26 Maret, 2009

Baiat Bukanlah Pemilihan Pemimpin

(Tanggapan atas tulisan Adi Wijaya yang berjudul: Pemilihan Pemimpin dalam Sistem Islam)
Saya mengawali tulisan ini dengan berharap, jangan diartikan bahwa saya berupaya merusak keyakinan mayoritas kaum Muslimin yang telah mengakar. Tanggapan untuk tulisan Adi Wijaya ini berbentuk sejumlah pertanyaan yang telah mengganggu saya sejak lama.
Diantaranya, kalau keberadaan seorang pemimpin dalam ajaran Islam adalah wajib dan urgen adanya, mengapa Rasulullah SAW tidak sejak awal menetapkan siapa yang akan yang akan memimpin umat yang akan ditinggalkannya?. Atau minimal memberi petunjuk yang jelas mengenai prosedur memilih dan mengangkat pemimpin?. Baiat bukanlah metode pemilihan dan pengangkatan pemimpin atau kepala negara, melainkan pengakuan atas kredibilitas orang yang terpilih sebagai pemimpin dengan memberikan ketaatan dan loyalitas kepadanya. Secara terminologi, baiat diartikan, berjanji untuk taat, bukan metode pemilihan atau pengangkatan. Jika kita merujuk pada empat khalifah awal pasca Rasulullah SAW, setidaknya ada empat metode yang berbeda dalam pengangkatan khalifah. Abu Bakar terpilih dari kesepakatan sebagian kecil kaum muslimin di Saqifah, Umar bin Khattab dibaiat sebagai khalifah selanjutnya sesuai dengan petunjuk dan pilihan 'secara sepihak' oleh Abu Bakar. Sebelum wafat, Umar bin Khattab membentuk dewan pemilihan yang terdiri atas enam sahabat terkemuka, dan dari pembincangan tersebut terpilihlah Usman bin Affan. Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah selanjutnya melalui ijma (konsensus) kaum muslimin, tanpa melalui sedikitpun prosedur pemilihan. Sementara Muawiyah bin Abu Sufyan mendapatkan pengakuan sebagai khalifah dengan terlebih dahulu menebar teror dan upaya kudeta berdarah.
Saya benar-benar tidak bisa menerima kenyataan ini, bahwa Rasulullah SAW meninggalkan Daulah yang masih berumur muda dengan tidak sedikitpun petunjuk untuk menjaga kelestarian dan keutuhannya, seakan-akan Rasulullah Saw bersikap pasif terhadap masa depan dan kelanjutan misi dakwah. Rasulullah SAW menyampaikan kepada umatnya, ada tiga hal yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya, salah satunya adalah pemakaman jenazah setelah dimandikan. Namun jenazah mulia Rasulullah SAW dibiarkan menunggu selama tiga hari. Ijtihad ataupun ijma sahabat tidak bisa dibenarkan ketika berhadapan dengan nash yang jelas. Dan nashnya sangat jelas bahwa wajib untuk tidak menunda pemakaman, terlebih lagi jika jenazah itu adalah Rasulullah SAW. Ali bin Abi Thalib ra (diantaranya yang disebut Nabi mendapat jaminan surga) baru melalukan pembaiatan atas Abu Bakar setelah 6 bulan berlalu dari pengangkatannya, Husain bin Ali (disebut Nabi sebagai penghulu pemuda surga) justru lebih memilih dibantai dari pada membaiat Yazid sebagai khalifah, lantas dari mana dapat disimpulkan bahwa kaum Muslimin hanya diberi jeda selama dua hari untuk membaiat seorang khalifah?.
Bila kita beranggapan bahwa Nabi telah meninggalkan umat Islam dengan tanpa terlebih dahulu mempersiapkan rancangan dan agenda kerja yang matang serta menetapkan pengganti yang akan yang melanjutkan misi Ilahiah, maka segala keguncangan dan pertikaian berdarah yang terjadi pasca wafat Rasulullah SAW akan menjadi tanggungjawab beliau. Akan timbul keraguan akan profesionalitas dan kredibilitas Muhammad sebagai seorang pemimpin yang akan berefek pada gugatan atas kenabian beliau. Bila kita sisipkan faktor oknum-oknum (kaum munafikin) yang bersebaran di Madinah maka ini akan mempertegas lagi ketidakmungkinan itu. Logiskah Rasulullah SAW meninggalkan umatnya 'begitu saja' sementara Allah SWT berfirman, "Dan diantara orang-orang Arab yang (tinggal) di sekitarmu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya…"(Qs. At-Taubah: 101). Tidakkah Rasulullah SAW khawatir akan kerja-kerja licik orang-orang munafik (yang sulit dikenali) yang bisa saja meruntuhkan Daulah yang telah dibangunnya bersama sahabat-sahabat setianya?. Kekhawatiran inilah yang membuat Abu Bakar harus memilih sendiri Umar bin Khattab sebagai penggantinya, begitu juga dengan Umar bin Khattab yang masih sedikit lebih bijak dengan terlebih dahulu membentuk Dewan Syuro. Bahwa Rasulullah SAW tidak menetapkan sendiri penggantinya ataupun tidak sedikitpun memberi petunjuk mengenai metode pengangkatan pemimpin adalah salah satu versi sejarah, yang sayangnya lebih banyak diakui dan diyakini kaum muslimin sebagai realitas sejarah yang tak bisa ditolak.
Wasiat yang Diabaikan
Dengan renggang waktu teramat singkat -hanya kurang lebih 10 tahun di Madinah- secara psikologis pada dasarnya, kaum muslimin saat itu belum siap ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. Tidak heran, jika salah seorang sahabat kawakan ketika mendapat kabar meninggalnya Rasulullah dengan hunusan pedang berteriak, "Rasulullah belum mati! Rasulullah tidak akan mati! Siapa yang mengatakan beliau mati akan saya penggal!". Ya, tentu saja ketidaksiapan ini telah menjadi pertimbangan Rasulullah SAW yang dimasa-masa kritisnya bersabda, ""Berikan padaku selembar kertas dan tinta. Aku tuliskan untuk kalian semua sebuah wasiat yang jika kalian mematuhi isinya, niscaya kalian tidak sesat setelah aku tinggal pergi." (Riwayat Bukhari-Muslim).
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Rasul pada detik-detik yang paling mendebarkan di akhir hidupnya adalah bukti akurat yang menolak mentah-mentah versi sejarah pertama sekaligus merupakan gambaran yang cukup jelas bahwa Rasulullah SAW bukanlah orang yang tidak peduli akan prospek dan nasib dakwah. Sayangnya permintaan Rasulullah untuk menuliskan wasiatnya tidak diindahkan dengan ucapan salah seorang sahabat, "Nabi telah makin parah sakitnya, sedangkan Al-Qur'an ada pada kalian. Cukuplah kitab Allah bagi kita !". Kedua, adanya upaya melupakan wasiat Rasulullah yang disampaikan menjelang wafatnya. Lihat saja, petikan hadits dalam Shahih Muslim bab al-Washiyah, Ibnu Abbas berkata, “Dan beliau (Rasulullah) mewasiatkan menjelang wafatnya,’ Keluarkan kaum musyrikin dari Jazirah Arab dan beri hadiah kepada utusan sebagaimana yang aku lakukan !’ (perawi hadits ini melanjutkan) Dan aku lupa yang ketiga”. Sulit menerima bahwa mereka lupa apalagi ini wasiat nabi yang berkaitan dengan masa depan ummat. Namun demikianlah kenyataannya, dan inilah yang terjadi. Dalam perjalanan selanjutnya, aturan politik dan kepemimpinan dalam Islam terpecah menjadi kepingan-kepingan besar. Sebagian besar umat Islam menyatakan Islam tidak mengurusi persoalan politik, dan sebagiannya lagi justru sibuk menggedor-gedor kesadaran kaum muslimin akan pentingnya politik dan kekhilafaan dalam masyarakat Islam.
Terakhir, saya bertanya, benarkah dalam perspektif syariat Islam kondisi masyarakat -saya menyebutnya konteks sosial- bukanlah dasar untuk menentukan status hukum suatu perkara?. Benarkah realitaslah yang harus diubah agar sesuai dengan syariat Islam, dan bukan sebaliknya?. Dalam Ushul Fiqh ada kaidah yang sangat terkenal, “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan,” hukum bisa berubah sesuai dengan waktu dan tempat (baca: sesuai dengan kondisinya). Seorang muslim yang tidak mampu sholat sambil berdiri, maka syariat membolehkan untuk duduk, jika masih sulit juga, maka diizinkan baginya sholat sambil berbaring. Daging yang diharamkan bisa menjadi halal ketika diperhadapkan pada konteks tidak ada lagi yang bisa dimakan dan berkaitan dengan kelangsungan hidup. Syariatlah yang menyesuaikan diri dengan realitas, bukan sebaliknya. Ketika belum ada yang layak dibaiat menjadi khalifah maka lahirkanlah dulu calon-calon khalifah. Tidak serta merta kita semua menjadi pendosa hanya karena teks agama mengatakan, baiat adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bukan begitu?.
Wallahu 'alam bishshawwab
Ismail Amin

Qom, 22 Maret 2009

NB:
Tulisan di atas juga bisa dibaca di http://www.tribun-timur.com/read/artikel/19005
Tulisan Adi Wijaya di muat di Tribun Timur 20 Maret 2009 selengkapnya di http://www.tribun-timur.com/read/artikel/17733

21 Maret, 2009

Mengambil Hikmah dari Negeri Empat Musim

Sedari dulu saya begitu tertarik dengan salju. Saya gila terhadap bacaan (novel, cerpen, puisi) yang selalu menjadikan salju sebagai latar ceritanya. Sekarang saya tidak perlu lagi berkhayal bisa menyentuh salju. Di Iran, saya bisa melihat pepohonan di taman asrama dilapisi putihnya salju. Ada kekaguman terhadap deretan cemara yang selalu tegar melawan musim. Pohon yang saya lihat di musim panas, gugur, dingin dan semi adalah deretan pohon itu-itu juga. Di musim salju, cemara harus lebih tegar lagi menahan beban tumpukan salju.
Butiran-butiran salju yang tertumpah dari langit lebih berat dari tetes-tetes hujan, namun ia jatuh ke bumi tanpa suara. Kristal-kristal putih itu melayang dengan lembut dan mendarat dengan halus. Namun, pernahkah engkau bayangkan sekiranya butiran-butiran halus salju itu menyentuh kulitmu?. Pernahkah engkau membayangkan bagaimana rasanya hidup di musim salju tanpa mengenakan baju hangat, atau tinggal di rumah yang tidak dilengkapi fasilitas pemanas ruangan?. Pada saat itu salju bukan lagi keindahan, namun tontonan tragedi yang menyayat hati. Teman saya asal Bosnia menceritakan, di musim salju, ketika tumpukan salju disingkirkan dari jalan-jalan kota, tidak sedikit ditemukan mayat-mayat manusia. Mereka adalah para tunawisma yang mencoba bertahan hidup di tengah musim dingin yang menusuk tulang. Ya, dongeng tentang salju tidak melulu menceritakan kebahagiaan sang putri salju, namun juga kegetiran hidup putri penjual korek api, yang mati beku kehabisan api penghangat.

Bertepatan dengan 20 Maret tahun ini, masyarakat Iran bersuka cita menyambut datangnya musim semi yang juga menandai datangnya tahun baru. Dalam penanggalan Iran hari tahun baru adalah hari pertama di musim semi (disebut Fasl-e Bahor). Sistem penanggalan Iran telah disusun sejak 1725 tahun sebelum Masehi dan terus mengalami penyempurnaan hingga kini. Dimasa kekhalifaan Islam, kalender Iran mengalami penyesuaian dengan kalender Islam dan disebut dengan Kalender Hijriyah Syamsi sebab penentuan tanggal Iran berdasar pada edar bumi terhadap matahari dan disebut Hijriyah karena tahun pertamanya juga dihitung dari hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. Adanya perbedaan jumlah hari dalam setahun dengan kalender Hijriyah Qamari menyebabkan jalannya tahun pada kalender Iran lebih lambat dan tahun ini baru memasuki 1388 HS sementara kalender Hijriyah telah memasuki tahun ke 1429.
Wajar masyarakat Iran menyambut tahun baru mereka dengan luapan kegembiraan. Mereka tidak lagi tersiksa oleh dahsyatnya hawa dingin, tersiksa oleh tumpukan salju di jalan yang mengakibatkan kemacetan berjam-jam. Mereka tidak perlu lagi repot-repot mengenakan pakaian hangat yang tebal setiap keluar rumah, tidak perlu lagi takut terpeleset oleh jalan yang licin, tidak ada lagi aktivitas membersihkan atap rumah dari tumpukan salju yang berton-ton beratnya. Datangnya musim semi benar-benar kesyukuran bagi mereka.
Letak geografis Iran dan bentangan daratnya yang variatif membuat negara ini memiliki empat musim (semi, panas, gugur dan dingin). Di musim panas cuacanya sangat panas. Pada Juli sampai Agustus suhu mencapai rata-rata 38°C (100°F). Di musim gugur mereka kerepotan dengan hembusan angin gurun yang juga panasnya tidak ketulungan. Dan di musim dingin, mereka harus bisa bertahan dengan suhu udara yang bisa menukik hingga minus. Musim semi adalah saat yang dinanti-nantikan. Di saat itulah mereka bisa keluar rumah sepuasnya, bunga-bunga pun bersemi menampakkan keindahan warnanya. Tradisi menyambut tahun baru (mereka menyebutnya Nouruuz) dimulai sejak dua-tiga minggu sebelum bulan Esfand (bulan terakhir dalam penanggalan Iran) berakhir. Diantara kebiasaan mereka adalah membeli ikan mas kecil dan bibit gandum yang telah tumbuh sekitar 4-7 cm, konon katanya tradisi ini telah berumur 15.000 tahun. Ikan mas hidup yang ditaruh dalam toples melambangkan kelincahan dan hidup yang penuh aktivitas, sedangkan bibit gandum melambangkan produktivitas. Bahwa di tahun baru ini mereka harus lebih aktif dan produktif dalam menghasilkan karya-karya bagi kemanusiaan.
Namun ada fenomena menarik yang bisa jadi selama ini luput dari pengamatan kita, bahwa negara-negara yang memiliki empat musim lebih maju dibanding negara di daerah tropis. Kita bisa lihat perbandingan taraf hidup dinegara-negara Eropa, Amerika, Jepang, China, Korea, Australia dengan negara-negara yang hanya memiliki dua musim yang tersebar disebagian Asia dan Afrika. Iran pun tidak bisa dipungkiri, saat ini melejit sebagai salah satu negara maju di belahan Timur Tengah. Saya yakin, kondisi alam berpengaruh besar dalam membentuk karakter membangun dalam jiwa-jiwa mereka. Adanya perbedaan musim yang drastis menuntut penduduknya untuk tidak monoton dalam aktivitas hidup. Mereka dituntut untuk tangguh menghadapi kegerahan di musim panas, kekeringan di musim gugur, mengatasi dingin di musim salju, dan tidak terlena di musim semi. Dalam analisis sosio-psikologi adanya perubahan musim yang membutuhkan adaptasi ini akan membentuk karakter bangsa yang kuat dan tangguh dalam mengatasi problematika hidup. Tidak heran, di tengah ketatnya sanksi dan embargo jangka panjang negara-negara Barat dan Amerika Serikat, Iran justru mampu menunjukkan dirinya sebagai negara yang mandiri secara cemerlang. Salah satu keberhasilan negeri ini yang membuat dunia terpana adalah kemajuan dari segi iptek.
Sejak kemenangan Revolusi Islam pada tahun 1979, Iran telah dihadapkan pada embargo ekonomi Barat. Lewat langkah terselubung, negara-negara Barat berusaha mencegah masuknya perlengkapan dan teknologi cangih ke Iran. Meski demikian, Iran tetap mampu menorehkan beragam prestasi mengagumkan di bidang iptek, tidak hanya dalam hal tekhnologi nuklir, produksi mobil namun juga piawai dalam teknologi antariksa. Dengan keberhasilan meluncurkan roket pembawa satelit "Safir Omid" dan sebuah maket satelit percobaan di orbit bumi, Iran menjadi negara regional pertama yang mandiri tanpa bantuan asing, baik dalam membuat satelit maupun dalam meluncurkan dan mengontrolnya.
Kalau Iran bisa melakukan ini, kira-kira apa yang menghambat kemajuan di Indonesia?. Ketika melihat salju, saya teringat betapa beruntungnya kita. Kita bisa hidup dengan kontruk bangunan ala kadarnya, hatta dindingnya terbuat dari kardus atau pelepah pohon. Di negeri empat musim, rumah harus dibangun kokoh, lengkap dengan sistem pemanas dan pendingin jika tidak ingin mati diterkam keganasan alam. Sayangnya, anugerah Ilahi ini disia-siakan oleh tangan-tangan kotor yang tahunya hanya menjarah dan menindas. Hasan Aspahani (2004), menolak menyebut Indonesia sebagai negeri dua musim, dalam puisinya "Dongeng Negeri Empat Musim" (2004) dia menyebut, ada empat musim di negeri ini, musim berdusta, musim berjanji, musim berpura-pura dan musim lupa. Anehnya, empat musim itu bisa terjadi dalam waktu yang sama.
Qom, 20 Maret 2009
Sesaat setelah Iran merayakan Nouruuz nya

10 Maret, 2009

Benarkah Kita Mencintai Rasulullah ?

Kita heran mengapa hinaan terhadap Nabi selalu saja muncul. Kita tidak habis pikir mengapa kebencian dan permusuhan selalu mendera pribadi suci beliau. Seseorang bisa saja memendam kebencian yang sangat kepada Rasulullah SAW sampai harus menggambarkan kehidupan beliau secara tidak senonoh pada lembaran-lembaran komik, website, buku atau apapun nama dan bentuknya. Namun kebencian bukanlah akhir segalanya, benci dan cinta adalah perasaan yang sulit untuk dipetakan pada hati manusia. Perjalanannya sebagaimana iman, sangat fluktuatif dan tidak linear. Boleh jadi saat ini kau membenci sesuatu namun pada kali yang lain kau justru sangat mencintainya. Imam Ali ra pernah berkata, "Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya." Ya, bisa jadi orang yang menggambarkan Rasulullah sebagai seseorang yang amoral karena belum tahu apa-apa tentang pribadi beliau SAW. Saya pribadi berharap, mereka tidak berhenti pada kebencian yang sangat pada Rasulullah, sebab kebencian hanyalah salah satu etafe dari rute perjalanan manusia yang justru bisa menghantarkan seseorang pada tingkat iman yang menakjubkan. Kisah nyata dari seorang Umar bin Khattab memberi kita pelajaran yang berharga. Ia tidak hanya membenci Rasul tetapi juga selalu berusaha membunuhnya. Dengan gigih ia menghalangi-halangi orang yang menambatkan imannya pada nilai-nilai moral yang diajarkan sang Nabi. Tetapi perjalanan manusia memang sulit ditebak, justru ketika Umar mengenal Muhammad lebih dekat, ia mengalami lompatan iman -dalam istilah Kierkegard leap of faith- yang begitu menakjubkan. Pada gilirannya, Umar ra justru menjadi sahabat dekat Nabi dan menjadi pembela Islam yang paling keras, sampai mendapat julukan, al-Waqqaf 'inda Kitabillah. Umar tidak sendiri, banyak orang-orang yang sebelumnya begitu keras permusuhannya, namun ketika lebih mengenal beliau, justeru menjadi sahabat-sahabat nabi yang keras pembelaannya terhadap Nabi.
Setiap Nabi mendapat penghinaan, kita hanya bisa geram. Kita marah, kita turun ke jalan, kita membakar dan melempari apa saja untuk menunjukkan pembelaan terhadap kekasih kita. Sebagai muslim yang mengaku mencintainya kita meneriakkan suara yang sama, tidak ada kata maaf bagi yang telah melecehkan nabi. Kita mungkin masih ingat dengan Imam Khomeini yang tanpa ampun mengeluarkan fatwa mati bagi Salman Rusdie yang menyebut wahyu yang dibawa nabi tidak lain hanyalah ayat-ayat setan. Apa saja bisa kita lakukan sebagai bentuk ekspresi penolakan dan kegeraman nama baik nabi kita diinjak-injak. Namun tidakkah kita tertarik untuk lebih melihat kedalam diri kita?. Tidakkah kita merasa perlu bertanya pada diri sendiri, "Tuluskah cinta kita kepada nabi?". Sejauh mana usaha kita memperkenalkan kemuliaan dan keagungan akhlak nabi kepada mereka?. Daripada meledakkan kemarahan dimana-mana, bukankah lebih baik kita memperkenalkan kepribadian Muhammad nabi Islam yang Karen Armstrong menyebutnya “Seorang manusia yang kompleks dan penuh kasih,” dan Michael H. Hart yang mendudukkannya pada posisi terhormat sebagai tokoh yang paling populer dan berpengaruh sepanjang sejarah. Terlalu banyak pujian dan sanjungan atasnya, sehingga Abdul Wahid Khan harus membukukan kekaguman dan penghormatan intelektual non muslim kepada Rasulullah dalam bukunya, "Rasulullah di Mata Sarjana Barat". Bahkan Allah SWT Pencipta alam semesta beserta para malaikat-Nya pun bershalawat atasnya (Qs. Al-Ahzab : 56).
Seandainya Rasulullah ada disekitar kita, dan melihat betapa merebaknya penghinaan atasnya beliau mungkin akan melakukan hal yang sama ketika penduduk Thaif melemparinya dengan batu. Jibril yang sedih melihat itu menawarkan sesuatu pada Sang Nabi, “Bila Kau mau, Kekasih Allah, aku bisa membalikkan bumi dan menimpakan gunung kepada mereka.” Lalu Muhammad menjawab, “Tidak! Sesungguhnya mereka hanya belum tahu.” Atau sebagaimana Abdullah bin Ubay yang meminta izin untuk membunuh ayah kandungnya sendiri karena telah melecehkan nabi, Nabi dengan penuh kasih menjawab, "Jangan, tetaplah berbuat baik kepada ayahmu." (Sirah al-Halabiyyah 2:307).
Di mata Rasul, mereka hanya belum tahu sehingga kebencian merambati hatinya. Tidakkah kita melihat sisi lain dari penghinaan nabi yang tiada hentinya dan semakin menjadi-jadi. Bila mereka begitu rajin dan semangat mengolok-olok nabi kita yang mulia, seberapa rajinkah kita memuliakan dan mengagungkannya?. Seberapa banggakah kita menyenandungkan shalawat atasnya? Bergetarkah hati kita ketika namanya disebut dalam senandung suara azan?. Seberapa cintakah kita mengamalkan sunnah beliau dalam kehidupan kita?. Yang kita lakukan justru sebaliknya, dengan dalih bid'ah, kita klaim mereka yang mengadakan maulid nabi sebagai orang sesat padahal tidak seorangpun muslim yang menyebut maulid hukumnya wajib atau sunnah sehingga tidaklah termasuk mengada-adakan hukum baru. Dengan dalih syirik kita menggebuki dengan pentungan mereka yang berdesak-desakan untuk mencium mihrab nabi, padahal semuapun bersaksi bahwa Rasulullah adalah juga hamba Allah. Kita haramkan Barazanji karena kita anggap terlalu mengkultuskan nabi, padahal dalam puisi dan syair, cinta sulit dilukiskan tanpa hiperbola dan metafora. Hiperbola bukanlah kedustaan dan metafora bukanlah kesyirikan. Setiap usaha memperkenalkan Ahlul Bait Nabi kita klaim sebagai penyebar aliran sesat.
Kontroversial Maulid
Entah dengan alasan apa Makam Nabi, keluarga dan sahabat-sahabatnya kita jaga ketat layaknya akan diserang pasukan Abrahah. Sementara sewaktu Nabi dan sahabat-sahabatnya masih hidup mereka tidak membutuhkan kavaleri untuk pengawalan dan penjagaan. Mengapa kita melakukan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan juga tidak oleh keempat khalifah setelahnya? Bukankah dengan dalih yang sama, karena tidak pernah dilakukan Rasulullah kita justru mengharamkan peringatan maulid?. Kalau dikatakan makam Nabi dan pemakaman Baqi patut mendapat penjagaan ketat agar tidak dijadikan lokasi 'penyembahan berhala' oleh para peziarah, -padahal seharusnya sahabat-sahabat nabi yang lebih layak memiliki kekhawatiran itu- lantas mengapa tidak menjadikan alasan itu untuk membenarkan pengadaan peringatan maulid, bahwa peringatan ceremonial semacam maulid justru sangat dibutuhkan umat akhir-akhir ini, sebagai waktu dan tempat untuk membincangkan keagungan dan kemuliaan nabi Muhammad SAW, untuk menyiarkan banyak dari sunnah-sunnah nabi yang terabaikan, untuk lebih memperkenalkan kemulian akhlak Rasulullah kepada mereka yang memendam dendam dan kebencian karena ketidak tahuan. Saya rasa kita punya kaidah penetapan hukum untuk itu, bahwa setiap yang menjadi perantara pelaksanaan amalan yang wajib maka wajib pula pelaksanaannya. Sekedar berwudhu hukumnya sunnah, namun menjadi wajib jika berkaitan dengan pelaksanaan shalat. Mengenang apapun yang berkenaan dengan Rasulullah menjadi wajib hukumnya karena menjadi syarat untuk menimbulkan kecintaan kepada Rasulullah SAW yang merupakan kewajiban bagi kaum muslimin.
Hari kelahiran Nabi sesungguhnya termasuk hari-hari Allah tentangnya Allah berfirman: "Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah." (Qs. 14:5).
Salam 'alaika ya Rasulallah….
Wallahu 'alam bishshawwab

04 Maret, 2009

Taklid Buta, Racun Beragama

Sebagai muslim, kita percaya, kelak mata, telinga dan hati akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan mahkamah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang meleset dari perhitungan-Nya. Dia yang Maha Besar berfirman, "Setiap orang bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya." (Qs. 74: 38). Karena diri kita sendirilah yang bertanggungjawab, maka sebuah keniscayaan untuk tidak sekedar ikut-ikutan tentang sesuatu. Sikap keberagamaan yang sejati adalah berani mengkritisi dan bersikap cerdas terhadap ajaran-ajaran agama yang disampaikan lewat para ulama. Apakah benar apa yang disampaikan ulama tersebut adalah bagian dari agama atau bukan?. Dalam Islam, ummat dilarang untuk ikut-ikutan tanpa pengkajian yang mendalam. Salah satu akar kata dari Islam adalah taslim yang berarti penyerahan sepenuhnya. Dan yang dimaksud, tentu saja penyerahan terhadap kebenaran. Dalam istilah syariat sikap ikut-ikutan tanpa daya kritis disebut taklid buta. Telah banyak ilmu yang telah kita dapatkan, baik di bangku pendidikan formal, lewat pengalaman atau ilmu yang kita gali dan kaji sendiri lewat media-media yang menawarkan pengetahuan, informasi dan wawasan yang beragam. Namun seberapa kritiskah kita terhadap semua itu?. Taklid buta memang harus kita hindari karena tidak sesuai dengan semangat zaman. Namun ada kalanya, ada banyak alasan dan kepentingan yang memaksa kita untuk tetap bertaklid buta, meskipun kita sadari sendiri, yang kita pertahankan sebenarnya sangat rapuh dan memang layak untuk dicampakkan. Taklid buta memiliki prolog, diantaranya berpikir keliru.
Penyebab Berpikir Keliru
Banyak hal yang membuat kita terkadang berpikir keliru. Diantaranya, bersandar pada prasangkaan bukan pada pengetahuan yang pasti. Kita lebih sering mendengar berita dan informasi yang masih taraf 'kayaknya', masih berupa gosip dan kabar burung, namun kita telah meyakininya sebagai kabar pasti. Allah SWT berfirman, "Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah berbuat kebohongan." (Qs. Al-An'am: 116). Ayat ini menegaskan, kebanyakan dari informasi yang berserakan adalah dari mereka yang hanya mengikutkan persangkaannya saja dan berbuat kebohongan. Hitler menulis dalam bukunya Mein Kamf, kebohongan yang dilakukan berulang dan sesering mungkin akan menjadi kebenaran suatu waktu. Yang dengan kebohongan-kebohongan inilah, penguasa menciptakan sejarahnya. Holocaust, yang menurut Ahmadi Nejad hanyalah mitos, namun bagi rakyat Eropa adalah kenyataan sejarah yang tidak bisa diragukan. Mereka bisa ragu terhadap keberadaan Tuhan, namun meragukan Holocaust adalah kejahatan. Fir'aun menjajah Bani Israel secara fisik dan pemikiran, berabad-abad lamanya, dengan mengatakan, "Aku adalah tuhanmu yang tertinggi." Dan tak ada yang berani menentangnya, sebab telah dijadikan keyakinan yang mutlak kebenarannya.
Penyebab lainnya berpikir keliru, adalah berpikir tradisional dan terlalu mengagungkan masa lalu. Seseorang cenderung mengagung-agungkan masa lalu, terlebih lagi masa lalu itu menyisakan cerita kegemilangan dan hikayat perjuangan yang mengagumkan. "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab, "(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya)". Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun, dan tidak mendapat petunjuk." (Qs. Al-Baqarah: 170). Ayat ini menceritakan tentang mereka yang merasa cukup untuk melakukan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Ketika ada yang menyampaikan kebenaran, merekapun menolaknya dengan alasan menjaga tradisi keilmuan dan budaya nenek moyang. Sehingga Al-Qur'an menegaskan, hatta nenek moyang mereka kolot dan tidak mendapat petunjuk, mereka tetap mengikutinya.
Kecenderungan manusia adalah cepat meyakini gagasan yang diklaim brialian dan mengagumi tokoh penggagasnya. Kekaguman terhadap seorang tokoh yang berlebihan juga dapat menjebak seseorang berpikir keliru. Yang ada adalah praktek taklid buta yang sangat dikecam oleh agama, sebab setiap orang kelak secara pribadi akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam Al-Qur'an tertulis ayat, "Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar." (Qs. Al-Ahzab: 67). Disini kita mesti membedakan antara Islam dengan ulama sebagai pembesar Islam. Ulama memang pengikut Islam yang taat dan mengajarkan Islam, namun mereka tidak identik dengan Islam dan menjadi bagian dari Islam. Kaum muslimin adalah mereka yang mengikuti ajaran Islam dan mengimaninya. Umat Islam bukanlah Islam itu sendiri. Sungguh berbeda antara akidah dengan pemeluk akidah, antara sahabat Nabi dan Nabi itu sendiri. Islam yang memiliki kebenaran mutlak di satu sisi dan pengikut yang memiliki pemahaman tentang Islam yang tidak mutlak kebenarannya berada di sisi lain. Setiap dari ulama memiliki pemahaman yang berbeda tentang syariat Islam bergantung pada tingkat kemampuan dan kadar keilmuan masing-masing, yang sangat ditentukan oleh besarnya keimanan dan kemampuan menanggalkan kepentingan hawa nafsu. Realitas menyodorkan kenyataan antara ulama yang satu dengan yang lainnya tidak satu dalam pemahaman mengenai apa yang disampaikan oleh Rasulullah atau mengenai ayat yang terdapat dalam Al-Qur'an.
Dialog sebagai Tradisi Intelektual
Islam (Al-Qur'an dan Sunnah) berada pada satu sisi, dan pemahaman ulama mengenai keduanya pada sisi lain. Karenanya, berbeda pemahaman dengan seorang ulama tidaklah berarti berbeda dengan Islam yang sebenarnya. Apabila seseorang mampu memahami sebuah nash dengan pemahaman tertentu, sementara yang lain memahaminya dengan pemahaman yang berbeda, maka berarti ada tugas lain yang menunggu. Setiap dari dua pihak yang memahami berbeda dari sebuah nash harus berulang kali berupaya kembali memahami kandungan nash tersebut dengan mempertimbangkan pemahaman mereka yang berbeda. Bukan malah menganggap pemahamannyalah yang paling sesuai dengan syariat. Inilah yang sesungguhnya semestinya dilakukan kaum muslimin, bersama-sama melakukan pengkajian terus menerus sampai memperoleh kesepakatan yang satu, sebab nash sesungguhnya hanya mempunyai maksud syar'i yang tunggal yang merupakan maksud Ilahi. Secara sepihak mengklaim diri pemahamannyalah yang paling benar sembari mengutuk dan mencela pemahaman yang lain berarti menyimpang dari ketentuan ajaran Islam. Yang perlu ditadisikan adalah dialog dan keterbukaan menerima pendapat yang berbeda. Furqon Hidayat (2007) menulis, "Dalam sejarah, dialog sebagai tradisi tidak pernah hilang dari kultur intelektual. Dialog menjadi aliran darah yang memompa jantung peradaban." Dari rahim dialog lahirlah philosophia, pencinta kebijaksanaan. Socrates telah memulainya dengan dialog-dialognya yang berani dan mencerahkan melawan hegemoni Sophist. Dalam arena keagamaan, taklid buta adalah racun yang mematikan hati penganutnya, sedangkan dialog, menghidupkannya. Karenanya perlu ada keberanian untuk melakukan pengembaraan intelektual, melepas semua ikatan-ikatan dogma yang membelenggu dan mengubur tradisi klaim yang beku, kita mulai dengan dialog, diskusi, debat atau apapun namanya. Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan: "Benturkan pandangan kalian satu sama lain, niscaya kalian temukan kebenaran". Ada semangat besar dalam mencari kebenaran yang terkandung dalam hikmah Imam Ali as ini. Bukan hanya sekedar berdiskusi, berdialog, bertukar pikiran namun juga kalau perlu saling berdebat, saling membenturkan pandangan, sealot dan sekeras mungkin. Imam Ali as melanjutkan pesannya, "Siapa yang bertabrakan dengan kebenaran akan terpental." Mari saling menghantamkan pandangan, kita lihat siapa yang terpental.
Wallahu'alam bishshawwab
Qom, 15 Februari 2009