29 Oktober, 2009

Merajut Kembali Toleransi Kebangsaan

Pada dasarnya, sejak dahulu rakyat di negeri ini sadar dengan adanya kemajemukan bangsa. Namun kemajemukan itu tidaklah dijadikan dalih untuk saling menyudutkan, justru dijadikan sebagai kekuatan pemersatu menuju terbentuknya republik. Kelompok nasionalis berlatar belakang sekuler, kalangan agamis (Islam), dan kelompok komunis melakukan konsolidasi di bawah payung ideologis bernama keindonesiaan. Perlulah kiranya selalu kita ingat bersama-sama bahwa Sumpah Pemuda, yang dilahirkan sebagai hasil Kongres Pemuda II yang diselenggarakan tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta adalah manifestasi yang gemilang dari hasrat kuat kalangan muda Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan agama, untuk menggalang persatuan bangsa dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Atas prakarsa Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) inilah kongres pemuda itu telah melahirkan Sumpah Pemuda yang berisi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa yaitu Indonesia.

Republik Indonesia lahir 17 tahun kemudian, yang dijiwai semangat kebersamaan, persatuan, dan toleransi yang tinggi terhadap perbedaan. Semua pihak turut ambil andil dalam lahirnya republik. Meskipun ummat Islam mayoritas namun tak bisa dinafikan bahwa ada umat Khonghucu (Yap Tjwan Bing) yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Perlu dicatat pula bahwa sewaktu teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dibacakan, tempatnya di rumah seorang Tionghoa Khonghucu bernama Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta (yang sekarang dijadikan Museum Sumpah Pemuda). Ataupun kendaraan Kepresidenan pertama adalah mobil sumbangan seorang Tionghoa sebagai bentuk kecintaannya kepada republik yang baru terbentuk. Ini perlu dinukilkan karena masih saja ada anggapan, suku Tionghoa tidak memberi andil apa-apa dalam terbentuknya Republik Indonesia.

Toleransi kebangsaan lagi-lagi dipertontonkan para founding father negeri ini, dalam usaha mempertahankan kemerdekaan. 10 November 1945 dalam kalender sejarah bangsa kita dicatat sebagai hari lahirnya pahlawan-pahlawan bangsa, yang rela mati demi tegaknya sebuah negeri bernama Indonesia . Tanpa mempersoalkan suku, agama dan ras rakyat Indonesia saling membahu dalam menghadapi musuh bersama. Tentara sekutu sesumbar dapat menguasai Surabaya dalam 3 hari, namun pertempuran memakan waktu berminggu-minggu, meskipun tentara sekutu mengerahkan kekuatan penuh, namun tidak mudah menundukkan semangat rakyat yang merajut kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Tentara sekutu tersentak dan akhirnya paham, Indonesia yang baru berusia 3 bulan, bukan bangsa kecil. Persatuan dan semangat toleran adalah kekuataan yang maha dahsyat, yang tidak tertundukkan. Karenanya tak bisa dipungkiri, rangkaian perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah terbukti begitu kokoh dalam pijakan kemajemukan bangsa, mulai dari suku, agama, ras hingga budaya.

Toleransi Antar Umat Beragama

Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia , baik yang Muslim, Kristiani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara pada masanya, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi. Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari mesjid tersebut adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat. Friedrich Silaban yang oleh Bung Karno menjulukinya sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal. Kebesaran jiwa dari umat Islam sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima pemikiran atau desain tempat ibadah mereka dari seorang yang non muslim.

Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia . Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh umat Islam di Indonesia, di desain dan wakil kepala proyek pembangunannya dijabat oleh seorang Kristiani. Dia menciptakan karya besar untuk saudaranya sebangsa yang beragama Islam, tanpa mengorbankan keyakinannya pada agama yang dianutnya. Ummat Islampun menunjukkan kebesaran jiwanya dan penghargaan kepada Friedrich Silaban dengan menyebut kubah Mesjid Istiqlal sebagai “Si1aban Dom”, atau Kubah Si1aban. Silaban dan kaum beragama di negeri ini mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau teknologi. Sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun. Karenanya, keanekaragaman yang selama ini ada menjadi tonggak "bineka tunggal ika" yang kuat dalam menopang berdirinya bangsa Indonesia , mesti tetap dipertahankan. Pluralitas dan multikulturalitas bagi bangsa ini merupakan suatu keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tak terbantahkan. Pluralitas dan multikulturalitas yang kita miliki ini telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia di sepanjang perjalanan sejarahnya. Sungguh memilukan melihat nilai-nilai pluralitas dan multikulturalitas yang telah tumbuh sejak awal terbentuknya republik ini, di kekekinian seolah-seolah tidak pernah ada. Sementara di sisi lain, eksklusivisme kelompok justru terlihat semakin menonjol. Maka sesungguhnya tak ada satu pun pihak, tak satupun suku, tak satupun agama, yang bisa mengakui keberadaannya tanpa andil pihak lain. Tak satupun. Tak bisa kita pungkiri, kita adalah bagian dari orang lain; ada sebagian dari orang lain dalam diri kita. Mengutip Emha Ainun Nadjib, “Kamu adalah aku yang lain". Sikap dan penerimaan kultural seperti ini tidak akan memberi izin atau permisi kepada siapa pun untuk arogan, menganggap dirinya lebih benar, dan merasa berhak untuk menghakimi pihak lain. Dengan sikap seperti itu, kita pun dapat terhindar dari pelbagai cedera sosial yang belakangan ini menimpa bangsa kita melalui konflik-konflik horizontal maupun vertikal, intelektual maupun fisikal.

Persatuan bangsa adalah sebuah keniscayaan. Ini bukan sesuatu yang mustahil, para pendahulu kita memiliki kisah-kisah romantis dalam merajut kebersamaan di masa lalu. Perasaan senasib dan sebangsa, badan-badan perjuangan yang berbeda ideologi membentuk front persatuan untuk menghadapi musuh bersama. Pada sisi ini, kita, seluruh bangsa Indonesia perlu meneladani pola keberagamaan yang telah ditunjukkan generasi-generasi awal bangsa ini. Kita dituntut untuk mengembangkan keagamaan dalam konstruk pemahaman seperti itu sehingga dapat memberikan tawaran segar dan mencerahkan bagi Indonesia hari ini dan masa depan. Insya Allah, dengan semangat toleransi kita akan mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar dan agar kemanusiaan kita tidak jatuh tersungkur. Mengutip Helen Keller, “Toleration is the greatest gift of the mind - Toleransi adalah anugrah dari pikiran yang paling luar biasa." Mari bekerjasama. Wallahu 'alam.

Ismail Amin Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran

25 Oktober, 2009

Iran, Syiah dan Pengaruhnya di Indonesia

Keberhasilan Revolusi Islam Iran yang terinspirasi dari doktrin-doktrin Islam Syiah, dalam banyak hal menghembuskan angin perubahan (the wind of changes), tidak hanya di dalam negeri Iran, peta politik di Timur Tengah namun juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit pada pergulatan pemikiran di Indonesia. Tentang pengaruh revolusi tersebut, Dr. Richard N. Frye, ahli masalah Iran di Universitas Harvard, berkomentar: “Revolusi Islam di Iran bukan hanya titik-balik dalam sejarah Iran saja. Revolusi itu juga merupakan satu titik-balik bagi rakyat di seluruh negara- negara Islam, bahkan bagi massa rakyat di dunia ketiga”. Pemikiran tokoh-tokoh dibalik Revolusi Islam Iran , seperti Ayatullah Khomenei, Syahid Muthahari, Dr. Ali Syariati dan Allamah Thabathabai serta merta menjadi kiblat politik alternatif bagi cendekiawan dan para pemikir Islam di Indonesia. Karenanya, tidak mengherankan jika kita dengan mudah menemukan intelektual Indonesia dengan begitu fasih mengutip transkrip-transkrip pemikiran Ali Syari’ati, Muthahhari atau pemikir-pemikir Syi’ah lainnya. Bukan hanya Jalaluddin Rahmat yang mendapat gelar Syiah hanya karena menamakan yayasan yang didirikannya: Yayasan Muthahhari. Amien Rais pernah menerima gelar Syi’ah juga, karena dalam banyak kesempatan, ia sering mengutip Ali Syari’ati bahkan juga menyempatkan diri menerjemahkan karya tulis Ali Syariati. Masuknya karya-karya para pemikir Iran di Indonesia menjadi oase bagi banyak intelektual Indonesia . Kajian filsafat, misalnya, yang dalam diskursus pemikiran Syiah tidak pernah terputus. Sehingga, ketika pemikiran mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual Indonesia , banyak yang tercengang. Tentang karya Murthada Muthahhari “Sejarah dan Masyarakat” misalnya, Damam Rahardjo berkomentar: "Sulit membayangkan, seorang dengan pakaian jubah, seperti para kyai dan ulama di Indonesia , menulis buku seperti itu, penuh dengan ulasan-ulasan yang spekulatif, menunjukkan olah pikir yang intens”. Tentang khazanah keilmuan Syi’ah, Prof. DR. H. Umar Shihab (Ketua MUI Pusat) dalam kunjungannya ke Iran beberapa hari lalu bersama Prof Dr HM Galib MA (sekretaris MUI Sul-Sel) berkomentar: "Dalam kunjungan ini, kami tercengang melihat khazanah kepustakaan Islam yang begitu lengkap di Teheran, Masyhad dan Qom, dan sangat menyesal baru mengunjunginya di usia saya yang 70 tahun ini." Umat Islam Indonesia dan Tradisi Syiah Kajian tentang Syi’ah di Indonesia, telah dilakukan oleh sejumlah ahli dan pengamat sejarah, sebagian besar diantaranya berkesimpulan bahwa orang-orang Persia -yang pernah tinggal di Gujarat- yang berpaham Syiahlah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia. Bahkan dikatakan Syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di Nusantara. M. Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menulis kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah Kerajaan Peureulak (Perlak) yang didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia , Arab dan Gujarat dan mengangkat seorang Sayyid Maulana ‘Abd al-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi’ah, sebagai sultan Perlak. Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII) Surabaya yang dipimpin Dr. Saleh Jufri, seperti dilaporkan Majalah Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan, bahwa Syaikh ‘Abd al-Ra’uf Al-Sinkli, salah seorang ‘ulama’ besar Nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi’ah. Ia pun setelah melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur, berkesimpulan bahwa dari segi fisik dan arsitekturnya itu adalah kuburan-kuburan orang Syi'ah. Bahkan Agus Sunyoto lewat bukti-bukti sejarah, berspekulasi, sebagian besar dari Walisongo adalah ulama Syi'ah. Dengan tegas ia menulis, Syekh Maulana Malik Ibrahim, guru dari semua sunan wali songo adalah Syiah Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi’ah pun cukup kuat di dalammya, Dr. Said Agil Siraj, Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan, “Harus diakui, pengaruh Syi’ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca Barzanji atau Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya, jelas berasal dari tradisi Syi’ah". K.H. Abdurrahman Wahid bahkan pernah mengatakan bahwa Nahdatul Ulama secara kultural adalah Syi'ah. Ada beberapa shalawat khas Syi'ah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi'ah. Tradisi itu lahir di Indonesia dalam bentuk mazhab Syafi'i padahal sangat berbeda dengan mazhab Syafi’i yang dijalankan di Negara-negara lain. Berkembangnya ajaran pantheisme (kesatuan wujud, union mistik, Manunggal ing Kawula Gusti), di Jawa dan Sumatera merupakan pandangan teologi dan mistisisme (tasawuf falsafi) yang sinkron dengan aqidah Syiah dan sangat bertentangan dengan paham Islam wahabi yang literal. Ritus-ritus Tabut di Bengkulu dan Sumatera dan Gerebek Sura di Jogjakarta dan Ponorogo adalah ritus teologi Syiah yang datang dari Gujarat-Persia. Doktor Muhammad Zafar Iqbal dalam bukunya, “Kafilah Budaya” meruntut berbagai fakta tentang adanya pengaruh-pengaruh tradisi Syiah dan Iran di tanah air terutama bagi masyarakat Minangkabau yang masih terjaga sampai kini. Perguruan Tinggi pertama di Aceh bernama Universitas Syiah Kuala, menunjukkan fakta lainnya. Universitas yang disingkat Unsyiah yang diresmikan berdirinya oleh Presiden Soekarno tahun 1959 menunjukkan bahwa idiom Syiah telah sangat dikenal masyarakat. Syiah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya, melainkan menunjukkan tradisi keilmuan yang tinggi sebagaimana yang dikembangkan di Iran . Kesemua fakta ini menunjukkan kenyataan terjadinya proses sinkretisasi antara Syiah dengan kebudayaan setempat di Indonesia yang sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara. Karenanya, lewat tulisan ini saya menggugat, jika dikatakan tradisi Iran dan Syiah baru datang ke Indonesia belakangan ini dan dikatakan tidak sesuai dengan tradisi masyarakat muslim Indonesia yang bermazhab Sunni. Justru yang bertentangan dengan tradisi masyarakat muslim Indonesia adalah yang menganggap bid'ah dan sesat hal-hal yang selama ini ditradisikan masyarakat kita, terutama muslim Bugis-Makassar, seperti shalawatan, barazanji, maulid dan menyimpan gambar-gambar wajah wali yang dianggap mendatangkan keberkahan. Tentunya, kajian tentang Syi’ah memang dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademisi dan mengenal lebih dekat pemikiran Syiah, namun ia juga mempunyai kepentingan ganda: Untuk menentukan sikap! Sebab, sebagaimana pesan Imam Ali as, "Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya." Wallahu ‘alam bishshawwab Ismail Amin Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran

17 Oktober, 2009

Visualisasi Wajah Nabi, Salahkah?

Terpampang dalam kanvas sejarah secara telanjang, betapa Rasulullah saww dicintai oleh sahabat-sahabatnya. Ada seorang sahabat, yang setelah Rasulullah meninggal dunia, membanggakan mulutnya yang tidak lagi memiliki gigi. Pada saat perang Uhud, Rasulullah cedera karena rantai pelindung kepalanya menusuk pipinya. Lalu seorang sahabat menarik rantai itu dengan giginya, tapi sebelum rantai itu keluar, seluruh giginya rontok. Dia bangga bahwa giginya itu berjatuhan karena membela Rasulullah yang dicintainya. Ada seorang pedagang minyak wangi, di Madinah. Setiap kali pergi ke pasar, dia selalu sengaja singgah di depan rumah Rasulullah untuk sekedar mengucapkan salam dan melihat wajah Rasulullah saww. Suatu hari ia merasa tidak cukup hanya sekali melihat Rasulullah saww, iapun lebih cepat kembali dari pasar dan kembali menemui Rasulullah saww, “Saya ingin melihat engkau ya Rasulullah, karena saya takut tidak bisa melihat engkau setelah ini.” Berhari-hari kemudian, Rasulullah saww tidak lagi melihat pedagang tersebut. Ia meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk mencarinya. Ternyata, pedagang tersebut sudah meninggal dunia, tidak lama setelah melihat wajah Rasulullah saww yang terakhir kalinya. Lalu Rasulullah saww bersabda, “Kecintaannya kepadaku akan menyelamatkan dia di akhirat nanti.”

Sulit memahami ekspresi kecintaan sahabat-sahabat kepada Nabi, ini persoalan cinta, dan memang cinta cenderung diekspresikan tidak wajar. Sebagaimana perkataan Urwah Al-Tsafaqi kepada kaumnya, kaum kafir Qurays,“Orang Islam itu luar biasa! Demi Allah, aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah berkunjung kepada Kaisar, Kisra dan Najasyi. Demi Allah belum pernah aku melihat sahabat-sahabat mengangungkan rajanya, seperti sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad. Demi Allah, jika ia meludah, ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang diantara mereka. Ia usapkan ludah itu kewajahnya dan kulitnya. Bila ia memerintah, mereka berlomba melaksanakannya; bila ia hendak berwudhu, mereka hampir berkelahi memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara, mereka merendahkan suara dihadapannya. Mereka menundukkan pandangan dihadapannya karena memuliakannya.” (Shahih Bukhari 3 :255). Karenanya, adakah yang bisa memahami ketika muslim India bergejolak dan marah besar ketika suatu hari kehilangan sehelai rambut Rasulullah saww yang disimpan di salah satu mesjid di India, sehingga membuat pemerintah India yang sekuler kewalahan dan mengerahkan seluruh usahanya untuk menemukan kembali rambut tersebut?.

Karenanya meskipun pemerintah dan ulama-ulama Iran menghimbau peredaran dan dicetaknya kembali gambar yang diklaim wajah Nabi saww kala mudanya dihentikan tetap saja masyarakat Iran menunjukkan rasa suka terhadap gambar itu. Meskipun pada dasarnya masyarakat Iran sendiri sudah kehilangan sejarah mengenai asal-usul gambar tersebut, tetap saja diantara mereka ada yang mengklaim bahwa wajah tersebut benar-benar sketsa wajah Nabi, sebagian menyebutkan bahwa gambar tersebut dilukis oleh pendeta Buhaira yang sempat mengiringi pemuda Muhammad bersama pamannya ke Syam. Sekali lagi ini masalah cinta, dan cinta cenderung mengherankan dan sulit dimengerti.

Ekspresi Kecintaan

Pin yang bergambar seorang pemuda tampan dengan gigi rata, hidung mancung, bibir sempurna dengan latar warna hijau yang karena diklaim sebagai gambar wajah nabi kemudian memunculkan polemik dikalangan umat Islam di Indonesia. Pertama kali gambar ini dikenal secara meluas, ketika diterbitkan di majalah National Geographic pada bulan Januari tahun 1914 dalam sebuah artikel berbahasa Persia dengan judul “Inja va Anja Dar Shumal Afriqa” (Di sana dan di sini di Utara Afrika), di bawahnya tertulis “Arabi ba Yek Gol” (Seorang Arab dengan sebuah bunga). Pada dekade dua puluhan, gambar ini menjadi sampul kartu seri Tunisia L & L dan sangat disukai oleh tentara Prancis di Utara Afrika. Di awal tahun 90-an, gambar ini menjadi poster paling laris di Iran. Masyarakat Iran memang punya pengalaman yang cukup panjang dalam melukis keluarga Nabi Muhammad saww dan Nabi sendiri. Argumentasi logis yang mereka bangun, kalau ada upaya mensketsa wajah nabi berdasarkan deskripsi dari riwayat-riwayat yang ada dan itu tidak bisa dibenarkan. Maka sama halnya tidak bisa dibenarkan upaya penulisan sejarah nabi mulai dari lahirnya sampai wafatnya. Adakah yang bisa menjamin sejarah nabi yang ditulis sama persis dengan kejadian sesungguhnya?. Bukankah itu juga bentuk pelecehan jika ternyata tidak sesuai dengan sejarah nabi yang sebenarnya?. Kalau penulisan sejarah dibenarkan, mengapa menggambarnya disalahkan, sementara hakekatnya sama. Gambar dan tulisan adalah goresan-goresan tinta di atas kanvas. Ketika sahabat meriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad saww memiliki bibir yang sempurna, tidak tebal dan tidak tipis itu adalah penilaian salah seorang sahabat, yang bisa jadi berbeda dengan sahabat yang lain. Begitupun jika digambar berdasarkan deskripsi itu. Menolak visualisasi wajah Nabi, sama halnya kita menolak riwayat-riwayat yang mendeskripsikan keindahan wajah Nabi lewat kata-kata. Apa bedanya hidung mancung dengan kata-kata, dengan hidung mancung dalam bentuk gambar? Bukankah itu sama-sama upaya pendekatan agar sebuah wajah bisa sedikit dibayangkan?.

Diantara yang dilihat mendapat pahala adalah wajah ulama, apalagi wajah nabi. Apakah hanya karena alasan tidak pernah melihatnya, kita tidak bisa mereka-reka wajah Nabi?. Apalagi rekaan itu bukan khayalan kosong sebab ada deskripsi yang disampaikan sahabat-sahabat dan istri nabi dari riwayat yang ada. Mengapa sampai ada yang berani mensketsa surga dan neraka dalam komik-komik agama? Sementara Nabi saww bersabda, surga adalah keindahan yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam pikiran manusia. Mengapa menggambarkan surga dalam bentuk visual tidak dipersoalkan sementara menggambar wajah nabi digugat dan dianggap pelecehan agama?. Bukankah sangat sulit menggambar surga yang tidak pernah terlintas di dalam pikiran manusia?

Kekhawatiran bahwa akan ada yang terjebak dalam praktik kesyirikan jika menggambar wajah nabi diperbolehkan adalah kekhawatiran yang tidak beralasan. Telah puluhan tahun gambar itu ada, namun adakah diantara kaum muslimin yang menyembah nabi Muhammad karena gambar tersebut?. Karenanya, pemerintah dan Ulama Iran hanya sekedar menghimbau untuk tidak meyakini secara mutlak bahwa itu benar gambar wajah Rasulullah saww, tidak ada larangan apalagi ancaman hukuman bagi yang menyimpan dan memilikinya. Sebab pemerintah dan ulama Iran sendiri tidak bisa mengajukan bukti bahwa gambar tersebut adalah kedustaan dan pemanipulasian. Kesulitan mengklarifikasi kebenaran sesuatu bukanlah bukti bahwa sesuatu itu salah dan tidak benar. Berbeda dengan di Indonesia, atas nama kecintaan kepada Nabi sebagian dari ulama dan pemerintahnya serentak berpendapat itu kedustaan, penghinaan dan mengancam hukuman penjara, sementara mereka sendiri tidak mengetahui bagaimana wajah nabi yang sesungguhnya. Cinta memang aneh dan terkadang menggelikan.

Wallahu ‘alam bishshawwab

Qom, 16 Oktober 2009