukunya -Muhammad: A Western Attempt To Understand Islam- ia menulis, “….Daripada berkelana dengan cara yang tidak duniawi di sekitar bukit-bukit Galilea, berkhotbah dan menyembuhkan seperti Yesus dalam Gospel, Muhammad (saw) harus terlibat dalam perjuangan politik untuk mereformasi masyarakatnya dan para pengikutnya bersumpah untuk melanjutkan perjuangan ini.” Ia memaparkan pandangan kritisnya bahwa tujuan utama Muhammad SAW mempimpin langsung dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan menskenario tiga puluh Sembilan peperangan yang dipimpin salah seorang sahabat yang ditunjuknya (Sariyah) selama sepuluh tahun pemerintahannya di Madinah bukanlah kekuatan politik, melainkan menciptakan masyarakat yang baik. Sebagai seorang muslim saya berterimakasih kepada mantan biarawati Katolik Roma ini, dengan penelitian yang intens dan serius tentang Islam dan para tokohnya, ia berusaha menepis kekeliruan pandangan Barat tentang Rasulullah SAW. Pandangan-pandangan kritis Barat tentang Muhammad SAW yang seorang nabi namun melibatkan diri dalam berbagai kegiatan politik, dan mengerahkan sahabat-sahabatnya untuk bersama membunuh manusia lainnya, berusaha dijawab Karen Armstrong dengan kejernihan dan ketajaman analisanya.
Bagi yang mempelajari sejarah Islam secara jujur dan adil, akan berhadapan dengan kenyataan bahwa Muhammad SAW datang untuk memproklamasikan slogan kemerdekaan dan kebersamaan. Hunusan pedangnya untuk menghancurkan nilai jahiliyah dan pikiran aristokrat. Khutbah-khutbah yang disampaikannya bukan untuk mengukuhkan penguasa yang tiran melainkan untuk membela kepentingan kaum lemah yang tertindas dan terpinggirkan secara sosial. Muhammad mendeklarasikan persamaan bagi semua. Dengan pemahaman semua manusia adalah sama, satu ras, satu asal, satu alam dan satu Tuhan, Ia runtuhkan aqidah politeis dan perbudakan sesama manusia. Rezim ekonomi yang kuat dilawannya untuk menegakkan keadilan sosial. Istananya tidak lebih dari tumpukan tanah liat, singgasananya dibangunnya dari pelepah pohon kurma. Ia terlihat diantara para pekerja yang mengangkut barang. Beliau menyuruh pembesar-pembesar dan kaum bangsawan untuk memendekkan jubah-jubah dan melarang berjalan dengan angkuh di jalan. Ia meruntuhkan semua simbol-simbol aristokrasi di depan umum. Muhammad al-Musthafa SAW beserta sahabatnya yang terpilih telah berjuang tanpa lelah. Perjuangan itu menghasilkan sekian kecemerlangan dengan bersatunya umat manusia dalam satu panji al-Islam. Dibawah kepemimpinannya, Muhammad SAW mampu melahirkan tatanan sosial masyarakat (the order of society) yang egaliter serta menjunjung nilai-nilai keadilan (justice value). Islam yang ditunjukkannya adalah Islam yang damai dan menentramkan, membawa keselamatan, persatuan dan persaudaraan.
Ja’far bin Abi Thalib ra berkata: ”Kami sebelum ini adalah penyembah berhala, pemakan bangkai, peminum khamr, pemutus persaudaraan, pelaku zina, sampai akhirnya Allah swt mengutus di tengah-tengah kami Muhammad saw. Dan karenanya Allah swt mengeluarkan kami dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.” Dr. Jeffrey Lang, professor Matematika di Universitas Kansas juga memberikan pembelaan serupa. Dalam penelitiannya, semua ayat yang berkenaan dengan perang menyiratkan bahwa Islam memperkenankan peperangan hanya untuk mempertahankan diri atau membela korban-korban kesewenang-wenangan dan penindasan. Perintah hidup secara damai dengan orang-orang Kafir terdapat dalam 114 ayat yang tersebar di 54 surah. Sedangkan perintah untuk berperang, “Diwajibkan atas kamu berperang…” (Qs. Al-Baqarah :216) dan surah At-Taubah ayat 5 yang dikenal dengan ayat pedang jumlahnya jauh lebih sedikit dan harus dilihat sesuai konteks ayat diturunkan, yakni berkenaan dengan perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar orang-orang musyrik. Keduanya menyimpulkan, ultimatum perang, pembunuhan dan tindak kekerasan hanya diperbolehkan untuk menegakkan keadilan, itupun ditujukan kepada kelompok yang menindas dan merusak perdamaian.
Islam Agama Toleransi
Namun sayang, berbagai usaha pembelaan terhadap Islam atas tudingan sebagai agama teror, yang sangar dan menyeramkan, dirusak oleh segelintir umat Islam yang juga mengatasnamakan pembelaan atas Islam. Aksi kekerasan yang dipertontonkan Front Pembela Islam (FPI) ataupun Laskar Pembela Islam (LPI) di lapangan Monas Jakarta awal bulan Juni sangat merusak citra Islam. Islam yang mereka pertontonkan semakin memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama kekerasan, agama agresif, agama yang tidak mau diajak berdamai. Tidak ada pembenaran sedikitpun dari Islam melakukan penyerangan dan kekerasan hanya karena alasan berbeda keyakinan. Allah SWT berfirman, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (Qs. Al-Baqarah : 256). Pesan Al-Qur’an ini sangat jelas, umat Islam tidak dituntut untuk mengislamkan orang-orang yang beragama selain Islam. Sikap memaksakan keyakinan merupakan pelanggaran keras terhadap wewenang Allah. Yang dituntut dari umat Islam adalah menjadi ’saksi atas manusia’. Mereka ditugaskan hanya untuk memperkenalkan Islam dan kemudian menyerahkan segalanya kepada mereka. Hidayah datang datang dari Allah, hatta Rasul sekalipun tidak bisa memaksa seseorang untuk beriman. Lakum dinikum waliyadin, adalah konsep Islam yang paling jelas dan terang tentang ajaran toleransi. Penghancuran yang dilakukan nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ibarat apa yang dilakukan petani terhadap tanah. Tanah dicangkul, diremukkan untuk kemudian dijadikan kebun yang menghasilkan buah-buah. Ataupun seperti yang dilakukan kuli bangunan. Bangunan yang lama dan tua diruntuhkan, diluluhlantakkan untuk kemudian dibangun diatasnya bangunan baru yang lebih indah. Muhammad SAW seolah mengatakan, “Bagaimana mungkin kau bisa makan roti yang enak jika sebelumnya kau tidak menghancurkan dan menggiling gandum terlebih dahulu ?”. Kekerasan –kalaupun itu harus disebut kekerasan- yang diajarkan Nabi Muhammad SAW adalah untuk kehidupan yang lebih cemerlang, pencapaian puncak sebuah peradaban, kegigihan agar manusia menemukan kemanusiaannya, perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan penindasan. Namun apa yang dilakukan FPI dan LPI jauh berbeda. Penghancuran yang mereka lakukan pemusnahan total, yang tidak menghasilkan apa-apa selain bara api kebencian dan permusuhan. Bercermin dengan prinsip Murtadha Muthahari, “…setiap kali dengan cara apapun suatu aspek dari tata hidup yang suci dan Ilahiah diserang, maka Islam lebih mampu mempertunjukkan dirinya dengan lebih kuat, lebih kukuh, lebih jelas dan lebih cemerlang.” Berbeda dengan apa yang dilakukan Karen Armstrong, Dr. Jeffrey Lang ataupun Syahid Murtdha Muthahari yang menggunakan kekuatan logika untuk membela Islam, FPI lebih memilih menggunakan logika kekuatan. Al-Qur’an mengatakan, “Wahai-wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Maidah : 105). Menghadapi ‘kesesatan’ Ahmadiyah dengan logika kekuatan (terlepas kasus Silang Monas rekayasa atau bukan ) dan bukannya kekuatan logika, menurut saya itu karena FPI belum mendapat petunjuk saja ?.
Wallahu ‘alam bishshawaab

Tidak ada komentar: