09 Agustus, 2008

Krisis Ekologi dan Ritualitas Islam

Di Qom, kota tempat saya sementara menetap dan belajar di Iran, beberapa bulan terakhir setiap harinya selama sejam terjadi pemadaman listrik. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Awalnya saya menyangka Iran juga mengalami krisis listrik sebagaimana yang terjadi di beberapa kota di Indonesia, setelah beberapa saat menyibukkan diri membaca media dan menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain, dugaan saya benar. Sulit dipercaya, Iran yang memiliki hampir 450 reaktor nuklir yang memproduksi 16 persen listrik seluruh dunia, mengalami krisis listrik. Pasokan listrik di Iran sangat berlebih dan murah, saking murahnya pembayaran listrik dilakukan setiap dua bulan. Aksi pemadaman listrik ini ada hubungannya dengan pecahnya beting es Antartika di Kutub Selatan akhir Mei lalu. Retakan terjadi pada 30-31 Mei 2008 di beting es Wilkins yang menghubungkan pulau es Charcot dan Latedy. Wilkins adalah pulau es raksasa yang telah berusia 1.500 tahun di kawasan Semenanjung Antartika yang berada di sebelah selatan Amerika Selatan. Luas es yang pecah di kawasan tersebut mencapai 160 kilometer persegi. Peristiwa ini direkam oleh Satelit Envisat milik badan antariksa Eropa. Ini adalah rekaman peristiwa kedua tahun ini dan rekaman pertama pecahnya lapisan es dalam ukuran besar di musim dingin.Luas es yang pecah pada peristiwa kedua ini masih lebih kecil daripada peristiwa sebelumnya, yang terjadi pada Februari 2008 seluas 400 kilometer persegi. Namun, kejadian tersebut mengejutkan karena terjadi pada musim dingin. Selain itu, para ilmuwan yang memonitor khawatir kejadian tersebut masih belum berhenti. Jay Zwally, ahli iklim NASA, dengan terjadinya pecahan pertama, memprediksi es di Antartika hampir semua akan mencair pada akhir musim panas 2012. Hanya dalam waktu dua bulan prediksi itu bergeser. Tanggal 1 Mei 2008 lalu, prediksi terbaru dilansir NASA: mencairnya semua es di Antartika bisa terjadi di akhir tahun 2008 ini. Apa efek domino yang membayang bila es di Antartika mencair semua? Mencairnya es di Antartika tidak hanya akan menaikkan level permukaan air laut, melainkan akan mempercepat siklus pemanasan global itu sendiri. Bila es di Antartika mencair semua, 80% sinar matahari yang sebelumnya dipantulkan akan diserap 95% oleh air laut. Konsekuensi lanjut adalah potensi terlepasnya 400 miliar ton gas metana atau 3000 kali dari jumlah gas metana di atmosfer. Gas metana dapat terlepas akibat mencairnya bekuan gas metana yang stabil pada suhu di bawah dua derajat celcius. Seperti diketahui, gas metana memiliki efek rumah kaca 25 kali lebih besar dari gas CO2. Akibat terlepasnya gas metana, lebih dari 94% spesies mengalami kepunahan massal. Kematian massal terjadi mendadak karena turunnya level oksigen secara ekstrem (Chindy Than; 2008).Sebagai respon atas pecahnya peting es Antartika tersebut Iran bergabung dengan 35 negara lainnya sebagai bagian dari kampanye dunia untuk meningkatkan kepedulian atas perubahan iklim. Negara-negara ini menyepakati melakukan aksi pemadaman listrik selama satu jam setiap harinya sebagai langkah dunia menghemat energi. Disebutkan, hasil pemadaman selama satu jam untuk satu kota saja berarti pengurangan 10,2 persen emisi gas dari efek rumah kaca. Pengurangan emisi sebesar itu, hampir sama dengan besar emisi yang dihasilkan dari 48.616 mobil di jalan raya. Dan bayangkan jika pemadaman listrik serentak dilakukan oleh ratusan kota besar di dunia.
Efek Pemanasan Global
Pecahnya peting es Antartika adalah efek terparah dari pemanasan global. Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Biang dari pemanasan global lainnya adalah penggunaan energi yang tidak terperbarukan -bahan bakar fosil- seperti minyak dan batu bara. Gas karbon yang kita pakai untuk menjalankan mesin kendaraan setiap hari, akan membumbungkan polusi udara berupa CO2, NOx dan Methana, sehingga menimbulkan perusakan lapisan ozon dan menjadikan bumi lebih panas dan iklim menjadi berubah. Negara industri, ditengarai sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca dan penyumbang terbesar adalah Amerika Serikat. Industri Amerika Serikat sedikitnya menyumbang 13 % emisi dunia sejak 1990 hingga 2002. Dan parahnya, Negara ini menolak menandatangani Protokol Kyoto, yang bermaksud untuk mengurangi peningkatan gas-gas rumah kaca yang mengakibatkan perubahan iklim akibat pemanasan global. Disamping itu, yang menjadi salah satu pemicu pamanasan global adalah kemiskinan, terutama di negara-negara berkembang dan negara miskin, yang masih terus menggantungkan perekonomian mereka pada sumber daya alam sehingga penebangan hutan alam dan membuka lahan-lahan pertanian baru yang menyebabkan pelepasan karbon lebih besar ke atmosfer sulit terhindarkan.
Berdiam di Masjid
Kalaupun bumi memiliki siklus sendiri yang pada akhirnya akan menuju titik kehancuran dan tidak bisa dicegah, namun setidaknya kita bisa menundanya dengan memberi ‘bantuan pernapasan’ pada bumi. Caranya? Sebuah tindakan dramatis dan serempak dalam skala dunia, yakni menghentikan segala aktivitas pembakaran karbon di muka Bumi selama beberapa hari. Yang artinya, berhenti berlistrik, berhenti berkendara mesin, berhenti berkantor dan berhenti berasap. Singkatnya diam. Pernahkah kita membayangkan, bahwa untuk menyelamatkan Bumi, yang perlu kita lakukan justru tidak melakukan apa-apa ?. Dalam tradisi Islam, terdapat amalan ibadah yang masih kurang populer di kalangan kaum muslimin secara umum yakni i’tikaf. I’tikaf secara istilah bermakna berdiam diri di masjid dengan maksud menyibukkan diri dalam peribadatan kepada Allah SWT. Di bulan Rajab kemarin, kaum muslimin disunnahkan oleh Rasulullah SAW untuk melaksanakan i’tikaf pada pertengahan bulan selama tiga hari. Sebagai Republik Islam, pemerintah Iran merespon sunnah ini dengan melakukan i’tikaf secara nasional. Kantor-kantor pemerintahan, sekolah dan pabrik-pabrik industri diliburkan secara nasional tanggal 13 sampai 15 Rajab. Masjid-masjid di Iran dipenuhi masyarakat yang memilih beri’tikaf dan biaya seluruhnya ditanggung pemerintah, dari transportasi, konsumsi sampai fasilitas ibadah seperti tasbih, sajadah dan kitab do’a dibagikan secara gratis. Satu negara serempak tenggelam dalam keheningan dan kekhusyukan ibadah, berdiam di masjid tanpa keluar kemana-mana. Mungkin hampir 1/3 rakyat Iran yang melakukannya tidak sadar, bahwa amalan yang mereka lakukan bukan sekedar pengamalan sunnah Nabi yang berefek pada kondisi spritual diri pribadi tapi lebih dari itu, mereka telah melakukan proses penyelamatan bumi, lebih dari aksi pemadaman listrik satu jam setiap harinya. Jika masyarakat Hindu di pulau Bali punya tradisi Nyepi hidup sehari tanpa menyalakan lampu, tanpa suara, tanpa keluar ke mana-mana dan selama satu hari Nyepi, Pulau Bali mampu menghentikan emisi sekurangnya 20,000 ton CO2. Maka umat Islam lebih dari sehari. Bahkan di bulan Ramadhan i’tikaf disunnahkan selama 10 hari. Saya sungguh terpancing membayangkan seluruh umat Islam yang milyaran jumlahnya ini terpanggil nurani keagamaannya untuk melakukan i’tikaf di hari-hari yang disunnahkan secara serempak, bukan lagi dalam skala negara namun satu bumi. Dengan demikian image negatif terhadap amalan-amalan ibadah Islam yang dikatakan terlalu melangit dan melulu berbicara hablum minallah dan tontonan keegoisan spritual tidak menemukan relevansinya. Jika Islam benar-benar teraplikasikan para da’i kita tidak perlu lagi berkoar-koar Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Akan terbukti dengan sendirinya dengan pengamalan sunnah nabawi ini. Bisa jadi ada yang mengatakan, abstrak ? ribet ? teoritis ? utopis ?. Saya sangat mengerti kalau tanggapan seperti itu muncul. Terlebih lagi kekhawatiran, satu hari tanpa menggulirkan roda ekonomi berarti padamnya argo profit, menimbulkan sekian angka kerugian ratusan hingga milyaran juta, sesuatu yang begitu ditakutkan oleh kebanyakan umat manusia. Akan tetapi, jika pada saatnya nanti, masih adakah arti kebebasan finansial yang kita peroleh bila Bumi tak lagi sanggup menyokongnya? Apalah arti gedung-gedung tinggi, mall-mall dan pabrik-pabrik industri jika nantinya hanya akan menjadi misteri bagi peradaban berikutnya seperti seperti Tiahuanaco di Bolivia, Nazca di Peru, kompleks piramida di Giza dan monumen penuh misteri lainnya seperti Sphinx dan Macchu Picchu ? Ekstrim saya katakan, mesin-mesin industri tumbuh dan berkembang bukan untuk memenuhi kebutuhan manusia tapi nurani kita telah lumpuh. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan melihat ratusan macam alat-alat rumah tangga, ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun: haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu? Satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam setahun bahkan kurang, namun atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidak berbatas. Atas nama selera, makanan instant diproduksi dalam jumlah yang melewati ambang batas. Saya sepakat bahwa setiap orang punya cara masing-masing untuk menyelamatkan Bumi, dan sebaiknya kita bergerak bersama, dari berbagai lini. Rajendra K. Pachauri dan IPCC telah melansir tiga poin penting untuk mengurangi pemanasan Bumi: Stop eating meat. Be a frugal shopper. Ride a bicycle. Tiga hal yang tampak sederhana. Sebagaimana sesederhana tidak melakukan apa-apa, kecuali berzikir, berdoa, bertafakkur dan berdialog dengan nurani sendiri di hari-hari i’tikaf. Saya rasakan sendiri, malam i’tikaf di Qom adalah malam yang paling cerah dan langit paling jernih yang pernah saya lihat dan keesokan harinya, bukan hanya jiwa yang mengalami fase peningkatan spritual, namun juga paru-paru merasakan kesegaran dengan hembusan udara yang bersih. Kita selama ini menjadi makhluk yang super sibuk, dalam kecepatan tinggi kita berinteraksi dan bertransaksi, berhentilah sejenak. Mari berdiam di Masjid, kita perbaharui keimanan kita.
Terinspirasi dari tulisan Dee, 'Diam di Bumi'

01 Agustus, 2008

Vegetarian, Sebuah Pilihan

Dari dulu saya paling tidak tahan melihat truk yang mengangkut hewan, entah itu sapi, kambing atau ayam. Semua juga tahu ujung dari perjalanan mereka. Hewan-hewan itu dibunuhi secara massal untuk memenuhi kebutuhan industri makanan manusia. Meskipun saya tidak tahan untuk berlama-lama menatap wajah memelas mereka, namun tidak seberapa dengan kekontrakdisian yang saya lakukan. Saya iba, namun sama dengan kelompok manusia lainnya, saya termasuk pembunuh mereka dan bahkan termasuk pemakan paling lahap. Saya dengan lahap menghabiskan mereka di meja makan yang telah diramu menjadi coto, konro, gulai kambing, bakso, ayam bakar dan telur mata sapi, seolah saya tidak pernah iba sebelumnya. Namun dari sini kita layak melontarkan pertanyaan. Apakah manusia tidak bisa hidup layak tanpa membunuhi mereka ? apakah memakan daging mereka adalah kebutuhan atau justru kepentingan untuk sekedar memenuhi selera makan ? apakah tidak ada cara lain untuk bergizi selain membunuhi hewan secara massal ? intinya, makan daging itu apakah untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau untuk memenuhi nafsu kita ?. Tentu saja memakan daging adalah pilihan, sebagaimana memilih untuk tidak mengkonsumsinya. Dalam satuan hari, kita selalu diperhadapkan dengan berbagai pilihan yang beraneka ragam. Saya terkadang merenungi ini, ketika kita memilih membeli baju misalnya apakah saat membelinya karena butuh atau bermaksud mengoleksi. Disini, ada batas tegas antara butuh dan koleksi. Ketika pilihan dari yang kita lakukan telah melampaui batas kebutuhan maka saat itulah pilihan kita merambah area koleksi, yang tentu saja tidak akan pernah bisa terpuaskan. Logika koleksi sederhana, jumlahnya harus banyak, tak terhitung dan bermacam-macam. Kita lihat para kolektor, apapun yang mereka koleksi maka angka berapapun tidak akan cukup. Tiga ratus potong baju, lima ratus pasang baju, sepuluh buah mobil kesemuanya masihlah sedikit dan perlu ditambah. Sama halnya ketika kita memilih apa yang harus dimakan. Jika aktivitas makan bukan lagi sarana untuk keberlangsungan hidup tapi untuk ajang koleksi kenikmatan indrawi maka hewan di seluruh bumipun tidak akan pernah cukup. Bisa saja kita membantah, “Apa salahnya ? kalau ada uang kenapa tidak ?”. Namun disini izinkan saya memberikan bahan refleksi bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis di muka bumi ini karena aktivitas kita makan daging. Woww, apa hubungannya ?. Sekarang coba kita bayangkan, berapa banyak manusia yang lebih memilih menggemukkan binatang ternaknya dan lupa banyak manusia lain yang kelaparan. Tahukah kita, untuk mendapatkan satu kilo daging, hewan butuh mengkonsumsi sepuluh kilo tumbuhan bergizi ?. Ekstrim saya katakan, industri ternak tumbuh dan berkembang bukan karena butuh tapi nurani kita telah lumpuh. Untuk sekedar makan lidah sapi kita menjadikan perut kita sebagai kuburan bagi ratusan hewan dan juga menjadi kuburan bagi saudara-saudara kita. Lebih lanjutnya, baca paparan data yang saya ambil dari potongan-potongan artikel Chindi Than, seseorang yang telah memutuskan untuk menjadi vegetarian.
Vegetarian = Penyelamatan Bumi
Fakta berbicara, seperti laporan yang dirilis Badan Pangan Dunia – FAO (2006) dalam Livestock’s Long Shadow – Environmental Issues and Options, daging merupakan komoditas penghasil emisi karbon paling intensif (18%), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta api, helikopter) di dunia (13,5%). Peternakan juga adalah penggerak utama dari penebangan hutan. Diperkirakan 70% persen bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Setiap tahunnya, penebangan hutan untuk pembukaan lahan peternakan berkontribusi emisi 2,4 miliar ton CO2. Memelihara ternak membutuhkan energi listrik untuk lampu-lampu dan peralatan pendukung peternakan, mulai dari penghangat ruangan, mesin pemotong, mesin pendingin untuk penyimpanan daging. Mesin pendingin (kulkas) merupakan mata rantai paling tidak efisien energi listrik. Hitung saja mesin pendingin mulai dari rumah jagal, distributor, pengecer, rumah makan, pasar hingga sampai pada konsumen. Mata rantai inefisiensi berikutnya adalah alat transportasi untuk mengangkut ternak, makanan ternak, sampai dengan elemen pendukung lain dalam peternakan intensif seperti obat-obatan, hormon dan vitamin. Masalah lainnya yakni, inefisiensi air. Sekian triliun galon air diperuntukkan untuk irigasinya saja. Sebagai gambaran sederhana, untuk mendapatkan satu kilogram daging sapi mulai dari pemeliharaan, pemberian pakan ternak, hingga penyembelihan seekor sapi membutuhkan satu juta liter air! Data yang dihimpun Lester R. Brown, Presiden Earth Policy Institute dan Worldwatch Institute, memaparkan dalam bukunya ”Plan B 3.0 Mobilizing to Save Civilization” (2008) bahwa karena untuk memproduksi satu ton biji-bijian membutuhkan seribu ton air, tidak heran bila 70% persediaan air di dunia digunakan untuk irigasi. Sedangkan untuk konversi energi, Dr Rajendra memberi ilustrasi konversi energi untuk memelihara sampai menghasilkan sepotong daging sapi, domba atau babi sama besar dengan energi yang dibutuhkan untuk menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang 36,4 kg CO2, tidak heran bila data dari film dokumenter ”Meat The Truth” menyebutkan emisi CO2 seekor sapi selama setahun sama dengan mengendarai kendaraan sejauh 70.000 km. Penelitian di Belanda (www.partijvourdedie.en.el) mengungkapkan, seminggu sekali saja membebaskan piring makan dari daging masih 7,6 kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga dalam setahun. Mata rantai lain yang sangat tidak efisien tapi telah berlaku demikian kronis adalah pemanfaatan hasil pertanian untuk peternakan. Dua pertiga lahan pertanian di muka Bumi ini digunakan untuk peternakan. Sebagai contoh, Eropa mengimpor 70% protein (kedelai, jagung dan gandum) dari pertanian untuk peternakan. Indonesia sendiri pada tahun 2006 mengimpor jagung untuk pakan ternak 1,77 juta ton. Padahal, asal tahu saja, pakan yang selama ini diberikan kepada ternak dapat memenuhi kebutuhan kalori 8,7 miliar orang! Berarti masih ada kelebihan kalori untuk 2,1 miliar orang. Sementara kenyataan yang terjadi 40.000 manusia mati setiap hari karena kelaparan. Pada saat yang sama, hasil pertanian yang digunakan untuk pakan ternak di negara Amerika saja bisa memberi makan 1,3 miliar manusia.
Rekomendasi
Di dunia saat ini jumlah seluruh hewan ternak berkaki empat mencapai angka enam miliar. Enam miliar ternak itu tidak dicapai semata-mata oleh alam, manusialah yang secara sengaja mewujudkannya atas nama pemenuhan kebutuhan hidup. Sesama hewan tidak memakan spesiesnya, tapi manusia sibuk memberi makan hewan sampai lupa memberi makan spesiesnya sendiri. Di atas puncak piramida makanan, tak ada lagi predator yang menghabisi kita. Hanya kitalah yang bisa membunuh saudara-saudara kita sendiri. Jangan bayangkan, membunuh saudara kita melulu melalui peluru atau belati, apa bukan termasuk membunuh, bila kita sibuk memberi makan hewan ternak dan membiarkan perut saudara kita keroncongan ?. Contoh sederhananya, untuk memproduksi satu kilo daging sapi dibutuhkan enam belas kilo tanaman biji-bijian yang merupakan makanan pokok manusia. Jadi, bisa dibilang, saat kita mengonsumsi satu kilo daging, kita telah mengambil jatah enam belas porsi makan manusia. Bisa jadi ada yang mendebat, ”Bukankah daging tetap dibutuhkan tubuh untuk kesehatan? bukankah daging sebagai sumber protein kelas satu, sumber kalsium, sumber lemak, sumber vitamin B12 dan sumber zat besi sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia ?”. Saya tidak perlu mengajukan data lagi, cukup adakanlah survei kecil. Berapa banyak pasien penderita stroke, serangan jantung, hipertensi, diabetes dan kanker dan yakinlah, sepuluh dari sepuluh penderita tersebut dianjurkan oleh dokter untuk mengurangi atau berpantang daging. Begitu sederhana pesan yang bisa diamati dari sekeliling kita tanpa perlu studi atau riset untuk sampai pada pemahaman bahwa: konsumsi daging berlebih telah menimbulkan deretan penyakit tersebut pada tubuh manusia. Saya bukan siapa-siapa yang layak mengajukan rekomendasi. Karenanya saya menyebutkan memutuskan untuk mengurangi konsumsi daging atau sama sekali menjadi vegetarian adalah pilihan. Menjatuhkan pilihan terhadap apa yang makan sepenuhnya bergantung pada mindset pikiran tiap kita. Sejenak, berpikirlah – sebab makan juga butuh aktivitas pikir- dan resapi pesan Imam Ali as, “Jangan jadikan perut kalian sebagai kuburan binatang.” Atau ingat pesan Mahatma Gandi, “Saya makan untuk melayani, bukan menyenangkan diri.” Percayalah, dengan makan nasi pecel kita telah memberi kontribusi besar atas penyelamatan bumi. Kalaupun tidak bisa diselamatkan lagi, setidaknya kita tidak berkontribusi merusaknya. Abstrak? Ribet? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti kalau tanggapan seperti itu muncul. Dengan memilih dan bertanggungjawab terhadap apa yang kita makan, dari sinilah kita bisa mengetahui seninya menjadi manusia.
Sayang, kalau datangma, jangan maki lagi ke warung coto na’. Kita pernah tidak makan daging 20 hari, lanjut lagi yuk…. Percayalah kau akan semakin cantik….