09 Agustus, 2010

Marhaban ya Ramadhan

[Meminjam bahasa Jalaluddin Rakhmat, manusia adalah “anak-anak Tuhan” yang dikeluarkan dari rumah-Nya untuk bermain-main di halaman dunia ini -Sesungguhnya, kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan hiburan- (QS. Al-An’am: 32). Pada bulan Ramadhan inilah, anak-anak Tuhan diminta kembali dan meninggalkan halaman permainan. ]
Dalam Kitab Minhaj Al-Balaghah diriwayatkan, menjelang Ramadhan Rasulullah saww menyampaikan sebuah khutbah, “Wahai manusia, sudah datang kepada kalian bulan Tuhan yang membawa berkat, rahmat, dan ampunan; bulan yang paling utama di sisi Tuhan dari bulan mana pun. Paling utama hari-harinya, malam-malamnya, bahkan jam demi jamnya. Inilah bulan ketika kalian diundang untuk menjadi tamu-tamu Tuhan. Di bulan ini, kalian dijadikan orang-orang yang berhak memperoleh jamuan Tuhan. Di bulan ini, nafas kalian menjadi tasbih, tidur kalian ibadah, amal kalian diterima, dan doa kalian diijabah. Mohonlah kepada Allah dengan niat yang tulus dan hati yang bersih, supaya Dia membimbing kamu untuk menjalankan puasanya dan membaca Kitab-Nya. Malanglah orang yang tidak mendapat ampunan Tuhan di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan lapar dan dahaga kamu di bulan ini lapar dan dahaga pada hari kiamat. Bersedekahlah kepada fakir miskin. Muliakan para pemimpin kamu dan kasih-sayangi orang-orang kecil di antara kamu. Sambungkan persaudaraan kamu. Pelihara lidah kamu. Jagalah dirimu agar kamu tidak melihat apa yang tidak boleh kamu lihat dan tidak mendengar apa yang tidak boleh kamu dengar. Sayangilah anak-anak yatim orang lain supaya Tuhan menyayangi anak-anak yatim kamu.”
Sebagaimana biasa, khutbah Rasulullah singkat namun menyentuh hati dan menggelorakan perasaan. Kata-kata yang dipilih sederhana, mudah dipahami namun bermuatan filosofis yang begitu mendalam. Insya Allah, izinkan saya menguraikan beberapa catatan apresiasi dalam penggalan khutbah Rasulullah saww tersebut yang sayangnya sering terabaikan oleh kebanyakan kita.
Ramadhan, Bulan Tuhan
Pada penggalan awal khutbah di atas, Rasulullah saww menyebut Ramadhan sebagai bulan Tuhan, sebagai bulan yang paling mulia di sisi Allah. Dalam terminologi Al-Qur’an, Tuhan ataupun Allah bukan sekedar wujud yang kepadanya kita sematkan asma-asma kemuliaan dan keagungan, bukan sekedar sesuatu yang kita tempatkan di altar persembahan, tempat segala ampunan dan pengharapan kita muarakan. Namun Allah juga adalah ‘kampung halaman’ kita. Tempat kita berasal dan akan kembali, “Hanya kepada Allah kamu semua kembali.” (QS. Al-Maidah: 48). Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, penyair sufi asal Persia, Tuhan adalah “rumpun bambu” kita, sedangkan kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Suara yang keluar dari sebuah seruling sesungguhnya adalah jeritan kerinduan untuk bisa kembali kepada rumpun bambu, tempatnya berasal. Dengan beberapa ketentuan seorang Muslim ketika bepergian atau melakukan perjalanan jauh dari rumahnya boleh menyingkat shalat-shalatnya atau menggabungkannya. Tetapi jika disekitaran Kakbah, darimanapun para jamaah haji datang dan betapapun jauhnya perjalanan yang di tempuh, shalat mereka harus sempurna dan tidak boleh disingkatkan. Sebab perjalanan menuju Kakbah sesungguhnya adalah perjalanan kembali ke kampung halaman. Karena itulah Kakbah disebut juga Baitullah, Rumah Tuhan. Begitu juga dengan Ramadhan, disebut Bulan Tuhan, karena pada bulan ini kita semua, orang-orang yang beriman kepada-Nya, kembali kepada Tuhan.
Meminjam bahasa Jalaluddin Rakhmat, manusia adalah “anak-anak Tuhan” yang dikeluarkan dari rumah-Nya untuk bermain-main di halaman dunia ini -Sesungguhnya, kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan hiburan- (QS. Al-An’am: 32). Pada bulan Ramadhan inilah, anak-anak Tuhan diminta kembali dan meninggalkan halaman permainan. Selama kita asyik bermain, kita sibuk membeli “jajanan” yang bermacam-macam: Kekayaan, kekuasaan dan kemasyhuran. Kita diingatkan bahwa ada makanan lain yang jauh lebih sehat dan lebih lezat. Pada bulan Ramadhan Tuhan mempersiapkan jamuan-Nya dan kita diundang untuk menjadi tamu-Nya. Rasulullah saww berkata,” Inilah bulan ketika kalian diundang untuk menjadi tamu-tamu Tuhan. Di bulan ini, kalian dijadikan orang-orang yang berhak memperoleh jamuan Tuhan. Di bulan ini, nafas kalian menjadi tasbih, tidur kalian ibadah, amal kalian diterima, dan doa kalian diijabah.
Bulan Solidaritas
Ramadhan sering disebut juga bulan rahmat (kasih sayang), karena pada bulan ini kepekaan dan rasa kasih sayang kita digugah. Rasulullah saww menganjurkan kita meyayangi dan menyantuni anak-anak yatim, bersedekah kepada fakir miskin, memuliakan pemimpin dan mengasihi orang-orang kecil dan para pekerja yang berada di bawah tanggungan kita. Kita dihimbau untuk menjalin akrab relasi kemanusiaan. Pada bulan ini, anak-anak kembali kerumah orang-orang tua mereka menjalin kembali kasih sayang dan persaudaraan, anak-anak yatim disantuni dan mendapat perhatian berlebih, para atasan mempererat hubungan dengan para karyawannya, para pemimpin semakin mencintai rakyatnya dan orang-orang kaya memadu kasih dengan orang-orang miskin. Ditengah kegersangan relasi kemanusiaan dan solidaritas sosial, Tuhan mempersembahkan Ramadhan yang membawa rahmat bagi sebanyak-banyaknya orang.
Ramadhan datang untuk memperpeka kembali kemanusiaan kita yang selama ini terkotori oleh kesadaran hidup yang bersifat ordiner, konsumtif dan profan semata. Dengan berpuasa, kita mampu memenangkan insan malakuti diatas sifat kebinatangan yang bersemayam dimasing-masing jiwa kita. Rasulullah saww menganjurkan agar di bulan ini kita melatih diri untuk mengubah pola relasi kebinatangan yang berdasarkan kebencian dan permusuhan dengan pola relasi yang lebih manusiawi, kontak sosial yang berdasarkan cinta, kasih sayang dan silaturahmi. Baik kepada rakyat kecil maupun para pembesar, Nabi berkata, “Bersedekahlah kepada fakir miskin. Muliakan para pemimpin kamu dan sayangi orang-orang kecil di antara kamu. Sambungkan persaudaraan kamu. Sayangilah anak-anak yatim orang lain supaya Tuhan menyayangi anak-anak yatim kamu.” Ketika Nabi Yusuf as menjadi menteri logistik, ia membiasakan puasa setiap hari. Orang bertanya kepadanya: Mengapa Anda membiasakan lapar sementara perbendaharaan bumi di tangan Anda? Yusuf menjawab: Aku takut kenyang dan mengabaikan mereka yang lapar.”

19 April, 2010

Semuanya Kembali Kepadamu

Ada sebuah riwayat yang saya senang menyampaikannya berulang-ulang, terutama jika diminta sedikit memberi taujih secara mendadak waktu masih jadi 'aktivis' di lembaga dakwah kampus dulu. Sayang, saya benar-benar lupa di buku mana saya pernah membacanya, setidaknya untuk mengetahui lebih detail dari kitab hadits mana riwayat ini dituliskan. Saya mencoba menyampaikannya kembali, kali ini secara tertulis (dan tentu saja saya menceritakannya dengan bahasa sendiri), untuk mengambil berkah dari riwayat ini. Semoga ada manfaatnya. Diriwayatkan, seorang shahabiyah (kalangan sahabat Nabi dari perempuan) baru saja kehilangan suaminya. Setelah upacara pemakaman, masih dengan suasana hati yang diliputi duka cita, ia mendekat ke sisi Nabi saww dan bertanya dengan setengah berbisik, "Ya Rasulullah, di detik-detik menjelang kepergian suamiku, dalam sekaratnya ia memberikan isyarat supaya aku mendekat. Akupun mendekatkan diri kepadanya, untuk mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Tetapi yang aku dengar adalah ucapan-ucapan yang sama sekali tidak aku mengerti. Ia berkata, 'Akh seandainya yang baru, akh seandainya semuanya, dan akh seandainya masih jauh.' Apakah ucapan suami saya itu semacam wasiat ya Rasulullah? Tapi aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dia maksudkan?." Rasulullah terdiam sejenak, sembari tersenyum beliau bersabda, "Pernah suatu hari, suamimu berbelanja ke pasar, ia membeli sebuah mantel baru. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia melihat seseorang yang duduk terpojok di sudut jalan. Ia meringkuk tampak sangat kedinginan. Suamimu menjadi iba dan kemudian memberikan, mantelnya yang lama. Dalam sekaratnya, ia diperlihatkan oleh Allah balasan pahala dari amalannya itu. Ketika melihat penampakan balasan dari Allah, sekonyong-konyong timbul rasa sesal dalam dirinya, mengapa ia tidak memberikan saja mantelnya yang baru, tentu balasan dari Allah akan lebih besar. Ia pun berkata, Akh, seandainya yang baru!." Nabi saww melanjutkan, "Pernah suatu hari lagi, suamimu kembali dari pasar. Rejeki yang ia dapatkan hari itu ia belikan dua potong roti. Ia berencana membawakannya untukmu dan keluarga. Namun dalam perjalanan, ia melihat seseorang yang terbaring lemah karena lapar. Ia pun menjadi iba, dan memberikan sepotong roti buatnya. Sepotongnya lagi ia bawa pulang. Dalam sekaratnya, ia diperlihatkan oleh Allah balasan dari amalannya itu. Ia pun kembali menyesal, andainya saja ia memberikan semuanya, pasti balasan Allah lebih besar lagi. Ia pun berkata, Akh, seandainya semuanya.." Selanjutnya, "Di hari yang lain, suamimu dalam perjalanan menuju masjid, dengan arah yang sama ditemuinya seorang tua yang tampak kepayahan dan tertatih-tatih melangkahkan kakinya. Suamimupun menawarkan diri untuk membantu, dan digendongnya orang tua yang lemah itu menuju masjid. Ketika diperlihatkan oleh Allah balasan dari amalan perbuatannya itu, ia kembali menyesal dan berharap seandainya saja jarak masjid itu lebih jauh, ia akan mendapat balasan pahala yang lebih banyak. Dalam penyesalannya ia berkata, Akh, seandainya masih jauh." Saya cukupkan menyampaikan riwayat ini sampai di sini saja, saya juga lupa, apa kisah ini masih memiliki kelanjutan atau tidak. Setidaknya, kita bisa menarik pesan moral dari riwayat ini. Rasulullah ingin menyampaikan, bahwa setiap amalan apapun bentuknya akan mendapat balasan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman, "Jika kamu berbuat baik (pada dasarnya) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri." (Qs. Al-Isra: 7). Ayat ini terpahamkan maksudnya, jika kita kaitkan dengan riwayat yang telah disebutkan sebelumnya. Kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan semasa hidup pada hakikatnya, keberuntungan dan natijah (hasil) dari kebaikan itu akan kembali juga pada akhirnya pada si pelaku. Begitu juga dengan keburukan-keburukan. Dari riwayat di atas, diceritakan pula bahwa balasan dari amalan-amalan itu diperlihatkan pada saat seseorang menghadapi sakaratul maut. Allah SWT secara sekilas menyampaikannya dalam Al-Qur an, "Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari." (Qs. Qaf: 19). Dalam sakaratul maut seseorang, apa yang tampak ghaib bagi orang lain, ia mampu melihatnya, …"...maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam." (Qs. Qaf: 22). Ketika diperlihatkan balasan dari amalan-amalan semasa hidup, setiap orang akan diliputi rasa penyesalan. Dari riwayat di atas, diceritakan penyesalan dari salah seorang sahabat Nabi dalam sakaratul mautnya, mengapa ia tidak melakukan kebaikan-kebaikan yang lebih banyak. Didetik-detik akhirnya, ia tersadar, apapun yang ia lakukan pada hakikatnya kembali kepada dirinya sendiri. Pada saat-saat genting seperti inilah, setiap yang menjelang kematiannya berharap masih punya waktu untuk melakukan amal kebaikan. Yang selama ini menghabiskan usianya dalam kemaksiatan dan kedurhakaan, ia meminta sedikit waktu untuk bisa menggantinya dengan melakukan amal kebaikan. Sementara yang dengan karunia-Nya melakukan amalan-amalan shalih dalam hidupnya, ia tetap meminta secuil waktu untuk menambah amalan shalih lagi. Dalam kuliah akhlaknya, Ayatullah Tawakkuli (semoga Allah merahmati beliau) pernah menyampaikan, "Ketika menghadapi sakaratul maut, seseorang sangat berusaha untuk menambah amalan kebaikannya setidaknya dengan menyunggingkan senyum. Sunggingan senyum terakhirpun akan menjadi catatan amal kebaikan buatnya". Namun, ketika ajal telah tiba, tidak ada sesaatpun tambahan waktu. Allah SWT berfirman tentang ajal, "Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya)." (Qs. Yunus: 49). Kalau orang yang kerap melakukan kebaikanpun menyesal ketika menghadapi sakaratul maut, bagaimana dengan penyesalan orang-orang yang kesibukannya dipermukaan bumi hanya melakukan kerusakan. Allah SWT mengabadikan penyesalan mereka dalam Al-Qur an, di penghujung surah An-Naba kita membaca, …"...pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, orang kafir berkata, Yaa laetanii, kuntu turaabaa…......akh seandainya aku hanyalah sebongkah tanah..!"… ***** Sewaktu sedang ingin menyantap makanan, tiba-tiba ada yang datang mengetuk pintu rumah Rasululullah. Ia kelaparan dan meminta sesuap makanan. Rasulullah pun memberian bagian lebih banyak dari makanannya, dan menyisakan lebih sedikit buatnya, sekedar yang dibutuhkan. Istri Rasulullahpun bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa kau berikan lebih banyak dan menyisakan lebih sedikit buat kita?" Rasulullah saww menjawab, "Yang kita berikan itu sesungguhnya, akan menjadi simpanan (bekal) buat kita, sementara yang kita makan, habis dan hanya akan menjadi kotoran." Pada akhirnya, semuanya juga akan kembali padamu, karenanya jangan pelit. Begitu kira-kira yang hendak dipesankan Nabi. "Dia yang menjadikan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya." (Qs. Al-Mulk: 2) Wallahu alam bishshawwab Qom, 17 April 2010

05 April, 2010

Banyak-banyaklah Mengingat Allah

“Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36).

Dari ayat suci ini jelas dan terang, bahwa untuk tidak terjebak pada penguasaan syaitan maka kita tidak boleh lalai apalagi berpaling dari mengingat Allah SWT. Keutamaan mengingat Allah bukan sekedar agar terhindar dan terlepas dari godaan dan gangguan syaitan, namun lebih dari itu, mengingat Allah adalah ibadah yang lebih besar keutamaannya dibanding ibadah-ibadah yang lain. Allah SWT berfirman, “…dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (Qs. Al-Ankabut: 45). Dikatakan mengingat Allah (dzikrullah) lebih besar keutamaannya karena pada hakikatnya setiap ibadah yang dilakukan (shalat, zakat, puasa, naik haji, jihad, ‘amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lain) adalah dalam rangka semata-mata untuk mengingat Allah. Ayatullah Husain Mazhahiri dalam kitabnya Jihad an-Nafs menafsirkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Qs. Thaha: 41) dengan mengartikan, “Tidak ada Tuhan yang memberikan pengaruh di alam wujud selain Aku, dan wajib atas kamu beribadah kepada-Ku dengan tujuan mengingat Aku, yang merupakan sebesar-besarnya kewajiban.”

Hal lain yang menunjukkan keutamaan dzikrullah dibanding ibadah lain, misalnya dalam shalat, haji, zakat, puasa ataupun jihad pengamalannya memiliki syarat-syarat, batasan-batasan, situasi dan kondisi tertentu, dan waktu-waktu yang telah ditentukan, sementara zikir tidak. Allah SWT memerintahkan, “Hai orang-orang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Qs. Al-Ahzab: 41). Jika ibadah lain yang dituntut adalah kualitasnya, zikir sedikit berbeda, yang dituntut adalah kuantitasnya. Puasa misalnya, kita hanya diwajibkan untuk melakukannya di bulan Ramadhan saja, haji hanya pada Dzulhijjah saja, shalat fardhu pada waktu-waktu dan tempat yang telah ditentukan namun zikir bisa dilakukan kapan, dimana saja dan dalam setiap keadaan. Perintah Allah untuk berzikir sebanyak-banyaknya, menunjukkan tidak ada batasan waktu untuk berzikir. Allah menyifatkan ibadah-ibadah yang lain dengan ‘amalan shâlihâ bukan ‘amalan katsîrâ. Namun khusus untuk zikir, Al-Quran memakai kata sifat dzikran katsîrâ bukan dzikran shâlihâ. Ini juga bisa diartikan, betapa pun jelek kualitas zikir kita, kita tetap dianjurkan untuk berzikir sebanyak-banyaknya. Zikir dianjurkan untuk dilakukan dalam setiap keadaan, sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, bahkan dalam keadaan sibuk mencari rezeki sekalipun. Allah SWT berfirman, “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs. Al-Jumuah: 10). 7. Sungguh indah Allah SWT yang menyampaikan, “Kaum laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Qs. An-Nur: 37-38).

Orang-orang yang senantiasa mengingat Allah disebut oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang berakal (Ulil Albab). Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali-Imran: 190-191). Jika Allah SWT menjadikan zikir sebanyak-banyaknya sebagai tanda dari Ulil Albab (orang-orang yang berakal) maka bagi yang zikirnya sedikit, Allah menyebutnya sebagai tanda kemunafikan. Allah SWT berfirman tentang orang-orang munafik, “…dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisa’: 142). Sedangkan bagi yang sama sekali lalai dan berpaling dari zikrullah maka Allah menyifatkannya sebagai teman-teman syaitan, “Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36). Bahkan dalam ayat lain dikatakan termasuk dalam golongan syaitan, “Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi. (Qs. Al Mujaadilah: 19). Naudzubillah.

Zikrullah adalah aktivitas Anbiyah as dan para Aimmah as, mereka tidak pernah lepas dari mengingat Allah SWT. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, II, hal. 439, Rasulullah saww sampai menyebut Imam Ali as sebagai orang yang selalu berzikir (da’im az-zikr). Dalam banyak ayat, secara khusus Allah SWT memerintahkan kepada kekasih-Nya Muhammad saww untuk senantiasa berzikir, “…Dan sebutlah nama Tuhan-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan di malam hari, bersujud dan bertasbihlah kepada-Nya pada sebagian besar malam.” (Qs. Al-Insan: 25-26). Zikir bisa dilakukan dengan dua cara, zikir secara lisan (lafzhi) sebagaimana dalam perintah, “Sebutlah!”dan zikir dengan hati (qalbi) sebagaimana dalam perintah, “Ingatlah!”.. Keduanya sangat berpengaruh pada jiwa. Lewat berzikir dan mengingat Allah maka pintu-pintu jalan bagi syaitan untuk memberi pengaruh akan tertutup rapat, baik syaitan dari kalangan jin maupun manusia. Zikir juga dapat menghilangkan was-was, keraguan dan menentramkan batin, Allah SWT berfirman, “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Ar Ra'd: 28).

Terakhir, untuk tulisan ini. Ada hadits qudsi yang diriwayatkan secara muttafaq ‘alaihi, yakni diriwayatkan oleh dua Imam ahli hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Imam Bukhari dan Imam Muslim, sehingga sulit untuk melemahkan kedudukannya, sayangnya sering dipenggal secara sepihak oleh pihak tertentu. Dari Abu Hurairah, Allah SWT berfirman lewat lisan Nabiullah Muhammad saw, “Aku terserah kepada persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Jika ia mengingat-Ku (berzikir) dalam dirinya, Aku akan menyebutnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam sebuah jama’ah, Aku akan menyebutnya di dalam jama’ah yang lebih baik dari mereka”.

Ya, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, dalam setiap keadaan, dalam keadaan berkesendirian, dalam keadaan berjama'ah....

Qom, 27 Maret 2010

{bisa dilihat juga di http://telagahikmah.org}

29 Maret, 2010

Korelasi antara Ketakwaan dan Santapan Kita

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Qs. Ali-Imran: 102). Penggalan firman suci ini bukan sesuatu yang asing lagi kita dengar, hampir setiap da’i dan muballigh kita sebelum memulai nasehat-nasehat keagamaannya lebih lanjut sering mengawalinya dengan berpesan dan mengingatkan dalam hal ketakwaan. Bahkan dalam kehidupan seharian dengan mudah kita menemukan kata-kata takwa; dalam butir-butir Pancasila, dalam spanduk-spanduk pesan kemasyarakatan, dalam butiran misi lembaga-lembaga pendidikan dan dalam setiap pasal persyaratan untuk menjadi pemimpin atau menduduki jabatan dalam sebuah organisasi atau lembaga pemerintahan dan dalam butiran nasehat orang-orang tua kita. Namun dengan sedemikian akrabnya kita dengan idiom ‘takwa’ ini, apakah kita telah menemukan orang yang benar-benar bertakwa? Seberapa gigihkah kita untuk menjadi insan yang bertakwa? Atau kita perlu mengajukan pertanyaan, sedemikian pentingkah ketakwaan itu?. Takwa adalah kata serapan dari bahasa Arab yang secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata-kata ittaqa-yattaqiy, yang berarti menjaga dari segala yang membahayakan. Dalam istilah syar’i, kata takwa mengandung pengertian,“menjaga diri dari segala perbuatan dosa, kemaksiatan dan hal-hal yang dilarang Allah SWT dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya.” Al-Qur’an menyebut orang yang bertakwa dengan muttaqi, jamaknya muttaqin dan berulang sebanyak 50 kali, dan kata takwa secara keseluruhan dengan berbagai varian dan dalam konteks yang bermacam-macam berulang sebanyak 258 kali, hal ini menunjukkan sedemikian penting dan urgennya pembahasan mengenai ketakwaan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujurat: 13). Sebenarnya dengan menyimak satu ayat ini saja, telah cukup menunjukkan betapa pentingnya ketakwaan itu. Selain itu Al-Qur’an juga tidak luput untuk menyampaikan kepada kita janji-janji Allah SWT kepada orang-orang yang bertakwa, diantaranya, diberikan kemudahan atas segala urusannya (Qs. 65: 4), diberikan keberkahan dari langit dan bumi (Qs. 7: 96), mendapat kemenangan (Qs. 78: 31) dan mendapat perlindungan Allah (Qs. 45: 19). Dengan segala keistimewaan dan kemuliaannya, maka wajar jika ulama-ulama dan da’i kita tanpa lelah menggedor-gedor kesadaran kaum muslimin untuk bertakwa dan senantiasa meningkatkannya. Hanya saja ada hal penting yang terkadang lalai atau lupa untuk tersampaikan. Takwa tidak hanya berkaitan dengan ketaatan dalam melakukan hal-hal yang diperintahkan namun juga kerelaan untuk meninggalkan yang terlarang. Ketakwaan sangat berkaitan erat dengan menjaga perut dari makanan haram, sebab pantangan terbesar ahli takwa adalah memakan makanan haram. Allah SWT berfirman, “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (Qs. Al-Maaidah: 88). Dalam ayat ini, perintah untuk memakan makanan yang halal lagi baik (tayyiban) lebih didahulukan dari perintah untuk bertakwa, sebab seseorang tidak akan mencapai derajat ketakwaan jika tidak lebih dahulu mencegah masuknya makanan yang diharamkan ke dalam perutnya. Sebagaimana dalam hadits disebutkan, “Sesungguhnya syaitan itu dalam diri anak Adam layaknya darah yang mengalir.” (Safinat al-Bihar, juz I, hal. 698). Syaitan masuk kedalam diri manusia seringnya lewat makanan haram. Sebagaimana yang diketahui, makanan adalah penyuplai energi bagi tubuh, yang lewat energi itu manusia bergerak dan beraktivitas. Bila suplai energi bagi tubuh dari sesuatu yang haram, maka yang mendominasi motivasi seseorang beraktivitas adalah nafsu syaitani. Sebagaimana aliran darah, syaitan akan menguasai dan leluasa dalam tubuh manusia. Selama makanan haram masih tersisa dan mencemari dalam tubuh, maka selama itu pula syaitan akan tetap bersemayam dan mengambil alih kuasa atas pikiran dan tubuh. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa jika seseorang memakan makanan haram maka selama 40 hari shalatnya tidak diterima dan do’anya tidak di ijabah. Ini disebabkan karena dalam tubuh masih terdapat sisa makanan haram. Meskipun orang tersebut membaca Al-Qur’an, shalat, puasa dan berzikir pada hakikatnya yang melakukannya adalah jiwa syaitani. Hatta pada saat isti’adzah (memohon perlindungan Allah) sekalipun, sebab lisannya adalah lisan syaitani. Melalui perantara lisannya, syaitan melafadzkan kalimat, a’udzubiillahi minasysyaithanirrajim. Syahid Tsani dalam Asrar al-Shalatnya meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi saww, “Allah memandang hati kalian, bukan wajah kalian.” (Rasa’il asy-Syahid al-Tsani, hal. 110). Hadits ini mengingatkan sekaligus menegaskan bahwa yang terpenting dari sebuah amalan adalah ‘isi’nya bukan penampakan lahiriahnya. Yang diinginkan oleh Allah pada hakikatnya adalah yang bersifat hakiki yang secara lahiriah tidak nampak di mata manusia. Ungkapan lisan bisa saja menarik perhatian orang lain, namun bagi Allah SWT yang menarik bukanlah padanan dan manisnya tuturan kata-kata itu, melainkan apa yang terkandung di dalam hati yang berbicara. Hal ini sejalan dengan penjelasan al-Qur’an, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan darimulah yang dapat mencapainya.” (Qs. Al-Hajj: 37). Dalam hal ini kita harus senantiasa tetap dalam kehati-hatian dan kecurigaan jangan sampai syaitan telah mengambil alih kendali diri kita. Sekalipun kita berada dalam kondisi kebaikan, senantiasa terbiasa melakukan amalan ibadah ataupun selalu berniat mendekatkan diri kepada Allah, namun bisa saja itu adalah bisikan syaitan bukan hidayah Ilahi. Boleh jadi secara lahiriah, penampilan dan perilaku kita sangat mengagumkan dan menakjubkan, namun pada hakikatnya, hati kita telah membusuk dan merupakan musuh yang paling nyata disebabkan masuknya makanan haram di dalam tubuh. “Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (Qs. Al-Baqarah: 12). Karena itu, diantaranya –bahkan termasuk yang terpenting- yang mesti dilakukan untuk menjadi ahli takwa adalah menghindarkan meja kita dari sajian makanan yang didapat melalui cara-cara yang diharamkan. Ketakwaan tidaklah secara ekslusif hanya bisa diraih oleh kalangan tertentu, ulama, urafa, sufi atau hanya didominasi oleh wali-wali Allah yang mencapai maqam tertentu dan kedekatan dengan Allah lewat tarekat-tarekat dan suluk (perjalanan spiritual) yang sulit dan rumit. Insya Allah, kita bisa memulai untuk menjadi ahli takwa dengan menjaga perut dari makanan-makanan yang diharamkan ataupun yang bernilai syubhat, sehingga dengan hidayah-Nya kita bisa terhindar dari melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang lebih besar. Allah SWT berfirman, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. Al Baqarah: 168). Larangan Allah SWT untuk untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan hanya bisa dipatuhi dan dilaksanakan ketika terlebih dahulu memenuhi perintahnya, dengan memakan makanan yang halal lagi baik (thayyib). Menurut Al-Qur’an, adalah kesia-siaan belaka jika anjuran untuk bertakwa dalam pesan-pesan keagamaan di atas mimbar-mimbar mesjid kita, tidak disertai dengan ajakan untuk menjaga apa yang kita santap. Perlu ada seruan berulang-ulang, bahwa yang masuk ke dalam perut bukanlah makanan yang diperoleh dari korupsi, menipu dan merampas hak orang lain. Uang yang dipergunakan untuk membeli makanan bukan dari pekerjaan yang diperoleh dari sogokan, suap dan nepotisme. Dalam ayat terakhir yang saya sebutkan, dengan frase, “Hai sekalian manusia…” menunjukkan seruan Allah SWT ini tidak hanya dikhususkan kepada orang Islam dan yang beriman saja, setidaknya lewat ayat ini Allah SWT ingin menyampaikan pesan, “Kalaupun kau tidak mau beriman kepada Ku, setidaknya makanlah makanan yang kau peroleh secara halal dan baik-baik.” Wallahu ‘alam bishshawwab Qom, 9 Maret 2009

21 Februari, 2010

Tawassul, Tanda Cinta Nabi pada Ummatnya

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah : 35).

Al-Qur’an menyatakan kepada kita bahwa ada suatu cara pendekatan “al-wasilah” untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, dan kita diperintahkan mencarinya. Salah satu wasilah pendekatan kepada Allah SWT yang kebanyakan kaum muslimin melupakannya, malah oleh rekayasa sejarah dianggap kesyirikan adalah tawassul. Sesungguhnya tawassul dan wasilah berasal dari akar kata yang sama. Tawassul adalah usaha pendekatan kepada Allah melalui perantara yang lebih taat kepada Allah. Karena melalui perantara maka wasilah ini dianggap kesyirikan dengan dalih menggan

ggap ada selain Allah yang bisa mendatangkan manfaat dan memberikan mudharat atau praktik berdoa melalui perantara sama halnya memohon pertolongan kepada selain Allah. Sesungguhnya dalih ini tidak beralasan menganggap tawassul adalah usaha yang sesat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Apalagi menyamakan tawassul dengan menyembah berhala atau praktik tawassul kaum kafir jahiliyah yang menjadikan patung-patung buatan mereka sendiri sebagai perantara diri mereka dengan Allah. Alasan praktik penyembahan kaum kafir jahiliyah dilarang dan dianggap kesyirikan bukan karena menggunakan perantara melainkan keyakinan mereka terhadap berhala yang mereka jadikan perantara dapat mendatangkan kehancuran dan memberikan manfaat. Alasan selanjutnya adalah mereka menggunakan perantara yang salah, perantara yang menurut prasangkaan mereka dapat memberikan pertolongan padahal yang mereka jadikan perantara tidak dapat memberikan manfaat apa-apa, “Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah tidak dap

at memperkenankan sesuatu pun bagi mereka.” (Qs. Ar-Ra’d: 14).

Sedangkan jika bertawassul kepada orang yang dekat kepada Allah dan tidak meyakini bahwa yang menjadi perantara memiliki kekuatan sendiri selain dari Allah tetapi yang mereka miliki adalah kedudukan ruhani di sisi Allah dan Allah tidak mengabaikan permohonan mereka apabila mereka berdoa kepada Allah atas diri kita, bukanlah perbuatan syirik. Dan saya akan memberikan beberapa referensi singkat mengenai hal ini.

Memohon Kepada Allah Melalui Perantara

Saya akan mengawalinya dari yang telah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin, bahwa sesun

gguhnya tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa memohon kepada Allah melalui perantara, secara prinsip adalah sah. Tidak ada perbedaan dikalangan ummat Islam mengenai bolehnya tiga jenis tawassul kepada Allah :

  1. Bertawassul kepada orang yang sangat dekat kepada Allah yang masih hidup. Contohnya seorang pelajar memohon di doakan oleh ulama agar bisa memiliki konsentrasi penuh dalam belajar. Tawassul sejenis ini juga pernah dilakukan oleh putra-putra Nabi Yakub as, "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah ". (QS. Yusuf : 97). Begitu juga pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat yang meminta kepada Rasulullah saww agar memohon kepada Allah SWT supaya menurunkan hujan bagi mereka. (HR Bukhari No. 1013 dan Muslim 897)
  2. Bertawwassul kepada Allah melalui perbuatan baik dan amal salehnya. Contohnya, pada hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya tentang tiga orang yang terkurung oleh batu besar dalam sebuah gua. Mereka memohon kepada Allah SWT melalui perantaraan amal-amal saleh yang pernah mereka lakukan.
  3. Bertawassulnya seseorang kepada Allah melalui nama-nama-Nya yang indah. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan Allah memiliki Asma’ul Husna (nama-nama yang indah) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu…” (Qs. Al-A’raf: 180).

Karena legalitas tiga jenis tawassul ini telah disepakati, tidak ada alasan untuk menunjukkan bukti. Ketidaksepakatannya adalah bertawassul kepada seorang yang shalih yang telah meninggal dunia.

Disini, saya kemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Hakim melalui rangkaian perawi dari Usman bin Hunaif, "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah saww dan berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata, "Ambillah air wudhu, lalu beliau berwudhu dan sholat dua rakaat, dan berkata: "Bacalah doa (artinya)" Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman berkata:"Demi Allah, kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar".

Dari hadits ini, praktik tawassul adalah absah dalam ibadah, secara implisit hal ini tidak hanya membenarkan tawassul kepada orang saleh yang masih hidup (seperti Nabi yang waktu itu masih hidup) tetapi juga membenarkan keabsahan tawassul melalui orang yang sudah meninggal dunia juga, karena dari gambaran hadits tersebut, Rasulullah saww mengajarkan rangkaian lafadz do’a tanpa menyampaikan keharamannya untuk dibaca apabila beliau telah meninggal dunia. Artinya setiap memiliki hajat-hajat yang serupa, lafadz do’a tersebut bisa dibaca kapan saja, tidak ada syarat atau kaitannya dengan kehidupan dan kematian Rasulullah saww. Pada hakikatnya, tawassul melalui orang yang masih hidup atau sudah meninggal bukan melalui tubuh fisik, kehidupan atau kematian, tetapi melalui makna positif (ma’na tayyib) yang melekat pada orang itu baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal. Tubuh hanyalah kendaraan yang memuat makna, yang dalam dirinya tetap dihormati baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal.

Dalam surah an-Nisa’ ayat 64, Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. Ayat ini menegaskan ketaatan kepada Rasulullah saww tidak memiliki kaitan dengan kehidupan dan kematian beliau, meskipun Rassullah saww sudah meninggal dunia sehingga kaum muslimin pada masa ini tidak hidup bersama beliau dan tidak bisa bertemu langsung namun ajaran-ajaran, pesan-pesan moral serta sabda-sabdanya adalah keniscayaan untuk ditaati bagi segenap kaum muslimin tanpa terkecuali disetiap tempat dan masa. Karenanya demikian pula dengan kasih sayang Rasulullah terhadap umatnya, setiap dari umatnya yang telah menzalimi diri mereka sendiri ‘datang’ kepada Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT maka Rasulullah saww pun turut memohonkan ampun buat mereka. Pada bagian yang lain banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Adalah salah besar jika memahami bahkan meyakini bahwa dengan kematian segala sesuatu yang menyangkut dengan manusia berakhir sudah dan tidak ada yang tersisa dari manusia selain tubuh fisiknya yang secara bertahap kembali melebur menjadi tanah. Al-Qur’an menegaskan bahwa kematian fisik tidak meniscayakan kehidupan ruh juga turut berakhir, melainkan ruh terus hidup meski telah berpisah dengan raganya. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Qs. Al-Baqarah: 154). Tidak ada keraguan sama sekali, bahwa Rasulullah saww adalah yang termasuk gugur di jalan Allah bahkan yang paling utama. Berdasarkan ayat ini, pada hakikatnya Rasulullah saww masih hidup, masih mendapat rezeki dan nikmat-nikmat dari Tuhannya, maka berdoa dengan menjadikan beliau saww sebagai wasilah masih tetap absah dan berlaku sebagaimana sahabat-sahabat Nabi dimasanya melakukannya. Karenanya, bagi ulama atau kelompok Islam yang mempersyaratkan bahwa tawwasul yang diperbolehkan adalah melalui perantaraan orang-orang shalih selagi masih hidup maka bertawassul melalui Rasulullah saww dan orang-orang yang gugur di jalan Allah termasuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan, dan dalil untuk menyebutnya syirik atau kesesatan tidak cukup kuat sebab akan mendapat penentangan dari Allah SWT, “… mereka tidaklah mati, mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”

Kasih Sayang yang Tak Berkesudahan

Saya nukilkan satu ayat lagi yang semakin mempertegas bahwa terpisahnya ruh Rasulullah saww dengan jasadnya bukanlah akhir hubungan dan keterikatan beliau dengan umatnya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman. Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzab: 56). Perintah Allah SWT untuk mengucapkan salam dengan penuh penghormatan kepada Rasulullah saww bukanlah salam-salam tanpa makna atau sekedar formalitas belaka. Ketika Rasulullah saww bersabda bahwa menjawab salam wajib hukumnya, maka perintah Allah SWT kepada orang-orang beriman untuk menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad saww meniscayakan kenyataan yang takkan terbantahkan bahwa Nabi Muhammad saww akan menjawab setiap salam yang disampaikan kepadanya.

Menakjubkan! Adalah sangat tidak adil, jika kaum muslimin yang hidup sezaman dengan Rasulullah saww setiap mereka menzalimi diri, cukup dengan mendatangi Rasulullah saww dan memohon ampun kepada Allah SWT dan Rasulullah saww pun turut memohonkan ampun hanya berlaku semasa Rasulullah saww hidup dan kaum muslimin pasca wafatnya Rasulullah saww tidak memiliki kesempatan serupa untuk dimohonkan ampun oleh Rasulullah saww sementara kewajiban-kewajiban syariat terus berlaku untuk segenap kaum muslimin di setiap masa termasuk mengucapkan salam penghormatan kepada Rasulullah saww. Sangat tidak adil, jika sahabat-sahabat setiap berdosa dapat segera menemui Nabi dan meminta agar Nabi memohonkan bagi mereka ampunan Allah diyakini sebagai tauhid, begitu juga putra-putra Nabi Ya’qub as yang telah meminta kepada ayah mereka agar memohonkan ampunan Allah bagi mereka (sebagaimana tersurat dalam surah Yusuf ayat 97-98) disebut sebagai bagian dari tauhid namun ketika permohonan ampun kepada Allah SWT melalui Nabi-Nya setelah wafatnya disebut sebagai syirik dan membatalkan keimanan.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya nukilkan dua riwayat yang semoga dapat menghilangkan keraguan kita akan keabsahan bertawassul kepada Nabi saww, bahwa tanpa beban psikologis apapun kita katakan, tawassul adalah salah satu mukjizat dan karomah kenabian, Nabi Muhammad saww. Adalah wajar, Rasululah saww sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah / maqom / wajih) yang sangat tinggi di sisi Allah, diberi otoritas oleh Allah untuk menjadi perantara (wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah SWT.

Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)

Ad-Darami (dalam Sunan Ad-Darami: 1/56), meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”.

Konklusinya adalah, jika kaum muslimin yang bertemu dan hidup bersama Rasulullah saww setiap melakukan kesalahan atau memiliki hajat bisa memohon kepada Allah SWT dengan perantaraan Nabi, maka kaum muslimin setelahnya pun bisa melakukannya. Rasullah saww adalah rahmat bagi semesta alam, kebaikan dan keberkahannya tidak hanya didapatkan oleh orang-orang yang semasanya dan tidak pula berakhir dengan wafatnya. Kepada Nabi Muhammad saww, Allah SWT berfirman, “…dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) kententraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. At-Taubah: 103).

Allahumma inni atawajjahu ilaika binabiyyika nabiyyirrahmati Muhammadin shallallahu ‘alaihi wa alihi…

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi-Mu, nabi pembawa rahmat, Nabi Muhammad, shalawat atasnya dan atas keluarganya…

Wallahu ‘alam bishshawwab

Qom, 7 Rabiul Awal 1431 H