22 Desember, 2009
Revolusi Al-Husain, Inspirasi yang Tak Pernah Habis
19 Desember, 2009
Studi Kritis Hadits “Kurun Generasi Terbaik”
Berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim di atas, ada tiga kelompok yang merupakan sebaik-baik manusia, yang hidup sezaman dengan Nabi saww yakni para sahabat, zaman setelahnya yakni tabi’in dan zaman setelahnya lagi, yakni generasi tabi’ut tabi’in. Inilah di antara hadits yang biasa digunakan kaum salafiyun dalam mendakwahkan pemahaman dan keyakinan Islam mereka. Dengan berlandaskan hadits ini pula dibuatlah teori baru mengenai bid’ah, bahwa bid’ah adalah apa-apa yang tidak ada pada tiga kurun setelah wafatnya Nabiullah Muhammad saww. Mereka senantiasa berargumentasi, bahwa apapun yang dianggap baik bagi agama ini, maka tiga generasi tersebut niscaya akan lebih dahulu melakukannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia, mereka memiliki pemahaman agama yang hanif, bersih dan lebih mendalam dibanding generas-generasi Islam setelahnya. Karenanya suatu kewajiban, pemahaman dan pendapat apapun mengenai agama ini harus merujuk kepada pemahaman ketiga generasi terbaik tersebut.
Sebagai bentuk kecintaan kepada agama ini yang telah disampaikan dan didakwahkan oleh Nabiullah Muhammad saww, adalah suatu keharusan sejarah untuk senantiasa kritis dan tak berhenti melakukan tahqiq (penelitian) yang serius dan mendalam terhadap apapun yang dianggap bagian dari agama ini, termasuk terhadap hadits-hadits yang dikatakan dari Nabi yang merupakan diantara rujukan umat Islam dalam beraqidah dan beramal. Menelusuri keshahihan sebuah hadits melalui penelusuran sanad dan kejujuran para perawi adalah salah satu di antara metode yang digunakan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari anasir-anasir yang ingin mencemarinya. Namun tidak pula bisa diabaikan kenyataan sejarah menjadi salah satu tolok ukur keshahihan dan kebenaran sebuah hadits, bahwa Nabiullah saww tidak berbicara dan bersabda berdasarkan hawa nafsu belaka, apa yang beliau sabdakan berasal dari petunjuk Allah swt yang Maha Mengetahui keadaan. Karenanya bisa ditetapkan, bahwa apapun yang disampaikan dan dinubuatkan oleh Nabi akan terbukti dan dipersembahkan oleh kenyataan sejarah. Dengan metode ini kita akan melakukan peninjauan kembali terhadap hadits di atas, benarkah tiga kurun generasi yang katanya disebutkan oleh Nabi saww tersebut adalah generasi terbaik?.
Kriteria Generasi Terbaik
Permasalahan mendasar yang mesti kita ajukan sebagai pertanyaan, adalah apa yang dijadikan standar dan kriteria sebuah generasi dikatakan terbaik atau terburuk?. Ada tiga tolok ukur asumtif yang biasa diajukan kaum salaf dalam memberikan atribut baik buruknya sebuah generasi.
Pertama, sebuah generasi disebut terbaik karena tidak adanya perselisihan di antara mereka dalam masalah ushuluddin dan aqidah. Kedua, karena mereka hidup dalam kondisi yang aman, tentram, sejahtera dan penuh dengan rasa persaudaraan. Ketiga, karena mereka menunjukkan loyalitas terbaik terhadap cita-cita agama dan merealisasikannya dalam tataran implementasi. Mereka gigih menuntut ilmu, berdakwah dan berjihad demi bertumbuh dan tersebarnya ajaran agama ini.
Namun ketika ketiga kriteria asumtif tersebut kita gunakan untuk membuktikan terbaiknya tiga generasi pasca wafatnya Rasulullah saww, sayangnya tidak satupun dari ketiganya yang membenarkan hadits tersebut, bahkan oleh Al-Qur’an sendiri dan kontradiktif dengan hadits Nabi lainnya.
Jika tolok ukurnya adalah akidah yang shahih dan bersih, maka sebuah keniscayaan ketiga generasi yang dikatakan terbaik, orang-orang muslim semuanya akan berpegang teguh pada satu akidah yang benar sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saww, dan akidah yang batil dan menyimpang baru akan muncul dan lahir setelah tiga generasi terbaik tersebut. Namun sejarah lahirnya beragam sekte, firqah dan mazhab dalam masyarakat Islam menyangkal klaim tersebut. Khawarij muncul dipenghujung tahun ke-30 H, mereka memiliki akidah yang batil mengenai keimanan, mereka membunuhi kaum muslimin yang berselisih paham dengan keyakinan mereka, dengan mudah mereka menyematkan kekafiran kepada banyak kaum muslimin, sehingga hamparan bumi bersimbah darah karenanya. Belum berakhir satu abad pertama, kembali muncul Murjiah, mereka mengajak umat Islam untuk berlepas dari tatanan dan komitmen syariat dengan slogan yang terkesan humanis dan elegan, “Selama seseorang masih beriman, maksiat apapun yang dilakukan tidak tercatat sebagai dosa”. Iman bagi paham ini cukup dengan ucapan, sehingga berbagai kewajiban agama, moralitas dan berbagai kode etik diremehkan dan ditinggalkan. Tidak lama berselang setelah itu, muncul kembali Mu’tazilah pada tahun 105 H dengan jarak yang singkat sebelum wafatnya Hasan al Bashri. Kehadiran paham baru ini semakin membuat jurang perselisihan dan perpecahan kaum muslimin semakin menganga dan melebar dan bahkan terkadang perselisihan yang ada mesti diselesaikan dengan pertumpahan darah.
Jika ukurannya adalah terpeliharanya keamanan, ketentraman dan seluruh kaum muslimin menyatu dan bersaudara dalam ikatan ukhuwah islamiyah yang erat dan mapan maka fakta sejarahpun secara tegas menampiknya. Sketsa politik generasi awal Islam menjadi lembaran sejarah paling hitam dalam sejarah perjalanan umat Islam. Kurun generasi awal disertai serangkaian peristiwa tragik yang menorehkan tinta hitam di kening umat Islam. Khalifah kedua sampai keempat mati bersimbah darah karena fitnah yang dipicu kaum muslimin sendiri. Kecuali khalifah kedua, khalifah ketiga dan keempat gugur terbunuh di tangan kaum muslimin sendiri. Meletusnya perang saudara, diantaranya perang Jamal dan Shiffin, pemberontakan Muawiyah dan kaum Khawarij terhadap khalifah yang dibaiat mayoritas kaum muslimin jelas merupakan penyimpangan dan kesalahan besar yang mengoyak-ngoyak persaudaraan dan persatuan kaum muslimin. Tidak bisa dilupakan pula terbantainya Imam Husain as, cucu kesayangan Rasulullah saww yang disebutkannya sebagai penghulu pemuda surga dimasa pemerintahan rezim Yazid bin Muawiyah. Imam Husain as beserta ahlul bait nabi lainnya syahid dibantai secara kejam dan bengis di padang Karbala, tanpa pembelaan, tanpa pertolongan dari mayoritas kaum muslimin yang tersebar di semenanjung Arab, Makah, Madinah, Syam, Thaif dan Kufah serta daerah-daerah Islam lainnya, sementara masih segar dalam ingatan mereka Rasulullah saww pernah bersabda dan mengingatkan agar Ahlul Bait dan itrah suci beliau dijaga dan senantiasa berpegang teguh dengan pemahaman mereka sebagaimana telah menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangan dan pedoman hidup. Tidak cukup puas dengan membantai keluarga Nabi, Yazid bin Muawiyah, atas perintahnya kehormatan kota Madinah telah tercemari, pembunuhan sejumlah sahabat Nabi dan Tabi’in, perampasan harta dan pembakaran rumah-rumah penduduk, bahkan Ka’bahpun dirusak dan diserang. Tragedi ini dikenal dikalangan ulama dan sejarahwan sebagai tragedi Al-Harrah.
Semua peristiwa dan tragedi yang memilukan hati ini terjadi sebelum genap abad pertama Hijriyah, lalu bagaimana mungkin generasi tersebut disebut dan diklaim sebagai generasi terbaik dan utama?. Sangat sulit melakukan penalaran secara sehat, bahwa Rasulullah saww telah menetapkan bahwa generasi yang kaum musliminnya saling bunuh sesamanya disebut sebagai generasi terbaik. Kalau masa sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in adalah sebaik-baik masa tentu tidak akan terjadi fitnah dan perpecahan umat. Kalau mereka semuanya adalah orang-orang terbaik dan pilihan tentu tidak akan terjadi pertumpahan darah di antara mereka, tentu tidak akan ada sahabat yang membunuh sahabat lainnya. Sebab orang adil tidak akan membunuh orang lain yang diharamkan Allah SWT untuk dibunuh. Seandainya seluruh sahabat adil dan masa mereka adalah masa terbaik tentu tidak akan terjadi pembunuhan kepada Imam Ali as dan kedua putranya yang merupakan buah kecintaan Rasulullah, dan juga pembantaian atas ratusan sahabat pada tragedi Al-Harrah. Kalau masa mereka adalah masa terbaik tentu kekhalifaan diserahkan kepada yang terbaik diantara mereka, bukan diserahkan kepada orang yang menyalahgunahkan kekhalifaan dan merubahnya menjadi kerajaan untuk kepentingan keluarganya.
Jika tolok ukur yang digunakan adalah sikap konsisten dan berpegang teguh terhadap nilai-nilai luhur yang dibawa Rasulullah saww maka sulit bagi kita membenarkan hadits yang diriwayatkan Syaikhain (Bukhari dan Muslim) tersebut mengenai khairu ummah. Bagaimana kita dapat mengimani keshahihan hadits tersebut sementara Al-Qur’an lebih banyak menyematkan atribut dan sifat-sifat negatif terhadap kebanyakan kaum muslimin yang sezaman dengan Nabiullah Muhammad saww?. Al-Qur’an menginformasikan kepada kita kebanyakan dari mereka yang sezaman dengan Nabi sebagai orang-orang munafik, yang keterlaluan dalam kemunafikannya (Qs. At-Taubah: 101), masih berpenyakit dalam hatinya, tidak memiliki keteguhan iman, dan berprsangka jahiliyah terhadap Allah swt (Qs. Ali-Imran: 154), sangat enggan berjihad (Qs. An-Nisa': 71-72 dan At-Taubah ayat 38), melakukan kekacauan dalam barisan (Qs. At-Taubah: 47), lari tunggang langgang ketika berhadapan dengan musuh (Qs. Ali-Imran: 153 dan At-Taubah : 25), bahkan kebanyakan mereka lebih memilih perdagangan dan permainan daripada mendengarkan Nabiullah Muhammad saww berkhutbah, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” (Qs. Al-Jumu’ah: 11).
Tolok ukur kebenaran hadits adalah tidak mungkin hadits yang disampaikan Rasulullah saww bertentangan dengan realita yang terjadi. Karenanya secara pribadi, saya menyangsikan keshahihan hadits ‘khairuh ummah’ ini, hatta diriwayatkan dan ditulis oleh yang diklaim sebagai Amirul Mu’minin fil hadith sekalipun.. Kalau disuruh memilih saya lebih memilih hadits yang menyatakan, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia yang lain." Ataupun firman Allah SWT, "Sungguh sebaik-baiknya diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa." (Qs. Al-Hujurat: 13).
Akh, maafkan saya, kalau lebih memilih firman Allah SWT yang suci dari pada ucapan yang belum terjamin kemutlakannya pernah disabdakan oleh Nabi-Nya. Allah SWT berfirman, "Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran." (Qs. Al-'Asr: 1-3). Ayat ini menegaskan manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka beriman, mengerjakan kebajikan, saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Allah SWT tidak mempersyaratkan masa dan zaman di mana seorang hambanya hidup dan bermukim. Seorang manusia tidak pernah memilih dan tidak punya ikhtiar mengenai kapan dan dimana ia dilahirkan, sebab telah menjadi hak mutlak Allah swt untuk menetapkannya. Karenanya berdasarkan falsafah keadilan Ilahi adalah keniscayaan tidak menjadikan semata-mata masa dan tempat lahir sebagai persyaratan seseorang disebut memiliki kebaikan dan kemuliaan, melainkan berdasarkan kekuatan iman, kedalaman ilmu dan keikhlasan amal.
Saya menemukan sebuah hadits dalam kitab Shahih Muslim no. 578 Jilid I pada Bab Jenazah (Mayyit), dari Abbad bin Abdullah bin Zubair ra, katanya, bahwa Aisyah memerintahkan supaya jenazah Sa’ad bin Abi Waqqash dimasukkan ke dalam masjid untuk dishalatkan. Perintah itu diingkari oleh banyak orang. Berkata Aisyah, “Alangkah lekasnya orang-orang telah lupa, bahwa Rasulullah saw telah menyembahyangkan jenazah Suhail bin Albaidha’ di dalam Masjid”. Kita bisa mengambil kesimpulan sendiri mengenai inti dari riwayat ini, dari sisi mana generasi mereka dikatakan terbaik di antara generasi Islam jika mereka sebagaimana kesaksian Ummul Mukminin Aisyah Radiallahu anha begitu lekas lupa dengan sunnah Nabi-Nya yang mereka menyaksikan sendiri Rasulullah saww mempraktikannya?.
Sebagai penutup, saya menyertakan sebuah hadits lainnya yang justru menafikan hadits ‘khairu ummah’ yang diriwayatkan Bukhari-Muslim yang kita bicarakan. Diriwayatkan dari Abu Jum’ah ra yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah saww dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah ra yang berkata “Wahai Rasulullah saww adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau”. Beliau saww menjawab “Ya ada, yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dimana beliau berkata hadis ini shahih.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398 hadis no 2744 dengan sanad yang shahih. Dan diriwayatkan pula oleh Al Hakim dalam kitabnya Mustadrak Ash Shahihain juz 4 hal 85 hadis no 6992 dimana Beliau berkata hadis tersebut shahih dan disepakati oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak .
Saya tidak akan banyak bercerita soal hadis tersebut karena kata demi kata dalam hadis tersebut sudah sangat jelas. Kata-kata Abu Ubaidah bin Jarrah ra adakah orang yang lebih baik dari kami? Itu merujuk pada para Sahabat Nabi . Rasulullah saww menjawab bahwa ada yang lebih baik yaitu kaum setelah Sahabat, yang beriman kepada Rasulullah saww walaupun mereka tidak melihat Beliau saww. Lantas ketika ada riwayat lain menyatakan bahwa sahabat-sahabat nabi adalah generasi terbaik tidakkah ini kontradiktif dan memancing kita untuk tidak begitu saja menerima?. Islam adalah perjuangan mencari, bukan kepasrahan menerima.
"Dan mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (Qs. Ali-Imran: 54).
Wallahu ‘alam bishshawaab
Qom, 15 Desember 2009
15 Desember, 2009
Pluralisme, Ancaman Laten Agama-agama
01 Desember, 2009
Tatanan Politik Islam yang Terkoyak
(Mengenang Peristiwa Ghaidir Khum yang Terlupakan)
29 Oktober, 2009
Merajut Kembali Toleransi Kebangsaan
Pada dasarnya, sejak dahulu rakyat di negeri ini sadar dengan adanya kemajemukan bangsa. Namun kemajemukan itu tidaklah dijadikan dalih untuk saling menyudutkan, justru dijadikan sebagai kekuatan pemersatu menuju terbentuknya republik. Kelompok nasionalis berlatar belakang sekuler, kalangan agamis (Islam), dan kelompok komunis melakukan konsolidasi di bawah payung ideologis bernama keindonesiaan. Perlulah kiranya selalu kita ingat bersama-sama bahwa Sumpah Pemuda, yang dilahirkan sebagai hasil Kongres Pemuda II yang diselenggarakan tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta adalah manifestasi yang gemilang dari hasrat kuat kalangan muda Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan agama, untuk menggalang persatuan bangsa dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Atas prakarsa Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) inilah kongres pemuda itu telah melahirkan Sumpah Pemuda yang berisi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa yaitu Indonesia.
Republik Indonesia lahir 17 tahun kemudian, yang dijiwai semangat kebersamaan, persatuan, dan toleransi yang tinggi terhadap perbedaan. Semua pihak turut ambil andil dalam lahirnya republik. Meskipun ummat Islam mayoritas namun tak bisa dinafikan bahwa ada umat Khonghucu (Yap Tjwan Bing) yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Perlu dicatat pula bahwa sewaktu teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dibacakan, tempatnya di rumah seorang Tionghoa Khonghucu bernama Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta (yang sekarang dijadikan Museum Sumpah Pemuda). Ataupun kendaraan Kepresidenan pertama adalah mobil sumbangan seorang Tionghoa sebagai bentuk kecintaannya kepada republik yang baru terbentuk. Ini perlu dinukilkan karena masih saja ada anggapan, suku Tionghoa tidak memberi andil apa-apa dalam terbentuknya Republik Indonesia.
Toleransi kebangsaan lagi-lagi dipertontonkan para founding father negeri ini, dalam usaha mempertahankan kemerdekaan. 10 November 1945 dalam kalender sejarah bangsa kita dicatat sebagai hari lahirnya pahlawan-pahlawan bangsa, yang rela mati demi tegaknya sebuah negeri bernama Indonesia . Tanpa mempersoalkan suku, agama dan ras rakyat Indonesia saling membahu dalam menghadapi musuh bersama. Tentara sekutu sesumbar dapat menguasai Surabaya dalam 3 hari, namun pertempuran memakan waktu berminggu-minggu, meskipun tentara sekutu mengerahkan kekuatan penuh, namun tidak mudah menundukkan semangat rakyat yang merajut kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Tentara sekutu tersentak dan akhirnya paham, Indonesia yang baru berusia 3 bulan, bukan bangsa kecil. Persatuan dan semangat toleran adalah kekuataan yang maha dahsyat, yang tidak tertundukkan. Karenanya tak bisa dipungkiri, rangkaian perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah terbukti begitu kokoh dalam pijakan kemajemukan bangsa, mulai dari suku, agama, ras hingga budaya.
Toleransi Antar Umat Beragama
Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia , baik yang Muslim, Kristiani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara pada masanya, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi. Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari mesjid tersebut adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat. Friedrich Silaban yang oleh Bung Karno menjulukinya sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal. Kebesaran jiwa dari umat Islam sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima pemikiran atau desain tempat ibadah mereka dari seorang yang non muslim.
Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia . Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh umat Islam di Indonesia, di desain dan wakil kepala proyek pembangunannya dijabat oleh seorang Kristiani. Dia menciptakan karya besar untuk saudaranya sebangsa yang beragama Islam, tanpa mengorbankan keyakinannya pada agama yang dianutnya. Ummat Islampun menunjukkan kebesaran jiwanya dan penghargaan kepada Friedrich Silaban dengan menyebut kubah Mesjid Istiqlal sebagai “Si1aban Dom”, atau Kubah Si1aban. Silaban dan kaum beragama di negeri ini mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau teknologi. Sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun. Karenanya, keanekaragaman yang selama ini ada menjadi tonggak "bineka tunggal ika" yang kuat dalam menopang berdirinya bangsa Indonesia , mesti tetap dipertahankan. Pluralitas dan multikulturalitas bagi bangsa ini merupakan suatu keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tak terbantahkan. Pluralitas dan multikulturalitas yang kita miliki ini telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia di sepanjang perjalanan sejarahnya. Sungguh memilukan melihat nilai-nilai pluralitas dan multikulturalitas yang telah tumbuh sejak awal terbentuknya republik ini, di kekekinian seolah-seolah tidak pernah ada. Sementara di sisi lain, eksklusivisme kelompok justru terlihat semakin menonjol. Maka sesungguhnya tak ada satu pun pihak, tak satupun suku, tak satupun agama, yang bisa mengakui keberadaannya tanpa andil pihak lain. Tak satupun. Tak bisa kita pungkiri, kita adalah bagian dari orang lain; ada sebagian dari orang lain dalam diri kita. Mengutip Emha Ainun Nadjib, “Kamu adalah aku yang lain". Sikap dan penerimaan kultural seperti ini tidak akan memberi izin atau permisi kepada siapa pun untuk arogan, menganggap dirinya lebih benar, dan merasa berhak untuk menghakimi pihak lain. Dengan sikap seperti itu, kita pun dapat terhindar dari pelbagai cedera sosial yang belakangan ini menimpa bangsa kita melalui konflik-konflik horizontal maupun vertikal, intelektual maupun fisikal.
Persatuan bangsa adalah sebuah keniscayaan. Ini bukan sesuatu yang mustahil, para pendahulu kita memiliki kisah-kisah romantis dalam merajut kebersamaan di masa lalu. Perasaan senasib dan sebangsa, badan-badan perjuangan yang berbeda ideologi membentuk front persatuan untuk menghadapi musuh bersama. Pada sisi ini, kita, seluruh bangsa Indonesia perlu meneladani pola keberagamaan yang telah ditunjukkan generasi-generasi awal bangsa ini. Kita dituntut untuk mengembangkan keagamaan dalam konstruk pemahaman seperti itu sehingga dapat memberikan tawaran segar dan mencerahkan bagi Indonesia hari ini dan masa depan. Insya Allah, dengan semangat toleransi kita akan mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar dan agar kemanusiaan kita tidak jatuh tersungkur. Mengutip Helen Keller, “Toleration is the greatest gift of the mind - Toleransi adalah anugrah dari pikiran yang paling luar biasa." Mari bekerjasama. Wallahu 'alam.
Ismail Amin Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran
25 Oktober, 2009
Iran, Syiah dan Pengaruhnya di Indonesia
17 Oktober, 2009
Visualisasi Wajah Nabi, Salahkah?
Terpampang dalam kanvas sejarah secara telanjang, betapa Rasulullah saww dicintai oleh sahabat-sahabatnya.
Sulit memahami ekspresi kecintaan sahabat-sahabat kepada Nabi, ini persoalan cinta, dan memang cinta cenderung diekspresikan tidak wajar. Sebagaimana perkataan Urwah Al-Tsafaqi kepada kaumnya, kaum kafir Qurays,“Orang Islam itu luar biasa! Demi Allah, aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah berkunjung kepada Kaisar, Kisra dan Najasyi. Demi Allah belum pernah aku melihat sahabat-sahabat mengangungkan rajanya, seperti sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad. Demi Allah, jika ia meludah, ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang diantara mereka. Ia usapkan ludah itu kewajahnya dan kulitnya. Bila ia memerintah, mereka berlomba melaksanakannya; bila ia hendak berwudhu, mereka hampir berkelahi memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara, mereka merendahkan suara dihadapannya. Mereka menundukkan pandangan dihadapannya karena memuliakannya.” (Shahih Bukhari 3 :255). Karenanya, adakah yang bisa memahami ketika muslim India bergejolak dan marah besar ketika suatu hari kehilangan sehelai rambut Rasulullah saww yang disimpan di salah satu mesjid di India, sehingga membuat pemerintah India yang sekuler kewalahan dan mengerahkan seluruh usahanya untuk menemukan kembali rambut tersebut?.
Karenanya meskipun pemerintah dan ulama-ulama
Ekspresi Kecintaan
Pin yang bergambar seorang pemuda tampan dengan gigi rata, hidung mancung, bibir sempurna dengan latar warna hijau yang karena diklaim sebagai gambar wajah nabi kemudian memunculkan polemik dikalangan umat Islam di Indonesia. Pertama kali gambar ini dikenal secara meluas, ketika diterbitkan di majalah National Geographic pada bulan Januari tahun 1914 dalam sebuah artikel berbahasa Persia dengan judul “Inja va Anja Dar Shumal Afriqa” (Di sana dan di sini di Utara Afrika), di bawahnya tertulis “Arabi ba Yek Gol” (Seorang Arab dengan sebuah bunga). Pada dekade dua puluhan, gambar ini menjadi sampul kartu seri Tunisia L & L dan sangat disukai oleh tentara Prancis di Utara Afrika. Di awal tahun 90-an, gambar ini menjadi poster paling laris di
Diantara yang dilihat mendapat pahala adalah wajah ulama, apalagi wajah nabi. Apakah hanya karena alasan tidak pernah melihatnya, kita tidak bisa mereka-reka wajah Nabi?. Apalagi rekaan itu bukan khayalan kosong sebab ada deskripsi yang disampaikan sahabat-sahabat dan istri nabi dari riwayat yang ada. Mengapa sampai ada yang berani mensketsa surga dan neraka dalam komik-komik agama? Sementara Nabi saww bersabda, surga adalah keindahan yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam pikiran manusia. Mengapa menggambarkan surga dalam bentuk visual tidak dipersoalkan sementara menggambar wajah nabi digugat dan dianggap pelecehan agama?. Bukankah sangat sulit menggambar surga yang tidak pernah terlintas di dalam pikiran manusia?
Kekhawatiran bahwa akan ada yang terjebak dalam praktik kesyirikan jika menggambar wajah nabi diperbolehkan adalah kekhawatiran yang tidak beralasan. Telah puluhan tahun gambar itu ada, namun adakah diantara kaum muslimin yang menyembah nabi Muhammad karena gambar tersebut?. Karenanya, pemerintah dan Ulama Iran hanya sekedar menghimbau untuk tidak meyakini secara mutlak bahwa itu benar gambar wajah Rasulullah saww, tidak ada larangan apalagi ancaman hukuman bagi yang menyimpan dan memilikinya. Sebab pemerintah dan ulama
Wallahu ‘alam bishshawwab
Qom, 16 Oktober 2009