27 Maret, 2008

Sebuah Janji

Di tengah kesibukanku sayang, ada saja yang menggelitik dari kamu untuk saya ingat, untuk saya kenang, yang membuatku tersenyum membuat hidupku penuh warna, atau terkadang membuatku geram kepayahan menahan kerinduan yang begitu bergejolak. kau begitu istimewa buatku. kau selalu membuatku terpaksa mengakui kehebatan Tuhan yang mendesainmu, yang menitipkan ilmu di batok kepalamu meskipun sedikit he..he...., yang menganugerahkan kelembutan dan kepekaan rasa. kau yang terindah buatku, kemarin, sekarang dan entah sampai kapan.... Sabarlah menantiku sayang....
Hari ini, tepat setahun lalu akad kuucapkan... awalnya aku berambisi seluruh dunia harus berada dalam genggamanku... sampai aku sadar ini impian yang terlalu muluk... namun ketika kugenggam tanganmu... aku serasa menggenggam seluruh dunia beserta isinya... Terimakasih sayang, atas kesediaanmu menemaniku menghabiskan waktu dalam keletihan melawan....
Jika diibaratkan proses pertumbuhan seorang manusia, usia pernikahanku seperti bayi yang baru saja mampu duduk dengan baik, sekarang sedang merangkak dan belajar berjalan dengan tertatih... selagi kita tetap bersama, apa ada yang tidak mungkin sayang ? Abadilah cintaku....
Abadilah pernikahanku...
Kau seluruhku...
Aku bertahan bukan karena hebatku, tapi karena cintaku padamu....
lelaki yang kau buat menggelepar-gelepar mengingatmu...
Hormatku
Ismai Amin

18 Maret, 2008

Belajar Sebagai Proses Pendidikan Menjadi Manusia Seutuhnya

“Sesungguhnya Aku mengingatkan kepadamu supaya kamu tidak termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Qs.Hud:46)
“Tuntutlah ilmu, dari ayunan hingga liang lahat…” -Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam-
“Disemua tempat dan dimana saja kehidupan berlangsung, kita dapat belajar”
-Andreas Harefa -
Jakob Sumardjo, dalam artikelnya “Hidup itu belajar” yang di muat Kompas, 24 April 1996, memberikan warning, mengingatkan bahwa manusia “Hidup untuk belajar” dan bukan “belajar untuk hidup”. Bila orang belajar untuk hidup, untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jabatan, dan sebagainya, maka ia akan menjadi pemburu gelar dan atribut-atribut simbolis yang tidak esensial. Mereka akan puas setelah diwisuda dan merasa sudah tamat belajar. Pandangan inilah yang sangat efektif membuat mahasiswa berhenti membaca dan menulis usai lulus Universitas. Mereka sudah dianugerahi Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Sudah kelar, selesai, ngapain belajar lagi.
Duh, kalau belajar Cuma untuk medapat “hadiah” Sarimin juga bisa. Untuk dapat sebutir kacang, Sarimin harus belajar meniru majikanya. Sampai ia bisa ke pasar, berdandan atau menari dengan topeng. Tapi kita manusia, bukan Sarimin, bukan monyet. Dan hakikat penciptaan manusia adalah belajar untuk jadi diri sendiri agar lebih manusiawi. Mestinya, kita menyadari bahwa kita hidup untuk belajar, sehingga konsekwensi logis dari belajar yang berupa gelar atau simbol-simbol (ijazah, sertifikat, diploma) dan implikasi kenikmatan hidup yang menyertainya berupa jabatan, pekerjaan, tunjangan, dsb) bukan menjadi tujuan utama. Tapi yang terpenting adalah “mengeluarkan” potensi diri dan membuat diri punya guna yang nyata bagi sesama-sebagaimana pesan para ulama salaf “Manusia yang hidup hanya untuk dirinya sendiri tidak pantas untuk dilahirkan-. Dan proses belajar, tidak boleh terhenti, tidak boleh selesai, sampai seseorang ‘menaruh nisan di atas pekuburan’ kita, sebagaimana hadits Rasulullah di atas.
“Hidup untuk belajar” dan “Belajar untuk hidup” walaupun pada dasarnya berbeda, bukan berarti bertentangan. Tetapi sebagai dua hal yang saling memberi makna, saling membutuhkan, saling bersinergi. Keduanya harus ditempatkan dalam konteks kesalingbergantungan. Pemisahan antar keduanya akan menjadi persoalan besar, terutama ketika kita berorientasi sebatas “Belajar untuk hidup”. Kita akan kehilangan eksistensi kemanusiaan kita yang unik, karena food oriented ataupun money oriented membuat mahasiswa terkadang menggadaikan idealismenya, cita-citanya, demi pekerjaan yang terkadang tidak sesuai dengan bakat dan potensinya. Tidak sedikit Sarjana Pendidikan, Sarjana Tekhnik, Sarjana Hukum yang bekerja di Bank dan institusi lain yang tidak sesuai dengan gelar akademiknya. Mereka inilah yang menurut Andreas Harefa sebagai orang malang, yakni orang yang dipaksa melakukan hal yang tidak di sukainya, hal-hal yang tidak sesuai dengan potensi dan bakat unik mereka sendiri, dan melakukannya demi sesuap nasi. Aa Gym dalam salah satu ceramahnya pernah mengatakan, tujuan utama dari bekerja bukanlah uang tapi bagaimana kita menunjukkan, mengeluarkan potensi terbaik kita secara maksimal. Nah, pada dasarnya meskipun kita mendapatkan imbalan yang relatif besar dari karier dan pekerjaan kita saat ini, namun apalah artinya jika kita sesungguhnya melakukan hal-hal yang tidak disukai karena bertentangan dengan minat dan bakat kita? meskipun kita kaya dengan itu tapi itu di lakukan tidak sesuai dengan kompas hidup dan potensi unik dalam diri kita, maka kita akan menjadi sangat miskin dalam hidup ini.
Apakah Belajar?
Ada sebuah kesalahan besar yang menjadi ‘pembenaran’ kita semua, yaitu menyamakan antara bersekolah dan belajar. Sekolah adalah belajar dan belajar adalah sekolah, artinya kalau ingin belajar maka syaratnya adalah sekolah. Sehingga perspektif kita dengan orang-orang yang tidak sekolah adalah orang yang tidak belajar, otomatis mereka adalah orang-orang yang tidak berpengetahuan, tidak intelek, tidak ilmiah dan tidak sebagainya. Mereka yang tidak punya biaya untuk bersekolah, akhirnya terjebak dalam kondisi pragmatis yang menjadikan sebagian dari mereka tidak percaya diri untuk berbuat, mereka merasa tidak tahu apa-apa, bukan apa-apa, bukankah mereka tidak pernah belajar ?
Lalu, sesungguhnya apa sih belajar itu ? kalau kita mau jujur, di sekolah, di kampus, yang kita akui sebagai kampungya orang-orang yang belajar (siswa/mahasiswa) tidak pernah diajarkan tentang belajar. Ya, kita tidak pernah belajar tentang belajar. Yang ada sekedar menghafal, sekedar pertransferan pengetahuan dari otak sang guru ke otak sang murid. Kalaupun kita belajar, kita belajar terlalu sedikit (too little), terlalu lamban (too slow) dan terlalu lambat (too late). Lembaga Pendidikan (sekolah/universitas) belum sepenuhnya menjadi mediator yang mampu menerjemahkan makna belajar.
Ubaidillah AN, memaknai belajar sebagai proses melakukan sesuatu, kemudian membebaskan diri dari situasi atau tekanan yang diakibatkan ketidaktahuan. Ya, inti dari belajar adalah melakukan, cara terbaik untuk mempelajari sesuatu adalah dengan melakukannya, seperti yang ditulis oleh Rex dan Carolyin Sikes: "We learn about a city from being there, not from a map or guide book. We learned to walk and talk without reading instructions or following recipes. Learning is doing something, then getting rid of the unwanted parasitic movements". Jadi, dengan pemaknaan belajar menurut Ubaidillah AN, tesis yang merupakan kesimpulan dari pandangan Reg Revans, Bob Sadino, Charles Handy dan Alvin Toffler, menimbulkan sebuah pertanyaan. Sebagai mahasiswa benarkah kita telah belajar ?
Belajar tentang, Belajar (melakukan) dan Belajar Menjadi
“Kau menciptakan malam, dan aku yang membuat pelita. Kau menciptakan tanah liat, dan aku yang membuat piala.” -Dr. Muhammad Iqbal -
Allah, memberikan kedudukan yang sangat tinggi terhadap akal, karena hanya manusialah yang dibekali akal, maka manusia adalah ciptaan terbaik Allah. Allah memerintahkan manusia untuk menggunakan akal, dan cemohan Allah buat manusia yang tidak mau menggunakan akalnya. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Qs.88:17-20)
Salah satu ayat dari al-Qur’an di atas menegaskan kekuasaan Allah, memperjelas kepada manusia bahwa kenyataan-kenyataan empiris di dalam alam ini seharusnya menjadi sarana manusia untuk memanfaatkan dan menggunakan akalnya, sebagai mediator pembelajaran, sehingga daya pikirnya terlatih, dan dengan demikian mampu membina ilmu pengetahuan, mampu memanusiakan dirinya, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk, ialah (orang yang berlaku) tuli, yang (berlaku) bisu, dan yang tidak (mau ) mengerti.” (Qs.8:22). Ayat ini, mencemooh manusia yang tidak mau belajar untuk menemukan hakekat kemanusiaannya dan memenuhi panggilan kemanusiaannya yang pertama, yakni menjadi manusia yang senantiasa belajar, menjadi manusia pembelajar –meminjam istilah Andreas Harefa-.
Tugas pertama manusia sebagai pembelajar memberikan kepada kita sebuah konstruksi pemikiran bahwa manusia beda dengan makhluk ciptaan Allah lainnya, khususnya binatang. Manusia dapat belajar tentang, belajar melakukan, dan belajar menjadi dirinya sendiri. Sedangkan binatang hanya bisa belajar melakukan tapi tidak mampu untuk belajar tentang, apalagi belajar menjadi dirinya sendiri.
Ignas Kleden, sebagaimana yang di kutip Andreas Harefa dalam bukunya “Menjadi Manusia Pembelajar” pernah menjelaskan perbedaan antara belajar tentang dan belajar. Dicontohkan, belajar tentang bersepeda berarti mempelajari teori-teori terkait dan itu dapat dilakukan di sebuah ruangan yang tak ada sepedanya sama sekali (cukup dengan buku, film atau video tentang cara-cara bersepeda). Lain halnya dengan belajar bersepeda. Belajar bersepeda berarti pergi membawa sepeda ke tanah lapang dan praktik langsung, merasakan langsung ketika jatuh, nabrak, terkilir dan sebagainya. Sama halnya, ketika siswa/mahasiswa sekedar membaca teori-teori keTuhanan, menghafal rukun Islam dan iman, tanpa mempraktikan atau mengamalkan maka ia belumlah dikatakan belajar Islam tapi sekedar belajar tentang Islam. Artinya, dapat ditegaskan bahwa belajar pada dasarnya melakukan sesuatu, berarti mempraktikkan sesuatu yang dipelajari, sedangkan belajar tentang hanya sekedar mengetahui sesuatu. Begitulah, belajar shalat berarti melakukan shalat, belajar bahasa Inggris berarti mempraktikan bahasa Ingris, belajar tekhnik berarti mempraktikkan langsung. Mempelajari manusia tidaklah cukup hanya mempelajari biologi, sosiologi, psikolofi, filsafat, teologi dan berbagai kajian ilmu yang meletakkan manusia sebagai obyek dan teori, tetapi dilanjutkan dengan praktik, mencoba menerapkan perilaku dan kebiasaan tertentu yang sesuai teori hanya dapat dilakukan manusia. Selama pengetahuan yang dipelajari belum diaplikasikan maka pada dasarnya ia baru belajar tentang dan belum belajar.
Satu hal yang perlu kita tambahkan setelah belajar tentang (teori) dan belajar (praktik) adalah belajar menjadi. Untuk dapat memanusiakan diri seseorang maka ia harus belajar menjadi, yakni: merenungkan tentang dirinya, menghayati keberadaannya sebagai “apa” dan “siapa”, dan axiology (untuk apa) sebagai manusia. Inilah yang membuat manusia menjadi makhluk unik yang tidak dapat dibandingkan dengan binatang, yakni kemampuan manusia untuk menyadari keberadaannya serta menempatkan dirinya dalam suatu hubungan (sesuai pilihannya) dengan Sang Pencipta. Kemampuan dirinya untuk beraksi, menggunakan daya kreatifnya memakmurkan bumi, mengubah ‘alam pertama’ sebagai bahan baku menjadi ‘alam kedua’ dalam bentuk tekhnologi. Kemampuan manusia untuk menjadi dirinya, belajar menunaikan tugas dan tanggungjawabnya sebagai manusia. Aksi manusia yang tidak dimiliki binatang maupun malaikat ini, dilukiskan oleh Muhammad Iqbal, dengan untaian kata yang puitis dan makna yang mendalam : Thou didst create night and I made the lamp Thou didst create clay and I made the cup Karenanya, mahasiswa….ayo belajar, untuk menjadi manusia yang lebih manusiawi (seutuhnya), yang lebih menikmati proses dibanding hasil. Karena tidak ada yang instant di dunia ini, semuanya butuh proses kecuali jika anda ingin dikecewakan. Terimakasih….!!!
Bahan Bacaan Al-Qur’anul Karim
A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran, Penerbit Mizan, 1998
Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 2000
Andreas Harefa, Sekolah saja tidak cukup, Gramedia, Jakarta, 2001
Andreas Harefa, Pembelajaran di Era Serba Otonomi, Penerbit Harian Kompas, Jakarta 2001
Ubaidillah AN, Belajar Untuk Orang Dewasa, situs e-psikologi, 2004

16 Maret, 2008

Islam dan Pembelaan Terhadap Kaum Tertindas

(Refleksi Perjuangan Muhammad Sang Pembebas)
Sebelum menerima tugas kenabian, Rasulullah Muhammad Shallalahu Alaihi wa Sallam telah dikenal luas dimasyarakatnya sebagai seorang yang berkepribadian agung, memiliki integritas yang tinggi, jujur dan berakhlaq mulia. Muhammad sebelum diangkat sebagai Nabi telah menjadi orang kepercayaan dimasyarakat Arab yang saat itu masih jahiliyyah dan tanpa tata krama. Dilekatkannya gelar al-Amin di belakang namanya menjadi bukti telak Muhammad memiliki posisi yang amat khusus di tengah-tengah masyarakatnya. Sejarah mencatat, bahwa beliau dipercaya meletakkan hajar aswad ditempatnya semula setelah proses perbaikan Kabah yang rusak akibat banjir yang melanda kota Makah saat itu usai. Persoalan meletakkan hajar aswad bukan persoalan sederhana bagi masyarakat Arab yang saat itu masih fanatik dan terfragmentasi berdasarkan kesukuan. Hanya saja kemudian pandangan masyarakat Arab terhadap Muhammad berubah total setelah Muhammad mendapatkan tugas kenabian dengan menda’wahkan sebuah ajaran baru yang menyerukan kalimat Tauhid, tiada Ilah yang patut disembah dan ditaati selain Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Muhammad yang sebelumnya diberi gelar al-Amin tiba-tiba atas konspirasi para pembesar Qurays dijuluki sebagai pembual dan tukang sihir. Tentu menjadi pertanyaan besar jika sebelumnya mereka sendirilah yang menggelari Muhammad sebagai al-Amin dan berbagai gelar dan sebutan mulia lainnya lalu kemudian mereka pulalah yang menuduh Muhammad sebagai pembual dan berbagai tuduhan dan sebutan keji lainnya. Perubahan total sikap masyarakat Arab terhadap pribadi Muhammad tentu bukan hanya karena menyampaikan seruan untuk menyembah Allah Subhanahu Wata'ala, karena patut diketahui bahwa masyarakat Arab jahiliyyah Mekah mempunyai akar sejarah sebagai pewaris tradisi nabi Ibrahim As. Oleh karena itu walaupun warisan nilai-nilai samawi nabi Ibrahim sebagian besar telah diselewengkan mereka masih mengenal Allah dengan baik sebagai pencipta dan penguasa Alam Semesta. Tentu ada hal yang lebih fundamental yang tidak berkenan dihati kaum Jahiliyah Mekah sehingga mereka menentang habis-habisan seruan da’wah Rasulullah bahkan meskipun nyawa menjadi taruhannya. Adapun alasan terbesar kaum Jahiliyah Makah yang disponsori kaum bangsawan dari suku Qurayis menentang dan menolak kenabian Muhammad karena mereka tahu benar akan konsekwensi dari kalimat Tauhid “La ila haillallah”. Mereka secara jujur mengakui Allah adalah pencipta dan pengatur alam semesta namun mereka menolak keras konsep bahwa Allah sebagai satu-satunya Ilah yang patut disembah. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ash-Shafat : 35-37 : “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilahaillallah’, mereka menyombongkan diri dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila ?, Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya).” Mereka mengetahui secara persis makna dari pernyataan ‘Laa ilahaillallah’, karenanya mereka engan untuk menyebutnya. Pernyataan ini berarti ketaatan total dan menyeluruh baik mengenai urusan dunia maupun akherat, kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Sementara masyarakat Arab saat itu hidup pada sebuah sistem bahwa antara manusia dengan Allah memerlukan perantara khusus yang sengaja mereka ciptakan demi keuntungan duniawi yang kepadanya mereka menghambakan diri. Mereka menyebut perantara itu dengan sebutan Latta, ‘Uzza dan ratusan lagi sebutan lainnya. Walaupun mereka mengakui bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta tetapi para penguasa, elite Jahiliyyah Mekah telah menciptakan sistem yang memungkinkan mereka melakukan penindasan dan kesewenang-wenangan untuk kesenangan hidup mereka sendiri. Inilah sebabnya mereka menentang habis-habisan seruan Rasulullah agar menempatkan Allah sebagai satu-satunya ilah, yang berhak mengatur hidup dan kehidupan mereka.
Islam, Agama Kaum Tertindas
Dunia Arab saat itu berkutat dalam proses dehumanisasi dan pemiskinan yang menggejala. Adanya ketimpangan sosial dan ekonomi. Distribusi kekayaan yang tidak merata karena terjadinya praktik monopolistik dan penghisapan dari kalangan borjuis Arab terhadap rakyat jelata. Yang kaya semakin kaya sedangkan kaum miskin Arab semakin miskin. Hal ini lebih diperparah lagi dengan sistem keyakinan yang notabenenya diciptakan oleh pembesar-pembesar kaum Arab saat itu. Kemiskinan yang dirasakan kebanyakan rakyat jelata itu sering digembar-gemborkan sebagai kutukan Tuhan, karena kedurhakaan mereka. Pengaruh kemiskinan dan penderitaan itulah yang menyebabkan kebanyakan mereka melakukan penyimpangan aqidah dari agama Ibrahim. Dengan setting sosial yang memiliki kesenjangan yang luar biasa antara kaum kaya dan miskin, lebih-lebih jika simiskin sudah mati-matian bekerja keras tapi juga nasibnya tidak berubah, sementara si kaya hanya duduk-duduk saja tapi dengan rezeki yang melimpah, dalam keadaan seperti itu menyebabkan kemiskinan menawarkan semacam keragu-raguan untuk mempertanyakan kebijaksanaan dan keadilan Tuhan dalam mendistribusikan harta kepada Ummat manusia. Inilah penyebab utama mengapa kemudian mereka merasa tidak cukup jika hanya meminta pertolongan kepada Allah tapi juga kepada benda lain yang mereka anggap bisa memberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi mereka. Ataupun karena merasa diri kotor, hina dan tidak pantas berkomunikasi dengan Allah yang Maha Suci, sehingga mereka dalam meminta kepada Allah mesti lewat perantara yang mereka anggap bisa menyampaikan segala keinginan mereka. Itu bisa lewat kuburan/patung-patung para Nabi, waliyullah ataupun benda-benda yang mereka anggap suci dan keramat. Dan keyakinan serta amalan mereka inilah yang terkategorikan sebagai kemusyrikan. Dengan demikian diutusnya Muhammad sebagai nabi dan rasul, yang pertama, berjuang menyebarkan tauhid dan merombak habis sistem kepercayaan yang syirik dengan cara menegakkan nilai-nilai keadilan dan merubah relasi sosial yang menyimpang. Keberpihakan Muhammad Shallalahu Alaihi wa Sallam pada kaum miskin bukan sesuatu yang mengejutkan dan karenanya menjadi prioritas dalam da’wahnya. Islam yang dibawa Rasulullah menawarkan konsep hidup egaliter yang menentang keras segala bentuk penindasan maupun penghisapan pada kaum miskin. Etika penghormatan pada kaum tertindas dalam Islam ditempatkan pada posisi teratas bahkan bisa menggugurkan amalan bila melakukan pendzaliman. Bahkan dalam surah al-Maun dipaparkan perlakuan yang semena-mena terhadap anak yatim dan kaum miskin disebut sebagai perilaku yang mendustakan agama. Keberpihakan Islam pada kaum budak juga tampak jelas dengan banyaknya anjuran Islam untuk memerdekakan budak. Gerakan pembebasan inilah yang pertama-tama dilakukan Rasululullah bersamaan dengan seruannya untuk hanya menyembah kepada Allah semata. Mengapa Islam menjadikan keberpihakan pada kaum miskin sebagai prioritas, setidaknya ada tiga jawaban yang bisa disampaikan; pertama, kemiskinan sangat berlawanan dengan misi Islam sebagai rahmatalil ‘alamin. Kemiskinan merupakan ekspresi kehidupan yang kalah serta tertindas. Kedua, kemiskinan sangat bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan dimuliakan. Kemiskinan telah menjatuhkan martabat manusia sebagai sosok yang bebas serta merdeka. Ketiga, yang paling utama adalah mandat al-Qur’an yang meletakkan prinsip keadilan sebagai kunci ketaqwaan yang sejati dan sempurna. Dengan demikian, berislam bukan semata-mata kepercayaan dengan adanya Allah tapi juga berfungsi sebagai pembebas dan pembela bagi manusia yang tertindas. Sebab eksistensi penindasan merupakan bentuk penodaan terhadap konsep tauhid dan pengingkaran terhadap makna ‘Laa ilahaillallah’ sebab jika ada penindas dan yang tertindas berarti yang tertindas menghambakan dirinya pada yang selain Allah dan yang sang penindas menempatkan dirinnya pada posisi Tuhan, dan ini merupakan kedurhakaan yang luar biasa, sebagaimana sabda Rasulullah, maksiat yang dipercepat adzabnya di dunia adalah durhaka pada orangtua dan berbuat dzalim (menindas orang lain). Karenanya, sangat memalukan kemudian jika para da’i yang mengaku penerus nabi dan menyerukan Islam sebagai rahmatalil ‘alamin tapi kemudian tidak memberikan pembelaan pada kaum miskin dan yang tertindas. Ulama siapakah yang turut mendo’akan arwah marsinah dan pembantu lainnya yang meninggal akibat kesewenang-wenangan majikannya ? adakah ulama yang turut membela petani dan kaum miskin kota yang tergusur dari sawah tempat mereka menggantungkan hidup ? dan berapa sih yang turut serta meneriakkan penolakan terhadap harga yang makin melonjak ? adakah kita menuntut penghidupan yang layak bagi saudara-saudara kita yang bahkan untuk makan harus mengais-ngais tempat sampah ? Begitupula organisasi Islam yang menjadikan da’wah kepada tauhid dan pemberantasan kesyirikan sebagai prioritas dan yang utama tapi tetap membiarkan terjadinya penindasan. Keasyikan belajar tentang agama bisa jadi mengikis makna substansial agama dalam menjawab soal-soal kemanusiaan. Pada gilirannya, implementasi syariat Islam tidak menyentuh problem nyata masyarakat, bagaimana memberantas kesyirikan, menegakkan keadilan sosial, memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan, menjamin kemaslahatan manusia, memberikan pembelaan kepada mereka yang terampas hak-haknya. Padahal, inilah inti ajaran Islam dalam masyarakat modern seperti saat ini. Agama adalah revolusi karena mengandung ajaran-ajaran pembebasan manusia dan perlawanan terhadap segala bentuk kejahatan yang menistakan dirinya. Sedangkan para Nabi dan Rasul adalah revolusioner, mereka diutus Allah untuk mengubah dunia sesuai dengan kehendak Ilahi. Wallahu ‘alam bishshawab

Spirit Keagamaan dan Perubahan Sosial

(Refleksi atas kelahiran Muhammad, Sang Pembebas)

Sebuah pertanyaan yang mendesak untuk segera dijawab,

"Benarkah agama memiliki spirit dalam proses perubahan sosial

atau justru sebagai instrument yang dapat dimanfaatkan

untuk mempertahankan status quo ?"‌

Jika kita menelaah sirah nabawiyah, maka kita dapatkan nabi-nabi utusan Allah senantiasa datang membawa perubahan besar dalam struktur sosial kemasyarakatan di mana nabi itu berada. Agama –ajaran- yang mereka bawa adalah agama pembebasan, agama revolusioner, agama yang terus menerus meneror pengikutnya untuk terus menabur benih perjuangan untuk menjadi pemimpin di muka bumi, dan menegakkan kedaulatan ilahi sehingga agama hanya diperuntukkan untuk Allah semata. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata'ala,

"Wa qaatiluhum hatta la takuuna pitnatung wayakuuna ddina lillahâ"

"dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah dan Dien itu hanya untuk Allah semata."

QS. Al-Baqarah : 193

Jadi agama, sejak mulanya turun, jelas memiliki spirit untuk melakukan tindakan revolusioner, melawan kesewenang-wenangan dan penindasan. Jadi bukan hanya sebatas ritual, tradisi, dan upacara-upacara yang berkesan rutinitas belaka. Dari sini, penulis berani tegaskan bahwa agama adalah revolusi, sedangkan para Nabi dan Rasul adalah para revolusioner sekaligus reformis. Mereka diutus Allah untuk mengubah wajah dunia ini sesuai dengan kehendak Ilahi. Nabi Ibrahim memproklamasikan revolusi tauhid menentang kemusyrikan dan tiran Namrudz. Nabi Musa membebaskan bangsa Israel dari perbudakan dan penindasan Fir’aun. Nabi Isa As mendeklarasikan revolusi spiritual melawan kekuasaan tirani sekuler hedonostik imperium Romawi. Dan penghulu para Nabi, Muhammad Shallalahu Alaihi wa Sallam sebagai pelopor pembebasan kaum jelata, budak dan rakyat tertindas dan berhasil menghancurkan struktur social Quraisy yang penuh kemusyrikan, penindasan dan sarat dengan ketidak adilan. Tauhid yang di da'wahkan para Rasul berfungsi praktis menghasilkan perilaku dan iman yang diorentasikan untuk mengubah system social masyarakatnya., menjadi tatanan masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai Ilahi. Jadi pemeberantasan kesyirikan tidak sekedar dimaknai sebagai perlawanan terhadap para penyembah kubur, pemuja berhala, tapi juga perlawanan terhadap 'penyembahan' manusia terhadap manusia lainnya. Sehingga perlunya memandang al-Qur'an sebagai sebuah etos atau sumber motivasi bagi sebuah tindakan revolusioener. Karenanya penafsiran atas teks al_qur'an -sebagaimana yang diusulkan Hassan Hanafi dengan konsep hermeneutika sosialnya- tidak sekedar ditafsirkan secara tekstual tapi juga harus didasarkan pada persepsi kehidupan manusia -penafsiran secara kontekstual-.

Agama Sebagai Inspirasi Tidak Hanya Aspirasi

Secara definitif, kita kenali bahwa masalah adalah adanya kesenjangan jarak antara ranah idealitas dengan realitas yang ada. Masalah sosial keagamaan terjadi karena ada yang tidak sesuai dengan harapan yang telah ditorehkan dalam iman agama dengan realitas bagaimana agama tersebut diamalkan di tengah-tengah masyarakat. Kita lihat dalam praktiknya -terutama dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia- keberagamaan kita menampilkan wajah ambiguitas. Adanya perbedaan yang signifikan antara keshalehan pribadi dengan keshalehan sosial. Keshalehan pribadi yang kemudian diharapkan menular, menyebar untuk terciptanya kondisi sosial yang shaleh tidak jua terwujud. Realitas agama hanya terjebak pada dimensi keshalehan pribadi yang berorientasi pada kesucian perorangan. Ukurannya hanya sekedar persembahan belaka, tapi tidak mampu memperbaharui perilaku sosial. Ini terjadi karena pemeluk agama masih terejebak pada persoalan kuantitas keimanan, bukan pada kualitas keimanannya. Agama hanya dihayati sekedar ritual belaka, tetapi dirinya terasing terhadap realitas kehidupan kemasyarakatan. Misalnya, sebuah contoh nyata, ketika seorang muslimah memulai mengenakan jilbab yang sebenarnya, pada umumnya jilbab itupun kemudian menjadi hijab baru baginya untuk bergaul dengan masyarakat. Itulah realitasnya, penganut agama gagal mempraktikkan agama yang sesungguhnya, agama yang memiliki iman yang memihak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan keesejahteraan. Mengapa ? karena agama hanya dimengerti sebagai ritus belaka dan berorientasi pada dogma an-sich. Dengan demikian pemeluknya pun sekedar beragama formal dan fanatis. Selama ini tanpa sadar cara beragama kita masih sekedar menjalankan kewajiban persembahan belaka, bukan pada penghargaan hak-hak manusia lainnya. Penghayatan yang ritualistik ini melahirkan keimanan yang kurang terwujud. Karenanya, perubahan orientasi keagamaan seharusnya lebih difokuskan pada nilai-nilai kemanusiaan, sehingga spirit perubahan dalam agama benar-benar dapat muncul dipermukaan. Orang yang benar-benar religius adalah orang yang memiliki kepekaan dan sensitifitas yang tinggi pada penderitaan kaum miskin yang tertindas. Kemiskinan memang menjadi persoalan krusial yang kemudian wajib untuk diperangi, karena kemiskinan mendekatkan orang pada kekufuran. Maka melawan kemiskinan adalah perintah dan itu penting dalam Islam. Sehingga tindakan apapun yang dapat menciptakan kemiskinan, kesewenang-wenangan dan penindasan harus diperangi, bukan justru memerangi orang lain karena beda agama -dalam Islam tidak ada paksaan dalam agama-. Kualitas religius inilah yang akan membantu umat beragama memiliki kesadaran religiusitas yang berkualitas. Kualitas religiusitas inilah yang membawa nilai-nilai kemanusiaan semakin adil dan beradab. Sekali lagi ditegaskan, agama haruslah menjadi inspirasi untuk melakukan tindakan revolusioner, menuju perubahan kehidupan yang lebih bermakna, yang sarat dengan nilai-nilai ketauhidan sebagaimana yang Dia mau.

Penutup

Tuhan bukan butuh persembahan tetapi ummat manusia yang bertindak adil bagi sesama, sebaik-baik manusia kata Rasulullah adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia yang lainnya. Tuhan akan muak dengan persembahan ibadah ritual kita jika tangan kita penuh darah, mulut kita penuh dengan pembualan dan dusta. Realitas itulah yang terjadi dalam wajah keagamaan kita sekarang. Keagamaan yang seharusnya membebaskan manusia menjadi agama yang terasing dengan realitas sosial dan sibuk dengan agama yang dikrangkeng di dalam aturan-aturan yang monolitik, monoton, dan tentu saja berdampak tidak sehat. Yang pada gilirannya, implementasi syariat Islam tidak menyentuh problem nyata masyarakat, bagaimana memberantas kesyirikan, menegakkan keadilan sosial, memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan, menjamin kemaslahatan manusia, memberikan pembelaan kepada mereka yang terampas hak-haknya. Padahal, inilah inti ajaran Islam dalam masyarakat modern seperti saat ini. Menurut hemat saya, inilah hal penting untuk menjadi landasan Islam membangun masyarakat dan peradaban. Wallahu 'alam bishshawwab.

15 Maret, 2008

Adakah Cinta Dewasa Itu Di Sekitar Kita ?

Cinta itu bunga; bunga yang tumbuh mekar dalam taman hati kita Taman itu adalah kebenaran. Air memberinya kesejukan dan ketenangan Sedang matahari memberinya gelora kehidupan…
-Anis Matta, Lc-
Salah satu unsur cinta dewasa adalah empati. Mengambil kepentingan pihak yang kita cintai untuk menjadi wilayah teritorial kita. Kalau kekasih kita haus, kita yang gugup mencarikan minum. Kalau kekasih yang terluka, perasaan kita yang mengucurkan darah. Itulah cinta dewasa. Cinta yang matang dengan kerelaan untuk berkorban. Untuk hal-hal yang menyenangkan ada kerelaan untuk mendahulukan. Sebaliknya untuk soal yang menyengsarakan, kita yang berdiri di garda terdepan. Contoh konkritnya, saat kenduri, kita makan belakangan, saat kebakaran kita yang paling akhir menyelamatkan diri. Itulah cinta dewasa. "Biarlah saya yang lebih dulu lapar, dan terakhir untuk kenyang."Kata-kata Imam Ali as yang tersimpan rapi dalam perbendaharaan sejarah. Menunjukkan adanya cinta dewasa pada diri Imam Ali as terhadap rakyatnya. Cinta dewasa terkadang dilematik. Sebab romantisme seringkali berhadapan dengan rasionalitas. Kalau kita mencintai kekasih kita, bukan berarti harus menuruti apa saja yang dia minta. Salah satu modus pertanggungjawaban cinta adalah adanya kepandaian dalam menyeleksi keinginan-keinginan berdasarkan pemahaman yang paling sehat dalam kehidupan. Mencintai tentu saja beda dengan menjerumuskan. Meskipun menuruti kemauan sang kekasih adalah sebuah kemesraan universal yang memang nikmat. Sedangkan menghalangi untuk melakukan kesenangan-kesenangannya yang kita tahu itu tidak sehat, tentu saja ada rasa perih untuk melakukannya. Kalau kita benar-benar saling cinta, saling menyayangi. Sungkan bakalan tidak ada. Takut juga tidak ada. Yang ada ikhlas untuk menerima. Seperti suami istri yang saling mencinta, tidak ada rasa takut untuk saling menegur. Misalnya, sang suami langsung bilang pada istrinya ketika memakai pakaian yang tidak pantas dikenakan. Sedangkan tetangganya belum tentu berani melakukannya. Begitu juga misalnya, ada seorang anak manjat pohon pada saat hujan. Orang yang lewat kurang lebih hanya sekedar bertanya dalam hati "Anak siapa ya ? kan bahaya naik pohon kala hujan ." kalau tetangga yang melihat, bisa saja hanya bilang," Hei turun, nanti jatuh!!". Cuman segitu, tidak diturutin juga tidak. Berbeda kalau yang melihat itu bapak atau ibunya, bukan cuman sekedar teriak tapi aksinya jauh lebih dalam, tapi dia datang bahkan sampai memanjat sambil menarik kaki anaknya. "Hayo turun !!!". Itulah wujud cinta dan kasih sayang yang sangat, berbeda dengan tetangga dan orang yang lewat. Tapi biasanya sang anak tidak mengerti. Dia pikir orangtuanya galak amat. Nah orang yang tak mau dikritik itu tidak jauh beda dengan anak-anak. Begitulah cinta dewasa memerlukan sikap kritis. Nah, ketika kita ingin dicintai itu sama halnya kita siap untuk dikritik. Dalam hidup berumah tangga, saya memiliki teman hidup yang bersikap kritis terhadap saya. Hidup bersamanya benar-benar memberi saya kesempatan untuk mendewasakan diri, saya terpacu terus menerus justru dengan sikap-sikapnya yang ‘kejam’. Dia menerapkan cinta dewasa justru dengan selalu mengupayakan penyelamatan atas proses hidup saya, melalui kritik-kritik, kecaman-kecaman, hardikan-hardikan bahkan mengisolasi. Terkadang itu teramat perih, tetapi ketika kita mampu berpikir dewasa memang itulah yang terbaik bagi pergaulan cinta antar manusia. Hardikan-hardikan mahasiswa di sudut-sudut jalan kepada pemerintahnya menurut saya adalah juga bagian dari wujud kecintaan mereka.
De, kusayangki.....makasih atas tegurannya.
Qom, 15 Maret 2008

08 Maret, 2008

Iklan dan Dehumanisasi

"Segala produksi ada di sini, menggoda kita untuk memiliki, hari-hari kita diisi hasutan hingga kita tak tahu diri sendiriâ" (Mimpi yang Tak Terbeli, Iwan Fals) Dari sepenggal bait syair lagu yang saya jadikan head line tulisan ini, Iwan Fals ingin memberikan warning sebuah efek iklan yang tidak hanya sekedar meningkatkan kesadaran akan pentingnya penggunaan barang yang ditawarkan tapi juga efek dramatis dan tragis yakni menjadikan orang-orang tidak lagi mengenal dirinya, bahasa kasarnya tidak tahu diri dan secara pelan tapi pasti menuju proses pembinatangan ( bahasa halusnya dehumanisasi). Bahasa menggambarkan kekuatan terselubung dari iklan yang dapat memberangus alam bawah sadar umat manusia yang seakan tak mampu untuk dibendung lagi kemagisan kata-katanya. Tiap hari kita di serang dengan kata-kata, "Anda adalah apa yang anda kenakan."Anda adalah apa yang anda makan."Anda begitu berharga, (karenanya kenakan kosmetika ini).” dan berondongan kata-kata menghasut lainnya. ?. Akibatnya, kita lihat dengan kasat mata rakyat Indonesia semakin terberangus kemerdekaannya, dan semakin tak berdaya dalam menjaga diri dari penjajahan gaya hidup dan mimpi-mimpi kosong yang ditawarkan media massa,yang dengan bertiupnya angin reformasi, makin menggila dalam menyajikan mimpi-mimpi yang terkadang menghina akal sehat-. Sebagaimana yang dikatakan Rasulullah, bahwa sesungguhnya diantara bayan adalah sihir (H.R Bukhari). Bayan ? Apakah bayan itu? , bayan adalah komunikasi, baik dalam arti yang luas maupun dalam pengertian yang sempit. Yakni ungkapan kata atau penjelasan. Dan sebagai salah satu bentuk komunikasi baik secara audiovisual maupun tulisan setiap penampilan iklan didalamnya ada sihir, ada pengaruh yang bisa ditimbulkan. Iklan, bahwa apapun yang diungkapkannya akan mempengaruhi pikiran, merasuki pikiran, dan sangat mungkin mengakibatkan perubahan pada jiwa. Sebagai contoh, Buktinya orang kaya acapkali tidak pe de (percaya diri) bila tidak mengendarai sedan mewah, tidak makan makanan yang harganya super mahal, dan tidak mengenakan pakaian dari butik-butik eksklusif, tidak menggunakan kosmetik bermerek dari manca negara. Anak-anak orang kaya juga sering diejek bila tidak dibelikan handphone, tidak ikutan mengenakan tas dan sepatu bermerek, tidak membawa mobil sendiri ke sekolah, atau tidak suka menghambur-hamburkan uang di mal-mal dan kafe-kafe terkemuka. Sehingga orang kaya akan merasa terhina jika naik angkot misalnya, jajan di pedagang asongan, membeli baju di Pasar Butung ataupun melakukan hal-hal yang tidak ekslusif lainnya. Inilah kemudian efek psikologis negatif yang akut dari serbuan iklan, yakni adanya perubahan peta mental. Harga diri seseorang terkadang diukur dengan apa yang dimilikinya dalam bentuk material. Sehingga jika sebelumnya pakaiannya mewah, kemudian mengenakan pakaian kumal, ataupun kemudian kosmetik yang dikenakan luntur maka turun pulalah harga dirinya. Terang saja ini adalah bentuk dehumanisasi terang-terangan. Mengidentifikasikan seseorang berdasarkan benda-benda mati semacam itu, jelas-jelas melecehkan kemanusiaan. Sebab kita tidak memerlukan kecerdasan ekstra untuk menyadari bahwa kita, Anda dan saya, pertama-tama dan terutama adalah manusia. Anda bukan mobil, bukan makanan, bukan pakaian, bukan kosmetik. Anda adalah Anda. Dan anda adalah Manusia. Dan apabila sebagai manusia Anda kemudian dilihat, diperlakukan, dihargai dan dihormati berdasarkan apa yang Anda pakai atau miliki, maka apa namanya itu kalau bukan pelecehan? Saya pernah membaca suatu ungkapan, begini : "Kalau siapa saya tergantung pada apa yang saya punya, dan apa yang saya punya hilang, lalu, saya ini siapa ? " Mengerti kan maksud saya ? kita adalah makhluk yang diserahi amanah untuk menjadi khalifah di muka bumi, telah dibekali instrument-instrumen yang luar biasa untuk itu, karenanya tidak pantas dan teramat menjijikkan jika manusia dipersamakan dengan benda mati walaupun itu mobil mewah secinklon apapun bahkan berlian sekarung sekalipun.

04 Maret, 2008

Pesan Rahbar Kepada Umat Islam Soal Tragedi Gaza

Bismillahirrahmanirrahim Umat Islam dan bangsa Iran! Hari-hari ini terjadi peristiwa berdarah di Gaza. Sebuah tragedi yang mengenaskan dan menyakitkan. Kepedihan luar biasa ini tidak dapat dituangkan dengan lisan dan tulisan. Setelah berbulan-bulan diblokade sedemikian rupa, anak-anak tak berdosa, wanita dan laki-laki mazlum itu kini harus menerima kebiadaban dan kebuasan Rezim Zionis Israel. Rumah dan ladang mereka diratakan dengan tanah dan mereka bersimbah darah. Anak-anak kecil yang baru tumbuh tewas mengenaskan di hadapan ayah dan ibunya sementara orang tua tewas di hadapan anaknya. Mereka tewas akibat kedengkian para penjagal dan penjajah. Sementara mereka yang mengaku beradab dan cinta sesama dengan tenang menyaksikan pembantaian manusia. Bungkamnya dunia Islam di hadapan aksi yang luar biasa kelewat batas ini tidak dapat diterima. Umat Islam harus bangkit! Para pemimpin Islam harus menunjukkan kemarahan bangsanya di hadapan Rezim Zionis penjajah! Tangan pemerintah Amerika berlumuran darah bangsa teraniaya Palestina. Karena dukungan dan bantuan pemerintah mustakbir dan arogan inilah Rezim Zionis Israel menjadi congkak sehingga melakukan kejahatan yang tidak dapat dimaafkan. Bangsa-bangsa dan negara-negara Islam harus menyampaikan suara kemazluman bangsa Palestina ke seluruh dunia. Mereka harus menghidupkan hati nurani yang sedang tidur. Apakah bangsa Amerika tahu bahwa para pemimpinnya menginjak-injak segala kehormatan manusia dan mengorbankannya demi Rezim Zionis Israel? Apakah bangsa Eropa tahu bagaimana para pemodal Zionis telah menguasai negara mereka dan seperti apa para pemimpin mereka diajak untuk melakukan apa? Ini bukan satu hal yang kebetulan, bila pada saat yang bersamaan dengan kebiadaban ini di belahan bumi yang lain yang dikuasai kekuatan hegemoni, paling mulianya kesucian Islam dinistakan dan tulisan kotor serta politik setan mendukung mereka. Pribadi suci yang disebut Rahmatan Lil Alamin dinistakan dan dihina. Padahal dunia berhutang ajaran-ajaran ilahi darinya. Benar! Ini adalah pesan Islam yang membebaskan dan memberantas kezaliman. Dengan membangkitkan semangat kemuliaan dan keagunan manusia dan bangsa-bangsa membuat para mustakbir dan hegemoni dunia menjadi khawatir dan takut. Api dengki dalam hati mereka membara terhadap kaum muslimin dan membuat perilaku mereka bak orang gila. Kini kaum mustakbir arogan harus tahu bahwa dengan kekerasan dan kebuasan, mereka tidak akan mampu mematikan api kesadaran Islam yang terus meluas. Perlawanan gagah berani rakyat Palestina dan keberanian luar biasa pria-wanita dan tua-muda menghadapi Rezim Zionis Israel haus darah menjadi bukti semua ini. Demikian Allah berfirman: “Lalu kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berbuat dosa. dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.”(Al-Rum ayat 47) Saya mengucapkan salam kepada rakyat Gaza, kepada pria dan wanita teraniaya namun pejuang, kepada anak-anak tak berdosa. Saya berdoa kepada Allah kesabaran, keluasan dan kesabaran mereka. Wassalamualaikum Warahmatullah Sayyid Ali Khamanei 12/12/1386 (02/13/2008)[infosyiah]

03 Maret, 2008

Perlunya Kesadaran Kemanusiaan

Saya tak habis pikir mengapa kematian tragis seseorang tak juga menyadarkan kita akan kelalaian yang berulang kali kita lakukan. Kita sibuk dengan diri kita sendiri, kita masih juga sibuk membahas pemberlakuan BHMN/BHP untuk institusi pendidikan meskipun mendapatkan tontonan dari meninggalnya pelajar ataupun orangtua pelajar bunuh diri karena tidak sanggup memenuhi tuntutan biaya pendidikan, sementara hanya lewat sekolah mereka berharap bisa menaikkan derajat dan harga diri mereka. Di Bogor, karena gara-gara malu belum bayar uang buku sebesar Rp30 ribu, Mudin Rudiansyah (13) siswa kelas I Madrasah Tsnawiyah (MTS) Alhusna Curug, Kabupaten Tangerang, bunuh diri. Anak yatim-piatu itu nekad mengakhiri hidupnya dengan gantung diri menggunakan tali di pohon kecapi di Kampung Pabuaran RT 05/03, Desa Curug Kulon, Tengerang. Sementara pejabat kita berebut kursi, tanpa malu berebut tempat memasang baliho dan umbul-umbul yang mengumbar janji kesejahteraan rakyat. Kita diperhadapkan oleh tontonan yang menyakitkan. Seorang ibu yang sedang hamil meninggal karena kelaparan. Bukan hanya Dg Basse, 35 warga di Jalan Dg Tata I Blok 5 Makassar yang menjadi korban kelaparan, tetapi juga anak-anaknya tak terselamatkan (Harian Fajar 1 Maret 2008). Ini hanyalah salah satu contoh yang diangkat oleh media, dan banyak lagi korban-korban yang tidak terekspos oleh media. Kasus yang muncul di media massa itu ibaratnya hanyalah puncak dari gunung es, kasusnya yang tidak terpublikasi tentu lebih banyak lagi. Sebuah keheranan kita, mengapa kasus-kasus seperti ini masih juga terjadi? kasus mati kelaparan ataupun meninggal bunuh diri karena kesulitan kehidupan ini terkesan sederhana dan tidak pernah disikapi secara serius sedang jumlah korban semakin bertambah ? atau pertanyaan penting yang harus dilontarkan, apakah kita masih punya kepedulian terhadap sesama ? Jika kita memulai dengan kondisi-kondisi di dalam diri individu, mungkin sebaiknya, kita awali dulu dengan pertanyaan`: apakah kita memandang orang di luar kita sebagai "sesama" ? Di sini kita berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis, yaitu proses pengenalan manusia. Sebab sulit mempercayai bahwa orang yang membiarkan orang lain menderita dan terzalimi memandang orang itu sebagai "sesama" manusia. Dengan yang dianggap sebagai sesama manusia akan memperlakukan orang lain sebagai sesamanya karena dirinya tercermin di dalam yang sama itu. Mengutip Empeklodes (500 sM) "Yang sama mengenal yang sama,". Kalau demikian, kita melihat yang lain itu bukan melihat yang sama, melainkan benar-benar berhadapan dengan yang lain. Orang lain dipersepsi dengan cara yang khas sedemikian rupa sehingga tampil dalam sosoknya yang terasing. Dengan kata lain, orang lain terdehumanisasikan. Apakah orang lain yang menderita dan mati kelaparan dianggap bukan sesama? bukan manusia ?. Kesimpulan yang diambil adalah perlunya kesadaran kemanusiaan. Melalui pendekatan-pendekatan kultural dan kemanusiaan mungkin bisa meluluhkan banyak hati yang beku terutama kesadaran kita akan peduli terhadap yang dialami sesama kita. Ada benarnya ucapan J.J Rousseau-pemikir Perancis-, "Segala yang jahat berasal dari kelemahan". Dan saya menganggap adalah kejahatan kemanusiaan, jika kita membiarkan orang lain mati kelaparan sementara kita masih bisa tidur dengan perut yang terisi makanan. Bukan mereka yang lemah, melainkan jiwa kita.
"Tidaklah beriman seseorang yang mebiarkan tetangganya kelaparan sementara ia tidur kekenyangan." -Muhammad SAWW-
Qom, 3 Maret 2008

Mengorek Palung Hati Kita

Aku berjalan di belakang kafilah orang mulia Berharap bisa menyingkap penyimpangan yang kutemui Jika aku nanti menyusul mereka setelah kepergian mereka Maka betapa banyak kelapangan untuk itu diberikan Sang Pencipta Namun jika aku diam menetap di muka bumi Maka sungguh berat mencapai kemuliaan… (Setetes Air Mata Cinta Buat Nabi, Syeikh Shalih al-Fauzan (et al) hal. 15)
Pernahkah kita membayangkan bahwa orang-orang yang telah mendahului kita sedang melihat gerak polah kita yang ada di dunia lewat sebuah layar tv ? bayangkan, sekiranya Imam Ali ra melihat kita yang lamban dalam menghafal ilmu, terlebih lagi ilmu tentang kalamullah. Bayangkan apa jadinya jika Umar bin Khattab melihat kita, mungkin wajahnya memerah menahan marah, rahangnya gemetar karena gregetan melihat pemuda jaman ini yang akrab dengan istirahat dan hura-hura. Bayangkan jika Mushab bin Umair melihat kita, mungkinkah ia membiarkan kita, para pemuda yang seringkali memperalat ayah ibunya. Bayangkan Abdurrahman bin Auf melihat kita, yang saban bulan mendapatkan penghasilan tanpa pernah kita usahakan. Bayangkan Salman Al Farisi yang berjalan ribuan kilo demi menuntut ilmu melihat kita, yang lebih senang menghabiskan waktu di mall dan di taman-taman kampus. Bayangkan semua itu…? Bisa saja ini hanya pengandaian, ya sekiranya mereka melihat kita. Malukah kita? Mari kita puaskan gersang hati kita dengan tetes embun rindu yang insya Allah mulia ini. Dahulu, di suatu saat, seorang sahabat menangis tersedu-sedu dalam shalat dan do’nya. Tangisnya begitu hebat, benar-benar memilukan bagi yang melihatnya. Tak lama setelah itu, sekembalinya di rumah dan menemui anak-anaknya. Di rumah tawanya mengembang. Ia asyik bercengkrama dengan keluarganya. Lalu seketika itu ia terdiam…dan berlari keluar rumah, tergopoh-gopoh, dengan tubuh bergetar penuh ketakutan berlari menuju kerumah Rasulullah, sembari berteriak, "Ya Rasulullah….aku munafik….aku telah munafik….!!!. Tapi itu dulu. Di negeri ini, begitu banyak yang menyatakan siap menjadi pemimpin. Bahkan berlomba-lomba mengkampanyekan dirinya. Sedangkan di jaman dahulu, berabad tahun lalu. Imam Ali dengan amat berat menerima amanah sebagai khalifah. Ia berdiri di atas podium seraya menegaskan bahwa jika dirinya melenceng dari ajaran Allah, maka ia siap menerima koreksi dengan tebasan pedang di lehernya. Ia pun berkata, sepatunya yang berkali-kali ia jahit dengan tangannya sendiri jauh lebih berharga dari kepemimpinannya kecuali ia gunakan untuk menegakkan keadilan. Tahukah kita, Gubernur Hisym dahulu kala termasuk dalam daftar orang-orang termiskin di negeri tersebut. Ketika ia mendapatkan bantuan materi dari khalifah, beliau justru membagikannya kepada rakyatnya. Siapa yang tak kenal budak hitam ? Bilal, yang demi mempertahankan prinsipnya rela ditindih batu di panasnya padang pasir. Siapa pula Khubaib, yang rela tubuhnya dicincang kaum kafir Qurays ? Mereka benar-benar istiqamah pantang menyerah, pantang didekte oleh lawan. Pantang berubah oleh situasi dan kondisi. Mereka tidak kuning karena kunyit, tidak hitam karena tinta, tidak merah karena darah, tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan dan tidak asin karena garam. Mereka senantiasa setia pada asas dan kepribadiannya. "Kalian adalah ummat terbaik yang di keluarkan buat manusia…" Qs. Ali Imron :110 "Mereka Ridha kepada Allah, dan Allah ridha kepada mereka…" Betapa indah perilaku manusia-manusia itu. Siapa gerangan orang tuanya ? siapakah gerangan gurunya ? atau di kampus manakah mereka menimba ilmu ? atau sekalian diktat macam apa yang dibacanya ?. Sumbu keindahan komunitas di masa kejayaan Islam bertumpu dan berkiblat pada satu sosok yaitu Rasululah Sallallahu Alaihi Wassallam. Anis Matta, dalam bukunya Mencari Pahlawan Indonesia, menyebut Rasulullah sebagai sang guru. Beliaulah pembimbing sejati yang dengan ilmu dan kebijaksanaannya mampu mencetak kader-kader unggul sepanjang masa. Beliaulah da’i sejati yang menyeru manusia menuju yang Satu, mengarahkan ummat manusia menuju keharibaan Allah. Mungkin mudah bagi kita menjadi pahlawan, sebagaimana dunia tak pernah kekurangan pahlawan atau tokoh-tokoh besar, namun mereka tak mampu mencetak pahlawan-pahlawan baru atau menjadikan orang disekitarnya turut menjadi pahlawan.
"Pada mulanya adalah embun. Laut kemudian akhirnya. Dari laut, terbentang riwayat kepahlawanan yang agung takkan terulang. " (Anis Matta, Mencari Pahlawan Indonesia, Hal. 222)
Sebagai seorang guru, negarawan, jenderal perang, lawmaker, pembaharu sosial, ayah dan suami yang penuh teladan menjadikan Michael H. Hart menempatkan Rasulullah sebagai tokoh teratas yang paling berpengaruh dalam sejarah. Saking banyaknya pujian tentang kredibilitas beliau ‘memaksa’ Abdul Wahid Khan untuk mengumpulkan rasa pengormatan intelektual non muslim tentang Rasulullah dalam bukunya, Rasulullah di Mata Sarjana Barat. Pengandaian kita belum berakhir disini. Kini saatnya kita membayangkan seandainya Rasulullah mengetuk pintu kamar kost atau rumah kita, hadir di depan kita. Apakah yang kita lakukan ? tidakkah kita malu kepada beliau, dengan koleksi buku kita yang kebanyakan jarang menceritakan tentang beliau. Koleksi kaset kalamullah kita, kaset ceramah tentang ajaran beliau yang teramat sedikit di banding kaset nasyid, lagu-lagu yang begitu menumpuk. Ketika Rasulullah berada di hadapan kita, mungkin setiap kita segera mengumpulkan sebanyak-banyaknya bahan untuk ditanyakan. Jamuan seperti apa yang akan kita siapkan untuk menyambut beliau ? saya yakin jamuan terindah yang akan kita persembahkan… alaesa kasalik, bukankah demikian ? karena beliau teramat indah untuk disaksikan. Jika rindu padanya teramat dalam, maka seharusnya wasiatnya tidak kita lupakan sedikitpun. Akankah kita mengabaikan begitu saja sunnah-sunnah beliau yang ia pertahankan dengan hinaan, hujatan, darah, peluh dan air mata beliau ? ataukah keluarga beliau yang beliau wariskan untuk dipanuti dan dimuliakan oleh ummat sepeninggalnya ? adakah waktu kita untuk menyelami sirah beliau, atau kita sudah cukup puas dengan memiliki buku Sirah Nabawiyah yang kemudian kita biarkan di sudut-sudut berdebu rumah kita ? berapa jam kita memuaskan kerinduan kita dengan mengkhayati kalam mu’jizatnya ataukah selama ini al-Qur’an hanya terletak di pinggiran hati kita? Kini, kita hanya bisa membayangkan dan mencoba meresapi semangat mereka. Akh, semoga saja kita punya waktu dan kemampuan untuk mengkhayati, agar dengan begitu burung jiwa yang lemah dapat kembali terbang dengan gagahnya…di atas cakrawala kehidupan. Ada banyak palung dalam hati kita. Palung yang bisa saja saat ini tempat berkumpulnya gumpalan dendam noda. Palung yang selama ini kita biarkan terkubur oleh konstruksi bangunan berpikir metropolis. Beranikah kita untuk membersihkan palung hati kita ? mengoreknya, kemudian mengisinya dengan kerinduan. Lalu kita menyebutnya sebagai palung rindu. Ya, itulah palung rindu kita, sebagai sumur hikmah yang tak pernah kering, sebagai penghubung kita dengan manusia-manusia unggul terdahulu. Mari… kita hidupkan kerinduan kepada Rasulullah, ahlul baitnya yang disucikan dan sahabat-sahabatnya yang setia sembari memupuk harap agar kita dapat berjalan beriringan dengan kafilah mereka di jannah-Nya nanti.
"Pada dasarnya para sahabat Nabi diberi kemampuan yang setara dengan kita saat ini. Hanya saja, jiwa kita saat ini sangatlah rapuh,
sehingga terasa betul jauhnya jarak antara kita dengan para sahabat yang mulia." (Fauzhil Adhim)
Beranikah kita membuka situs tentang mereka… yang selama ini bisa saja kita menganggapnya, sebagai situs purbakala???
Talasalapang, suatu hari di tahun 2005