13 Februari, 2009

Sahabat Rasulullah saww Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah (1)

-Tanggapan atas Tulisan Rahmat A. Rahman yang berjudul : Sahabat Rasulullah SAW dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah-
-Bagian Pertama dari Dua Tulisan-
Aturan-aturan Ilahi dalam Islam merupakan aturan yang universal dan hakiki. Segala aspek yang terdapat di dalamnya adalah tuntunan yang sempurna. Aturan tersebut dibuat dan dipersiapkan secara lengkap dan ditetapkan khusus untuk membimbing manusia guna menyempurnakan kemanusiaannya dan mencapai etape kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tuntunan Islam yang dibentuk dengan tabiat dan hukum Ilahi itu berdiri pada pondasi kepastian mutlak dan keyakinan menyeluruh, berbeda dengan hukum buatan manusia yang dibuat berdasarkan pada prasangkaan, dugaan-dugaan dan pemikiran yang sifatnya sementara. Aturan Ilahi tidak sekedar terdiri dari teks-teks suci dan teori semata, melainkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh. Artinya, aturan Ilahi yang pada dasarnya adalah untaian kalimat yang menderetkan aturan-aturan main kehidupan sesungguhnya memiliki kekuatan untuk mengubah potensi diri manusia menjadi gerakan perilaku yang pasti.
Gambaran ringkasnya ada pada pribadi Muhammad saww yang mampu mengaktualisasikan aturan Ilahiah ini dalam seluruh hembusan nafas dan perilakunya. Muhammad saww diutus sebagai nabi untuk membimbing umat manusia melalui dakwah sedimikian rupa dengan menerapkan aturan Ilahi tersebut, sehingga dapat membentuk umat terbaik dan mampu menyelenggarakan daulah yang agung dalam sejarah kebudayaan manusia. Sungguhpun demikian, perjalanan sejarah umat Islam yang masih belia dan baru terbentuk mengalami pergolakan politik pada permulaan langkahnya, persis menjelang wafatnya Rasulullah saww. Sebagian muslimin telah berupaya untuk menjaga tatanan Daulah Islamiyah warisan Rasulullah yang berkeadilan, namun seolah telah menjadi nasib, pergolakan politik pada generasi awal kaum muslimin menimbulkan pertikaian yang susul menyusul, berlanjut terus mewarnai perjalanan sejarah umat manusia. Efek dramatis akibat pertikaian-pertikaian ini pun tak terhindarkan, umat Islam kemudian terpecah menjadi kepingan-kepingan besar. Pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab, mengapa terjadi perpecahan? Mengapa perpecahan ini terus berlangsung dan menimbulkan prahara yang tak berkesudahan di tubuh kaum muslimin? Mengapa perpecahan ini mengakibatkan penerapan ajaran Islam keluar dari makna dan gambaran aslinya, dan kita sebagai generasi dimasa ini tidak mampu mengaplikasiakan aturan-aturan Ilahiah tersebut secara menyeluruh bahkan seakan tercerabut dari kehidupan nyata?
Secara logika, mustahil penyebab semua ini bersumber dari aturan Islam, sebab ajaran Islam bersumber dari Allah SWT sang Pencipta dengan segala sempurna. Menurut saya ada dua hal yang bisa jadi menjadi penyebab semua ini, pertama, adanya keberanian dari penguasa-penguasa yang menorehkan tinta berwarna selain Islam dengan membuat aturan-aturan politik yang lain dan menyebutnya dengan aturan politik Islam dan kedua adanya sekelompok orang yang mengklaim diri sebagai ulama yang berusaha keras mengambil alih pikiran umat dengan memberikan pemahaman bahwa apa yang mereka pahami tentang Islam adalah pemahaman Islam yang sebenarnya. Kedua kelompok inilah yang berusaha keras meyakinkan umat Islam bahwa sejarah perpolitikan Islam sejak Rasulullah wafat hingga runtuhnya kekhalifaan Turki Usmaniyah adalah juga aturan politik Islam yang diturunkan oleh Allah untuk membimbing gerak umat manusia. Upaya mereka untuk meyakinkan kaum muslimin itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, padahal sesungguhnya tindakan pencampuradukan, mereka telah mendahulukan tabi' (orang yang mengikuti) dari pada matbu' (orang yang harus diikuti), mereka menjadikan orang-orang yang sebenarnya juga adalah pengikut (baca : sahabat nabi) sebagai sebaik-baiknya tauladan, sementara Nabi yang seharusnya menjadi pusat tauladan dalam segala hal sebagai pihak yang terabaikan.
Melalui pembahasan yang sederhana ini saya berusaha menjelaskan apa-apa yang telah diturunkan Allah dan apa-apa yang telah menjadi sunnah nabi-Nya yang saya khususkan mengenai sahabat-sahabat nabi. Apa yang terjadi setelah Rasulullah wafat hingga tercerabutnya banyak aturan Islam dalam pola kehidupan keseharian nyata umat Islam bukan disebabkan oleh adanya ketimpangan pada ajaran Islam atau salahnya aturan Ilahi, namun penyebab utamanya dari umat Islam sendiri yang telah berani mengganti nikmat -hukum- Allah dengan hawa nafsu mereka. Dari sinilah tersembunyi benih-benih malapetaka itu. Jadi marilah kita mengkajinya, melihat masa kini dengan kacamata masa lalu (al-fahm al turatsy li al-ashr).
"Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (Qs. Al-Anfal : 53).
Defenisi Ash-Shuhbah dan Ash-Shahabah
Dalam kamus-kamus bahasa dituliskan, al-ashhab, ash-shahabah, shahaba, yashhubu, shuhbatan, shahabatan, shahibun artinya, teman bergaul, sahabat, teman duduk, pengikut, penolong. Ash-shahib artinya kawan bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang yang melakukan dan menjaga sesuatu. Kita juga dapat menyatakan seperti dalam frasa ishthahaba al-qaum, artinya mereka saling bersahabat satu sama lain, atau ishthahaba al-bair, artinya menyelamatkan unta. Jika kita membaca Al-Qur'an maka kita akan menemukan kata yang berbunyi: tushahibni, shahibahuma, shahibahu, shahibatahu, ashhab, ashhabun. Kata-kata ini dapat ditemui dalam Al-Qur'an berulang-ulang sebanyak 97 kali, namun kita tidak menemukan lafadzh shahabah dan shuhbah dalam Al-Qur'an. Dengan menelaah kalimat yang ada dalam Al-Qur'an, kita dapat mengetahui bahwa kalimat-kalimat tersebut dapat memberikan makna dengan tashrif (maksud) yang berbeda-beda. Kata ash-shuhbah, mempunyai banyak makna, dan bentuknya bisa memiliki arti positif atau negatif.
Kata ash-shuhbah (persahabatan) dapat diterapkan pada hubungan antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya, antara seorang anak dengan kedua orangtuanya yang berbeda keyakinan (Qs. Luqman:15), antara dua orang yang bersama-sama melakukan perjalanan (Qs. An-Nisa:36), antara tabi' (pengikut) dengan matbu' (orang yang diikuti) (Qs. At-Taubah: 40), antara seorang mukmin dengan orang kafir (Qs. Al-Kahfi: 34 dan 37), antara orang kafir dengan orang kafir lainnya (Qs. Al-Qamar: 29), antara seorang nabi dengan kaumnya yang kafir (Qs. An-Najm: 2). Jadi secara bahasa kata ash-shuhbah memiliki makna yang sangat umum yang artinya bisa positif namun juga bisa negatif.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah mendefinisikan Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah saww, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam. Defenisi ini dibuat berdasarkan pendapat yang paling shahih menurut para muhaqqiq, seperti Bukhari, Ahmad bin Hanbal serta orang-orang yang ikut dengan mereka. Kalau kita sepakat dengan definisi ini maka dapat ditelusuri siapa saja yang bisa disebut sebagai sahabat. Yakni orang yang bertemu dengan nabi Muhammad saww, baik bertemu pada saat majelis, melalui obrolan atau sekedar melihat saja.
Defenisi ini tidak lolos dari kritik. Menurut Ibnu Hajar, seorang sahabat adalah yang beriman kepada Muhammad saww dan mengaku bahwa beliau adalah seorang nabi. Maka untuk memastikan seseorang sahabat nabi atau bukan maka kita harus benar-benar memastikan hakikat keimanan seseorang terhadap Rasulullah saww. Ini mustahil sebab masalah keimanan yang merupakan isi hati yang paling dalam dan rumit berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Yang bisa dihukumi adalah apa yang menjadi sisi dzahiriah seseorang, misalnya dengan ucapan "Saya beriman" atau menampakkan keimanan kepada nabi saww. Ini musykilah pertama dalam menentukan seseorang sahabat nabi atau bukan.
Dengan defenisi ini pula, maka tidak ada jumlah yang jelas berapa banyak yang terkategorikan sahabat nabi. Dakwah nabi, daulah, peperangan beliau, baiat umat manusia kepadanya, haji, umrah, fathu Makkah, haji wada dan kekuasaan Daulah Islamiyah beliau yang menguasai jazirah Arab seluruhnya, telah memberikan kesempatan kepada umat Islam kala itu untuk bertemu dengan Rasulullah. Terlebih lagi pemerintahan Islam yang dipimpin Rasulullah telah menghapuskan jarak dan berbagai bentuk perbedaan antara penguasa dengan rakyatnya. Rasulullah saww seringkali berjalan sendiri tanpa pengawalan ketika mencari berbagai keperluannya sendiri, sehingga masyarakat dalam pemerintahan Islam itu dapat melihat, berbicara dengannya dan menghadiri majelisnya. Karenanya dengan defenisi yang telah disebutkan, masyarakat pada Daulah Islamiyah yang dipimpin Rasulullah saww bisa disebut sahabat, sebab mereka bisa dengan sangat mudah untuk sekedar bertemu atau melihat Rasulullah saww. Lalu dengan dasar apa, Imam Abu Zur’ah Ar Raaziy, seorang ulama hadits terkemuka, menyebutkan total jumlah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam 114 ribu orang, sementara seseorang sudah bisa termasuk sahabat nabi meskipun tidak meriwayatkan hadits?. Dalam peristiwa Haji Wada' saja, sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Tadzkirah, Sibth Ibnu Al-Jauzi kaum muslimin yang bersama Rasulullah jumlahnya 120 ribu orang. Kalau jumlah yang diajukan Ibnu Al-Jauzi itu benar, maka menurut Abu Zur'ah Ar Raaziy ada sekitar 6 ribu orang yang bukan sahabat dalam pelaksanaan haji Wada bersama Rasulullah saww. Ini hanya contoh kecil adanya ketidaksepakatan antara ulama tentang sahabat nabi.
Namun anehnya, kelompok Ahlussunnah bersepakat bahwa seluruh sahabat adalah orang yang adil. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, tidak ada yang berselisih pendapat tentang hal ini kecuali segelintir ahli bid'ah, maka wajib bagi muslimin untuk meyakini sikap sahabat tersebut karena telah ditetapkan bahwa, seluruh sahabat adalah ahli surga, tak seorangpun dari mereka yang akan masuk neraka (Rujuk dalam kitab Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah karya Ibnu Hajar). Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Kabair hal. 352-353: “Barangsiapa yang mencaci dan menghina mereka (para shahabat), maka sungguh ia telah keluar dari agama Islam dan merusak kaum muslimin". Disinilah penggugatan saya terhadap ulama-ulama Ahlussunnah yang sangat berani menetapkan hukum kekafiran terhadap sesuatu yang belum jelas dan masih debatable, terlebih lagi tidak mendapatkan penetapan dari Rasulullah saww sebagai utusan Allah yang lebih berhak memberikan penetapan hukum.
Pertama, Rasulullah saww tidak pernah memberikan pendefinisian dan penentuan siapakah yang termasuk sahabat beliau. Yang menentukan defenisi adalah ulama-ulama Ahlus Sunnah seperti misalnya Ibnu Hajar al-Asqalani yang pendefinisian yang diajukannya dikatakan sebagai definisi yang paling kuat dan diterima ulama-ulama lainnya. Saya menyebutnya ini adalah bid'ah, menetapkan sesuatu yang tidak pernah ditetapkan oleh Rasulullah saww.
Kedua, dengan definisi –yang bid'ah- ini mereka (ulama Ahlus Sunnah) bersepakat untuk mengkafirkan mereka yang mencela dan menghina orang-orang yang dikategorikan sahabat menurut mereka, sementara sekali lagi, tidak ada teks hadist yang jelas memberikan penghukuman sebagaimana penetapan mereka. Saya menyebut mereka, sangat berani mengambil kedudukan Rasulullah dalam penetapan hukum.
Ketiga, pernyataan mereka bahwa para sahabat adil tanpa kecuali dan menyelisihi pendapat mereka kafir adalah pernyataan tanpa dasar, sebab yang berhak sepenuhnya menilai keadilan para sahabat hanyalah Allah SWT. Secara logika, faktual dan hukum syara', para sahabat tidaklah berada pada satu derajat yang sama. Diantara mereka ada dalam golongan yang shadiq yang tingkat keshadiqannya juga beragam, mereka adalah sahabat-sahabat yang mendapat keridhaan Allah SWT. Diantara mereka juga ada yang lemah imannya, iman belum menghujam kuat di hati-hati mereka dan tidak sedikit pula diantara mereka yang munafik, dengan tingkat kemunafikan yang berbeda-beda pula. Karenanya, hanya Allah SWT yang mengetahui apa yang ada dalam hati-hati mereka hanya Dia yang mampu memastikan keislaman dan keimanan seseorang. Ahlus Sunnah mengklaim pemahaman mereka terhadap Islamlah yang paling benar, dan yang menyelisihi pemahaman mereka disebut kafir atau minimal disebut ahli bid'ah. Ini jelas sesuatu yang sangat menyimpang dari hukum Islam. Sebab Islam sebagai sebuah ajaran Ilahi adalah satu hal sementara pemahaman kita tentang Islam tersebut adalah hal lain. Misalnya saya berbeda dengan seseorang dalam memahami Islam, tidak serta mereka pemahaman saya satu-satunya yang benar dan siapapun harus menjadikan saya sebagai sumber rujukan sementara yang tidak sependapat dengan saya otomatis kafir dan keluar dari Islam. Pandangan sempit yang menyebutkan hanya pendapat merekalah yang sesuai dengan agama diiringi dengan tuduhan kepada siapa saja yang menyelisihi mereka sama dengan kafir sangat patut untuk disangsikan. Sebab, tentu saja, menafsirkan Islam bukanlah hak prerogatif mereka, karena jelas pendapat mereka (ulama Ahlus Sunnah) adalah satu hal dan Islam adalah hal yang lain. Sayangnya, tak hanya sekedar mengklaim diri sebagai satu-satunya kebenaran namun juga menghalangi orang-orang untuk melakukan pencarian hakikat kebenaran syariat.
Selanjutnya, kita lihat hadits-hadits yang katanya membenarkan penghukuman mereka. Rahmat A. Rahman telah cukup membantu dengan mengajukan kepada kita diantara hadits-hadits tersebut, mari kita kaji.
Hadits Pertama:
Dari Abu Sa'id ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Jangan kalian mencela seorang-pun dari sahabatku. Sungguh jika salah seorang diantara kalian berinfaq sebesar gunung uhud emas, maka itu belum menyamai segenggam (dari infaq) mereka dan tidak pula setengahnya". HR. al-Bukhari, no: 3673, Muslim, no: 2541
Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata: "Jangan kalian memaki sahabat-sahabat Muhammad shallallahu alaihi wasallam, sungguh keberadaan mereka sesaat (di sisi Nabi shallallahu alaihi wasallam) lebih baik dari pada amal ibadah kalian selama empat puluh tahun". Riwayat Ahmad dalam Fadhailus Shahabah, I/57, Ibnu Majah no: 158, Ibnu Abi Ashim, II/484. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, I/32.
Hadits diatas justru tidak membenarkan penetapan mereka bahwa yang menghina dan mencela sahabat nabi telah kafir dan keluar dari Islam. Hadits di atas hanya menunjukkan bahwa adanya larangan untuk mencela sahabat nabi karena keutamaan mereka, bahwa amalan mereka tidak bisa disamai oleh 'kalian' yang disebut Rasulullah saww tersebut. Al-Qur'an menyatakan bahwa amalan-amalan orang kafir itu sia-sia, tertolak karena kekafiran mereka (baca diantaranya, Qs. Hud: 16). Sementara hadits di atas amalan si "kalian" itu tidaklah sia-sia hanya saja tidak atau belum menyemai segenggam dari infaq para sahabat dan tidak pula setengahnya dan lebih baik dari amal ibadah si "kalian" selama empat puluh tahun. Kalau pencelaan terhadap sahabat nabi menyebabkan kekafiran, adalah sebuah keniscayaan Rasulullah saww untuk menyebutkan dan menyampaikan secara terang dan jelas, sebab sangat berkaitan dengan keimanan dan keselamatan seorang muslim. Rasulullah saww adalah yang paling besar keinginan untuk melihat umatnya selamat dunia dan akhirat. Hadits di atas tidak memberikan keterangan yang jelas dan terang, bahwa yang mencela sahabat nabi kafir dan keluar dari Islam.
Persoalan selanjutnya, kita patut mengajukan pertanyaan, siapa yang dikatakan Rasulullah 'kalian' pada hadits di atas. Kalau kita mengamati secara cermat, maka "kalian" pada teks di atas tentu bukanlah sahabat nabi, melainkan orang selain mereka, karenanya dilarang untuk mencela sahabat. Lalu -dengan definisi Ibnu Hajar- adakah orang yang bertemu dengan Rasulullah saww, beriman terhadap beliau dimasanya namun tidak termasuk sahabat beliau?, jawabnya tentu saja tidak ada, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Kalau dikatakan bahwa "kalian" yang dimaksud adalah orang-orang kafir, maka teks berikut, "Sungguh jika salah seorang diantara kalian berinfaq sebesar gunung Uhud emas dan itu belum menyamai segenggam (dari infaq) mereka dan tidak pula setengahnya" adalah ucapan sia-sia, sebab buat apa Rasulullah mengucapkannya sementara sudah jelas bagi siapapun bahwa amalan orang-orang kafir tertolak, sia-sia dan tidak bisa diperbandingkan dengan amalan orang-orang yang beriman dan tidak mungkin Rasulullah mengucapkan teks tersebut.
Kalaupun benar hadits diatas adalah hadits yang shahih dan benar-benar berasal dari Rasulullah saww, maka ada dua kemungkinan. Pertama, tidak semua orang yang bersama dan yang beriman kepada Rasulullah saww dimasanya adalah sahabat nabi, sebab si "kalian" diatas bukanlah sahabat nabi. Dengan hadits ini defenisi sahabat oleh Ibnu Hajar tertolak dengan sendirinya. Kemungkinan kedua, dengan sepakat pada pendefinisian Ibnu Hajar, maka 'kalian' yang dimaksud adalah sahabat nabi. Maka secara harfiah hadits diatas juga bisa dikatakan,"Janganlah kalian (sahabat) mencela seorangpun dari sahabatku (diri kalian sendiri)" yakni, hadits diatas adalah larangan yang ditujukan kepada sahabat-sahabat nabi untuk jangan mencela diri mereka sendiri. Kalau disuruh memilih –sebab hadits diatas dikatakan pasti shahih sebab diriwayatkan Bukhari-Muslim- saya memilih kemungkinan pertama, sebab kemungkinan kedua sangat tidak jelas dan tidak mengandung makna apa-apa, apalagi jika dikaitkan dengan pahala infaq. Kemungkinan pertama berbunyi, tidak semua orang yang bersama dengan Rasulullah dimasanya bisa disebut sebagai sahabat nabi. Sahabat nabi adalah orang-orang yang benar-benar telah teruji keimanannya dan mampu menunjukkan kesetiaannya kepada Islam sampai akhir hayatnya. Karenanya, kalaupun hadits ini benar-benar shahih, maka pesan Rasulullah saww ini ditujukan kepada orang-orang yang baru masuk Islam setelah kondisi aman dan tidak terjadi peperangan lagi, misalnya setelah Fathul Makah, ataupun kepada orang-orang Islam yang tidak pernah ikut bersama Rasulullah dalam hijrah dan jihad, karenanya Rasulullah membedakan umat Islam saat itu, ada yang termasuk sahabatnya yakni golongan yang pertama masuk Islam, berhijrah dan berjihad bersama Rasulullah dan juga ada yang tidak termasuk dalam kategori sahabat nabi. Hal ini bisa kita pahami dari ayat berikut, "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan." (Qs. At-Taubah: 19-20) atau pada ayat berikut, "Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Qs: al-Hadid : 10). Ayat kedua ini jika kita kaitkan dengan hadits Rasulullah saww di atas maka ini menunjukkan adanya perbedaan diantara mereka yang menafkahkan hartanya dan berperang sebelum penaklukkan Mekah (disebut sahabat oleh nabi) dan mereka yang menafkahkan harta dan berperang setelah Fathul Makah (disebut 'kalian' oleh Nabi saww). Karenanya wajar, jika Rasulullah mengatakan kepada si 'kalian' yakni yang menafkahkan hartanya setelah peristiwa Fathul Makah (meskipun bertemu langsung dan beriman kepada Rasulullah namun Rasul tidak menyebutnya sebagai sahabatnya) tidak akan mencapai pahala sahabat-sahabat nabi yakni yang menafkahan hartanya sebelum penaklukan kota Makah.
Riwayat kedua diatas yang berasal dari Ibnu Umar ra, bisa sedikit kita terima bahwa "kalian" yang dimaksud Ibnu Umar ra memang bukan yang termasuk sahabat nabi, sebab dimasa Ibnu Umar ra (yakni masa sepeninggal Rasulullah saww) terdapat orang-orang Islam yang tidak sempat bertemu dengan Rasulullah saww. Namun saya kembali bertanya, apakah riwayat dari Ibnu Umar ra di atas termasuk hadits yang kita wajib berpegangan dan berpedoman padanya?. Dalam teks riwayat di atas, Ibnu Umar ra sama sekali tidak menyampaikan bahwa apa yang dikatakannya tersebut berasal dari Rasulullah saww, jadi yang mendengarkannya bisa langsung berpendapat bahwa ini adalah pendapat pribadi Ibnu Umar ra. Pertanyaannya, dengan kapasitas apa Ibnu Umar ra bisa menetapkan hukum, bahwa keberadaan sahabat sesaat lebih baik dari amal ibadah si 'kalian' selama empat puluh tahun?. Meskipun Ibnu Umar ra termasuk sahabat nabi lalu apakah beliau berhak menetapkan sesuatu tanpa petunjuk wahyu dan penetapan Rasulullah saww?. Kalaupun pernah ditetapkan Rasulullah seharusnya beliau menyertakan nama Rasulullah ketika menyampaikan riwayat di atas bahwa beliau mendengarnya dari Rasulullah saww. Riwayat di atas dalam ilmu hadits dikategorikan sebagai riwayat yang mursal.
Hadits Kedua:
Dari Uwaim bin Sa'idah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah memilih diriku, lalu memilih untukku para sahabat dan menjadikan mereka sebagai pendamping dan penolong. Maka siapa yang mencela mereka, atasnya laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah Ta'ala tidak akan menerima amal darinya pada hari kiamat, baik yang wajib maupun yang sunnah". HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau berkata: Sanadnya Shahih, dan disepakati oleh az-Dzahabi, III/632. Akan tetapi didhaifkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ad-Dhaifah, no: 3157
Hadits Ketiga:
Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Berhati-hatilah tentang sahabatku, jangan kalian jadikan mereka bahan ejekan sepeninggalanku. Siapa yang mencintai mereka, maka dengan cintaku aku mencintainya. Dan siapa yang membenci mereka maka dengan kebencianku akupun membenci mereka. Siapa yang menyakiti mereka maka sungguh ia telah menyakiti aku. Siapa yang menyakiti aku maka ia telah menyakiti Allah. Dan siapa yang menyakiti Allah, maka pasti Ia akan menyiksanya". (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: Hadits ini Hasan. Akan tetapi Syaikh al-Albani menyatakan dha'if dalam Dha'if at-Tirmidzi no: 808.)
Hadits kedua dan ketiga di atas, dengan adanya penjelasan dari pakar hadits terkemuka, Syaikh Al-Albani bahwa kedua hadits tersebut sanadnya dhaif, maka tidak memberi pengaruh apa-apa dalam penetapan hukum. Karenanya, sangat disayangkan ulama-ulama Ahlus Sunnah menetapkan hukum kekafiran kepada orang-orang yang mencela dan menghina sahabat nabi berlandaskan kepada hadits-hadits yang riwayatnya lemah atau dhaif.
Kedudukan Sahabat dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah sumber referensi yang diyakini autensitasnya oleh seluruh kaum muslimin sebagai rujukan dalam penetapan hukum. Al-Qur'an menyebut dirinya diantaranya sebagai pengingat -al-Dzikr- (Qs. Al-Hijr: 9), pembeda –al-Furqan- (Qs. Ali-Imran: 4) dan penjelas –al-Bayan- (Qs. Al-Baqarah: 185). Karenanya dalam penetapan hukum kita harus lebih dahulu melihat bagaimana pandangan Al-Qur'an tentang suatu hal. Al-Qur'an memuat firman-firman Allah SWT yang suci yang membicarakan banyak hal, tentang para sahabat Rasulullah saww Allah SWT pun tidak luput menceritakannya dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an misalnya menceritakan tentang As-Sabiquna al-Awwalun, pelopor-pelopor pertama dari para Muhajirin dan Anshar (Qs. At-Taubah: 100), Al-Mubayyi'una tahta asy-Syajarah (Qs. Al-Fath: 18), Al-Muhajirun yang diusir dari rumahnya dan dipisahkan hartanya (Qs. Al-Hasyr: 8-10), Ashhabul Fath (Qs. Al-Fath: 29) dan lain-lain yang mendapat kemuliaan dan keridhaan Allah SWT. Namun Allah SWT juga tidak luput untuk menceritakan kelakuan sahabat-sahabat nabi yang sebaliknya. Allah SWT berfirman, "(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah dan Allah melihat apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Ali-Imran: 163)
Ayat Pertama:
"Dan diantara orang-orang Arab yang (tinggal) di sekitarmu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar." (Qs. At-Taubah: 101).
Tim penerjemah Depag RI menerjemahkan al-a'rab sebagai orang-orang Arab Badui, sementara Arab Badui adalah mereka yang tinggal dipebukitan dipinggiran kota Makah dan kehidupannya sangat sederhana dan terbelakang, sementara ayat di atas tertulis jelas adalah orang yang tinggal di sekitar nabi, dan Nabi tinggal dijantung kota Madinah. Orang desa yang bermigrasi kekota dan bermukim disana, tidak bisa lagi disebut sebagai orang desa. Orang-orang Arab Badui juga sangat dikenal dengan kesederhanaan pola pemikirannya, mereka sangat lugu, polos dan jujur. Kisah yang paling masyhur tentang salah seorang Arab Badui adalah yang mengencingi Masjid Nabi, ketika sahabat-sahabat nabi hendak memukulinya, nabi justru menjelaskan dengan lembut bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan. Ayat di atas menceritakan keberadaan orang-orang munafik yang berada disekitar nabi, yang mereka keterlaluan dalam kemunafikannya, artinya sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan sangat lihai menampakkan apa yang tersembunyi di hati-hati mereka, karenanya tidaklah benar jika dinisbahkan kepada orang-orang Arab Badui yang pikirannya sederhana. Artinya orang-orang yang dikatakan munafik itu, mereka menampakkan secara dzahir bahwa mereka juga termasuk orang-orang beriman, melakukan amalan sebagaimana amalan kaum muslimin pada umumnya, mereka shalat berjamaah bersama Rasulullah, berjihad, berzakat dan sebagainya. Saking kerasnya mereka dalam kemunafikannya tidak ada yang mengetahui bahwa mereka sebenarnya orang-orang munafik sebab secara dzahir mereka menampakkan keshalihan hatta –sebagaimana dijelaskan ayat di atas- Rasulullah saww sendiri tidak mengetahui mereka. Karenanya wajar jika kemudian orang-orang mengenali mereka sebagai sahabat-sahabat nabi, bahkan bisa jadi oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah termasuk golongan sahabat nabi yang terkemuka.
Ayat Kedua
Dalam Surah Al-Munafiqun ayat 1 sampai 8. Diceritakan bahwa orang-orang munafik datang dan berkata kepada Rasulullah saww, "Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasul Allah." Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai. Karena orang-orang munafik ini menampakkan keimanan maka sekali lagi mereka dikenal dan diakui termasuk orang-orang beriman dan sahabat-sahabat nabi. Allah SWT berfirman, "Dan apabila engkau melihat mereka, tubuh mereka mengagumkanmu. Dan jika mereka berkata, engkau mendengarkan tutur katanya." (Qs. Al-Munafiqun: 4). Maksud dari "tubuh mereka mengagumkanmu" adalah amalan-amalan dzahir mereka. Mereka tampak benar-benar shalih dan ahli ibadah, ada bekas sujud di dahinya, rambut mereka kusut karena ibadah dan sebagainya, sehingga tubuh-tubuh mereka benar-benar sangat mengagumkan, padahal sebenarnya mereka sebagaimana firman Allah SWT adalah musuh yang sebenarnya.
Karenanya saya tegaskan berkenaan dengan surah Al-Munafiqun ini atau surah At-Taubah ayat 101 di atas, dengan defenisi sahabat dari Ibnu Hajar sangat besar kemungkinannya mereka yang sebenarnya orang-orang munafik yang Allah SWT meminta kita untuk waspada kepada mereka dikategorikan oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah sebagai sahabat-sahabat Rasulullah saww, sebab jangankan mereka (ulama-ulama Ahlus Sunnah) Rasulullah sendiri tidak mengetahui kemunafikan mereka. Yang kemudian ulama-ulama Ahlus Sunnah ini bersepakat jika ada yang mencela yang dalam kategori mereka sebagai sahabat nabi maka akan dikenai hukum, kafir dan keluar dari Islam dan halal darahnya untuk ditumpahkan. Benar-benar merindingkan bulu roma, untuk sesuatu yang sangat tidak jelas hakikatnya mereka bersepakat tanpa keraguan untuk mengeluarkan istinbath hukum. Tidakkah mereka membaca firman Allah SWT, "Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar-benar (berhalangan) dan sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?" (Qs. At-Taubah: 43). Kalau kepada nabi-Nya sendiri Allah SWT bertanya mengapa ada penetapan hukum sebelum jelas bagi nabi Muhammad saww mana diantara yang meminta izin untuk tidak pergi berjihad orang-orang yang benar-benar berhalangan dan orang-orang yang berdusta, maka bagaimana mereka ulama-ulama Ahlus Sunnah bisa menetapkan hukum atas sesuatu yang bagi mereka belum jelas mana diantara sahabat-sahabat nabi yang benar-benar beriman dan mana diantara mereka yang munafik dan mati dengan membawa selubung kemunafikannya itu.
Ayat Ketiga
"Jika (mereka berangkat bersamamu), niscaya mereka tidak akan menambah (kekuatan)mu, malah hanya akan membuat kekacauan, dan mereka tentu bergegas maju kedepan di celah-celah barisanmu untuk mengadakan kekacauan (dibarisanmu); sedang diantara kamu ada orang-orang yang sangat suka mendengarkan (perkataan) mereka. Allah mengetahui orang-orang yang dzalim." (Qs. At-Taubah: 47).
Ayat di atas menceritakan tentang keberadaan orang-orang yang ikut bersama nabi berjihad namun sesungguhnya hanya membuat kekacauan, mereka tidak menambah kekuatan kaum muslimin sebab mereka pada dasarnya ikut berjihad bukan untuk memerangi orang-orang kafir, mereka hanya berlarian kesana-kemari ditengah barisan kaum muslimin, tanpa membunuh seorangpun musuh. Dan sekali lagi, bisa jadi karena mereka ikut berjihad bersama Rasulullah saww dan berada ditengah-tengah barisan kaum muslimin, ulama-ulama Ahlus Sunnah mengkategorikannya sebagai sahabat-sahabat nabi, sebab jangankan mereka (ulama-ulama Ahlus Sunnah) diantara sahabat-sahabat nabi sendiri (yang sebenar-benarnya sahabat) sebagaimana firman Allah SWT di atas, suka mendengarkan perkataan mereka sebab menganggap mereka juga adalah orang-orang yang setia dan berjihad demi keagungan Islam dan kaum muslimin, padahal mereka hanyalah orang-orang yang mengadakan kekacauan pada barisan kaum muslimin, yang kerjaannya dimedan jihad hanya berlarian kesana kemari. Tim Penerjemah Depag RI menerjemahkan اوضعوا dengan "bergegas maju kedepan", dalam kamus bahasa Arab Al-Munjid diartikan berjalan dengan cepat (berlarian) kesana kemari.
Ayat Keempat
"Dan ada pula yang lain, yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. At-Taubah: 102). Ayat ini menceritakan sisi kemanusiaan sahabat-sahabat nabi yang tidak ubahnya dengan kita kaum muslimin di masa kekinian. Diantara mereka juga ada yang shaleh disuatu waktu, dan kembali sesat diwaktu yang lain. Karenanya meskipun dengan keagungan dan keutamaan mereka yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya, kita tetap hatus kritis terhadap mereka, memuji disaat mereka lagi shalih-shalihnya dan berlepas diri dari mereka saat mereka melakukan penyimpangan terhadap sunnah nabi.
Ayat Kelima
"Kemudian, setelah kamu ditimpa kesedihan, Dia menurunkan rasa aman kepadamu (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata, "Adakah sesuatu yang kita perbuat dalam urusan ini?" Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah." Mereka menyembunyikan yang di dalam hatinya apa yang tidak mereka terangkan kepadamu." (Qs. Ali-Imran: 154). Tim Penerjemah Depag RI menafsirkan golongan yang satu sebagai golongan Islam yang kuat keyakinannya, sedangkan golongan yang kedua adalah orang Islam yang masih ragu-ragu. Karenanya jelas, ayat ini menjelaskan keimanan sahabat-sahabat nabi juga bertingkat-tingkat, ada yang telah kuat keimanannya dan masih ada juga diantara mereka yang masih diliputi keraguan meski mereka tumbuh langsung di bawah naungan tarbiyah Rasulullah, melihat langsung mukjizat dan ayat-ayat Allah diturunkan kepada Rasulullah saww. Karenanya, minimal bagi saya, menyamaratakan kedudukan keimanan sahabat-sahabat nabi adalah salah besar. Rahmat A. Rahman menulis pada artikelnya, "Merekalah generasi yang tumbuh langsung di bawah naungan tarbiyah Rasulullah saw. Menyaksikan dan mendengar segala yang berkaitan dengan agama ini langsung dari beliau saw. Karenanya, mereka ibarat menara benderang dalam hal pemahaman akan kebenaran, kelurusan aqidah, kesungguhan ibadah, kemuliaan akhlak dan kesahajaan hidup. Dan semua ini tergores apik dalam tinta emas sajarah peradaban umat. Hingga tidak heran kalau kemudian mereka ditahbis sebagai tonggak penegak kelangsungan ajaran Islam.". Ayat di atas menunjukkan realitas lain, sebab diantara sahabat nabi ada juga yang mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, antara keshalihan dan kebejatan, dan diantara mereka juga masih ada yang memiliki keyakinan kepada Allah SWT sebagaimana prasangkaan orang jahiliah. Karenanya bagaimana bisa ditetapkan secara keseluruhan bahwa mereka tanpa kecuali adalah "ibarat menara benderang dalam hal pemahaman akan kebenaran, kelurusan aqidah, kesungguhan ibadah, kemuliaan akhlak dan kesahajaan hidup".
Ayat Keenam
"(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada siapapun, sedang Rasul (Muhammad) yang berada diantara (kawan-kawan)mu yang lain memanggil kamu (kelompok yang lari), karena itu Allah menimpakan kepadamu kesedihan demi kesedihan, agar kamu tidak bersedih hati lagi terhadap apa yang luput darimu dan terhadap apa yang menimpamu. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan." (Qs. Ali-Imran: 153).
Ayat ini turun di Uhud, tatkala perang berkecamuk antara kaum muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah saww sendiri dengan kaum musyrikin Mekah. Dalam kedahsyatan perang, sebagian sahabat melarikan diri dan tidak lagi menoleh kebelakang meskipun Rasulullah memanggil mereka untuk kembali. Ketidak patuhan mereka terhadap perintah Rasulullah saww menyebabkan kaum muslimin mengalami kekalahan dalam perang ini, sampai Rasulullah saww sendiri penuh luka dan giginya patah (Ibnu Hisyam menuliskan dalam sirahnya siapa saja diantara sahabat yang melarikan diri dalam perang tersebut). Meskipun pada ayat berikutnya (ayat 155 pada surah yang sama) Allah SWT memberikan ampunan dan memaafkan mereka yang lari dan meninggalkan Rasulullah saww, namun ini hanya bisa dipahami bahwa dosa yang diampuni hanyalah dosa larinya mereka pada perang Uhud ini, sebab sesungguhnya kesalahan serupa kembali mereka lakukan pada perang Hunain. Allah SWT berfirman, "Sungguh Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik kebelakang dan lari tunggang langgang." (Qs. At-Taubah : 25). Ayat ini turun berkenaan dengan beberapa sahabat yang pada perang Hunain berbalik kebelakang dan lari tunggang langgang, dan diantara mereka sebagaimana yang ditulis al-Hakim dalam al-Mustadraknya III hal 37 adalah sahabat Abu Bakar (yang dikenal sebagai sahabat paling utama nabi) dan Umar bin Khattab (yang dikenal sebagai pahlawan Islam yang gagah berani). Allah SWT melanjutkan firman-Nya pada ayat ke 27 pada surah yang sama, "Setelah itu Allah menerima taubat orang yang Dia kehendaki. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." Ayat ini memberi penegasan bahwa meskipun yang lari tunggang langgang dari perang Hunain bertaubat, namun belum tentu diterima, sebab Allah hanya menerima taubat orang yang Dia kehendaki.
Allah SWT berfirman, "Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka." (Qs. An-Nisa': 80).
Ayat Ketujuh
"Wahai orang-orang yang beriman! Bersiap siagalah kamu dan majulah (ke medan pertempuran) secara berkelompok atau majulah bersama-sama (serentak). Dan sesungguhnya di antara kamu pasti ada orang yang sangat enggan (ke medan pertempuran). Lalu jika kamu ditimpa musibah dia berkata, "Sungguh, Allah telah memberikan nikmat kepadaku, karena aku tidak ikut berperang bersama mereka." (Qs. An-Nisa': 71-72).
Ayat di atas tidak ada keraguan lagi menceritakan tentang adanya sahabat yang sangat enggan untuk terjun dan maju ke medan pertempuran. Mukhatib (pendengar) dari firman di atas adalah orang-orang beriman di zaman Rasulullah yang artinya dengan menggunakan defenisi Ibnu Hajar, maka ayat di atas ditujukan kepada sahabat-sahabat nabi. 'Sayangnya', secara terus terang Allah SWT menyampaikan bahwa di antara mereka (sahabat nabi) ada yang enggan menuju medan pertempuran. Ayat ini dan ayat ke enam di atas yang menceritakan adanya sahabat yang lari tunggang langgang dari medan jihad, bertentangan dengan pendapat Rahmat A. Rahman ketika menulis tentang sahabat, "Merekalah para pahlawan yang selalu tegar di garda terdepan membela dan menyebarkan agama ini. Melalui tetes keringat dan darah mereka syariat ini abadi. Dan sejarah membuktikan, bahwa ketulusan dan keikhlasan hati mereka mengemban amanah Rasulullah saw itu, menjadikan mereka generasi teladan sepanjang sejarah umat manusia." Dalam surah An-Nisa' ayat 77 diceritakan ada di kalangan mereka yang 'sok jagoan', meminta izin untuk berperang sebelum ada perintah berperang, namun ketika ada pewajiban perang, mereka justru takut kepada musuh seperti takutnya kepada Allah bahkan lebih takut dari itu. Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?".
Pada surah At-Taubah ayat 38 Allah SWT memberi jawaban atas pertanyaan mereka, "Wahai orang-orang yang beriman, (maa lakum) mengapa kamu ini?, bila dikatakan kepada kamu, "Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah", kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit."
Ya, Al-Qur'an mengatakan lain, bahwa pendapat Rahmat A. Rahman tentang sahabat terlalu mengada-ada.
Ayat Kedelapan
"Dan apabila mereka melihat perdagangan dan permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, "Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan," dan Allah pemberi rezeki yang terbaik." (Qs. Al-Jumuah: 11) Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa orang-orang yang beriman sebelum kami. Saya tidak ingin banyak bercerita tentang ayat ini. Ketika Rasulullah berdiri di mimbar dan sedang berkhutbah, sebagian dari mereka meninggalkan Rasulullah dan lebih memilih berdagang dan bermain-main. Dengan melihat dua ayat sebelumnya pada surah yang sama, maka 'mereka' yang dimaksud adalah orang-orang beriman, yang tentu saja termasuk sahabat menurut Ibnu Hajar. Lihat lebih jelasnya penjelasan Imam Suyuthi dalam kitab Ad-Durrul Mantsur, hlm 220, 223.
Ayat Kesembilan
"Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar." (Qs. Al-Fath: 10).
Sayang, ayat ini tidak menjadi perhatian Rahmat A. Rahman ketika memberi penjelasan ayat ke 18 surah Al-Fath yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)". (Qs: al-Fath : 18).
Rahmat A. Rahman menulis, "Ayat ini merupakan dalil yang jelas akan persaksian Allah Ta'ala dan tazkiyah atas para sahabat. Dan ini merupakan bentuk persaksian terhadap apa yang ada dalam hati mereka, sebab Allah-lah yang Maha Mengetahui apa yang terkandung di dalamnya. Dari sini lahirlah keridhaan-Nya atas mereka. Dan siapa yang Allah Ta'ala telah ridha padanya, mustahil mati dalam keadaan kufur. Sebab ukuran utamanya adalah kematian dalam keadaan Islam. Disamping keridhaan itu tidak mungkin terwujud melainkan jika kematian mereka berada di atas agama Islam."
Pertanyaannya, dari manakah Rahmat A. Rahman menetapkan bahwa "siapa yang Allah Ta'ala telah ridha padanya, mustahil mati dalam keadaan kufur. Sebab ukuran utamanya adalah kematian dalam keadaan Islam", sementara Allah SWT dan Rasul-Nya sendiri tidak menetapkan itu?. Kehidupan setiap manusia diciptakan sebagai sarana untuk menguji mereka. Allah SWT berfirman, "Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun." (Qs. Al-Mulk: 2). Proses ujian Allah SWT kepada setiap manusia dimulai ketika akalnya telah mampu membedakan antara yang baik dengan yang batil, dan proses ujian ini terus berkelanjutan dan berakhir dengan kematian. Seorang hamba harus selalu berada dalam ketaatan sampai ajal menjemputnya. Ketika seseorang secara sadar merusak ketaatan itu dan tidak ada upaya untuk kembali pada ketaatan maka akan membuatnya keluar dari Islam dan akan mendatangkan murka-Nya. Keridhaan atau kemurkaan Allah itu terletak pada setiap amal perbuatan manusia, dan pada ayat di atas keridhaan itu hanya diberikan atas mereka ketika berjanji setia kepada nabi Muhammad saww. Seorang yang taat akan mendapatkan keridhaan Allah SWT dan akan selalu mendapatkan keridhaan dengan syarat ketaatan tersebut, namun kemudian seandainya sehari sebelum ajalnya dia kafir kepada Allah dan tidak bertaubat sampai ajal menjemputnya maka sia-sialah segala ketaatannya terdahulu dan mati dengan membawa kemurkaan dari Allah SWT.
Kalau dikatakan, keridhaan Allah atas sahabat yang berjanji setia di bawah pohon berarti mereka mustahil mati dalam keadaan kufur, maka sama halnya telah berarti proses ujian buat mereka. Dengan mengucapkan janji setia kepada Rasul, mereka tidak perlu lagi diuji dalam kehidupan mereka. Jelas ini bertentangan dengan hikmah penciptaan manusia. Allah SWT berfirman, "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, "Kami telah beriman," dan mereka tidak diuji?. Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." (Qs. Al-Ankabut: 2-3). Mereka yang berjanji setia dengan Rasulullah saww di bawah pohon juga tersentil dengan ayat ini. Tidaklah cukup bagi mereka sekedar menyatakan bahwa mereka setia sebelum kesetiaan mereka itu diuji. Keridhaan Allah SWT atas mereka karena kejujuran dan kemantapan iman mereka ketika mengucapkan janji, sebab Allah Maha Mengetahui sisi-sisi terdalam lubuk hati manusia. Keridhaan Allah yang mereka dapatkan bukanlah sebagai jaminan kepastian bahwa mereka akan selalu setia dengan janji mereka dan tidak sekalipun waktu melakukan pelanggaran atas janji yang telah mereka sematkan atas nabi Muhammad saww. Hal ini bisa kita pahami ketika kita merujuk pada ayat lain dalam Kitab Suci Al-Qur'an.
Allah SWT berfirman, "Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar." (Qs. Al-Fath: 10).
Ayat di atas secara terang dan jelas mengatakan, bahwa saking ridhanya Allah kepada mereka yang berjanji setia kepada nabi Muhammad saww, Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka. Namun sekali lagi, keridhaan dan Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka bukanlah jaminan mereka tetap setia pada janji mereka apalagi memastikan bahwa mereka tidak akan mati dalam keadaan kufur, sebab itu Allah SWT melanjutkan firman-Nya, "….maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar."
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, "Maka adakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya di neraka Jahannam? Itulah seburuk-buruk tempat kembali." (Qs. Ali-Imran: 162). Ayat ini lebih jelas lagi memberi keterangan dari pada ayat sebelumnya, bahwa orang yang sebelumnya mendapatkan keridhaan Allah ketika melanggar janjinya akan kembali membawa kemurkaan dari Allah SWT dan tempatnya di neraka Jahannam. Di akhir ayat 55 surah An-Nur tertulis, "…Tetapi barangsiapa kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (Qs. An-Nur: 55).
Di bagian lain Al-Qur'an Allah SWT berfirman, "Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, serta mengakui bahwa Rasul (Muhammad) itu benar-benar (rasul), dan bukti-bukti yang jelas telah sampai kepada mereka? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang dzalim. Mereka itu balasannya ialah ditimpa laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya." (Qs. Ali-Imran: 86-87).
Ayat di atas saya kira sudah cukup meyakinkan kita, bahwa keridhaan yang didapatkan sahabat-sahabat yang berjanji setia di bawah pohon bukanlah keridhaan yang meniscayakan mereka akan selalu setia pada janji mereka, tetap ada kemungkinan suatu waktu mereka berbelot dan menjadi musuh-musuh Islam selanjutnya. Berkenaan dengan sabda Rasulullah saww, "Tidak akan masuk neraka dengan izin Allah seorang-pun yang ikut berbai'at di bawah (pohon)". (HR. Muslim, no. 2496) tetap tidak menunjukkan keniscayaan mutlak, sebab dengan izin Allah hanya bisa dipahami, selagi mereka tetap setia dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam ajaran Islam seseorang yang masuk Islam yang kemudian hari dia kembali kepada kekafiran dan keluar dari Islam maka dihukumi seakan-akan dia tidak pernah masuk Islam, amalan ibadahnya sewaktu menjadi muslim menjadi sia-sia. Begitupun halnya mereka yang berbaiat, yang kemudian hari mencabut baiatnya atau melakukan perbuatan yang menggugurkan baiatnya maka dia terhukumi seakan-akan tidak pernah ikut berbaiat, dan baiatnya tidak bisa menjadi hujjah baginya kelak.
Demikianlah, masih banyak lagi ayat-ayat yang berkenaan dengan sahabat-sahabat nabi dalam Al-Qur'an yang tidak hanya menceritakan keagungan dan kecemerlangan mereka, namun juga secara terus terang menjelaskan bahwa diantara mereka, ada yang lemah imannya, ada yang lari tunggang langgang dari peperangan, enggan ikut berjihad, ada yang mengingkari janjinya dan sebagainya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Karenanya penetapan bahwa seluruh yang dikategorikan sahabat –dengan defenisi Ibnu Hajar- adalah adil dan masuk surga tanpa terkecuali sangat menyimpang dari ajaran-ajaran suci Al-Qur'an. Kedudukan mereka tidaklah berada pada titik derajat yang sama melainkan bertingkat-tingkat, dan kita harus secara jujur mengakui itu. Jangankan para sahabat, diantara Rasul-Rasul Allah saja yang tidak ada lagi keraguan atas keimanan mereka di sisi Allah derajat dan kedudukan mereka satu sama lain tidaklah sama. Allah SWT berfirman, "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang (langsung) Allah berfirman dengannya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat." (Qs. Al-Baqarah: 253). Lalu dari manakah ulama-ulama Ahlus Sunnah itu mengambil keputusan?. Apakah sama keimanan Abu Bakar ra dan Imam Ali as sebagai golongan yang pertama masuk Islam dengan Abu Sufyan dan Muawiyah yang masuk Islam karena kekalahan dan tidak lagi punya pilihan lain?. Apakah sama keimanan sahabat-sahabat yang mengantongi curicullum vitae keagungan jihad bersama Rasulullah di perang Badar, Uhud, Hunain dengan mereka yang masuk Islam setelah Fathul Makah?. Apakah sama mereka yang bersungguh-sungguh berjihad di medan perang demi keagungan Islam dan kaum muslimin dengan mereka yang lari tunggang langgang dari peperangan atau yang sekedar berlarian kesana kemari di tengah-tengah barisan?. Nalar kita dan syariat Islam menegaskan mereka tidaklah sama. Allah SWT berfirman, "(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah dan Allah melihat apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Ali-Imran: 163).
Selanjutnya, jika ada yang mengelak dari kenyataan ini dan berkilah ayat-ayat yag telah saya ajukan berkenaan dengan orang-orang munafik dan bukan untuk para sahabat. Saya mengajukan dua poin penekanan.
Pertama, sebagian dari ayat-ayat yang telah dikemukakan dimulai dengan seruan "Wahai orang-orang beriman..." yang artinya ditujukan kepada orang yang beriman saat itu. Dengan defenisi Ibnu Hajar maka tentu saja mereka terkategorikan sebagai sahabat-sahabat nabi. Kedua, dari mana ulama Ahlus Sunnah bisa memastikan yang mana termasuk sahabat dan yang mana diantara mereka yang munafik?, sementara ayat-ayat sendiri menyebutkan Rasulullah saww dan dikalangan sahabat sendiri tidak mengetahui siapa diantara mereka yang munafik dan yang menyembunyikan kekufuran di hatinya. Untuk dizaman mereka saja, orang-orang munafik itu dikenal sebagai sahabat-sahabat nabi oleh yang lainnya, apalagi untuk zaman sesudahnya. Karenanya sangat besar kemungkinannya, mereka yang sebenarnya munafik dan seharusnya mendapatkan laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya namun oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah dikategorikan sebagai sahabat nabi yang dianggap layak mendapatkan pengagungan dan penghormatan dan kekufuran bagi yang mencela dan menghina mereka.
Untuk itu dalam hal ini perlu kerja tahqiq yang ekstra untuk menyeleksi diantara mereka siapakah yang mu'min sejati dan siapa yang sekedar berpura-pura dan mati tetap di dalam kedustaannya itu. Sejarah mempersembahkan perjalanan kehidupan mereka, kita bisa melakukan pengkajian dan menelusurinya dari situ. Menutup jalan penelitian atas mereka, dengan alasan mereka para sahabat nabi adalah orang-orang yang adil tanpa terkecuali dan meragukan keadilan salah seorang dari mereka adalah kekufuran, kefasiqan, kemunafikan dan bid'ah tentu saja sangat tidak Islami. Ajaran para nabi, dari nabi Adam as sampai nabi Muhammad saww, bertujuan membebaskan manusia dari taqlid buta, kebodohan, keterbelakangan, takhayul, perilaku tidak etis dan pola berpikir yang keliru. Islam sama sekali tidak kompromi dengan pemikiran yang stagnan dan taqlid buta, ikut-ikutan tanpa kitab yang menerangi dan hujjah yang kuat. Justru dengan penjelasan-penjelasan yang beragam, Islam mendorong untuk mencari ilmu, mengembangkan pemikiran, melakukan gugatan-gugatan dan ktitis terhadap budaya dan pemikiran orang-orang terdahulu. Dalam lingkungan ilmiah, harus ada izin bagi tiap orang untuk mengatakan pikirannya, mengizinkan setiap orang untuk berbicara sehingga kebenaran pada akhirnya bisa diungkapkan.
Adakah yang lebih puitis selain berbicara tentang kebenaran?
Bukan begitu?.
(Bersambung)
Ismail Amin
Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran
Tulisan Rahmat A. Rahman bisa dibaca di www.wahdah.or.i

Sahabat Rasulullah saww Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah (2)

-Tanggapan atas Tulisan Rahmat A. Rahman yang berjudul : Sahabat Rasulullah SAW dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah-
-Bagian Terakhir dari Dua Tulisan-
Sahabat dalam Sunnah Nabawiyah

Balonku Ada Lima
Rupa-rupa warnanya
Merah, kuning, kelabu, merah muda dan biru
Meletus balon hijau, duarrr...
Hatiku sangat kacau
Balonku tinggal empat
Kupegang Erat-erat
Lagu ini akan menghantar kita melanjutkan pembahasan. Lagu kanak-kanak ini tak lekang oleh zaman, masih tetap popular hingga kini. Seolah-olah telah menjadi ketentuan umum, wajib mengajarkan lagu ini kepada generasi yang sedang bertumbuh. Saya juga termasuk dalam generasi yang wajib menghafalnya. Namun, sadarkah kita ada yang tidak beres pada matan syair lagu ini?. Teks lagu menyebutkan si aku memiliki 5 balon: merah, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Kemudian meletus balon hijau, yang membuat hati si aku menjadi sangat kacau dan balonnya yang tinggal empat dipegangnya erat-erat. Pertanyaannya, balon hijau itu milik siapa? Sementara si aku memiliki 5 balon yang warnanya tidak ada yang hijau, melainkan merah, kuning, kelabu, merah muda dan biru? Lalu mengapa pula balon hijau yang meletus membuat balon si aku tinggal empat? Sebenarnya balon si aku ada berapa, lima atau enam?.
Bisa jadi si pengarang lagu –yang entah siapa- punya kepentingan memperindah liri lagu dengan memilih kata-kata yang bersuku akhir sama, meskipun itu harus memanipulasi jumlah angka. Dan kitapun tanpa sikap kritis menyanyikan lagu ini dari waktu ke waktu dan mewariskannya pada generasi selanjutnya dan merekapun turut ikut-ikutan menyanyikannya. Dalam istilah syariat sikap ikut-ikutan tanpa daya kritis disebut taklid buta.
Telah banyak ilmu yang telah kita dapatkan, baik dibangku pendidikan formal, lewat pengalaman atau ilmu yang kita gali dan kaji sendiri lewat media-media yang menawarkan pengetahuan, informasi dan wawasan yang beragam. Namun seberapa kritiskah kita terhadap semua itu?. Taklid buta memang harus kita hindari karena tidak sesuai dengan semangat zaman. Namun ada kalanya sesuatu yang telah menjadi tradisi yang mendarah daging sulit untuk kita tentang. Terkadang ada sekian banyak alasan dan kepentingan yang memaksa kita untuk tetap bertaklid buta, meskipun kita sadari sendiri, yang kita pertahankan sebenarnya itu sangat rapuh dan memang layak untuk dicampakkan. Sebut saja salah satunya konsep yang dipertahankan mayoritas ulama-ulama Ahlus Sunnah selama berabad-abad, ash-shahabiy kulluhum ‘udul, bahwa seluruh sahabat nabi adil tanpa terkecuali. Konsep ini berusaha mereka cangkokkan secara paksa dari masa ke masa dalam pikiran setiap muslim, yang mereka bungkus dengan berbagai macam manipulasi dan menyebutnya metode-metode ilmiah dan syar'i.
Pembahasan kita adalah menguji secara ilmiah konsep ash-shahabiy kulluhum ‘udul, bahwa semua sahabat itu baik dan adil, posisi saya menggugat konsep itu. Penggugatan yang saya lakukan bukan berarti saya sedang berusaha menjatuhkan kredibilitas dan merendahkan para sahabat, tetapi mengajak untuk kita mengkaji kembali jejak-jejak perjalanan mereka dan memposisikan mereka sebagaimana mestinya. Sahabat yang setia terhadap perjuangan Islam kita hormati dan muliakan sebagaimana Allah telah memberikan keridhaan kepada mereka dan memberikan penyikapan yang sepantasnya terhadap sahabat yang dalam rekaman sejarah terbukti telah melakukan penyimpangan. Allah SWT pun menjelaskan bahwa kedudukan mereka bertingkat-tingkat dan tidak pantas untuk menyamakan kedudukan mereka semuanya. Pembahasan sebelumnya, saya telah memaparkan sahabat-sahabat Nabi dalam tinjauan ayat-ayat Al-Qur'an. Sekarang akan saya ketengahkan sahabat-sahabat dalam Sunnah Nabawiyah. Saya hanya akan menukil dari kitab-kitab yang juga diakui oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah keshahihan dan kemutawatiran sanadnya.
Hadits Riwayat Bukhari

Syaikhul hadits Imam Bukhari menulis dalam kitab Shahihnya pada bab fi al-Haudh. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda:
"Tatkala aku sedang berdiri, muncullah serombongan orang yang kukenal dan muncul pula seorang laki-laki diantara diriku dan rombongan itu. Lelaki itu berkata, "Halumma (Ayo)!" Aku bertanya, "Kemana?" Ia menjawab, "Ke neraka, demi Allah!" Aku bertanya, "Ada apa dengan mereka?" Ia menjawab: "Mereka berbalik (irtaddu) setelah engkau wafat."
Dari Ibn Musayyab bahwa Nabi (Saw.) bersabda: Sebagian dari sahabatku mendatangiku di Haudh, dan kemudian mereka dipisahkan dari Haudh. Maka aku berkata: Ya Rabbi! Mereka adalah para sahabatku (ashabi), dan mendapat jawaban: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang telah mereka lakukan selepasmu. Sesungguhnya mereka telah berbalik mengingkari sepeninggalmu (inna-hum irtaddu ba ‘da-ka ‘ala Adbari-ka l-Qahqariyy)
Dari Abdullah bahwa Nabi saww bersabda, "Aku akan mendahului kamu di Haudh dan sebagian dari kamu akan dibawa di hadapanku. Kemudian mereka akan dipisahkan jauh dariku. Aku akan bersabda: wahai Tuhanku! Mereka itu adalah para sahabatku (ashabi).Maka dijawab: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas engkau meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdatsu ba‘da-ka)."
Dan beberapa hadits lagi dengan kata-kata serupa yang diriwayatkan dengan jalur sanad yang berbeda, juga pada bab yang sama. Sedangkan pada bab Ghaswah Hudaibiyah, Bukhari meriwayatkan dari al-'Ala bin Musayyib dari ayahnya yang berkata, "Aku bertemu al-Barra bin 'Azib dan aku berseru, "Selamat bagi anda, anda beruntung menjadi sahabat nabi dan anda telah membaiat rasul di bawah pohon, bai'ah tahta syajarah!". Ia menjawab, "Wahai saudaraku, engkau tidak tahu, apa yang kami lakukan sesudah Rasul wafat!".
Dalam bab yang sama, kembali Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dari Rasulullah saw, "Dan sejumlah sahabat mengambil jalan kiri dan aku berseru, "Sahabatku-sahabatku!" dan terdengar jawaban dengan kata-kata, "Mereka tidak pernah berhenti berbalik ingkar sejak berpisah denganmu."
Yang dimaksud Rasulullah saw jalan kiri pada hadits di atas bisa kita temukan pada Surah Al-Waqiah ayat 41-44. Allah SWT berfirman, "…dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu. (Mereka) dalam siksaan angin yang sangat panas dan air yang mendidih, dan naungan asap yang hitam, tidak sejuk dan tidak menyenangkan."
Hadits Riwayat Muslim
Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya, kitab Fadhail. Dari Abi Hazim berkata: Aku telah mendengar Sahlan berkata: Aku telah mendengar Nabi saww bersabda: "Aku akan mendahului kamu di Haudh. Siapa yang melaluinya, dia akan meminumnya. Dan siapa yang meminumnya, dia tidak akan dahaga selama-lamanya. Akan datang kepadaku beberapa orang yang aku mengenali mereka dan mereka mengenaliku (para sahabatku). Kemudian dipisahkan di antaraku dan mereka. Abu Hazim berkata: Nu‘man bin Abi ‘Iyasy telah mendengarnya dan aku telah memberitahu mereka tentang Hadis ini. Maka dia berkata: Adakah anda telah mendengar Sahlan berkata sedemikian? Dia berkata: Ya."
Perawi berkata: "Aku bersaksi bahwa aku telah mendengar Abu Sa‘id al-Khudri berkata Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya mereka itu adalah dariku (inna-hum min-ni). Dan dijawab: "Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas engkau meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdatsu ba‘da-ka). Maka aku (Nabi saw) bersabda, "Jauh! Jauh! (dari rahmat Allah)/ke Neraka mereka yang telah mengubah/menukarkan (hukum Tuhanku dan Sunnahku) selepasku (Suhqan suhqan li-man baddala ba‘di).
Perawi berkata: Asma‘ binti Abu Bakar berkata: Rasulullah saww bersabda: "Sesungguhnya aku akan berada di Haudh sehingga aku melihat mereka yang datang kepadaku dikalangan kamu (man yaridu ‘alayya min-kum). Dan mereka akan ditarik dengan pantas (dariku), maka aku akan bersabda: "Wahai Tuhanku! Mereka itu dari (sahabat)ku dan dari umatku. Dijawab: "Tidakkah engkau tahu apa yang dilakukan oleh mereka selepas engkau meninggalkan mereka (amma sya‘arta ma ‘amilu ba‘da-ka)? Demi Allah, mereka senantiasa berbalik ke belakang (kembali kepada kekafiran) selepas engkau meninggalkan mereka (Wa Llahi! Ma barihu ba‘da-ka yarji‘un ‘ala a‘qabi-him) Dia berkata: Ibn Abi Mulaikah berkata: “ Wahai Tuhanku! Sesungguhnya kami memohon perlindungan dari Mu supaya kami tidak berbalik ke belakang (kembali kepada kekafiran) atau kami difitnahkan tentang agama kami”
Dari Abdillah, Rasulullah (Saw.) bersabda: Aku akan mendahului kamu di Haudh. Dan aku akan bertelaga dengan mereka (aqwaman). Kemudian aku akan menguasai mereka. Maka aku bersabda: Wahai Tuhanku! Mereka itu adalah para sahabatku. Mereka itu adalah para sahabatku (Ya Rabb! Ashabi, ashabi). Lantas dijawab: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas engkau meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdatsu ba‘da-ka)"
Dari Anas bin Malik bahwa Nabi (Saw.) bersabda: "Akan datang kepadaku di Haudh beberapa lelaki (rijalun) dari mereka yang telah bersahabat denganku (mimman sahabani) sehingga aku melihat mereka diangkat kepadaku. Kemudian mereka dipisahkan dariku. Maka aku bersabda: "Ya Rabbi! Mereka adalah para sahabatku. Mereka adalah para sahabatku (Usaihabi) Akan dijawab kepadaku: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas engkau meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdatsu ba‘da-ka)."
Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim di atas dengan jelas menunjukkan bahwa orang-orang yang dikenal oleh Rasulullah sebagai sahabatnya ternyata sepeninggal beliau banyak yang berbalik dan kembali kepada kekafiran. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT, "Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang (murtad), maka ia tidak akan merugikan Allah sedikitpun dan Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.” (Qs. Ali Imran: 144). Allah SWT menegaskan, bahwa orang-orang yang murtad dan kembali kepada kekafiran sepeninggal Rasulullah tidak akan menimbulkan sedikitpun kerugian pada agama Allah dan Allah akan memberi balasan kepada mereka yang bersyukur. Pertanyaannya siapakah mereka yang bersyukur itu? Dan mengapa Allah menggunakan frasa 'orang yang bersyukur' bukan menyebut orang-orang bertakwa, beriman, setia dan sebutan lainnya yang bisa dinilai lebih cocok dengan padanan kata-kata sebelumnya. Frasa 'orang yang bersyukur' tidaklah dipilih Allah SWT tanpa alasan atau secara kebetulan belaka, melainkan untuk menunjukkan realitas bahwa mereka yang tetap pada keimanannya dan tidak berbalik ke belakang (murtad) jumlahnya sedikit, tidaklah banyak. Kita bisa merujuk pada ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an, setiap Allah SWT menyebut orang-orang yang bersyukur selalu disertakan bahwa jumlah mereka sedikit. Seperti misalnya, Allah SWT berfirman, "Sesunggguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur." (Qs. Al-Baqarah: 243). Pada ayat yang lain, "Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur." (Qs. Al-A'raf: 17). Juga pada surah Saba': 13: ”Dan sedikit sekali dari hamba-hambaku yang bersyukur.” Baca juga pada Al-Qur'an surah Al-Mu'min: 61 dan surah Al-Mulk: 23.
Allah SWT berfirman, "Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka." (Qs. An-Nisa': 80).
Karena hadits-hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhari – Muslim sehingga tidak bisa dilemahkan dari segi sanad sebagaimana kebiasaan sebagian ulama-ulama Ahlus Sunnah yang terkadang seenaknya menyebut sebuah hadits palsu atau dhaif karena tidak sesuai dengan pemahaman mereka, maka mereka mencoba menakwilkan maknanya. Saya pernah membaca sebuah postingan artikel -ditulis oleh Dr. Huda Muhsin- yang menukilkan pendapat seorang ulama tentang hadits-hadits di atas dan menyebut bahwa yang berbalik ke belakang dan murtad yang dimaksud pada riwayat tersebut bukanlah sahabat-sahabat nabi melainkan orang-orang munafik. Pada matan hadits sangat jelas, Rasulullah saww menyebut mereka ashabi (sahabatku) sehingga tidak bisa ditakwilkan atau diselewengkan maknanya. Apakah ulama-ulama Ahlus Sunnah lebih mengenal siapa saja yang termasuk sahabat nabi dibanding Rasulullah saww sendiri?. Hadits di atas juga menyebutkan, mereka tidak sekedar murtad dan mengingkari janji namun juga mengubah hukum dan sunnah nabi, sehingga Rasulullah saww berujar, "Suhqan suhqan li-man baddala ba‘di, Jauh! Jauh! (dari rahmat Allah) yang mengubah (sunnah) selepasku".
Setelah tahu kenyataan ini, bahwa banyak diantara mereka yang disebut nabi sebagai sahabatnya sepeninggal beliau justru berbalik kebelakang dan kembali murtad, saya jadi tidak bisa tenang dan dirundung gelisah yang berkepanjangan. Jangan sampai Islam yang kita peluk saat ini justru berasal dari mereka yang murtad itu ataupun dari mereka yang keterlaluan dengan kemunafikannya bahkan sampai mengubah-ubah hukum Allah. Sementara Islam yang diwariskan oleh sahabat-sahabat nabi yang setia terhadap aqidah dan perjuangan Islam diabaikan dan tersingkir secara sosial. Karenanya perlu ada keberanian untuk melakukan pengembaraan intelektual, melepas semua ikatan-ikatan dogma yang membelenggu dan mengubur tradisi klaim yang beku. Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan: "Benturkan pandangan kalian satu sama lain, niscaya kalian temukan kebenaran". Ada semangat besar dalam mencari kebenaran yang terkandung dalam hikmah Imam Ali as ini. Bukan hanya sekedar berdiskusi, berdialog, bertukar pikiran namun juga kalau perlu saling berdebat, saling membenturkan pandangan, sealot dan sekeras mungkin. Imam Ali as melanjutkan pesannya, "Siapa yang bertabrakan dengan kebenaran akan terpental." Mari saling menghantamkan pandangan, kita lihat siapa yang terpental.
Antara Sahabat dan Keutuhan Syariat

Di antara alasan ulama Ahlus Sunnah menyematkan sebutan kafir, fasiq, munafik dan ahli bid'ah kepada mereka yang melakukan penghinaan dan meragukan kredibilitas salah seorang di antara sahabat adalah menyatakan bahwa sahabat yang merupakan penyampai Al-Qur'an dan Sunnah mengandung konsekwensi celaan terhadap keduanya (Al-Qur'an dan Sunnah). Semua golongan Islam apapun mazhabnya (termasuk Syiah) sepakat, yang melakukan celaan kepada Al-Qur'an dan Sunnah adalah kafir dan keluar dari Islam. Lebih lanjut, Rahmat A. Rahman mengajukan argumentasi, "Upaya mendiskreditkan dan menuding Sahabat akan mengakibatkan kita memotong jalur sampainya agama Islam ini kepada generasi setelah mereka termasuk kita. Jika demikian, dari mana sumber kita mengambil agama ini? Al Qur’an pun sampai kepada kita melalui periwayatan sahabat Nabi–Radliyallahuanhum."
Kita bisa menemukan kelemahan pendapat di atas dari berbagai sisi. Pertama, telah dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya bahwa kedudukan sahabat bertingkat-tingkat dan tidaklah sebagaimana yang diklaim Ahlus Sunnah bahwa semuanya adil tanpa terkecuali. Karenanya, kita bisa mengkategorikan sahabat menjadi dua kelompok besar. Yang pertama adalah sahabat istimewa. Mereka adalah orang-orang pilihan yang memiliki keteguhan iman, kekuatan tekad dan senantiasa bersabar terhadap berbagai ujian dan celaan orang-orang kafir sehingga Allah SWT memberikan kemenangan besar kepada mereka. Mereka senantiasa berpegang teguh kepada Allah, menepati janji kesetiaan yang telah disematkan kepada Nabiullah saww, menampakkan kesetiaan dan meninggal tetap dalam kesetiaannya itu. Mereka adalah orang-orang yang lurus secara ijma dan tak ada satupun golongan Islam yang menentang ini. Dan yang kedua, adalah kelompok sahabat yang menyatakan keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya namun memiliki berbagai macam watak yang hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Diantara mereka ada yang lemah imannya, mencampur adukkan antara yang hak dan yang batil, yang enggan berjihad dan bersedekah, bahkan tidak sedikit di kalangan mereka yang munafik. Kelompok kedua ini karena menyatakan keimanannya, turut berjihad meskipun dengan perasaan berat, ikut shalat meskipun dengan rasa malas dan turut bersedekah meskipun sebenarnya sangat kikir menafkahkan hartanya turut dikategorikan sahabat oleh ulama Ahlus Sunnah berdasarkan defenisi yang diajukan Ibnu Hajar. Kalau kelompok Ahlus Sunnah mengatakan, bahwa yang mereka maksud semua sahabat adil adalah kelompok yang pertama -yakni sahabat istimewa- sedangkan kelompok yang kedua tidak dikategorikan sebagai sahabat nabi, mereka harus menyatakan kesediaan untuk medekonstruksi defenisi sahabat. Yang bisa jadi berbunyi, sahabat adalah mereka yang bertemu dan menampakkan keimanannya kepada Rasulullah saww, setia terhadap janji kesetiaan dan dalam perjalanan hidupnya yang dilaporkan sejarah sepeninggal Rasulullah teruji kesetiaannya, tidak melakukan penyimpangan terhadap Al-Qur'an dan sunnah dengan mengubah hukum-hukum Allah dan meninggal dalam keadaan tetap setia kepada Islam. Dalam hal ini kita bersepakat. Bukan defenisi yang menghina akal sehat, fitrah dan hukum syar'i, bahwa meskipun sekedar melihat, berjumpa dengan Rasulullah baik lama maupun sebentar, tanpa harus pernah bermajelis dengan Rasulullah, meriwayatkan hadits atau tidak, turut berjihad atau tidak maka semuanya dikategorikan sahabat nabi yang kemudian mereka semuanya dihukumi orang-orang yang adil tanpa terkecuali. Imbas dari defenisi yang sangat longgar ini, mengakibatkan orang memerangi keluarga Nabi saww ataupun yang telah dilaknat dan diusir Nabi saww dari Madinah atau mereka yang melakukan penyimpangan terhadap sunnah tetap mendapat kehormatan sebagai sahabat Nabi saww.
Mengetahui dimana di antara sahabat nabi yang teruji kesetiaannya sangat penting. Di tangan mereka ajaran Islam teraplikasikan, karena merekalah generasi pertama yang melaksanakan titah langsung Rasulullah saww. Bersama Rasulullah mereka berhijrah, berjuang dan berjihad untuk menegakkan Daulah Islamiyah dan mempersiapkan masyarakat yang melaksanakan syariat Islam dengan baik. Keridhaan mereka seharusnya menjadi keridhaan kita, kebencian mereka seyogyanya juga menjadi kebencian kita. Mengetahui mereka yang teruji kesetiaannya juga dapat membantu kita melakukan penelaahan dan penyelusuran kembali akar permasalahan timbulnya pergolakan dalam Daulah Islamiyah yang terjadi justru pada generasi awal Islam. Dengan demikian kita dapat menentukan dan memilah kepada siapa kita bersandar. Menyatakan dua kelompok besar yang bertikai sepeninggal Rasulllah saww antara kelompok Muawiyah dan Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai dua-duanya kelompok sahabat yang seluruhnya adil sangat membingungkan dan mengacaukan syariat, sebab ini berarti mencampur adukkan antara yang hak dan yang batil. Konsep afdhaliah insan (keistimewaan dalam manusia) merupakan hal penting untuk mengetahui siapa yang lebih utama dan yang lebih layak untuk diikuti.
Pada bagian ini jelas. Kalau kelompok Ahlus Sunnah berada pada titik ekstrim, "Semua sahabat adil tanpa terkecuali", kita tidak berada pada titik ekstrim yang lain yang menyatakan "Semua sahabat murtad/munafik tanpa terkecuali". Islam yang benar terletak di antara kedua titik ekstrim ini. Yakni bahwa ada sahabat yang setia, yang kita agungkan, muliakan, do'akan dan berusaha meneladani mereka pada sisi perjuangan dan semangat keislaman mereka dan dengan perantaraan merekalah kita mengambil agama ini. Selain itu, ada juga sahabat yang kita berlepas diri dari mereka karena penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan, baik ketika Rasulullah saww masih hidup maupun sepeninggal beliau. Karenanya melakukan pengkajian atas mereka, sampai pada tahap melakukan kritikan dan celaan terhadap sahabat yang terbukti melakukan penyimpangan dengan tujuan kaum muslimin terhindar dari perilaku serupa dan tidak menjadikan mereka suri tauladan, tidaklah berarti melakukan celaan terhadap Al-Qur'an dan Sunnah.
Kedua, Al-Qur'an adalah adz-dzikru (pemberi peringatan), dan sunnah adalah penjelasan dan pelaksanaan dari ajaran Al-Qur'an yang dijelaskan, ditaqrir dan dicontohkan oleh Rasulullah saww. Allah SWT telah menjanjikan dan menjamin keutuhan Al-Qur'an sepanjang sejarah dan zaman. Allah SWT berfirman, "Sungguh, Kamilah yang menurunkannya (Al-Qur'an) dan Kamilah yang menjaganya." (Qs. Al-Hijr: 9). Menjaga keutuhan Al-Qur'an adalah jaminan dari Allah SWT dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan sahabat. Islam akan tetap terjaga dan tegak, sekalipun tidak ada yang menjadi saksi dari sahabat Rasulullah sebab Allah lah yang langsung menjadi saksi dan memberikan jaminan atas keutuhan ajaran Islam. Rasulullah saww tidak akan wafat sebelum Allah menyempurnakan ajaran Islam. Allah SWT berfirman, "Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanah-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir." (Qs. Al-Maidah: 67). Tim penerjemah Depag RI memberi catatan kaki mengenai ayat ini, bahwa tidak seorangpun yang dapat membunuh Nabi Muhammad saww. Artinya sebelum Rasulullah saww menyampaikan seluruh syariat yang menjadi amanah dari Allah SWT, beliau akan selalu berada dalam pemeliharaan Allah SWT. Tidak ada yang bisa mencelakakan, menganggu atau sampai membunuh. Rasulullah saww tidak akan meninggal sebelum Allah menyempurnakan agama Islam. Pernyataan bahwa tanpa peran serta sahabat (generasi pertama umat Islam), Islam tidak akan sampai pada kita, salah besar. Sekiranya di zaman Rasulullah abad ke 6 Masehi sampai saat ini tidak ada seorangpun yang menjadi pengikut dan sahabatnya, maka Rasulullah saww sendiri yang langsung menyampaikan agama Islam kepada generasi kita. Dengan kekuasaan-Nya Allah SWT mudah membuat nabi Muhammad saww sebagai utusan-Nya berumur panjang sampai hari ini, sebagaimana Allah SWT memperpanjang usia nabi Nuh as yang berdakwah 950 tahun lamanya. Tegaknya ajaran Islam sama sekali tidak bergantung pada sahabat, ada tidaknya pengikut dan sahabat Nabi, Islam sebagai sebuah ajaran akan tetap ada. Allah SWT menegaskan dengan firman-Nya,"Maka berperanglah engkau (Muhammad) di jalan Allah, engkau tidaklah dibebani melainkan atas dirimu sendiri." (Qs. An-Nisa': 84). Tim penerjemah Depag RI memberi catatan atas ayat ini, "Perintah berperang itu harus dilakukan oleh Nabi Muhammad saww karena yang dibebani adalah dirinya sendiri. Ayat ini berhubungan dengan keengganan sebagian besar orang Madinah untuk ikut berperang bersama Nabi ke Badar. Maka turunlah ayat yang memerintahkan agar nabi Muhammad saww pergi berperang walaupun sendiri saja."
Masih ada keraguan tentang hal ini?. Islam sebagai sebuah ajaran sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan sahabat sebagai pengikut ajaran. Islam adalah akidah Ilahi yang dikehendaki Allah sebagai agama samawi terakhir dan menjadi agama bagi mereka yang taat. Islam berdiri kukuh dengan Al-Qur'an dan Rasulullah (utusan-Nya) dan tidak bergantung pada selainnya. Para sahabat yang mulia mengikuti dakwah Rasulullah saww, menganut Islam dan membantu Rasulullah dalam Daulah Islamiyah yang beliau pimpin. Mereka memang pengikut Islam dan sahabat nabi namun tidak identik dengan Islam atau menjadi bagian dari Islam. Kaum muslimin adalah mereka yang mengikuti ajaran Islam dan mengimaninya. Umat Islam bukanlah Islam itu sendiri. Sungguh berbeda antara akidah dengan pemeluk akidah, antara sahabat Nabi dan Nabi itu sendiri. Tidak bisa disamakan karena keduanya secara dzatiyah berbeda. Al-Qur'an mendapat jaminan langsung dari Allah akan keutuhan dan terjaganya dari penyelewengan. Tidak ada yang mampu menambah atau mengurangi satupun hurufnya, karena Al-Qur'an adalah kalamullah. Pernyataan bahwa seluruh sahabat adil sama sekali tidak menambah kekukuhan kitabullah yang memang telah kukuh, atau menambah penjagaan Al-Qur'an karena memang telah terjaga oleh Allah SWT. Begitupun dengan pernyataan semua sahabat murtad dan berbalik kafir sepeninggal Rasulullah saww tidak serta merta menjadikan Al-Qur'an tercoreng derajat kemutawatirannya atau tidak bisa dipercaya lagi sebagai kitab suci dan Islam -sebagai sebuah ajaran- menjadi artefak yang tak lagi dikenal asal-usulnya. Allah SWT berfirman, "Jika kamu tidak berangkat (untuk berperang), niscaya Allah akan menghukum kamu dengan azab yang pedih dan menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak merugikan-Nya sedikitpun. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. At-Taubah: 39). Pada ayat ini, tiga poin penekanan yang harus diperhatikan. Pertama, Allah SWT menegaskan, sekalipun seluruh sahabat bersepakat tidak ikut berjihad bersama Rasulullah untuk menegakkan ajaran Islam ataupun sekalian tidak ada yang masuk Islam itu tidak merugikan Allah dan Islam sedikitpun. Kedua, Allah akan menggantikan mereka dengan kaum yang lain. Jadi sekalipun seandainya Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Mushab bin Umair, Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair dan lain-lain (radhiallahu anhum) tidak masuk Islam atau masuk Islam lalu kemudian berpaling itu tidak merugikan Allah, Rasul-Nya dan Islam sedikitpun. Sebagaimana firman Allah SWT, telah tersedia kaum (orang-orang) lain yang akan menggantikan kedudukan mereka di sisi Rasulullah saww sekiranya mereka membelot. Poin ketiga, Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu, sehingga secara pribadi keberadaan sahabat-sahabat tidaklah membawa pengaruh kepada kekuasaan Allah SWT. Jasa dan peran serta mereka dalam menumbuhkan Islam adalah bagian dari anugerah dan nikmat dari Allah SWT. Bukan Islam yang bergantung dengan keberadaan mereka. Allah SWT menandaskan, "Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, "Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar." (Qs. Al-Hujurat: 17). Ayat ini juga menyentil kita, generasi muslim saat ini. Kitalah yang butuh pada Islam dan dakwah, bukan Islam yang membutuhkan kita. Jangan sampai ada sangkaan, kalau kita tidak ada, maka Islam juga tidak akan tersampaikan, sama halnya ucapan "Upaya mendiskreditkan dan menuding Sahabat akan mengakibatkan kita memotong jalur sampainya agama Islam ini kepada generasi setelah mereka termasuk kita". Percayalah, tanpa peran serta mereka, Islam akan selalu ada dan akan tersampaikan dengan baik pada setiap masa dan tempat. Kekuasaan Allah tidak bergantung dengan keberadaan mereka. "Illa tanshuruuhu faqad-e nasharahu llahu, Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad) sesungguhnya Allah telah menolongnya…" (Qs. At-Taubah: 40).
Poin di atas hanyalah pemisalan ektrim, sekiranya mereka (yang dikenal selama ini sebagai sahabat-sahabat nabi) tidak ada atau murtad secara keseluruhan, maka itu tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap keutuhan ajaran Islam, sebab Allah SWT yang langsung menjadi penjaga dan penjaminnya. Namun karena sejarah menyodorkan kepada kita kisah-kisah kepahlawanan mereka, Islam tumbuh melalui pengorbanan dan kesyahidan mereka, maka sepatutnyalah kita mencintai, mengagungkan dan memuliakan mereka. Mereka adalah tauladan nyata dalam pengorbanan dan kesetiaan, keberanian dan ketegaran iman. Mereka yang sebenar-benarnya sahabat yang dimaksud dalam firman-firman suci Allah yang tersebar dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Sahabat yang oleh Allah SWT berfirman atas mereka, "Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk dari yang baik." (Qs. Ali-Imran: 179). Ya, Allah SWT bersikap selektif, menyeleksi mereka, menguji mereka, memisahkan yang munafik diantara mereka. Berbeda dengan Ibnu Hajar dan pengikut-pengikutnya yang berpendirian, semua yang bertemu dan beriman kepada Rasulullah adalah sahabat nabi, dan mereka adil secara keseluruhan, tanpa sikap selektif, tanpa ada gugatan, tanpa ada penyeleksian dan yang menyelisihi pendapat ini kafir dan keluar dari Islam. Semoga kita terlindungi dari kenekatan mereka menyalahi aturan Allah SWT.
Ketiga, Pernyataan Al-Qur'an adalah haq, Rasulullah adalah haq dan yang disampaikan oleh Rasulullah saww adalah haq, adalah penyataan yang tak diperselisihkan kebenarannya. Setiap kelompok Islam berupaya menegakkan syiar ini, semua meyakini syariat Islam terdiri atas dua unsur Al-Qur'an sebagai kalamullah dan Rasulullah saww sebagai utusan-Nya yang menetapkan, menjelaskan, mencontohkan dan mentaqrir syariat Ilahi. Sedangkan sahabat adalah generasi muslim pertama yang mengikuti ajaran Islam dan mengimaninya. Keduanya antara Islam dan pengikutnya tidaklah identik. Islam yang memiliki kebenaran mutlak di satu sisi dan pengikut yang memiliki pemahaman tentang Islam yang tidak mutlak kebenarannya berada di sisi lain. Setiap dari sahabat memiliki pemahaman yang berbeda tentang syariat Islam bergantung pada tingkat kemampuan dan kadar keilmuan masing-masing, yang sangat ditentukan oleh besarnya keimanan dan kemampuan menanggalkan kepentingan hawa nafsu. Sejarah menyodorkan realitas antara sahabat yang satu dengan yang lainnya tidak satu dalam pemahaman mengenai apa yang disampaikan oleh Rasulullah atau mengenai ayat yang terdapat dalam Al-Qur'an.
Saya menyodorkan contoh kasus. Sebuah tragedi yang disebut Ibnu Abbas ra sebagai Kamis Kelabu. Kamis, 8 Rabiul Awal 11 H, demam Rasul SAW semakin meninggi. Kediaman beliau dipenuhi beberapa sahabat. Imam Bukhari dalam shahihnya melalui sanad Ubaidillah bin Abdullah dari Ibnu Abbas ra, menceritakan :"Ketika ajal Rasulullah telah hampir, dan di rumah beliau ada beberapa orang, diantara mereka Umar bin Khattab ra, beliau bersabda, 'Mari kutuliskan bagi kamu sebuah surat (wasiat) agar sesudah itu kamu tidak akan pernah sesat.' Namun Umar berkata, 'Nabi telah makin parah sakitnya, sedangkan Al-Qur'an ada pada kalian. Cukuplah kitab Allah bagi kita !'. Maka terjadilah perselisihan di antara yang hadir, dan mereka bertengkar. Sebagian berkata, 'Sediakan apa yang diminta oleh Nabi SAW agar menuliskan bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan. Tetapi sebagian yang lain menguatkan ucapan Umar. Dan ketika keributan dan pertengkaran makin bertambah dihadapan Nabi SAW; beliau memerintahkan 'Keluar kalian dari sini !'."
Hadits ini tak diragukan sedikitpun kesahihannya. Al-Bukhari meriwayatkannya pada bab "Al-Ilmu" (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355.
Riwayat di atas, memberikan gambaran terpecahnya dua golongan sahabat menyikapi permintaan Rasulullah menjelang wafatnya. Golongan pertama, mendukung perkataan Umar bin Khattab, alasannya, Umar adalah salah seorang sahabat Rasul yang sangat loyal dengan Islam, maka alasan Umar menghalangi Rasullah menuliskan wasiatnya karena pertimbangan kesehatan bisa dibenarkan. Lagi pula Al-Qur’an sudah cukup bagi umat untuk menghancurkan kesesatan sehingga tidak perlu lagi tulisan lain, hatta itu berasal dari Rasulullah. Golongan kedua, menentang sikap mereka yang menghalangi Rasul menulis wasiat. Muhammad saww adalah Nabi Allah dan akan tetap menjadi nabi Allah meskipun ajal menjemputnya. Tidak ada alasan sedikitpun bagi seorang muslim menentang perkataan Rasulullah, dengan pertimbangan serasional apapun. Allah SWT berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Pada ayat lain Allah SWT berfirman, “Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak juga keliru, serta ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”
Ibnu Abbas ra menyebut peristiwa ini sebagai Kamis Kelabu. Hadits sahih ini menunjukkan adanya pemahaman yang berbeda antara sahabat dalam memahami hadits Rasul. Dan perbedaan ini meniscayakan adanya pertentangan antara kebenaran dan kebatilan, sebab tidak mungkin keduanya benar. Perselisihan dan pertikaian antar sahabat tidak hanya menjelang wafat Rasulullah namun kemudian semakin menjadi-jadi sepeninggal beliau. Dari khalifah ke dua sampai ke empat mati terbunuh. Semua yang membunuh termasuk muslim juga, kecuali pembunuh Khalifah Umar ra yang katanya seorang Majusi bernama Abu Lu'lu'. Peperangan Jamal, Shiffin dan Nahrawan adalah peperangan besar antara ribuan sahabat dengan sahabat lainnya. (lihat kitab-kitab Tarikh, seperti Taarikhu al-Thabari, Usduh al-Ghabah karangan Ibnu Atsir dan lainnya). Karenanya dari sini pula kita patut melontarkan pertanyaan, kalau perselisihan dikalangan sahabat bukanlah persoalan esensial, lalu mengapa harus ada pertumpahan darah diantara mereka?. Mana kebesaran jiwa para sahabat dalam menyikapi perbedaan sampai harus diatasi dengan logika kekuatan ?.
Berusaha menyelesaikan masalah dengan melontarkan solusi, bahwa pertikaian antar sahabat tidak perlu dipersoalkan sebab seluruh sahabat adil dan mereka secara keseluruhan adalah ahli ijtihad, kalaupun ijtihadnya salah akan tetap berbuah pahala dan tidak mengurangi kredibilitas mereka. Adalah tawaran solusi yang mengada-ada, dan sekali lagi mengacaukan syariat. Masih banyak lagi contoh kasus adanya perbedaan pemahaman sahabat mengenai Islam yang disampaikan oleh Rasulullah saww. Karenanya, saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah melakukan wudhu dan shalat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka. Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda, karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi penukilan yang keliru. Islam (Al-Qur'an dan Sunnah) berada pada satu sisi, dan pemahaman sahabat mengenai keduanya pada sisi lain. Berbeda pemahaman dengan sahabat tidaklah berarti berbeda dengan Islam yang sebenarnya. Apabila seseorang mampu memahami sebuah nash dengan pemahaman tertentu, sementara yang lain memahaminya dengan pemahaman yang berbeda, maka berarti ada tugas lain yang menunggu. Setiap dari dua pihak yang memahami berbeda dari sebuah nash harus berulang kali berupaya kembali memahami kandungan nash tersebut dengan mempertimbangkan pemahaman mereka yang berbeda. Bukan malah menganggap pemahamannyalah yang paling sesuai dengan syariat. Inilah yang sesungguhnya semestinya dilakukan kaum muslimin, bersama-sama melakukan pengkajian terus menerus sampai memperoleh kesepakatan yang satu, sebab nash sesungguhnya hanya mempunyai maksud syar'i yang tunggal yang merupakan maksud Ilahi. Secara sepihak mengklaim diri pemahamannyalah yang paling benar sembari mengutuk dan mencela pemahaman yang lain, menyimpang dari ketentuan ajaran Islam. Islam sebagai akidah Ilahi adalah satu pemahaman, yakni sebagaimana secara mutlak dipahami oleh Rasulullah saww. Adanya perbedaan pemahaman antara sahabat menunjukkan pemahaman mereka bukanlah Islam itu sendiri. Karenanya pekerjaan rumah kita adalah selektif terhadap pemahaman sahabat ataupun yang disebut Shalafush Shalih (tiga generasi terbaik), dimana diantara mereka yang lebih berkesesuaian dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Secara mutlak mengatakan bahwa seorang muslim harus mengimani dan mengamalkan Islam sesuai dengan pemahaman Shalafus Shalih, sembari tetap membiarkan adanya perbedaan dikalangan mereka sama halnya semakin memperpanjang daftar perselisihan.
Pada poin ketiga ini juga menunjukkan –setidaknya oleh saya-, mencela atau mengingkari sahabat yang memiliki pemahaman yang menyimpang dari Islam tidaklah identik dengan pencelaan dan pengingkaran terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Studi Kritis Hadits
Rahmat A. Rahman mengajukan kepada kita beberapa hadits yang katanya menunjukkan keutamaan sahabat yang dengan hadits-hadits tersebut dibuatlah penetapan hukum, ash-shahabiy kulluhum 'udul. Hadits-hadits tersebut tidak lepas dari kritik dan peninjauan kembali. Saya 'malas' mengkajinya dari sisi sanad periwayatan, karena selalu ada pendapat yang berbeda antar ulama mengenai kejujuran seorang perawi, kita kaji saja menurut matannya. Dan kita jadikan Al-Qur'an, sunnah yang lebih shahih, realitas sejarah dan akal sehat sebagai pembandingnya. Mari….
Hadits Pertama:
Dari Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya". HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635. Pertanyaannya, kalau masa sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in adalah sebaik-baik masa tentu tidak akan terjadi fitnah dan perpecahan umat. Kalau mereka semuanya adalah orang-orang terbaik dan pilihan tentu tidak akan terjadi pertumpahan darah di antara mereka, tentu tidak akan ada sahabat yang membunuh sahabat lainnya. Sebab orang adil tidak akan membunuh orang lain yang diharamkan Allah SWT untuk dibunuh. Seandainya seluruh sahabat adil dan masa mereka adalah masa terbaik tentu tidak akan terjadi pembunuhan kepada Imam Ali as dan kedua putranya yang merupakan buah kecintaan Rasulullah, dan juga pembantaian atas ratusan sahabat pada tragedi Al-Harrah. Kalau masa mereka adalah masa terbaik tentu kekhalifaan diserahkan kepada yang terbaik diantara mereka, bukan diserahkan kepada orang yang menyalahgunahkan kekhalifaan dan merubahnya menjadi kerajaan untuk kepentingan keluarganya. Karena sejarah menyodorkan kepada kita kisah tragis, tentang terjadinya peperangan antara dua kelompok besar, kelompok Imam Ali as dan kelompok Muawiyah maka ada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama kedua kelompok ini salah, kemungkinan ini kita tolak karena mereka adalah sahabat nabi, dan (menurut hadits diatas) termasuk generasi terbaik. Kemungkinan kedua, kedua kelompok yang bertikai semuanya benar, kemungkinan inipun kita tolak sebab seandainya mereka semua berada di jalan yang benar, tentu mereka tidak akan berperang dan saling bunuh. Bila terjadi perselisihan pun tentu perselisihan itu tidak akan sampai pada derajat saling bunuh dan bisa diselesaikan dengan syar'i, tanpa harus menumpahkan darah kelompok lain. Bukankah mereka orang-orang yang lebih paham tentang agama ini?. Karena sejarah mempertontonkan diantara kedua kelompok ini terjadi pertumpahan darah yang menyebabkan banyaknya kaum muslimin yang terbunuh, maka kemungkinan yang paling mungkin adalah, diantara kedua kelompok ini ada yang benar dan ada yang salah. Yang harus dijawab juga adalah, kalau masa sahabat, masa sesudahnya dan sesudahnya adalah masa terbaik dalam perjalanan umat Islam mengapa justru fitnah kubra terjadi pada masa mereka?. Sementara setelah masa mereka tidak terjadi fitnah sebesar dan stragis masa mereka. Tolok ukur kebenaran hadits adalah tidak mungkin hadits yang disampaikan Rasulullah saww bertentangan dengan realita yang terjadi. Saya pribadi menyangsikan keshahihan hadits ini. Kalau disuruh memilih saya lebih memilih hadits yang menyatakan, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia yang lain." Ataupun firman Allah SWT, "Sungguh sebaik-baiknya diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa." (Qs. Al-Hujurat: 13).
Hadits Kedua:
Dari Anas ibn Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan semua di neraka kecuali satu”. Mereka bertanya: Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah saw. ? Beliau menjawab: “Yang (mencontoh) kepadaku dan para sahabatku saat ini”. HR. at-Thabrani dalam al-Mu’jam as-Shagir no. 724
Hadits di atas menjelaskan golongan yang selamat adalah mereka yang mencontoh kepada Rasulullah saww dan para sahabatnya. Siapakah sahabat yang dimaksud Rasulullah? apakah mereka yang lemah iman, lari tunggang langgang saat peperangan dan yang berbalik mengingkari janjinya sepeninggal Rasulullah saww?. Tentu saja jawabannya, tidak. Yang dimaksud sahabat oleh Rasulullah adalah mereka yang setia dengan perjuangan dan semangat revolusi Islam dan dalam sejarah terbukti tidak melakukan penyimpangan terhadap sunnah Rasulullah saww. Apakah logis jika yang dimaksud Rasulullah adalah sahabat yang mengubah sunnah sepeninggalnya?. Hadits ini tidak membenarkan pendapat bahwa semua sahabat adil, semua sahabat harus menjadi rujukan pemahaman keislaman, melainkan hanya dikhususkan kepada sahabat yang mematrikan kehidupannya pada ajaran-ajaran Ilahi dan sunnah Rasulullah dan tidak sesaatpun menyimpang darinya. Jika yang dimaksud Rasulullah adalah mencontoh para sahabatnya –sebagaimana definisi Ibnu Hajar- maka sama halnya Rasulullah menginginkan umatnya berpecah belah, sebab tidak ada yang memungkiri adanya perselisihan di antara sahabat dan mereka saling berpecah belah. Karenanya hanya satu kemungkinan, yang dimaksud Rasulullah "para sahabarku" adalah sahabat-sahabat yang benar-benar mencontoh Rasulullah dan tidak menyelisihinya sedikitpun.
Hadits Ketiga:
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu: "Apakah engkau mengetahui, bahwa Allah Ta'ala telah melihat (ke dalam hati) orang-orang yang ikut dalam perang Badar, lalu Ia berfirman: "Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian".HR. al-Bukhari, no. 3983, dan Muslim, no. 2494 Makna hadits ini telah kita kaji pada pembahasan sebelumnya.
Hadits Keempat:
Dari Abu Musa al-Asy'ari radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Bintang-bintang itu penjaga bagi langit, jika ia lenyap maka terjadilah pada langit apa yang telah dijanjikan. Aku adalah penjaga bagi sahabatku, jika aku telah tiada, maka akan terjadi pada sahabatku apa yang dijanjikan. Dan para sahabatku adalah penjaga umat ini, jika mereka tiada, maka akan terjadi pada umat ini apa yang dijanjikan". HR. Muslim, no. 2531
Hadits ini senada dengan hadits berikut:
Hadits Keenam:
Dari Watsilah bin al-Asqa' radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Kalian akan senantiasa berada dalam kebaikan selama masih ada di antara kalian orang yang pernah melihat dan menemaniku. Demi Allah, kalian akan senatiasa berada dalam kebaikan selama masih ada di antara kalian orang yang pernah melihat orang yang melihatku dan berteman dengan orang yang menemaniku". (HR. Ibnu Abi Syaibah, XII/178, Ibnu Abi 'Ashim, II/630, at-Thabarani dalam al-Kabir, XXII/85. Dihasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath, VII/5. al-Hafidz al-Haitsami berkata dalam al-Majma', X/20: Diriwayatkan oleh at-Thabarani melalui beberapa jalur, dan salah satunya melalui perawi-perawi shahih). Saudaraku, apakah dengan ketiadaan orang yang pernah melihat dan menemani Nabi saww di sisi kita adalah kecelakaan bagi umat ini?. Apakah ini jawaban dari keterbelakangan umat Islam, kelemahan iman, kemunduran akhlak dari mayoritas kita karena sudah tidak ada sahabat yang menjadi penjaga umat ini?.
Akh, maafkan saya, kalau lebih memilih firman Allah SWT yang suci dari pada ucapan yang belum terjamin kemutlakannya pernah disabdakan oleh Nabi-Nya. Allah SWT berfirman, "Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran." (Qs. Al-'Asr: 1-3). Ayat ini menegaskan manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka beriman, mengerjakan kebajikan, saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Allah SWT tidak mempersyaratkan harus ada sahabat Nabi di antara kita untuk senantiasa berada dalam kebaikan. Bagi yang meyakini keshahihan hadits di atas, silahkan menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah ketika umat lain bertanya, "Mengapa umat Islam saat ini tidak pernah bisa maju-maju, terbelakang dan tahunya mengekor saja." Jawab saja, "Karena tidak ada lagi sahabat yang menjadi penjaga umat ini, sebab kami tidak lagi berada dalam kebaikan, sahabat Nabi telah meninggalkan kami sejak 1300 tahun lalu." Syukur-syukur, jika mereka ketika mendengar jawaban ini tidak menertawakan. "Dan mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (Qs. Ali-Imran: 54).
Hadits Kelima:
Dari Umar bin al-Khattab radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Muliakanlah para sahabatku, karena sesungguhnya mereka adalah (generasi) terbaik kalian". HR. Abdun Ibnu Humaid dan al-Hakim dengan sanad Shahih. Lihat Misykat al-Mashabih, Syaikh al-Albani, III/1695 Saya tidak habis pikir, ketika menyabdakan ini Rasulullah berbicara dengan siapa?. Bukankah yang menjadi mukhatib (pendengar) langsung adalah sahabat sendiri, termasuk Umar bin Khattab ra yang meriwayatkan hadits ini. Ataukah hadits ini menunjukkan Umar bin Khattab ra bukan sahabat nabi, sehingga Rasulullah saww memesankan kepada beliau untuk memuliakan para sahabatnya?. Kalau pesan Rasul ini diperuntukkan kepada generasi setelah sahabat termasuk generasi kita, seharusnya teks hadits tersebut tidak seperti itu. Minimal berbunyi, "Sampaikan kepada generasi setelah kalian (sahabatku), bahwa mereka harus memuliakan kalian, karena kalian adalah generasi terbaik mereka." Problem semantik lainnya dari hadits ini, kalau generasi sahabat adalah generasi terbaik, maka kita sekarang ini sebagai generasi apa?. Bukankah semakin jauh jarak dengan generasi terbaik maka semakin jauh pula pada kebaikan?. Bisakah kita menerima bahwa umat Islam sesungguhnya mengalami evolusi regressif, makin hari makin mundur dan bukannya evolusi progressif, makin hari makin menuju kesempurnaan?. Saya pribadi menolaknya, sebab saya yakin suatu waktu umat Islam mencapai puncak kegemilangan peradaban. Itu pasti, dan umat Islam saat ini menuju kesana, meski dengan merangkak sekalipun.
Hadits Ketujuh:
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tanda iman itu cinta kepada kaum Anshar dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar". (HR. al-Bukhari, no. 3500, dan Muslim, no. 74). Di dalam beberapa riwayat bahkan disebutkan secara eksplisit jaminan syurga kepada banyak sahabat, seperti yang disebut dalam hadits riwayat Imam at-Tirmidzi no. 4112 dan selainnya: bersabda: “Abu Bakar di syurga, Umar di syurga, Utsman di syurga, Ali di syurga, Thalhah di syurga, Zubair di syurga, Abdurahman ibn Auf di syurga, Sa’ad (ibn Abi Waqqash) di syurga, Said (ibn Zaid ibn Amru ibn Nufail) di syurga, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah di syurga” Saya tidak menolak hadits ini. Kaum Anshar adalah kaum yang banyak memberikan kontribusi besar terhadap tumbuh berkembangnya Islam, dan menjadi perintis terbentuknya Daulah Islamiyah. Kita wajib mencintai mereka sebagaimana layaknya kecintaan kepada saudara-saudara kita seiman. Namun apakah yang dimaksud kaum Anshar dalam hadits Rasulullah tersebut yang kita wajib mencintainya adalah keseluruhan kaum Anshar tanpa terkecuali?. Berdasarkan firman suci Allah SWT, "Dan diantara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya." (Qs. At-Taubah: 101) tentu saja yang dimaksud Rasulullah tidak semua kaum Anshar, sebab di antara mereka ada yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Lalu bagaimana hadits ini bisa menjadi referensi penetapan hukum bahwa semua sahabat adil dan wajib mencintainya dan yang membencinya adalah tanda kemunafikan sementara diantara mereka ada yang munafik?. Begitupun dengan riwayat yang menyebutkan secara eksplisit jaminan surga kepada banyak sahabat. Apakah riwayat-riwayat tersebut serta merta membenarkan pernyataan semua sahabat adalah ahli surga dan tak ada satupun yang ke neraka?.
Allah SWT bertanya, "…Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimana kamu mengambil keputusan?" (Qs. Yunus : 35)
Menimbang Kejujuran Ulama Ahlus Sunnah
Selanjutnya kita lihat fatwa-fatwa beberapa ulama Ahlus Sunnah yang menetapkan hukum bagi mereka yang mencela dan menghina sahabat. Imam Malik rahimahullah berkata: “Mereka yang membenci para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang-orang kafir”.(Tafsir al-Qur'an al-Adzim, Ibnu Katsir V/367-368.) Dengan fatwa ini, mari, mulai sekarang kita menetapkan kekafiran untuk Muawiyah dan anaknya Yazid. Apakah Muawiyah bin Abu Sufyan yang mengangkat senjata memerangi Imam Ali as -yang tercatat sebagai sahabat nabi dan Ahlul Bait beliau- dan memerintahkan kepada pengikut-pengikutnya untuk melaknat Imam Ali as di mimbar-mimbar masjid dengan semangat kecintaan dan bukan kebencian?. Ammar bin Yasir ra salah seorang sahabat nabi yang utama dan mulia terbunuh pada perang Siffin ditangan Muawiyah dan tentaranya. Dengan motivasi apa Yazid bin Muawiyah memerintahkan Muslim bin Uqbah dan bala tentaranya untuk menyerang kota Madinah dan menghalalkan mereka berbuat apa saja terhadap penduduk Madinah selama tiga hari?. Tragedi ini dikenal dengan sebutan Tragedi Al-Harrah yang mengakibatkan terbunuhnya sekitar tujuh ratus tokoh sahabat dari Muhajirin dan Anshar. Sayangnya, fatwa ini tidak untuk Muawiyah dan anaknya Yazid. Dengan hadits yang dibuat-buat, Muawiyah justru dikenal sebagai penulis wahyu Rasulullah, sahabat yang di do'akan Rasulullah saww akan senantiasa berada dalam petunjuk dan mampu memberi petunjuk dan akhirnya menjadi khalifah atas kaum muslimin dan kekafiran bagi mereka yang melaknatnya. Sedangkan Adz-Dzahabi berkata tentang Yazid, "Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya." Dan menurut mereka, selesailah persoalan.
Kita lihat fatwa berikutnya.
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: Wajib atas pemerintah memberi hukuman dan siksaan serta tidak boleh memberi maaf baginya (penghina sahabat). Bahkan harus menegakkan hukum dan memaksanya untuk bertaubat.(As-Sunnah, Ahmad bin Hambal, hal: 78, Tahqiq: Syaikh al-Albani, al-Maktab al-Islami, Beirut, th. 1400 H / 1980 M. ) al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Menghina salah satu dari mereka (sahabat) merupakan dosa besar. Menurut kami dan jumhur ulama, bahwa orang yang melakukan demikian pantas mendapat ta’ziir (hukuman setimpal menurut kebijaksanaan hakim). (Al-Syifa Bi Ta'riifi Huquq al-Mushtafa, II/653, tahqiq: Muhammad Amin Qurrah Ali, Muassassah Ulum al-Qur'an, Damaskus.) Imam Ahmad bin Hambal dan al-Qadhi 'Iyadh mengeluarkan fatwa bahwa pemerintah dan hakim wajib memberikan hukum yang setimpal kepada mereka yang menghina sahabat nabi. Sekali lagi, ketika berhadapan dengan pemerintahan Muawiyah dan Yazid mereka hanya bungkam seribu bahasa. Di masa pemerintahan Muawiyah, Imam Hasan as ditemukan tergeletak tak bernyawa di rumahnya, penyebab kematiannya adalah racun yang menghancurkan ulu hatinya. Tak ada upaya dari Muawiyah selaku khalifah dan pemerintah saat itu untuk mengusut tuntas kasus ini, bahkan wasiat terakhir Imam Hasan as untuk dimakamkan di sisi makam Rasulullah saww kakeknya, tidak digubris khalifah dan dimakamkan di pemakaman Baqi. Sesuai fatwa Imam Ahmad bin Hambal wajib bagi Muawiyah menegakkan hukum dan memberi hukuman dan siksaan bagi pembunuh Imam Hasan as. Sebab pembunuhan lebih kejam dari penghinaan. Ataukah fatwa tersebut hanya berkenaan dengan penghinaan dan tidak untuk pembunuhan?. Mengapa tidak ada gugatan atas Muawiyah mengenai hal ini?. Apakah fatwa Imam Ahmad ini hanya berlaku untuk masa beliau dan sesudahnya dan tidak untuk masa sebelumnya. Bagi saya berpedoman dengan keputusan hukum Imam Ahmad, kita wajib melakukan gugatan kepada Muawiyah yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagai khalifah yang berkewajiban melindungi warganya. Melaknatnya kalau perlu dan tidak boleh memberi maaf baginya. Soeharto sampai hari ini –meski telah berkalang tanah- terus mendapat penggugatan dan diminta untuk diadili, karena ia mewariskan sepah-sepah kekejian. Ia harus bertanggungjawab atas pembantaian jutaan warga yang diduganya PKI, pembantaian kaum muslimin di Tanjung Priok, Lampung, Aceh dan telah menyeret bangsa ini kekubangan krisis yang menanggung tumpukan hutang luar negeri. Apakah kita rela, jika dengan kezaliman-kezaliman ini Soeharto bukannya mendapat hukuman malah mendapat gelar sebagai pahlawan nasional dan diagungkan?. Begitu juga pada masa pemerintahaan Yazid bin Muawiyah. Karbala mengisahkan tragedi berdarah dan menjadi saksi atas tertumpahnya darah dari keluarga suci Rasulullah dan beberapa sahabatnya yang setia. Yazid tidak memberi hukuman kepada Ubaidillah bin Ziyad kalaupun memang Yazid tidak ridha dengan tindakan gubernurnya itu. Bahkan selanjutnya lebih banyak lagi sahabat yang dibantai di Madinah dengan perintahnya. Mengapa para mufti kita ini melewatkan peristiwa ini begitu saja, dan tidak ada sama sekali kecaman kepada Muawiyah dan Yazid selaku khalifah yang sewenang-wenang dan dzalim dengan kekuasaannya. Allah SWT berfirman, "Ingatlah, laknat Allah ditimpakan atas orang-orang yang dzalim." (Qs. Hud: 18). Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Kabair hal. 352-353: “Barangsiapa yang mencaci dan menghina mereka (para shahabat), maka sungguh ia telah keluar dari agama Islam dan merusak kaum muslimin."
Benar, Muawiyah dan Yazid tidak sekedar menghina sahabat-sahabat nabi, namun juga sampai tingkat memerangi dan membunuhnya. Karenanya keduanya telah keluar dari Islam dan merusak kaum muslimin. Kalau dikatakan hukum ini tidak untuk Muawiyah karena dia juga sahabat nabi, apakah ini berarti sesama sahabat tidak apa-apa saling menghina dan saling berperang?. Lalu mana konklusinya dengan perintah kita harus ikut sahabat dalam iman dan amal?. Kalau sesama sahabat saling meghina, bukankah kita juga harus saling menghina?. Mereka mewariskan sunnah saling menumpahkan darah di antara mereka, mari kita saling berperang, sebagai ketaatan kita kepada hadits, "Yang selamat ialah orang yang mengikuti apa yang Aku lakukan dan dilakukan oleh sahabatku" (HR. Tirmidzi). Atau mari kita menyatakan perang terhadap Muawiyah, ajaran-ajaran dan pengagum-pengagumnya sebagaimana Imam Ali as memeranginya. Bukankah ada titah Rasulullah, "Sesungguhnya siapa yang hidup (lama) diantara kamu, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka ikutilah sunnahku, dan sunnah Khulafaur Raasyidin yang mendapat petunjuk". (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi). Dan tidak ada perselisihan sedikitpun bahwa diantara mereka yang termasuk Khulafaur Raasyidin adalah Imam Ali as, dan Muawiyah sama sekali tidak terhitung. Salah satu sunnah Imam Ali as selaku Khulafaur Raasyidin, adalah memerangi Muawiyah. Saya yakin, sekiranya sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan (Radiyallahu anhum) masih hidup ketika perang berkecamuk antara pasukan Imam Ali as dan Muawiyah, nisacaya ketiga sahabat yang mulia ini akan berada pada barisan Imam Ali as.
Saya perlu menyertakan juga contoh lain. Dalam at-Tabaqot al-Kubra Jil:4 Hal:335, Siar a’alam an-Nubala’ Jil:2 Hal: 612, kita akan menemukan perselisihan tajam antara khalifah Umar ra dan Abu Hurairah. Umar bin Khattab berkata kepada Abu Hurairah “Wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya, engkau telah mencuri harta Allah”? (ya ‘aduwallah wa ‘aduwa kitabihi saraqta maalallah). Kecaman keras Umar bin Khattab ra ini karena betapa mudahnya Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadits, ia seenaknya menetapkan hukum dengan menisbahkannya kepada Rasulullah saww. Khalifah Umar mengecam Abu Hurairah dan menyebutnya sebagai musuh Allah. Berdasarkan fatwa mayoritas ulama Ahlus Sunnah, apakah kecaman khalifah Umar ra terhadap Abu Hurairah yang terhitung sebagai sahabat nabi menyebabkan kekafirannya?. Kalau dikatakan tidak, sebab Umar bin Khattab ra adalah juga sahabat nabi, lalu apakah saya bisa disalahkan ketika saya selektif dan curiga terhadap setiap hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahkan memberikan kecaman keras sebagaimana yang dilakukan khalifah Umar ra?. Bukankah Umar bin Khattab ra adalah salah seorang yang tercatat sebagai Khulafaur Raasyidin?. Benar-benar kontradiksi yang sangat akut.
Suatu hari, Abu Hurairah meriwayatkan satu hadis dengan mengucapkan: “Kekasihku (Rasulullah saww) telah berbicara kepadaku…”, lantas Imam Ali as berkata: “Sejak kapan beliau menjadi kekasihmu?” (al-Matholib al-Aliyah Jil:9 Hal:205)
al-Qadhi Abu Ya'la rahimahullah berkata: Yang merupakan pendapat para fuqaha (ahli Fiqhi Islam) tentang hukum menghina sahabat: Jika ia menghalalkan perbuatan tersebut maka ia kafir, namun jika tidak menghalalkan maka ia fasiq. (Hukmu Sabbi as-Shahabah, Ibnu Taimiyah, hal: 33.) Fatwa ini menyatakan bahwa yang menghalalkan penghinaan terhadap sahabat maka kafir. Karenanya berdasarkan fatwa ini, bagi mereka yang menghalalkan perbuatan Muawiyah dan Yazid terlebih lagi mencari-cari dalih untuk membenarkan mereka, maka kafir. "Ya Allah lindungilah kami dari kekafiran dan dari menghalalkan perbuatan mereka yang menghina, memerangi dan membunuh sahabat nabi-Mu."
Renungan
Di akhir tulisannya, Rahmat A. Rahman memberi renungan dengan menulis, "Generasi terbaik setiap nabi adalah sahabat-sahabat mereka, generasi terbaik Nabi Musa adalah sahabat dekat beliau, generasi terbaik Nabi Isa adalah kaum hawariyyun dan mereka adalah sahabat dekat beliau, maka bagaimana mungkin tuduhan kaum Syiah bahwa sebagian besar sahabat-sahabat Rasulullah saw. adalah kafir dan murtad sepeninggal beliau dapat diterima agama dan akal sehat ? Allahul Musta’an."
Sebuah renungan yang bijak. Namun apakah sesuai dengan kenyataan?. Kebanyakan ajaran-ajaran Nabi justru dirusak oleh sebagian dari sahabat-sahabat mereka. Samiri sebagai salah seorang sahabat terdekat Nabi Musa as dan dikenal sebagai tokoh terkemuka dikalangan Bani Israel, melakukan pengkhianatan dengan menyesatkan umat nabi Musa as. Samiri membuat patung anak sapi dari emas dan mengatakan, "Inilah Tuhanmu dan Tuhannya Musa, tetapi dia (Musa) telah lupa." (baca Qs. Taha: 88). Karena dekatnya kedudukan Samiri di sisi Musa dan karena ketokohannya, Bani Israel menganggap apa yang dikatakan Samiri berarti juga apa yang dikatakan Nabi Musa as. Mereka pun menuruti perkataan Samiri dan menyembah patung anak sapi tersebut. Mengetahui kenyataan ini, nabi Musa as kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Kaumnya berdalih, "Kami tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, …Samiri melakukannya, maka kami juga melakukannya."(baca Qs. Taha: 87). Perhatikan, nabi Musa as masih berada di tengah-tengah mereka, namun mereka telah berani mengubah-ubah ajarannya dengan pengubahan yang justru sangat bertolak belakang dengan nilai ketauhidan yang menjadi spirit ajaran nabi Musa as. Maka tidak heran, sepeninggal nabi Musa as, ajaran nabi Musa as tidak lagi dikenal sebagai ajaran tauhid dan Taurat mereka ubah sesuka hati mereka. Hanya sedikit dari kalangan mereka yang tetap setia dengan ajaran nabi Musa as, itupun tersingkirkan dan terpinggirkan. Diantaranya yang kisahnya sangat ma'ruf adalah Ashabul Kahfi, yang hanya berjumlah sekitar tujuh orang (Allah SWT yang lebih mengetahui jumlah pastinya), mereka adalah pemuda-pemuda yang harus tersingkir dan berlindung di dalam gua untuk mempertahankan aqidah mereka.
Nabi Isa as juga mengalami hal serupa. Yudas dikenal sebagai murid Nabi Isa as yang terbaik dari kalangan hawariyyun. Namun justru Yudas lah yang menunjukkan kepada tentara Romawi yang mencari dan ingin membunuh Nabi Isa as yang tidak mereka kenal. Dengan petunjuk itu, Nabi Isa as ditangkap dan dibawa ke hadapan Sanhendrin, Dewan Pengadilan Yahudi yang memutuskan Nabi Isa as harus disalib karena telah menghujat Tuhan. Dengan kekuasaan Allah SWT sebenarnya bukanlah Nabi Isa as yang disalib, melainkan Yudas -sang pengkhianat- sendiri yang diserupakan wajahnya dengan Nabi Isa as. Tentang ini Allah SWT berfirman, "dan (Kami hukum juga) karena ucapan mereka, "Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa." (Qs. An-Nisa': 157). Dan selanjutnya, Injil, kitab suci yang dibawa Nabi Isa as juga mengalami nasib serupa dengan Taurat. Saya ingin bertanya, siapa yang lebih mampu mengotak-atik ajaran Taurat dan Injil dan menyesatkan kaum Yahudi dan Nashrani dari ajaran tauhid?. Apakah musuh-musuh Nabi (yang kafir dan musyrik) bisa melakukannya dan kemudian mengajak kaum Yahudi dan Nashrani untuk meyakininya sebagai ajaran Nabi?. Yang bisa melakukannya hanyalah mereka yang dikenal sebagai orang terdekat Nabi as, mereka diyakini sebagai orang yang paling paham tentang ajaran Nabi as, sehingga sepeninggal Nabi as mereka dijadikan sumber rujukan. Sayangnya, pengkhianat dan kaum munafik selalu ada. Mereka ada dimana saja, tanpa memilih ras, suku dan agama. Mereka bisa muncul dikalangan Budha, Hindu, Kristen ataupun Islam, Sunni maupun Syiah. Di Arab, Eropa, Asia atau di Afrika, masa lalu, sekarang dan nanti. Munafik adalah mereka yang mencium tangan pemimpinnya karena belum punya kesempatan untuk menggigit. Dan disaat menggigit, mereka disebut pengkhianat. Orang-orang munafik dan pengkhianat, juga ada terselip diantara sahabat-sahabat terbaik nabi Muhammad saww. Berbeda dengan dua kitab samawi sebelumnya, Al-Qur'an sebagai kitab terakhir mendapat penjagaan ketat dari Allah SWT dari penyelewengan dan penyimpangan, maka satu-satunya cara untuk mengubah-ubah ajaran nabi adalah melalui sunnahnya.
Ulama-ulama dari kalangan Yahudi dan Nashrani disebut sebagai Ahlul Kitab karena penguasaan mereka terhadap kitab-kitab Allah SWT, yang dengan itu mereka mudah melakukan apa saja terhadap Taurat dan Injil. Mayoritas dari Ahlul Kitab, jika ayat-ayat dalam al-Kitab sesuai dengan keinginan mereka, mereka pertahankan dan jika tidak, mereka ubah sesuai hawa nafsu mereka. Ulama-ulama dari kalangan umat Islam, tidak bisa menyebut diri mereka sebagai Ahlul Kitab, karena mereka tidak memiliki penguasaan terhadap al-Kitab (baca: Al-Qur'an). Karena itu mereka menyebut diri sebagai ulama Ahlus Sunnah. Dengan penguasaan mereka terhadap sunnah nabi, mereka mudah melakukan apa saja. Mengkafirkan, menuduh, mengucilkan, memboikot dan memerangi. Sehingga 'Ashabul Kahfi' umat ini pun harus tersingkir dan berlindung dalam gua.
Ayat ini semoga bisa menjadi renungan. Untuk Ahlul Kitab, Ahlus Sunnah dan siapa saja. Allah SWT berfirman, ""Wahai Ahlul Kitab! Mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui (kebenarannya)?, Wahai Ahlul Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan, dan kamu menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui." (Qs. Ali-Imran: 70-71).
"Les to’a serbet", sebuah pepatah Perancis,"Sejarah selalu berulang".
Selesai di tulis di Qom, 17 Safar 1429 H/ 25 Bahman 1387 HS/ 13 Februari 2009 M.
Hormat Saya
Ismail Amin
Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran
Catatan tambahan: Rahmat A. Rahman menukil dalam artikelnya riwayat-riwayat dalam kitab-kitab Syiah yang mencela dan menghina sahabat. Saya merasa tidak perlu menanggapinya, sebab Rahmat A. Rahman sendiri meyakini orang-orang Syiah adalah orang-orang yang paling keterlaluan dalam berdusta. Jadi sebenarnya buat apa dinukil, bukankah itu hanyalah tebaran kedustaan?.
Tulisan Rahmat A. Rahman di muat di http://www.wahdah.or.id/