25 Mei, 2009

Konsep Masyarakat dalam Pandangan Ali Syariati

Revolusi Islam Iran (1979) selalu menarik untuk dikaji. Theda Skocpol, dalam Social Revolutions in the Modern World, mengkategorikan Revolusi Islam Iran sebagai salah satu revolusi sosial terbesar dunia di samping Revolusi Prancis, Rusia dan Cina. Revolusi Islam Iran bukan hanya lahir dan terledakkan dari ketidakpuasan kelompok elit mullah (religious scholars) terhadap kebijakan Syah Pahlevi yang berusaha memangkas peran agama dalam fungsi sosial politik, namun juga merupakan akumulasi kekecewaan dan ketidakpuasan seluruh komponen bangsa Iran. Eric Rouleau mengatakan, Revolusi Iran merupakan satu-satunya revolusi religius yang bahkan kelompok minoritas pun mendukung dan ikut berperan dalam prosesnya. Karenanya, jika dilakukan pencermatan lebih jauh maka sesungguhnya ada dua ideologi besar yang menggerakan jalannya Revolusi di Iran. Ideologi religius yang diusung para ulama berbasis pendidikan Hauzawi (pesantren) diantaranya oleh Imam Khomeini dan Syahid Murtadha Muthahari dan konstruk ideologi semi religius, yang dibawa oleh kaum intelektual berlatar pendidikan sekuler diantara tokohnya adalah Ali Syariati dan Bani Sadr. Meskipun mempunyai misi yang sama dalam menggulingkan pemerintahan monarki Pahlevi namun tidak jarang kedua kelompok ideologis ini saling berhadap-hadapan dalam merebut pengaruh.
Mohammad Subhi-Ibrahim dalam salah satu artikelnya (Polaritas Masyarakat dalam Pemikiran Ali Syariati dan Imam Khomeini, Al Huda 2007) menuliskan, bahwa John L. Esposito pernah mengungkapkan, dalam Revolusi Islam Iran kaum Mullah khususnya Imam Khomeini lebih berperan sebagai pemimpin revolusi yang berbekal kekharismaan mampu menyatukan gerakan-gerakan revolusioner yang berbeda-beda namun perumus dan penyedia ideologi revolusinya sendiri adalah dari kaum intelektual, utamanya Ali Syariati. Bahkan menurut Nikki R. Keddie, "Ali Syari’ati-lah yang telah sangat mempersiapkan kaum muda Iran untuk perjuangan revolusioner itu". Tulisan ini secara singkat memaparkan konsep pemikiran sosial Ali Syariati tentang masyarakat dan klasifikasi kelas sosial.
Biografi Singkat Ali Syariati
Ali Syariati yang terlahir tahun 1933 di Mazinan, Iran, dikenal sebagai manusia yang kompleks, hampir berbagai gerakan-gerakan revolusioner di Iran merasa memilikinya. Ide-idenya menjadi sumber inspirasi kelompok Marxisme Iran semisal Hezb-e-Tudeh dan Sazeman-e Mojahedin-e Khalq-e Iran. Ia juga terlibat dalam gerakan perjuangan nasionalis dan bergabung dalam kelompok oposisi pro-Mossadeq, kritikan-kritikannya terhadap ulama-ulama Syiah yang menurutnya konservatif membuat dia dianggap sebagai crypto-sunni dan pro-wahhabi. Namun, sebagai anak dari Muhammad Taqi Shari’ati, seorang ulama besar yang sangat dihormati di Masyhad mengakrabkannya dengan tokoh-tokoh Hauzawi dengan mendirikan Hussainiyah al-Irsyad bersama Sayyid Hussain Nashr , Hashemi Rafsanjani dan Murtadha Mutahhari, meskipun pada akhirnya ketiganya mengundurkan diri dari Dewan Pimpinan karena semangat revolusioner Syariati yang dianggap kelewatan.
Ali Syariati meraih gelar doktoralnya di Universiti Sorbonne, sembari bergaul dengan Frantz Fanon, Louis Massignon, Jacques Berque dan Jean Paul Sartre. Dalam bidang filsafat ia masuk dalam pemikiran filosof Jerman, seperti Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan penyair besar Jerman Anatole France. Selama di Perancispun ia akrab dengan pengikut Che Guevara, dan gerakan bawah tanah Kongo. Dengan pergaulan yang demikian luas dengan ideologi yang berwarna-warni maka Ali Syariati termasuk diantara pemikir yang sulit teridentifikasi. Pengagumnya lebih cenderung menggelarinya sebagai Rausyan Fikr, intelektual yang tercerahkan.
Konsep Masyarakat Ali Syariati
Menurut Syariati, polarisasi masyarakat terdiri atas dua kutub yang dialektis. Dalam konsepnya dia mengistilahkan kutub Habil dan kutub Qabil, mengambil nama dan karakter dua anak Adam as. Syariati menyebut kutub Qabil sebagai kelas penguasa, yang merupakan pemilik kekuasaan, diantaranya politik, ekonomi dan kekuasaan religius. Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Fir'aun sebagai lambang penindas, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun sebagai lambang kapital dan kapitalisme, dan kekuasaan intelektual-religius dilambangkan oleh tokoh Bal'am sebagai simbol kemunafikan. Ketiga poros kekuasaan ini saling menunjang dan bekerja sama. Fir'aun merestui Qarun melakukan perampokan sistematis dan penguasaan atas pasar. Qarun memberikan jaminan finansial dan mendukung kerja intelektual Bal'am sementara Fir'aun memberikan jaminan politis. Dan Bal'am sendiri menyediakan basis doktrin untuk membenarkan rezim Fir'aun dan penguasaan ekonomi Qarun. Ali Syariati menyebut. ketiga komponen penopang kekuasaan Qabil sebagai trinitarianisme-sosial. Sedangkan kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat (an-nas) yang tercakup di dalamnya: orang-orang tertindas, yang diekploitir dan kaum lemah.
Menariknya, menurut Syariati, Allah dalam konfrontasi kedua kutub masyarakat ini Allah SWT memihak pada kutub rakyat (Habil). Bahkan, Syari’ati berpendapat bahwa dalam beberapa ayat al-Quran Allah bersinonim dengan An-Nas. Misalnya, dalam surah At-Tagabun ayat 17, "Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik…". Syari’ati menjelaskan bahwa Allah yang dimaksud dalam ayat ini adalah an-nas (rakyat), karena Allah sama sekali tidak membutuhkan pinjaman.
Ketika disebutkan, "Langit, bumi, diantara keduanya dan di bawah perut bumi adalah kepunyaan Allah", maka dimaknakan bahwa semuanya itu adalah milik rakyat, bukan milik Qarun (perorangan). Selanjutnya, bila dikatakan, "Segala sesuatu akan kembali kepada Allah", maka itu dimaksudkan bahwa keseluruhan manfaat dari kekayaan alam diperuntukkan bagi kemakmuran dan harus kembali kepada rakyat banyak bukan hanya dinikmati kelompok tertentu.
Menurut Syari’ati, rakyat merupakan wakil-wakil Allah (the representatives of God) sekaligus keluarga-Nya (al-nas iyalu 'Llah). Syari’ati menyebutkan pula adanya fakta bahwa al-Quran dibuka dengan nama Allah dan diakhiri dengan nama rakyat (an-nas). Ka’bah, kiblat umat Islam disebut sebagai rumah Allah (house of God), bukanlah dimaksudkan Allah butuh rumah melainkan rumah itu adalah milik semua orang (rakyat) dan Makah disebut pula al-bayt al-'atiq yang artinya adalah kebebasan. Tentu saja penyamaan an-Nas dengan Allah hanya dalam wacana sosial bukan wacana aqidah. Dalam ranah teologis tetap tidak bisa disamakan antara Allah dengan An-Nas, namun dalam ranah sosiologis, menurut Syariati, keduanya adalah sinonim. Siapapun bisa tidak sepakat, namun inilah sumbangsih pemikiran Syariati yang mampu menerjemahkan kosa kata agama dalam kosa kata sosiologis. Menurutnya Islam adalah kekuatan yang menjadi pisau tajam yang memprakarsai sebuah perjalanan baru sejarah sosial Islam. Islam tidak semata-mata memuat deretan do'a namun juga perlawanan yang bergelora untuk memberikan manfaat kepada sebanyak-banyaknya manusia. Jean Paul Sartre berkata, "Saya tidak memiliki agama, namun jika harus memilih salah satu, kupilih agamanya Syariati".
Wallahu 'alam bishshawwab.

18 Mei, 2009

Syekh Behjat, Santo dari Fuman Telah Pergi

Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.
Telah pergi meninggalkan kita semua seorang sufi, arif, faqih dan ulama terkemuka, Ayatullah Uzhma Syekh Muhammad Taqi Behjat Fumai Najafi. Kami mengucapkan belasungkawa kepada Rasulullah dan para jejiwa suci penerusnya serta seluruh umat Islam terutama para pecinta dan pengagumnya.
Berikut biografi singkat santo dari Fuman ini:
Ia dikenal sebagai salah satu tokoh arif yang zahid dan memiliki spiritualitas yang amat tinggi. Ia menjalani kehidupan zuhud dalam sebuah rumah yang sangat sederhana yang terletak di sebuah lorong kecil. Berkali-kali ia menolak tawaran dari pengikut dan pengagumnya yang memohonnya untuk berpindah ke rumah yang lebih layak.
Ayatullah Uzhma Muhammad Taqi Behjat Fumani lahir pada penghujung tahun 1334 di kota Fuman. Ayahnya, Mahmud Karbala’i, adalah tokoh agama yang sangat disegani. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di Fuman kemudian berhijrah ke kota Qum.
Setelah merampungkan pendidikan menengah dan menguasai bahasa dan gramatika Arab, pada tahun 1348 ia melanjutkan studi agama di kota suci Karbala dan menjadi murid sejumlah ulama besar di sana.
Pada tahun 1352 ia berpindah ke Najaf demi memperdalam studi agama dalam bidang fikih dan ushul fikih di bawah bimbingan Ayatullah Uzhma Muhammad Kazhim Syirazi dan Ayatullah Sayyid Hasan Badkuba’i. Pada tingkat teratas studi, ia berguru kepada Ayatullah Uzhma Syekh Dhiya’uddin Iraqi, Ayatullah Uzhma Muhammad Husain Na’ini, Ayatullah Uzhma Muhammad Husain Gharawi Ishfahani (yang dikenal dengan sebutan Agha Kumpani), Ayatullah Uzhma Sayyid Abul-Hasan Ishfahani, dan terakhir Ayatullah Uzhma Sayyid Abul-Qasim Khu’i. Pada tahun 1356 ia kembali ke Qum, Iran dan menjadi murid sejumlah ulama besar, antara lain Ayatullah Uzhma Sayyid Hujjat Kuhkamari dan Ayatullah Uzhma Sayyid Husain Burujerdi. Ia telah mempersembahkan sejumlah karya dalam berbagai bidang, antara lain Tawdhih al-Masa’il dan Hasyiyah ‘alâ Makâsib Syekh Anshari.
Ia juga telah berhasil mencetak banyak ulama. Salah satunya adalah Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, guru besar filsafat di hawzah ilmiah Qom saat ini.

16 Mei, 2009

Negeri yang Terlahir dari Buku

Setahu saya, tidak ada yang lebih membuat seseorang lebih dikenal dan menjadi besar kecuali lewat transkrip-transkrip pemikiran yang dituliskannya pada berlembar-lembar kertas yang kemudian kita menyebutnya buku. Tidak bisa dipungkiri, kehidupan kita bisa jadi lebih mudah dengan ditemukannya alat-alat teknologi yang dikekinian semakin canggih dan beragam, ataupun banyak nyawa-nyawa kritis yang terselamatkan dengan semakin modernnya peralatan medis. Namun adakah yang bisa membendung dan menyembunyikan nama besar seseorang yang terlahir lewat buku?. Bukankah nama-nama penemu dunia justru kalah populer dibanding para penulis buku?. Setiap saya berbicara tentang buku, ingatan saya tidak bisa lepas dari Muhammad Hatta. Orang besar yang dimiliki bangsa ini pernah menulis, “Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja; sebab dengan buku pikiranku tetap bebas."
Lewat tulisan yang dimuat dalam buku Memoir yang ditulisnya sendiri, Muhammad Hatta ingin menunjukkan betapa ia sangat mencintai buku. Bentuk cintanya, tidak hanya dengan membacanya, namun juga membuat buku sendiri. Alam Pikiran Yunani adalah bukti konkret betapa ia memiliki kecintaan yang meluap-luap, sekaligus membuktikan bahwa pikirannya benar-benar bebas merdeka meskipun tubuhnya terpenjara. Buku 'Alam Pikiran Yunani' ditulisnya selama mendekam di Digul 1934 dan berlanjut di Pulau Ende pada 1936. Dari penjaralah, "Alam Pikiran Yunani" lahir.
Di sini Hatta tidak sendiri. Saya kira setiap pemimpin pergerakan dan orang-orang yang kemudian hari menjadi besar itu tidak pernah bisa jauh dari buku. Buku bagi mereka adalah nyawa. Adalah nafas panjang. Itulah sumber energi yang menggerakkan tubuh dan jiwa mereka. Dengan membaca, bagi orang-orang seperti Soekarno, Hatta, Soetan Syahrir, Muhammad Yamin, Tan Malaka sampai Amir Syarifuddin tidak pernah merasa terpenjara dan perlu merasa takut. Lihat saja fragmen terfakhir dari perjalanan hidup Amir Syarifuddin, perdana menteri kedua dalam sejarah Indonesia setelah Syahrir. Beberapa jam sebelum di ekseskusi mati di Solo –karena terlibat dalam peristiwa Madiun 1948- perwira yang bertugas menjaganya bertanya apa permintaan terakhirnya. Ia menjawab dengan meminta buku. Maka disodorkanlah buku Romeo and Juliet karangan William Shakespeare, dan selanjutnya dikisahkan, Amir menghabiskan detik-detik terakhirnya membaca buku dengan tenang sebelum ditembak mati.
Ini hanyalah salah satu fragmen sejarah bangsa yang menunjukkan adanya hubungan yang akrab antara revolusi Indonesia dengan buku. Karenanya tidak berlebihan kalau Zen Rahmat Soegito mengatakan bahwa Indonesia didirikan diantaranya oleh orang-orang pecinta, pembaca dan penulis buku. "Banyak sekali fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hal itu", tulisnya.
Sebagaimana yang dikatakan Hatta, pikiran tidak pernah terpenjara. Begitu pulalah Kartini. Dalam kondisi dipingit di 'sangkar' kadipaten ia belajar autodidak. Majalah atau koran terkenal seperti Maatschappelijk werk in Indie, De Gids, De Hollandsche Lelie, De Locomotief sampai karya Multatuli berjudul Max Havelaar di lahapnya. Dengan bacaan-bacaan ini ia menuliskan karya-karyanya, tidak hanya buku Door Duisternis Tot Licht (Usai Gelap Berpendarlah Terang) sebagaima yang telah dikenal tetapi juga tercatat ada dua buku kebudayaan, yakni Het buwelijk bij de Kodjas (Upacara Perkawinan pada Suku Koja) dan De Batikkunst in Indie en haar Geschiedenis (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya). Buku kedua ini yang membuat ukiran Jepara dikenal di seantero negeri. Dengan karya-karya itu, maka Kartini bukan hanya pejuang emansipasi yang lebih dikenal dengan kebayanya, tapi juga ibu epistolari –meminjam istilah Muhidin M. Dahlan- yakni ibu penulis.
Negeri yang Lahir dari Tinta
Kalau Kartini menulis pergulatan pemikirannya dalam bentuk surat dan dikirimkan ke 12 korespondesinya di Belanda. Sjahrir menulis renungan-renungannya dalam bentuk surat kepada istrinya di Belanda, Maria Duchateau. Surat-surat inilah yang kemudian terbit dalam bentuk buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen (dalam edisi Indonesia berjudul Rantau dan Perjuangan). Inilah renungan kebudayaan paling cemerlang yang pernah ditulis oleh seorang anak bangsa. Buku ini menunjukkan keluasan erudisi seorang Sjahrir. Ia mampu meletakkan setiap pokok gagasan dalam konteks alur perkembangan sejarah intelektual dunia. Sjahrir mampu menjelaskan seperti apa “hubungan darah” antara satu filsuf dengan filsuf yang lain, dari Johan Huizinga, Dante, Dostoyevski, Benedotte Croce hingga Nietzche. Selanjutnya, tidak adil kalau saya tidak menyebut nama Tan Malaka sebagai yang termasuk penulis kawakan yang dimiliki bangsa ini. Bahkan bagi saya ia harus berada dalam deretan teratas. Ketangguhannya dalam menulis benar-benar telah teruji. Produktivitas dan staminanya betul-betul tanpa tanding. Penjara, pengasingan, pembuangan dan penyakit akut tidak pernah mampu membuatnya berhenti menulis. Hanya kematian yang bisa menghentikannya menulis. Coba anda bayangkan, di tengah situasi yang begitu berbahaya pada masa kekuasaan Jepang, Tan Malaka masih mampu menerbitkan sebuah buku dahsyat berjudul Madilog. Tan Malaka menulis Madilog dalam situasi yang sangat terbatas, tanpa referensi, seluruh kutipan diambil dari ingatannya belaka, dengan bahan tulis yang terbatas dalam persembunyiaannya, memaksanya menulis Madilog dengan huruf-huruf yang sangat kecil. Madilog berbicara nyaris tentang semua aspek kehidupan, dari mulai filsafat, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, sejarah hingga sains modern, yang meliputi dari matematika, kimia, fisika hingga astronomi. Bukunya menununjukkan betapa hebatnya ia sebagai orang asia, sebagai orang timur dan sebagai orang Indonesia . Dan orang ini pula yang dalam pekik perang kemerdekaan, dalam suasana perang mempertahankan kemerdekaan, masih sempat-sempatnya menerbitkan buku yang berjudul Moeslihat. Bahkan dalam pemenjaraan yang tak jelas selama periode 1946-1948, Tan Malaka tetap meneruskan aktivitas intelektualnya. Di penjara itulah Tan Malaka, di antaranya, menulis From Jail to Jail atau Dari Penjara ke Penjara. Hanya peluru tentara republiklah yang kemudian menghentikan aktivitas menulis Tan Malaka. Soekarno sebagai Presiden pertama republik inipun tidak pernah bisa lepas dari kerja-kerja intelektual, membaca dan menulis. Meski negara yang dipimpinnya tengah mengalami kondisi politik dan ekonomi yang porak-poranda ia masih sempat juga menulis dan menerbitkan buku Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia , 1947.
Karenanya, tidak berlebihan jika menyebut Negara ini dibangun dan diperjuangkan oleh orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap buku yang melimpah. Tradisi cinta buku tidak bolehlah mati. Negeri ini tidak hanya dibangun dari tetesan keringat dan darah tapi juga tinta. Lahir dari buku dan lembaran-lembaran agitasi. Jangan pinggirkan kenyataan itu!!!.

Selamat Hari Buku Nasional, 17 Mei.
Ismail Amin, penikmat buku sedang belajar di Qom Iran .

09 Mei, 2009

Istrahatlah Sejenak

Hidup tak harus selalu berlari, istaratlah sejenak, kita perbaharui keimanan....

*Lagi merayakan hak untuk bermalas-malasan