19 April, 2010

Semuanya Kembali Kepadamu

Ada sebuah riwayat yang saya senang menyampaikannya berulang-ulang, terutama jika diminta sedikit memberi taujih secara mendadak waktu masih jadi 'aktivis' di lembaga dakwah kampus dulu. Sayang, saya benar-benar lupa di buku mana saya pernah membacanya, setidaknya untuk mengetahui lebih detail dari kitab hadits mana riwayat ini dituliskan. Saya mencoba menyampaikannya kembali, kali ini secara tertulis (dan tentu saja saya menceritakannya dengan bahasa sendiri), untuk mengambil berkah dari riwayat ini. Semoga ada manfaatnya. Diriwayatkan, seorang shahabiyah (kalangan sahabat Nabi dari perempuan) baru saja kehilangan suaminya. Setelah upacara pemakaman, masih dengan suasana hati yang diliputi duka cita, ia mendekat ke sisi Nabi saww dan bertanya dengan setengah berbisik, "Ya Rasulullah, di detik-detik menjelang kepergian suamiku, dalam sekaratnya ia memberikan isyarat supaya aku mendekat. Akupun mendekatkan diri kepadanya, untuk mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Tetapi yang aku dengar adalah ucapan-ucapan yang sama sekali tidak aku mengerti. Ia berkata, 'Akh seandainya yang baru, akh seandainya semuanya, dan akh seandainya masih jauh.' Apakah ucapan suami saya itu semacam wasiat ya Rasulullah? Tapi aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dia maksudkan?." Rasulullah terdiam sejenak, sembari tersenyum beliau bersabda, "Pernah suatu hari, suamimu berbelanja ke pasar, ia membeli sebuah mantel baru. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia melihat seseorang yang duduk terpojok di sudut jalan. Ia meringkuk tampak sangat kedinginan. Suamimu menjadi iba dan kemudian memberikan, mantelnya yang lama. Dalam sekaratnya, ia diperlihatkan oleh Allah balasan pahala dari amalannya itu. Ketika melihat penampakan balasan dari Allah, sekonyong-konyong timbul rasa sesal dalam dirinya, mengapa ia tidak memberikan saja mantelnya yang baru, tentu balasan dari Allah akan lebih besar. Ia pun berkata, Akh, seandainya yang baru!." Nabi saww melanjutkan, "Pernah suatu hari lagi, suamimu kembali dari pasar. Rejeki yang ia dapatkan hari itu ia belikan dua potong roti. Ia berencana membawakannya untukmu dan keluarga. Namun dalam perjalanan, ia melihat seseorang yang terbaring lemah karena lapar. Ia pun menjadi iba, dan memberikan sepotong roti buatnya. Sepotongnya lagi ia bawa pulang. Dalam sekaratnya, ia diperlihatkan oleh Allah balasan dari amalannya itu. Ia pun kembali menyesal, andainya saja ia memberikan semuanya, pasti balasan Allah lebih besar lagi. Ia pun berkata, Akh, seandainya semuanya.." Selanjutnya, "Di hari yang lain, suamimu dalam perjalanan menuju masjid, dengan arah yang sama ditemuinya seorang tua yang tampak kepayahan dan tertatih-tatih melangkahkan kakinya. Suamimupun menawarkan diri untuk membantu, dan digendongnya orang tua yang lemah itu menuju masjid. Ketika diperlihatkan oleh Allah balasan dari amalan perbuatannya itu, ia kembali menyesal dan berharap seandainya saja jarak masjid itu lebih jauh, ia akan mendapat balasan pahala yang lebih banyak. Dalam penyesalannya ia berkata, Akh, seandainya masih jauh." Saya cukupkan menyampaikan riwayat ini sampai di sini saja, saya juga lupa, apa kisah ini masih memiliki kelanjutan atau tidak. Setidaknya, kita bisa menarik pesan moral dari riwayat ini. Rasulullah ingin menyampaikan, bahwa setiap amalan apapun bentuknya akan mendapat balasan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman, "Jika kamu berbuat baik (pada dasarnya) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri." (Qs. Al-Isra: 7). Ayat ini terpahamkan maksudnya, jika kita kaitkan dengan riwayat yang telah disebutkan sebelumnya. Kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan semasa hidup pada hakikatnya, keberuntungan dan natijah (hasil) dari kebaikan itu akan kembali juga pada akhirnya pada si pelaku. Begitu juga dengan keburukan-keburukan. Dari riwayat di atas, diceritakan pula bahwa balasan dari amalan-amalan itu diperlihatkan pada saat seseorang menghadapi sakaratul maut. Allah SWT secara sekilas menyampaikannya dalam Al-Qur an, "Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari." (Qs. Qaf: 19). Dalam sakaratul maut seseorang, apa yang tampak ghaib bagi orang lain, ia mampu melihatnya, …"...maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam." (Qs. Qaf: 22). Ketika diperlihatkan balasan dari amalan-amalan semasa hidup, setiap orang akan diliputi rasa penyesalan. Dari riwayat di atas, diceritakan penyesalan dari salah seorang sahabat Nabi dalam sakaratul mautnya, mengapa ia tidak melakukan kebaikan-kebaikan yang lebih banyak. Didetik-detik akhirnya, ia tersadar, apapun yang ia lakukan pada hakikatnya kembali kepada dirinya sendiri. Pada saat-saat genting seperti inilah, setiap yang menjelang kematiannya berharap masih punya waktu untuk melakukan amal kebaikan. Yang selama ini menghabiskan usianya dalam kemaksiatan dan kedurhakaan, ia meminta sedikit waktu untuk bisa menggantinya dengan melakukan amal kebaikan. Sementara yang dengan karunia-Nya melakukan amalan-amalan shalih dalam hidupnya, ia tetap meminta secuil waktu untuk menambah amalan shalih lagi. Dalam kuliah akhlaknya, Ayatullah Tawakkuli (semoga Allah merahmati beliau) pernah menyampaikan, "Ketika menghadapi sakaratul maut, seseorang sangat berusaha untuk menambah amalan kebaikannya setidaknya dengan menyunggingkan senyum. Sunggingan senyum terakhirpun akan menjadi catatan amal kebaikan buatnya". Namun, ketika ajal telah tiba, tidak ada sesaatpun tambahan waktu. Allah SWT berfirman tentang ajal, "Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya)." (Qs. Yunus: 49). Kalau orang yang kerap melakukan kebaikanpun menyesal ketika menghadapi sakaratul maut, bagaimana dengan penyesalan orang-orang yang kesibukannya dipermukaan bumi hanya melakukan kerusakan. Allah SWT mengabadikan penyesalan mereka dalam Al-Qur an, di penghujung surah An-Naba kita membaca, …"...pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, orang kafir berkata, Yaa laetanii, kuntu turaabaa…......akh seandainya aku hanyalah sebongkah tanah..!"… ***** Sewaktu sedang ingin menyantap makanan, tiba-tiba ada yang datang mengetuk pintu rumah Rasululullah. Ia kelaparan dan meminta sesuap makanan. Rasulullah pun memberian bagian lebih banyak dari makanannya, dan menyisakan lebih sedikit buatnya, sekedar yang dibutuhkan. Istri Rasulullahpun bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa kau berikan lebih banyak dan menyisakan lebih sedikit buat kita?" Rasulullah saww menjawab, "Yang kita berikan itu sesungguhnya, akan menjadi simpanan (bekal) buat kita, sementara yang kita makan, habis dan hanya akan menjadi kotoran." Pada akhirnya, semuanya juga akan kembali padamu, karenanya jangan pelit. Begitu kira-kira yang hendak dipesankan Nabi. "Dia yang menjadikan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya." (Qs. Al-Mulk: 2) Wallahu alam bishshawwab Qom, 17 April 2010

05 April, 2010

Banyak-banyaklah Mengingat Allah

“Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36).

Dari ayat suci ini jelas dan terang, bahwa untuk tidak terjebak pada penguasaan syaitan maka kita tidak boleh lalai apalagi berpaling dari mengingat Allah SWT. Keutamaan mengingat Allah bukan sekedar agar terhindar dan terlepas dari godaan dan gangguan syaitan, namun lebih dari itu, mengingat Allah adalah ibadah yang lebih besar keutamaannya dibanding ibadah-ibadah yang lain. Allah SWT berfirman, “…dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (Qs. Al-Ankabut: 45). Dikatakan mengingat Allah (dzikrullah) lebih besar keutamaannya karena pada hakikatnya setiap ibadah yang dilakukan (shalat, zakat, puasa, naik haji, jihad, ‘amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lain) adalah dalam rangka semata-mata untuk mengingat Allah. Ayatullah Husain Mazhahiri dalam kitabnya Jihad an-Nafs menafsirkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Qs. Thaha: 41) dengan mengartikan, “Tidak ada Tuhan yang memberikan pengaruh di alam wujud selain Aku, dan wajib atas kamu beribadah kepada-Ku dengan tujuan mengingat Aku, yang merupakan sebesar-besarnya kewajiban.”

Hal lain yang menunjukkan keutamaan dzikrullah dibanding ibadah lain, misalnya dalam shalat, haji, zakat, puasa ataupun jihad pengamalannya memiliki syarat-syarat, batasan-batasan, situasi dan kondisi tertentu, dan waktu-waktu yang telah ditentukan, sementara zikir tidak. Allah SWT memerintahkan, “Hai orang-orang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Qs. Al-Ahzab: 41). Jika ibadah lain yang dituntut adalah kualitasnya, zikir sedikit berbeda, yang dituntut adalah kuantitasnya. Puasa misalnya, kita hanya diwajibkan untuk melakukannya di bulan Ramadhan saja, haji hanya pada Dzulhijjah saja, shalat fardhu pada waktu-waktu dan tempat yang telah ditentukan namun zikir bisa dilakukan kapan, dimana saja dan dalam setiap keadaan. Perintah Allah untuk berzikir sebanyak-banyaknya, menunjukkan tidak ada batasan waktu untuk berzikir. Allah menyifatkan ibadah-ibadah yang lain dengan ‘amalan shâlihâ bukan ‘amalan katsîrâ. Namun khusus untuk zikir, Al-Quran memakai kata sifat dzikran katsîrâ bukan dzikran shâlihâ. Ini juga bisa diartikan, betapa pun jelek kualitas zikir kita, kita tetap dianjurkan untuk berzikir sebanyak-banyaknya. Zikir dianjurkan untuk dilakukan dalam setiap keadaan, sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, bahkan dalam keadaan sibuk mencari rezeki sekalipun. Allah SWT berfirman, “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs. Al-Jumuah: 10). 7. Sungguh indah Allah SWT yang menyampaikan, “Kaum laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Qs. An-Nur: 37-38).

Orang-orang yang senantiasa mengingat Allah disebut oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang berakal (Ulil Albab). Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali-Imran: 190-191). Jika Allah SWT menjadikan zikir sebanyak-banyaknya sebagai tanda dari Ulil Albab (orang-orang yang berakal) maka bagi yang zikirnya sedikit, Allah menyebutnya sebagai tanda kemunafikan. Allah SWT berfirman tentang orang-orang munafik, “…dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisa’: 142). Sedangkan bagi yang sama sekali lalai dan berpaling dari zikrullah maka Allah menyifatkannya sebagai teman-teman syaitan, “Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36). Bahkan dalam ayat lain dikatakan termasuk dalam golongan syaitan, “Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi. (Qs. Al Mujaadilah: 19). Naudzubillah.

Zikrullah adalah aktivitas Anbiyah as dan para Aimmah as, mereka tidak pernah lepas dari mengingat Allah SWT. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, II, hal. 439, Rasulullah saww sampai menyebut Imam Ali as sebagai orang yang selalu berzikir (da’im az-zikr). Dalam banyak ayat, secara khusus Allah SWT memerintahkan kepada kekasih-Nya Muhammad saww untuk senantiasa berzikir, “…Dan sebutlah nama Tuhan-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan di malam hari, bersujud dan bertasbihlah kepada-Nya pada sebagian besar malam.” (Qs. Al-Insan: 25-26). Zikir bisa dilakukan dengan dua cara, zikir secara lisan (lafzhi) sebagaimana dalam perintah, “Sebutlah!”dan zikir dengan hati (qalbi) sebagaimana dalam perintah, “Ingatlah!”.. Keduanya sangat berpengaruh pada jiwa. Lewat berzikir dan mengingat Allah maka pintu-pintu jalan bagi syaitan untuk memberi pengaruh akan tertutup rapat, baik syaitan dari kalangan jin maupun manusia. Zikir juga dapat menghilangkan was-was, keraguan dan menentramkan batin, Allah SWT berfirman, “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Ar Ra'd: 28).

Terakhir, untuk tulisan ini. Ada hadits qudsi yang diriwayatkan secara muttafaq ‘alaihi, yakni diriwayatkan oleh dua Imam ahli hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Imam Bukhari dan Imam Muslim, sehingga sulit untuk melemahkan kedudukannya, sayangnya sering dipenggal secara sepihak oleh pihak tertentu. Dari Abu Hurairah, Allah SWT berfirman lewat lisan Nabiullah Muhammad saw, “Aku terserah kepada persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Jika ia mengingat-Ku (berzikir) dalam dirinya, Aku akan menyebutnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam sebuah jama’ah, Aku akan menyebutnya di dalam jama’ah yang lebih baik dari mereka”.

Ya, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, dalam setiap keadaan, dalam keadaan berkesendirian, dalam keadaan berjama'ah....

Qom, 27 Maret 2010

{bisa dilihat juga di http://telagahikmah.org}