22 Desember, 2009

Revolusi Al-Husain, Inspirasi yang Tak Pernah Habis

Karbala terletak beberapa kilo meter dari hulu sungai Eufrat di barat laut Kufah. Tanah Karbala awalnya bernama Kur Babal lalu disingkat menjadi Karbala untuk memudahkan pengucapan. Kata Babal dalam nubuat Yesaya berarti gurun laut (shahra' al bahr) sebuah lembah luas yang dibelah oleh sungai Eufrat. Versi lainnya, disebut Karbala karena pada zaman Babilonia disana terdapat tempat penyembahan. Karb berarti tempat penyembahan, tempat sembahyang dan tempat suci dan kata 'Abala dalam bahasa Aramea berarti Tuhan, sehingga Karbala artinya tanah suci Tuhan. Kitab-kitab samawi sebelumnya menyebut tanah tersebut Karbala, karena dinubuatkan di tempat inilah terjadi kesulitan dan bencana yang sangat memilukan hati. Karb dalam bahasa Arab artinya kesulitan dan bala artinya bencana. Al-Kitab, memberitakan bahwa di Karbala inilah terjadi penyembelihan yang teramat dahsyat, yang digambarkan pedang akan makan sampai kenyang dan akan puas minum darah mereka (Yeremia 46:1). Sejarahpun mengabadikan, Karbala adalah hamparan sahara yang menyuguhkan genangan darah dan air mata suci putera-puteri Rasul. 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain bersama 72 pengikutnya — termasuk di dalamnya anak-anak — syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid bin Muawiyyah di padang Karbala, Irak. Kepala Imam dan para syuhada dipenggal dan diarak keliling kota. Sangat disayangkan, peristiwa tragis ini kurang mendapat apresiasi bahkan dari kaum muslimin sendiri. Diantara buku-buku sejarah yang menumpuk diperpustakaan kita, sulit kita temukan buku yang membahas pembantaian Karbala, seakan-akan peristiwa ini tidak ada pentingnya untuk dikaji dan diapresiasi, sedangkan yang dibantai secara tragis adalah Imam Husain, cucu Rasulullah yang tersisa. Rasul bersabda tentangnya, "Husain berasal dariku dan aku berasal darinya. Allah mencintai siapa yang mencintainya. Siapa menyakitinya berarti menyakitiku" Karbala bukanlah sebuah peristiwa sejarah yang berhenti pada 10 Muharram, tetapi merupakan titik balik yang sangat penting bagi aqidah Islam yang agung. Yang dilakukan Imam Husain as di Karbala adalah revolusi tauhid, yakni revolusi yang –menurut Ali Syariati- gugusannya dimulai oleh nabi Ibrahim as, diledakkan secara sempurna oleh Nabi Muhammad saww, dipertahankan hidup oleh Imam Husain as dan berakhir pada Imam Mahdi. Ali Syariati merasa perlu mengingatkan, bahwa melupakan riwayat Imam Husain as sebagai mata rantai yang lepas dari rangkaian sejarah tidak bedanya memotong bagian tubuh manusia yang masih hidup untuk dilakukan penelitian atasnya. Perlawanan yang dikobarkan Imam Husain adalah hikayat kebebasan yang dikubur hidup-hidup oleh pisau kezaliman pada setiap zaman dan tempat. Karenanya semangat itu perlu kita hidupkan kembali. Pentingnya Mengenang Karbala Kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkat Yazid putranya sendiri sebagai khalifah atas kaum muslimin adalah awal pemicu prahara tak berkesudahan dalam tubuh umat Islam. Pengangkatan ini tidak hanya mengakhiri keagungan dan kecemerlangan Daulah Islamiyah yang telah dibangun oleh Rasulullah saww dan dijaga oleh keempat sahabat beliau yang mulia namun juga telah mengoyak-ngoyak tatanan politik Islam yang berkeadilan. Para sejarahwan menuliskan Yazid bukanlah orang yang layak menjadi khalifah, ia dzalim dan sering tampak secara terang-terangan menginjak-injak sunnah Rasulullah. Untuk memutlakkan kekuasaannya atas kaum muslimin, Yazid bin Muawiyah meminta baiat dan pengakuan dari Imam Husain as, sebagai orang yang paling alim dimasanya. Disinilah kondisi lebih pelik bermula, berhadapan dengan kekuatan besar dan kekuasaan Yazid, kematian adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi ketika memilih menolak berbaiat. Sebenarnya bisa saja Imam Husain as menganggap jalan menuju surga tidak hanya terbatas pada berjuang di bawah kilatan pedang. Jihad bukanlah satu-satunya jalan menuju surga, bukankah dengan hidup zuhud, menyingkirkan diri dari keramaian, menyibukkan diri dengan ibadah di sudut-sudut mesjid adalah jalan yang lebih mudah dan aman menempuh surga?. Tetapi tidak bagi al-Husain, surga bukanlah satu-satunya tujuan dan impiannya. Beliau harus melaksanakan tugas yang diemban dan taklif yang saat itu berada dipundaknya, mempertahankan kebenaran dan revolusi Islam yang telah diledakkan sang kakek. Menurut Imam Husain as, dasar kepercayaan Islam adalah kekuatan perlawanan dan pembebas. Islam tidak semata-mata memuat deretan do’a dan ibadah melainkan perlawanan yang bergelora. Mungkin dengan semangat itulah, Islam hakiki akan tampak, sebagaimana diturunkan pertama kali, menjadi pembebas bagi mereka yang berada dalam ketertindasan. Baginya, mengosentrasikan jiwa dan pikiran di sudut-sudut mesjid dan rumah-rumah kosong adalah pengkhianatan terhadap revolusi Islam. Dengan kekuatan yang tersisa, Imam Husain as mengajak keluarganya untuk memilih kematian daripada harus mengakui kekuasaan Yazid yang menumpahkan tinta lain selain Islam dalam pemerintahannya. Imam Husain berangkat melawan untuk membela kebenaran, yakni kebenaran bagi semua umat manusia. Jadi perlawanan tersebut dengan esensinya akan terus berlangsung selama-lamanya. Dimanapun seorang melakukan perlawanan terhadap kezaliman, disitulah Karbala. Setiap tusukan pedang pada hari Asyura adalah tusukan terhadap penguasa yang dzalim pada periode kapanpun. Itulah perlawanan yang mulai membara dan terus membara selama masih ada kedzaliman di atas muka bumi, selama masih ada pemerintah yang dzalim, selama masih ada aqidah dipermainkan. Itulah perlawanan yang takkan mereda, terutama saat ini ketika intimidasi menimpa banyak bangsa, aqidah dan agama dipermainkan untuk mengokohkan kezaliman, pengrusakan dan membenarkan kebiadaban segelintir manusia atas manusia lainnya Antoane Bara dalam bukunya The Saviour Husain dalam Kristinitas (Citra, 2007) menulis, Al-Husain adalah pelita Islam yang menerangi batin agama-agama hingga akhir zaman. Ajaran-ajaran revolusi Imam Husain, perlawanan terhadap ketidak adilan, kebebasan dan kemerdekaan jiwa, altruisme (ajaran rela berkorban) bukankah ini batin agama-agama sepanjang masa? Revolusi Al-Husain adalah lompatan keberanian dalam penjara-penjara hegemoni pada zamannya. Sebuah citarasa yang tinggi. Kalimat syahadat, La ila haillallah adalah simbol universitas kesyahidan, yakni kebebasan, tidak ada ketundukan kepada selain Allah. Allah SWT berfirman, "Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, tetapi mereka hidup" Demikianlah Al Husain tetap hidup, hidup di sisi Allah, di dalam hati, jiwa dan pikiran orang-orang yang memerdekakan jiwanya. Hidup dalam perasaan, di atas mimbar, di dalam majelis-majelis, dalam slogan-slogan perlawanan, hidup dalam buku. Gerakan, semangat dan misi Al-Husain di Karbala, di hari Asyura akan selalu menginspirasi setiap gerakan revolusi di dunia, di setiap masa. Revolusi Al-Husainlah yang menginspirasi Mahatma Ghandi membawa rakyat India menuju pembebasan dari penjajahan Inggris. Di penghujung abad 20 Imam Khomeini telah menuntun kafilah dan semangat Asyura meruntuhkan Imperium yang berkuasa 2.500 tahun membuktikan Revolusi Al-Husain mengungguli dunia dan zaman. Kullu Yaumin As-Syura , Kullu ardin Karbala, semua hari adalah As-Syura, semua tempat adalah Karbala. Wallahu 'alam bishshawwab

19 Desember, 2009

Studi Kritis Hadits “Kurun Generasi Terbaik”

Dari Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya". HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635.

Berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim di atas, ada tiga kelompok yang merupakan sebaik-baik manusia, yang hidup sezaman dengan Nabi saww yakni para sahabat, zaman setelahnya yakni tabi’in dan zaman setelahnya lagi, yakni generasi tabi’ut tabi’in. Inilah di antara hadits yang biasa digunakan kaum salafiyun dalam mendakwahkan pemahaman dan keyakinan Islam mereka. Dengan berlandaskan hadits ini pula dibuatlah teori baru mengenai bid’ah, bahwa bid’ah adalah apa-apa yang tidak ada pada tiga kurun setelah wafatnya Nabiullah Muhammad saww. Mereka senantiasa berargumentasi, bahwa apapun yang dianggap baik bagi agama ini, maka tiga generasi tersebut niscaya akan lebih dahulu melakukannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia, mereka memiliki pemahaman agama yang hanif, bersih dan lebih mendalam dibanding generas-generasi Islam setelahnya. Karenanya suatu kewajiban, pemahaman dan pendapat apapun mengenai agama ini harus merujuk kepada pemahaman ketiga generasi terbaik tersebut.

Sebagai bentuk kecintaan kepada agama ini yang telah disampaikan dan didakwahkan oleh Nabiullah Muhammad saww, adalah suatu keharusan sejarah untuk senantiasa kritis dan tak berhenti melakukan tahqiq (penelitian) yang serius dan mendalam terhadap apapun yang dianggap bagian dari agama ini, termasuk terhadap hadits-hadits yang dikatakan dari Nabi yang merupakan diantara rujukan umat Islam dalam beraqidah dan beramal. Menelusuri keshahihan sebuah hadits melalui penelusuran sanad dan kejujuran para perawi adalah salah satu di antara metode yang digunakan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari anasir-anasir yang ingin mencemarinya. Namun tidak pula bisa diabaikan kenyataan sejarah menjadi salah satu tolok ukur keshahihan dan kebenaran sebuah hadits, bahwa Nabiullah saww tidak berbicara dan bersabda berdasarkan hawa nafsu belaka, apa yang beliau sabdakan berasal dari petunjuk Allah swt yang Maha Mengetahui keadaan. Karenanya bisa ditetapkan, bahwa apapun yang disampaikan dan dinubuatkan oleh Nabi akan terbukti dan dipersembahkan oleh kenyataan sejarah. Dengan metode ini kita akan melakukan peninjauan kembali terhadap hadits di atas, benarkah tiga kurun generasi yang katanya disebutkan oleh Nabi saww tersebut adalah generasi terbaik?.

Kriteria Generasi Terbaik

Permasalahan mendasar yang mesti kita ajukan sebagai pertanyaan, adalah apa yang dijadikan standar dan kriteria sebuah generasi dikatakan terbaik atau terburuk?. Ada tiga tolok ukur asumtif yang biasa diajukan kaum salaf dalam memberikan atribut baik buruknya sebuah generasi.

Pertama, sebuah generasi disebut terbaik karena tidak adanya perselisihan di antara mereka dalam masalah ushuluddin dan aqidah. Kedua, karena mereka hidup dalam kondisi yang aman, tentram, sejahtera dan penuh dengan rasa persaudaraan. Ketiga, karena mereka menunjukkan loyalitas terbaik terhadap cita-cita agama dan merealisasikannya dalam tataran implementasi. Mereka gigih menuntut ilmu, berdakwah dan berjihad demi bertumbuh dan tersebarnya ajaran agama ini.

Namun ketika ketiga kriteria asumtif tersebut kita gunakan untuk membuktikan terbaiknya tiga generasi pasca wafatnya Rasulullah saww, sayangnya tidak satupun dari ketiganya yang membenarkan hadits tersebut, bahkan oleh Al-Qur’an sendiri dan kontradiktif dengan hadits Nabi lainnya.

Jika tolok ukurnya adalah akidah yang shahih dan bersih, maka sebuah keniscayaan ketiga generasi yang dikatakan terbaik, orang-orang muslim semuanya akan berpegang teguh pada satu akidah yang benar sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saww, dan akidah yang batil dan menyimpang baru akan muncul dan lahir setelah tiga generasi terbaik tersebut. Namun sejarah lahirnya beragam sekte, firqah dan mazhab dalam masyarakat Islam menyangkal klaim tersebut. Khawarij muncul dipenghujung tahun ke-30 H, mereka memiliki akidah yang batil mengenai keimanan, mereka membunuhi kaum muslimin yang berselisih paham dengan keyakinan mereka, dengan mudah mereka menyematkan kekafiran kepada banyak kaum muslimin, sehingga hamparan bumi bersimbah darah karenanya. Belum berakhir satu abad pertama, kembali muncul Murjiah, mereka mengajak umat Islam untuk berlepas dari tatanan dan komitmen syariat dengan slogan yang terkesan humanis dan elegan, “Selama seseorang masih beriman, maksiat apapun yang dilakukan tidak tercatat sebagai dosa”. Iman bagi paham ini cukup dengan ucapan, sehingga berbagai kewajiban agama, moralitas dan berbagai kode etik diremehkan dan ditinggalkan. Tidak lama berselang setelah itu, muncul kembali Mu’tazilah pada tahun 105 H dengan jarak yang singkat sebelum wafatnya Hasan al Bashri. Kehadiran paham baru ini semakin membuat jurang perselisihan dan perpecahan kaum muslimin semakin menganga dan melebar dan bahkan terkadang perselisihan yang ada mesti diselesaikan dengan pertumpahan darah.

Jika ukurannya adalah terpeliharanya keamanan, ketentraman dan seluruh kaum muslimin menyatu dan bersaudara dalam ikatan ukhuwah islamiyah yang erat dan mapan maka fakta sejarahpun secara tegas menampiknya. Sketsa politik generasi awal Islam menjadi lembaran sejarah paling hitam dalam sejarah perjalanan umat Islam. Kurun generasi awal disertai serangkaian peristiwa tragik yang menorehkan tinta hitam di kening umat Islam. Khalifah kedua sampai keempat mati bersimbah darah karena fitnah yang dipicu kaum muslimin sendiri. Kecuali khalifah kedua, khalifah ketiga dan keempat gugur terbunuh di tangan kaum muslimin sendiri. Meletusnya perang saudara, diantaranya perang Jamal dan Shiffin, pemberontakan Muawiyah dan kaum Khawarij terhadap khalifah yang dibaiat mayoritas kaum muslimin jelas merupakan penyimpangan dan kesalahan besar yang mengoyak-ngoyak persaudaraan dan persatuan kaum muslimin. Tidak bisa dilupakan pula terbantainya Imam Husain as, cucu kesayangan Rasulullah saww yang disebutkannya sebagai penghulu pemuda surga dimasa pemerintahan rezim Yazid bin Muawiyah. Imam Husain as beserta ahlul bait nabi lainnya syahid dibantai secara kejam dan bengis di padang Karbala, tanpa pembelaan, tanpa pertolongan dari mayoritas kaum muslimin yang tersebar di semenanjung Arab, Makah, Madinah, Syam, Thaif dan Kufah serta daerah-daerah Islam lainnya, sementara masih segar dalam ingatan mereka Rasulullah saww pernah bersabda dan mengingatkan agar Ahlul Bait dan itrah suci beliau dijaga dan senantiasa berpegang teguh dengan pemahaman mereka sebagaimana telah menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangan dan pedoman hidup. Tidak cukup puas dengan membantai keluarga Nabi, Yazid bin Muawiyah, atas perintahnya kehormatan kota Madinah telah tercemari, pembunuhan sejumlah sahabat Nabi dan Tabi’in, perampasan harta dan pembakaran rumah-rumah penduduk, bahkan Ka’bahpun dirusak dan diserang. Tragedi ini dikenal dikalangan ulama dan sejarahwan sebagai tragedi Al-Harrah.

Semua peristiwa dan tragedi yang memilukan hati ini terjadi sebelum genap abad pertama Hijriyah, lalu bagaimana mungkin generasi tersebut disebut dan diklaim sebagai generasi terbaik dan utama?. Sangat sulit melakukan penalaran secara sehat, bahwa Rasulullah saww telah menetapkan bahwa generasi yang kaum musliminnya saling bunuh sesamanya disebut sebagai generasi terbaik. Kalau masa sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in adalah sebaik-baik masa tentu tidak akan terjadi fitnah dan perpecahan umat. Kalau mereka semuanya adalah orang-orang terbaik dan pilihan tentu tidak akan terjadi pertumpahan darah di antara mereka, tentu tidak akan ada sahabat yang membunuh sahabat lainnya. Sebab orang adil tidak akan membunuh orang lain yang diharamkan Allah SWT untuk dibunuh. Seandainya seluruh sahabat adil dan masa mereka adalah masa terbaik tentu tidak akan terjadi pembunuhan kepada Imam Ali as dan kedua putranya yang merupakan buah kecintaan Rasulullah, dan juga pembantaian atas ratusan sahabat pada tragedi Al-Harrah. Kalau masa mereka adalah masa terbaik tentu kekhalifaan diserahkan kepada yang terbaik diantara mereka, bukan diserahkan kepada orang yang menyalahgunahkan kekhalifaan dan merubahnya menjadi kerajaan untuk kepentingan keluarganya.

Jika tolok ukur yang digunakan adalah sikap konsisten dan berpegang teguh terhadap nilai-nilai luhur yang dibawa Rasulullah saww maka sulit bagi kita membenarkan hadits yang diriwayatkan Syaikhain (Bukhari dan Muslim) tersebut mengenai khairu ummah. Bagaimana kita dapat mengimani keshahihan hadits tersebut sementara Al-Qur’an lebih banyak menyematkan atribut dan sifat-sifat negatif terhadap kebanyakan kaum muslimin yang sezaman dengan Nabiullah Muhammad saww?. Al-Qur’an menginformasikan kepada kita kebanyakan dari mereka yang sezaman dengan Nabi sebagai orang-orang munafik, yang keterlaluan dalam kemunafikannya (Qs. At-Taubah: 101), masih berpenyakit dalam hatinya, tidak memiliki keteguhan iman, dan berprsangka jahiliyah terhadap Allah swt (Qs. Ali-Imran: 154), sangat enggan berjihad (Qs. An-Nisa': 71-72 dan At-Taubah ayat 38), melakukan kekacauan dalam barisan (Qs. At-Taubah: 47), lari tunggang langgang ketika berhadapan dengan musuh (Qs. Ali-Imran: 153 dan At-Taubah : 25), bahkan kebanyakan mereka lebih memilih perdagangan dan permainan daripada mendengarkan Nabiullah Muhammad saww berkhutbah, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” (Qs. Al-Jumu’ah: 11).

Tolok ukur kebenaran hadits adalah tidak mungkin hadits yang disampaikan Rasulullah saww bertentangan dengan realita yang terjadi. Karenanya secara pribadi, saya menyangsikan keshahihan hadits ‘khairuh ummah’ ini, hatta diriwayatkan dan ditulis oleh yang diklaim sebagai Amirul Mu’minin fil hadith sekalipun.. Kalau disuruh memilih saya lebih memilih hadits yang menyatakan, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia yang lain." Ataupun firman Allah SWT, "Sungguh sebaik-baiknya diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa." (Qs. Al-Hujurat: 13).

Akh, maafkan saya, kalau lebih memilih firman Allah SWT yang suci dari pada ucapan yang belum terjamin kemutlakannya pernah disabdakan oleh Nabi-Nya. Allah SWT berfirman, "Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran." (Qs. Al-'Asr: 1-3). Ayat ini menegaskan manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka beriman, mengerjakan kebajikan, saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Allah SWT tidak mempersyaratkan masa dan zaman di mana seorang hambanya hidup dan bermukim. Seorang manusia tidak pernah memilih dan tidak punya ikhtiar mengenai kapan dan dimana ia dilahirkan, sebab telah menjadi hak mutlak Allah swt untuk menetapkannya. Karenanya berdasarkan falsafah keadilan Ilahi adalah keniscayaan tidak menjadikan semata-mata masa dan tempat lahir sebagai persyaratan seseorang disebut memiliki kebaikan dan kemuliaan, melainkan berdasarkan kekuatan iman, kedalaman ilmu dan keikhlasan amal.

Saya menemukan sebuah hadits dalam kitab Shahih Muslim no. 578 Jilid I pada Bab Jenazah (Mayyit), dari Abbad bin Abdullah bin Zubair ra, katanya, bahwa Aisyah memerintahkan supaya jenazah Sa’ad bin Abi Waqqash dimasukkan ke dalam masjid untuk dishalatkan. Perintah itu diingkari oleh banyak orang. Berkata Aisyah, “Alangkah lekasnya orang-orang telah lupa, bahwa Rasulullah saw telah menyembahyangkan jenazah Suhail bin Albaidha’ di dalam Masjid”. Kita bisa mengambil kesimpulan sendiri mengenai inti dari riwayat ini, dari sisi mana generasi mereka dikatakan terbaik di antara generasi Islam jika mereka sebagaimana kesaksian Ummul Mukminin Aisyah Radiallahu anha begitu lekas lupa dengan sunnah Nabi-Nya yang mereka menyaksikan sendiri Rasulullah saww mempraktikannya?.

Sebagai penutup, saya menyertakan sebuah hadits lainnya yang justru menafikan hadits ‘khairu ummah’ yang diriwayatkan Bukhari-Muslim yang kita bicarakan. Diriwayatkan dari Abu Jum’ah ra yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah saww dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah ra yang berkata “Wahai Rasulullah saww adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau. Beliau saww menjawab “Ya ada, yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dimana beliau berkata hadis ini shahih.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398 hadis no 2744 dengan sanad yang shahih. Dan diriwayatkan pula oleh Al Hakim dalam kitabnya Mustadrak Ash Shahihain juz 4 hal 85 hadis no 6992 dimana Beliau berkata hadis tersebut shahih dan disepakati oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak .

Saya tidak akan banyak bercerita soal hadis tersebut karena kata demi kata dalam hadis tersebut sudah sangat jelas. Kata-kata Abu Ubaidah bin Jarrah ra adakah orang yang lebih baik dari kami? Itu merujuk pada para Sahabat Nabi . Rasulullah saww menjawab bahwa ada yang lebih baik yaitu kaum setelah Sahabat, yang beriman kepada Rasulullah saww walaupun mereka tidak melihat Beliau saww. Lantas ketika ada riwayat lain menyatakan bahwa sahabat-sahabat nabi adalah generasi terbaik tidakkah ini kontradiktif dan memancing kita untuk tidak begitu saja menerima?. Islam adalah perjuangan mencari, bukan kepasrahan menerima.

"Dan mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (Qs. Ali-Imran: 54).

Wallahu ‘alam bishshawaab

Qom, 15 Desember 2009

15 Desember, 2009

Pluralisme, Ancaman Laten Agama-agama

-Sebuah Tanggapan- Dalam sejarah kelahiran, pertumbuhan dan perkembangannya, agama-agama seringkali mengalami proses yang disebut oleh Luthfi Assyaukanie sebagai ”proses heretisasi”, yakni upaya menjauh dari pemahaman ortodoks. Jika proses heretisasi berlangsung mulus, sebuah agama baru bakal muncul; jika tidak, konflik dan ketegangan akan terus terjadi. Proses heretisasi terjadi sepanjang sejarah. Jika kaum Yahudi menganggap Kristiani sebagai agama sempalan Yahudi, Kristen justru memandang Islam sebagai sekte sesat. Begitupun sebaliknya agama-agama yang datang belakangan memandang agama sebelumnya sebagai agama sesat jika tidak mengakui ajaran-ajaran baru yang mereka bawa. Munculnya keragaman pemahaman dan keyakinan adalah realitas yang sulit untuk dipungkiri. Perbedaanpun tidak hanya berkisar dalam tataran fikih (fhuru') bahkan merembes pada persoalan ushul (asas) pada ajaran agama. Setiap agama, baik yang telah punah ataupun masih tumbuh, yang kuno maupun modern, yang teistik maupun non-teistik, lahir dan hadir lengkap dengan klaim kebenaran. Terlepas apakah klaim tersebut valid atau tidak, rasional atau irrasional. Doktrin kebenaran yang dijunjung tinggi masing-masing agama, selama ini dianggap sebagai pemantik dan pemicu terjadinya kekerasan atas nama agama. Sejarah agama-agama selalui disertai dengan tragedi fanatisme yang berdarah-darah. Mulai dari ‘penyaliban’ Isa al Masih, sampai dengan aksi terorisme abad 21 yang menyisakan kisah pilu yang tak berkesudahan. Hal ini menggugah tokoh pemikir dan kaum cendekiawan untuk berkompetisi mengusulkan solusi-solusi yang tidak hanya teoritis namun juga praktis. Mulai dari liberalisme agama abad ke-15, Protestanisme liberal abad ke-19, hingga pluralisme agama abad ke-21. John Hick, yang dianggap sebagai konseptor isme terakhir ini, berupaya mengikis religious zeal (kecemburuan agama) dengan mengeluarkan konsep, “Semua agama adalah respon terhadap keberadaan tertinggi yg bersifat transenden (Allah-yang disebutnya The Real).” Karenanya bagi John Hick, semua agama sama saja, intinya adalah mengajarkan pada kebaikan. Sebagai tawaran solusi, pluralisme agama memang tampil simpatik, cerdas dan humanis, karena ingin membangun teologi yang toleran, inklusif dan berupaya menempatkan masing-masing penganut agama sejajar satu sama lain. Dalam pandangan pluralisme agama, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh ada satupun pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Meskipun terkesan luhur, teologi pluralisme agama ini tidak luput dari beberapa kritikan terutama mengenai ancamannya yang serius terhadap pertumbuhan dan perkembangan agama-agama. Bahaya Pluralisme Pada dasarnya, paham pluralisme agama menyangkali iman sejati agama-agama. Yudaisme mempunyai doktrin the chosen people (masyarakat terpilih). Kebenaran dan keselamatan hanya berdasar atas etnisitas yang sempit, yaitu bangsa Yahudi. Katolik punya doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan), Protestan dengan doktrin outside Christianity, no salvation (di luar Kristen tidak ada keselamatan). Dan Islam memiliki doktrin, “Tidak ada agama yang diridhai kecuali Islam”. Karena dapat mereduksi keunikan pandangan masing-masing agama, paham pluralisme agamapun mendapat perlawanan sengit dari tokoh agama dan lembaga keagamaan. Tahun 2000, Vatikan telah menolak paham pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus. Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham pluralisme agama berjudul 'Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini'. Tahun 2006, Media Hindu menerbitkan satu buku berjudul 'Semua Agama Tidak Sama' dan tidak ketinggalan MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham pluralisme agama (Adian Husaini, 2006). Kritikan lainnya, tokoh-tokoh pluralis dalam menganut paham pluralisme agamanya cenderung in-konsisten. Jika mereka menyebut salah orang-orang yang menganggap pemahaman dan keyakinan sendirilah yang paling benar, maka mereka melakukan kesalahan yang serupa jika menyakini paham pluralisme agamalah yang paling benar dan mampu memberi keselamatan bagi umat manusia. Jika seorang pluralis anti terhadap kaum eksklusivis yang meyakini hanya agamanya saja yang benar, maka ia bukanlah pluralis yang konsisten. Pluralis sejati adalah yang memberi ruang kebebasan berkeyakinan hatta terhadap kaum eksklusivis sekalipun tanpa perlu repot-repot menggugat keyakinan mereka. Dalam tataran praktis, kaum pluralis justru ingin mengungguli klaim kebenaran masing-masing agama dengan mengklaim diri, paham pluralisme agama sajalah yang mutlak benar. Toleransi yang dibangun atas dasar keyakinan bahwa semua agama benar adalah toleransi yang semu. Toleransi sejati justru muncul sebagaimana yang dikatakan Frans Magnis Suseno seorang cendekiawan Kristen, ”meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.” Karenanya, menurut saya, tidak ada yang salah dari keyakinan bahwa hanya agama dan keyakinan kita sendirilah yang benar. Siapapun berhak mengatakan dan meyakini itu. Umat Kristiani perlu berani mengakui perkataan Yesus "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Sikap demikian bukanlah fanatik tetapi konsisten. Fanatik adalah meyakini sesuatu tanpa sikap kritis dan studi mendalam. Seseorang yang belum pernah belajar semua agama tetapi tiba-tiba mengatakan semua agama samalah yang justru fanatik dan berbahaya. Yang salah dan tidak bisa dibenarkan menurut saya, adalah pemaksaan keyakinan. Menuntut orang lain memiliki keyakinan yang sama dengan apa yang kita yakini. Islam mengajarkan bukan semata-mata keyakinan orang lain yang harus dijadikan musuh, melainkan kedzaliman. Lakum dinikum waliyadin (untukmu agamamu dan untukku agamaku), adalah konsep yang paling jelas akan adanya ajaran toleran terhadap keyakinan lain dalam Islam. Karenanya, bukan ajaran yang menyatakan semua agama sama yang harus dikembangkan untuk mengajak pemeluk agama beragama secara dewasa. Sebab pandangan itu justru merusak dan meruntuhkan sendi-sendi dan syariat khusus masing-masing ajaran agama. Kebutuhan mendasar adalah memberikan dorongan teologis bahwa kendatipun setiap agama memiliki perbedaan norma dan doktrin, namun dalam tataran empirik mempunyai kesamaan realitas, yakni kesamaan kemanusiaan. Manusia yang keinginannya sederhana saja, ingin menjadi orang baik-baik, berbudi, bermoral, berguna di hadapan manusia lain dan mulia di hadapan Tuhannya. Kita tidak harus berpikir sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir, untuk perdamaian dan tatanan kehidupan yang lebih baik. Wallahu ‘alam bishshawwab Ismail Amin Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran

01 Desember, 2009

Tatanan Politik Islam yang Terkoyak

(Mengenang Peristiwa Ghaidir Khum yang Terlupakan)

Dalam keyakinan kita sebagai muslim, Islam merupakan sistem keyakinan dan tata nilai yang memuat aturan-aturan Ilahi yang universal dan hakiki, mencakup berbagai sisi kemanusiaan baik bersifat personal (berkaitan dengan diri sendiri) maupun publik (berkaitan dengan di luar diri). Sistem ini ditujukan untuk mengatur prikehidupan manusia, agar manusia bisa menegakkan keadilan baik ke sisi terdalam dirinya maupun ke luar dirinya. Karenanya, sesungguhnya ketika Allah SWT berfirman: "Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil." (Qs. Al-Hadid : 25), maka sebetulnya Islam tengah menyuguhkan sebuah bentuk tatanan politik.
Ayat di atas menegaskan tatanan politik yang dikehendaki Islam berasas pada keadilan. Menurut Islam keadilan harus dirasakan oleh semua, baik oleh yang meyakini Islam sebagai agama yang dipeluknya maupun yang mengingkarinya. Karenanya, keadilan pada Islam berdiri pada pondasi kepastian dan keyakinan. Islam berbeda dengan tatanan politik buatan manusia yang dibangun atas dasar perkiraan dan prediksi semata. Kemutlakan kebenaran ajaran Islam ini meniscayakan adanya orang-orang utusan yang telah mendapat sibgah (celupan) Ilahi, sehingga setiap perkataan dan tindak tanduknya merupakan manifestasi Ilahi, tidak semillipun meleset dari apa yang dikehendaki-Nya. Gambaran ringkasnya ada pada kepribadian nabi Muhammad saww yang mengaktualisasikan aturan Ilahi itu dalam seluruh hembusan nafas dan perilakunya. Ketika umat manusia mengikuti segenap tuntunan sang Nabi, maka kemuliaan dan keagungan mampu mereka raih. Namun ketika justru berpaling, Al-Qur'an membahasakan, "Mereka akan mendapat azab yang pedih".
Karenanya lewat tulisan ini saya ingin menegaskan, kesengsaraan dan ketimpangan sebagai 'azab pedih' yang dirasakan umat Islam saat ini, bukan bersumber dari aturan-aturan Islam yang tidak update, yang ketinggalan zaman, melainkan umat Islam sendiri yang telah 'nakal' mengganti nikmat Allah dengan hukum-hukum buatan manusia. Kita tidak bisa menghindari kenyataan akan traumanya umat Islam akan sistem kepemimpinan politik Islam. Dalam perjalanan sejarah masyarakat Islam, tatanan politik berkeadilan yang hendak diwujudkan Islam pernah mengalami terpaan badai prahara. Dunia Islam pernah dipimpin oleh khalifah-khalifah yang terkadang salah dan tidak becus dalam menjalankan kekuasaannya bahkan melakukan kedzaliman yang tiada tara yang membuat sebagian orang trauma dengan pemerintahan Islam. Menurut saya, wajar saja, sebab yang dianggap khalifah oleh umat Islam adalah orang-orang yang sebenarnya tidak layak memegang jabatan itu. Untuk membenarkan ketidakbecusan mereka inilah kitapun berpendapat khalifah atau pemimpin bisa saja salah, dan dibuatlah konsep, tidak ada ketaatan kepada pemimpin dalam kemaksiatan. Dikatakanlah pemimpin tidaklah harus yang paling alim, tidaklah mesti yang paling tahu tentang ajaran agama ini, bahkan dengan hadits yang dibuat-buat, ketaatan harus tetap diberikan kepada pemimpin meskipun mereka melakukan kedzaliman. Pendapat seperti ini mendapat tantangan dari Allah SWT yang berfirman di dalam Surah al-Zumar (39) : 9: "Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran". Dan firman-Nya di dalam Surah Yunus (10):35: "Maka apakah orang-orang yang menunjuki jalan kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang-orang yang tidak dapat memberi petujuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimana kamu mengambil keputusan?"
Laporan Sejarahwan
Ya, begitulah. Aqidah sesat inilah yang melahirkan pemimpin-pemipin durjana yang berjubah Islam. Tersebutlah pemerintahan Muawiyah yang didalamnya Imam Hasan terbunuh dengan racun yang menghancurkan ulu hatinya, Yazid yang dimasa pemerintahannya Imam Husain syahid terbantai secara tragis. Padahal keduanya adalah cucu kesayangan Rasulullah saww. Tersebutlah Marwan ibnul Hakam yang merubah sunnah-sunnah Rasulullah dengan kekuasaannya, padahal ayahnya pernah dilaknat oleh Rasulullah saww sementara Marwan saat itu berada pada tulang sulbi ayahnya. Aisyah ra menyebut Marwan sebagai tetesan dari laknat Allah. Hadits tentang ini diriwayatkan oleh An-Nasai dan Al Hakim mensahihkannya dalam Mustadrak al-Hakim (4 : 481). Tak terperihkan penderitaan yang harus dialami ulama-ulama Islam sepanjang pemerintahan khalifah-khalifah dari Dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Cambukan, siksaan, pemenjaraan bahkan sampai dibunuh harus menjadi tebusan atas dakwah mereka. Melihat kenyataan ini, Imam Khomeini ra mengatakan, "Islam tumbuh dan berkembang karena pengorbanan dan kesyahidan putra putri tercintanya."
Kita lihat apa yang dilaporkan sejarahwan atas ulah khalifah-khalifah yang menyalahi ajaran Islam dan mengabaikan syarat-syarat yang dibutuhkan seorang pemimpin. Dalam kitab tarikhnya, Al-Kamil fi Tarikh, Daru'l Kitab Al-Arabi, Beirut, jilid 12 hlm 375 Ibnu Atsir menuliskan kesaksiaannya yang melihat dengan mata kepala sendiri ulah raja-raja dan khalifah-khalifah 25 tahun sebelum kejatuhan Baghdad. Ia menggambarkan para raja-raja ini tidak ubahnya seperti hewan yang hanya memikirkan persoalan perut dan melampiaskan nafsu syahwat sesuka mereka.
Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa'n Nihayah jilid 13 hlm 200 menulis : "Saya memasuki kota Baghdad tahun 656 H. Pada tahun itu saya melihat bala tentara Tartar telah mengepung kota Baghdad, kemudian pasukan Tartar tersebut mengepung istana khalifah, lalu menghujaninya dengan anak panah dari segenap penjuru, sehingga akhirnya mengenai seorang sahaya wanita yang sedang main-main dengan khalifah. Sahaya yang bernama Arfah itu termasuk salah seorang gundik khalifah. Ketika anak panah itu mengenainya, ia sedang menari-nari di hadapan khalifah. Khalifahpun terkejut dan ketakutan.". Apa yang terpetik dalam benak ketika membaca penyaksian Ibnu Katsir ini ?. Mana tanggungjawab sang khalifah sebagai pemimpin ketika justru negara dalam kondisi perang dan genting masih juga bermain-main, bukankah sebagai khalifah dia harusnya memikirkan masa depan rakyatnya dan umat Islam ?.
Sedangkan laporan sejarahwan Khatib Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, menuliskan Khalifah Muqtadir memiliki sebelas ribu orang kebiri dan ribuan budak dari Sicilia, Roma dan Ethiopia dan kemewahan yang tiada taranya dalam sejarah. Cukuplah tiga pengakuan sejarahwan ini yang saya nukilkan.
Sejarahwan muslim telah menulis sejarah dengan apa adanya dan laporan-laporan sejarah mereka menunjukkan adanya kenyataan yang tidak terpungkiri, sebagian besar khalifah-khalifah yang diakui sebagai penguasa dan pemimpin atas kaum muslimin mempraktikkan gaya hidup yang hedonisme, penuh kemewahan, menghambur-hamburkan Baitul Mal, menginjak-injak aturan Islam, menyogok ulama untuk mengukuhkan kekuasaan mereka dan menyingkirkan Imam yang sah dan ulama-ulama yang berusaha menyadarkan masyarakat muslim akan kedzaliman mereka. Saya tidak memungkiri adanya kejayaan dan prestasi-prestasi gemilang yang mereka raih, namun apakah kita bisa menyebut pemerintahan mereka Islami ketika kemajuan dan kemakmuran hanya dirasakan segelintir orang sementara jumlah mereka yang tersingkirkan secara sosial tidak terhitung ?. Bisakah mereka disebut sebagai khalifah-khalifah Islam sementara keadilan sebagai prinsip Islam tidak mereka tegakkan ?
Pesan Ghadir Khum yang Terabaikan
Keberadaan khalifah-khalifah yang menyimpang dari tuntunan Ilahi ini membuat aturan politik Islam terpecah menjadi kepingan-kepingan besar. Sebagian besar umat Islam menyatakan Islam tidak mengurusi persoalan politik, dan sebagiannya lagi justru sibuk menggedor-gedor kesadaran kaum muslimin akan pentingnya politik dan kekhilafaan dalam masyarakat Islam. Kaum muslimin menderita sakit yang memilukan dan menghilangkan simpatik umat lain. Bukan hanya syariat Islam yang diragukan kedigdayaannya menegakkan keadilan, namun juga berimbas kepada penghinaan dan pengolok-olokan nabi Muhammad saww yang dianggap telah menebar teror kemanusiaan bukannya menegakkan keadilan. Allah SWT berfirman, "Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (Qs. Al-Anfal : 53). Jadi sesungguhnya, bukan Allah SWT tidak menepati janjinya, bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik, ummat yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, umat washatan yang mampu menegakkan keadilan, melainkan umat ini sendiri yang mengingkari nikmat dan anugerah yang telah diberikan. Umat Islam sendirilah yang berani menorehkan tinta berwarna selain Islam dengan membuat aturan-aturan politik lain lalu kemudian menyebutnya sebagai aturan Islam.
Setelah melakukan ibadah Haji Perpisahan (Hajjatul-Wada) tahun 10 H, bersama jemaah haji Rasulullah berhenti di Gaidir Khum. Rasulullah menyampaikan khutbah terakhirnya dihadapan ratusan ribu sahabatnya, diantara penggalan khutbahnya sembari memegang dan mengangkat tangan Imam Ali as tinggi-tinggi, Rasulullah bersabda, "Wahai manusia sekalian ! Allah adalah maulaku dan aku adalah maula kalian, maka barangsiapa yang menjadikan aku maulanya maka Ali ini (juga adalah maulanya." Masih tetap memegang erat tangan Imam Ali as Penguasa mutlak atas manusia berfirman pada Rasullah saww, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu." (Qs. Al-Maidah :3). Ya, kesempurnaan ajaran Islam meniscayakan adanya tatanan politik yang kuat dan cemerlang dalam Islam untuk menegakkan keadilan atas umat manusia, sehingga menjadi ajaran rahmat bagi sekalian alam.
Wallahu 'alam bishshawwab
Qom, 13 Dzulhijjah 1430 H