26 November, 2008

Tuluskah Kita Mencintai Rasul ?

Kita heran mengapa hinaan terhadap Nabi kembali muncul, kita juga tidak habis pikir mengapa tak pernah henti-hentinya kebencian dan permusuhan selalu mendera pribadi suci beliau. Seseorang bisa saja memendam kebencian yang sangat kepada Rasulullah SAW sampai harus menggambarkan kehidupan beliau secara tidak senonoh pada lembaran-lembaran komik, namun kebencian bukanlah akhir segalanya. Benci dan cinta adalah perasaan yang sulit untuk dipetakan pada hati manusia. Perjalanannya sebagaimana iman, sangat fluktuatif dan tidak linear. Boleh jadi saat ini kau membenci sesuatu namun pada kali yang lain kau justru sangat mencintainya. Imam Ali ra pernah berkata, "Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya." Ya, bisa jadi orang yang menggambarkan Rasulullah sebagai seseorang yang amoral pada lembaran-lembaran website karena belum tahu apa-apa tentang pribadi Rasulullah SAW. Saya pribadi berharap, ia tidak berhenti pada kebencian yang sangat pada Rasulullah, sebab kebencian hanyalah salah satu etafe dari rute perjalanan manusia yang justru bisa menghantarkan seseorang pada tingkat iman yang menakjubkan. Saya ajukan sebuah contoh kisah nyata dari seorang Umar bin Khattab. Ia tidak hanya membenci Rasul tetapi juga selalu berusaha membunuhnya. Dengan gigih ia menghalangi-halangi orang yang menambatkan imannya pada nilai-nilai moral yang diajarkan sang nabi. Tetapi perjalanan manusia memang sulit ditebak, justru ketika Umar mengenal Muhammad lebih dekat, ia mengalami lompatan iman -dalam istilah Kierkegard leap of faith- yang begitu menakjubkan. Pada gilirannya, Umar ra justru menjadi sahabat nabi yang paling dekat, menjadi pembela Islam yang paling keras, sampai mendapat julukan, al-Waqqaf 'inda Kitabillah. Umar tidak sendiri, banyak orang-orang yang sebelumnya begitu keras permusuhannya terhadap Rasul, namun ketika mengenal beliau lebih dekat, justeru menjadi sahabat-sahabat nabi yang paling setia dan senantiasa menjaga nabi dari marabahaya.
Ketika nabi kita kembali mendapat penghinaan, kita hanya bisa geram. Kita marah, kita turun ke jalan, kita membakar dan melempari apa saja untuk menunjukkan pembelaan terhadap kekasih kita. Sebagai muslim yang mengaku mencintainya kita meneriakkan suara yang sama, tidak ada kata maaf bagi yang telah melecehkan nabi. Kita mungkin masih ingat dengan Imam Khomeini yang tanpa ampun mengeluarkan fatwa mati bagi Salman Rusdie yang menyebut wahyu yang dibawa nabi tidak lain hanyalah ayat-ayat setan. Apa saja bisa kita lakukan sebagai bentuk ekspresi penolakan dan kegeraman nama baik nabi kita diinjak-injak. Namun tidakkah kita tertarik untuk lebih melihat kedalam diri kita ?. Tidakkah kita merasa perlu bertanya pada diri sendiri, "Tuluskah cinta kita kepada nabi ?". Sejauh mana usaha kita memperkenalkan kemuliaan dan keagungan akhlak nabi kepada mereka ?. Daripada meledakkan kemarahan dimana-mana, saya lebih memilih memperkenalkan kepribadian Muhammad yang di mata Goethe, adalah cahaya di atas cahaya. Saya ingin semua tahu tentang nabi Islam yang Karen Armstrong menyebutnya “Seorang manusia yang kompleks dan penuh kasih,” dan Michael H. Hart yang mendudukkannya pada posisi terhormat sebagai tokoh yang paling populer dan berpengaruh sepanjang masa. Terlalu banyak pujian dan sanjungan atasnya, sehingga Abdul Wahid Khan harus membukukan kekaguman dan penghormatan intelektual non muslim kepada Rasulullah dalam bukunya, "Rasulullah di Mata Sarjana Barat". Bahkan Allah SWT Pencipta alam semesta beserta para malaikat-Nya pun bershalawat atasnya (Qs. Al-Ahzab : 56).
Seandainya Rasulullah ada disekitar kita, dan melihat betapa merebaknya penghinaan atasnya beliau mungkin akan melakukan hal yang sama ketika penduduk Thaif melemparinya dengan batu. Jibril yang sedih melihat itu menawarkan sesuatu pada Sang Nabi, “bila Kau mau, Kekasih Allah, aku bisa membalikkan bumi dan menimpakan gunung kepada mereka.” Lalu Muhammad menjawab, “Tidak! Sesungguhnya mereka hanya belum tahu.” Atau sebagaimana Abdullah bin Ubay yang meminta izin untuk membunuh ayah kandungnya sendiri karena telah melecehkan nabi, Nabi dengan penuh kasih menjawab, "Jangan, tetaplah berbuat baik kepada ayahmu." (Sirah al-Halabiyyah 2:307).
Di mata Rasul, mereka hanya belum tahu sehingga kebencian merambati hatinya. Tidakkah kita melihat sisi lain dari penghinaan nabi yang tiada hentinya dan semakin menjadi-jadi. Bila mereka begitu rajin dan semangat mengolok-olok nabi kita yang mulia, seberapa rajinkah kita memuliakan dan mengagungkannya ?. Seberapa banggakah kita menyenandungkan shalawat atasnya ? Bergetarkah hati kita ketika namanya disebut dalam senandung suara azan ?. Seberapa cintakah kita mengamalkan sunnah beliau dalam kehidupan kita ?. Yang kita lakukan justru sebaliknya, dengan dalih bid'ah, kita klaim mereka yang mengadakan maulid nabi sebagai orang sesat padahal tidak seorangpun muslim yang menyebut maulid hukumnya wajib atau sunnah sehingga tidaklah termasuk mengada-adakan hukum baru. Dengan dalih syirik kita cemooh mereka yang berdesak-desakan untuk mencium mihrab nabi, padahal semuapun bersaksi bahwa Rasulullah adalah juga hamba Allah. Kita haramkan Barazanji karena kita anggap terlalu mengkultuskan nabi, padahal dalam puisi dan syair, cinta sulit dilukiskan tanpa hiperbola dan metafora. Hiperbola bukanlah kedustaan dan metafora bukanlah kesyirikan. Setiap usaha memperkenalkan Ahlul Bait Nabi kita klaim sebagai penyebar aliran sesat. Padahal Rasulullah berpesan, "Perhatikan bagaimana kalian bersikap terhadap keluargaku."
Pandangan mata saya nanar sewaktu melihat langsung gambar-gambar yang divisualisasikan sebagai Rasulullah SAW pada halaman web. Saya yakin semua yang melihatnya juga merasakan hal yang sama, ada tangis yang tertahan. Kecintaan kita diperolok-olok sedemikian rupa. Saya tiba-tiba merasa Rasulullah begitu dekat, sembari bertanya kepada kita semua, "Benarkah kalian mencintaiku ? sudahkah kalian memperkenalkan aku kepada mereka ? gigihkah kalian menebar cinta sebagaimana telah aku tebarkan ?'. Saatnya melirik kembali cara kita beragama, yang saling mengasingkan dan penuh persaingan. Mari kita tebar cinta, adakah yang lebih indah dari sang pecinta selain membicarakan kekasihnya sesering mungkin ?.
Maafkan kami ya Rasulillah….
Wallau 'alam bishshawwab.

21 November, 2008

Studi Kritis Hadits "Berpegangan kepada al-Quran dan as-Sunnah"

Ada dua hadits yang menjadi dasar utama pemikiran Ahlus Sunnah. Hadits yang menyatakan, "… Maka barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ ar-Rasyidin setelahku, gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan jauhilah perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah …" dan hadist yang menyatakan, "Sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunahku." Hadits ini sangat populer di kalangan mereka, bahkan dijadikan mukaddimah dari setiap khutbah-khutbah yang disampaikan. Karena saking seringnya hadits ini diperdengarkan dan diulang-ulang, maka sama sekali tidak terlintas dalam benak saya untuk meragukan keshahihannya ataupun berniat untuk memeriksa referensi aslinya. Kedua hadits ini pula yang saya jadikan alasan untuk terlibat jauh dalam pengajian-pengajian Ahlus Sunnah. Sampai kemudian saya menemukan hadits Rasulullah SAW yang mewasiatkan kepada kaum muslimin sepeninggalnya untuk berpegangan kepada kedua pusaka yang sangat berharga yakni Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya. Awalnya saya merasa tidak ada pertentangan antara keduanya, malahan kedua hadits ini bisa seiring sejalan dan menjadi pedoman hidup kaum muslimin. Namun dalam perjalanan selanjutnya, ada ketimpangan yang terjadi. Hadits "Berpegangan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah" justru lebih populer dibanding hadits "Berpegangan Kepada Al-Qur’an dan al-Itrah (Ahlul Bait)", bahkan ada usaha-usaha tersendiri untuk menenggelamkannya. Ahlul Bait atau al-Itrah Nabi sama sekali tidak mendapat perhatian serius dalam kajian-kajian keislaman bahkan dengan standar yang kurang jelas, setiap usaha yang memperkenalkan Ahlul Bait di tengah-tengah masyarakat muslim disebut sebagai usaha orang-orang Syiah untuk merusak aqidah masyarakat muslim Indonesia yang katanya beraqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpegangan hanya kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tulisan ini saya ajukan untuk kita sama-sama berpikir jernih dan mengkaji secara lebih adil apakah ada kontradiksi antara as-Sunnah dengan Ahlul Bait, sehingga wasiat Rasulullah SAW untuk berpegangan kepada Ahlul Bait setelah Al-Qur’an tidak mendapat perhatian dan kajian yang layak sebagaimana hadits "Berpegangan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah".
Tinjauan Dari Segi Sanad
Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, "Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang sangat berharga, yang jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan "itrah Ahlul Baitku"." Merupakan hadits yang mutawatir yang diriwayatkan oleh kitab-kitab Ahlus Sunnah dan Syiah, dan tidak seorangpun ulama dari kedua kelompok ini yang menyelisihinya. Sedangkan hadits "Berpegangan kepada kitab Allah dan Sunnahku" dan hadits "Kamu harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa Rasyidin…" hanya terdapat dalam kitab hadits Ahlus Sunnah dan tidak satupun dari kitab Syiah yang menukilnya. Sebenarnya dari sisi ini sudah mulai tampak kekurangan kedua hadits ini. Terlebih lagi jika kita sedikit bersusah payah meninjau hadits ini dengan melihat ke dalam ilmu hadits dan ilmu al-jarh wa at-ta’dil, niscaya akan tampak kebohongan kedua hadits ini yang sengaja dibuat untuk menandingi kepamungkasan dua pusaka Rasul, Al-Qur’an dan Itrah Ahlul Baitnya.
Sesungguhnya kesulitan pertama untuk menyebut hadits "…kamu harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa rasyidin" termasuk sebagai hadits shahih ialah Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan dalam kitab shahih mereka. Karena tolok ukur sesahih-sahihnya sebuah hadits adalah minimal diriwayatkan salah satu dari keduanya. Diriwayatkan oleh Bukhari saja, atau diriwayatkan oleh Muslim saja atau memenuhi syarat keduanya, jika diriwayatkan oleh keduanya maka dianggap tidak ada keraguan akan kesahihan hadits tersebut. Dan keutamaan ini tidak dimiliki oleh hadits ini. Hadits ini hanya terdapat di dalam Sunan Abu Dawud, Sunan Turmidzi dan Sunan Ibnu Majah.
Dalam pandangan para ulama ilmu al-jarh wa at-ta’dil yakni mereka yang meneliti biografi orang-orang yang meriwayatkan hadits maka perawi hadits ini tidak lolos dari kelemahan. Turmidzi telah meriwayatkan hadits ini dari Bughyah bin Walid. Dan inilah pandangan para ulama ilmu al-jarh wa at-ta’dil tentang Bughyah bin Walid.
Ibnu Jauzi berkata tentangnya, "Sungguh kami ingat bahwa Bughyah telah meriwayatkan dari orang-orang yang majhul (tidak dikenal) dan orang-orang yang lemah. Mungkin saja dia tidak tidak menyebutkan mereka dan tidak menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan baginya." (Al-Mawdhu’at, Ibnu Jauzi, jlid I, hal 109). Ibnu Hibban berkata, "Tidak bisa berhujjah dengan Bughyah. Dia seorang penipu. Dia meriwayatkan dari orang-orang yang lemah dan para sahabatnya tidak meluruskan perkataannya dan membuang orang-orang yang lemah dari mereka." (Al-Mawdhu’at, Ibnu Jauzi Jilid I hal 151 dan 218). Dan ucapan-ucapan lainnya seperti Abu Ishaq al-Jaujazani dalam Khulashah ‘Abaqat al-Anwar, Jilid 2, hal 350 dan para huffadz lainnya. Dan apa yang telah dinukilkan ini telah cukup. Sedangkan sanad pada Sunan Abu Dawud salah seorang perawi hadits ini adalah Walid bin Muslim yang adz-Dzahabi berkata tentangnya, "Abu Mushir mengatakan Abu Walid seorang penipu dan mungkin telah menyembunyikan cacat para pendusta." (Mizan al-I’tidal, jilid 4 hal 347). Sanad hadits pada Sunan Ibnu Majah diriwayatkan melalui tiga jalan dan hadits ini disebut sebagai hadits ahad. Seluruh riwayat hadits ini kembali kepada seorang sahabat Urvadh bin Sariyah. Meskipun pada beberapa hal hadits ahad bisa digunakan sebagai hujjah namun jika kita melihat matan hadits ini, maka sulit menalar Rasulullah SAW menyampaikan pesan yang sedemikian penting ini hanya kepada seorang sahabat sementara ini sangat berkaitan erat dengan masa depan kaum muslimin sepeninggal beliau.
Derajat hadits kedua yang berbunyi, "Aku tinggalkan dua perkara padamu yang jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya." lebih lemah lagi untuk kita diskusikan. Kalau hadits yang pertama masih terdapat dalam salah satu kitab shahih yang enam di kalangan Ahlus Sunnah namun hadits ini sama sekali tidak terdapat dalam kitab-kitab shahih dan musnad mereka. Kalau kita melihat sikap mereka yang begitu sangat meagung-agungkan dan mengandalkan hadits ini pada saat mereka mendakwahkan aqidah mereka maka kita akan merasa yakin bahwa hadits ini termasuk hadits yang sangat shahih dan terdapat dalam kitab-kitab shahih terutama shahih Bukhari-Muslim; padahal kenyataannya hadits ini sama sekali tidak terdapat pada Kutubussuttah. Sumber-sumber yang pertama yang menyebutkan hadits ini diantaranya kitab al-Muwaththa Imam Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan ash-Shawa’iq Ibnu Hajar. Dalam kitab ash-Shawa’iq dan Sirah Ibnu Hisyam riwayat hadits ini mursal (terpotong). Dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik lebih konyol lagi, sebab hadits ini khabar marfu’ yang tidak ada sanadnya. Kalau hadits ini benar-benar shahih mengapa hanya Imam Malik yang meriwayatkannya sementara gurunya Abu Hanifah atau muridnya Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal tidak meriwayatkannya. Al-Hakim juga mengeluarkan hadits ini di dalam mustadraknya jilid I hal 93. Argumen yang bisa digunakan untuk menetapkan kedhaifan hadits ini adalah tidak satupun kitab yang lebih tua dari kitab-kitab ini yang telah meriwayatkan hadits tersebut. Hadits ini baru muncul pada pertengahan abad kelima hijriyah, sementara hadits "Kitab Allah dan Itrah Ahlul Baitku" telah ada pada abad kedua hijriyah sebagaimana telah diriwayatkan Imam Muslim.
Hadits as-Sunnah dan Tinjauan Sejarah
Adapun kenyataan sejarah mendustakan hadits ini. Perjalanan sejarah menyodorkan realita yang justru berbeda dan bertolakbelakang. Bagaimana mungkin Rasulullah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada as-Sunnah sementara banyak hadits yang berasal dari jalur Ahlus Sunnah sendiri yang menyebutkan Rasulullah SAW melarang penulisan hadits. Ahmad, Muslim, Turmidzi dan Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudzri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu menulis sesuatu dariku. Barang siapa yang menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an maka hendaknya dia menghapusnya.". Karenanya ketiga khalifah, Abu Bakar, Umar dan Usman bin Affan diriwayatkan telah melakukan pembakaran dan penghapusan catatan-catatan hadits dengan menjadikan hadits di atas sebagai dalih. Khalifah Abu Bakar membakar lima ratus hadits pada masa kekhalifaannya (Kanz al-‘Ummal Jilid I hal 237-239), Umar bin Khattab memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri pada masa kekhalifaannya, bahwa barang siapa yang telah menulis hadits maka dia harus menghapusnya (Musnad Ahmad. Jilid 3, hal 12-14) dan Usman bin Affan pun melakukan hal yang sama (Kanz al-‘Ummal, jilid 10 hal 295). Inilah kenyataan yang ditemukan oleh para peneliti sejarah. Lalu jika keislaman kita dilandaskan pada hadits "Berpegang teguh kepada kitab Allah dan as-Sunnah" kita akan bertanya, sunnah yang mana ?. Jawabannya tentu saja sunnah nabi, namun yang diriwayatkan oleh siapa ?. Menurut mereka sunnah tentu saja sunnah yang diriwayatkan sahabat-sahabat nabi ?. Sahabat yang mana, bukankah jumlah mereka mencapai ribuan orang ?. Lantas bagaimana generasi Islam awal menerapkan wasiat Rasul ini ?. Sebagai pemisalan, seseorang yang baru masuk Islam di zaman sahabat dan ingin berpegang teguh dengan sunnah nabi, bagaimanakah dia mengetahui semua sunnah nabi ? apakah dia harus mencari semua sahabat yang tersebar di berbagai negeri dengan kedudukan dan kesibukan yang berbeda-beda, ada yang sebagai khalifah, gubernur ada pula hanya sebagai pasukan atau gembala ?. Kalau hanya merujuk pada sahabat yang ditemui itu tidaklah cukup sebab bisa saja hadits yang telah diriwayatkan sahabat tersebut telah dimansukh (dibatalkan) atau ada kemungkinan pengkhusus (mukhashshish) dan pembatas (muqayyid) yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain. Umat Islam sepakat, sunnah belum dibukukan pada masa Rasulullah SAW sampai satu abad setengah dari wafat beliau. Lantas bagaimana Rasulullah mewasiatkan untuk berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as-Sunnah ?. Hadits untuk berpegang teguh kepada sunnah Khulafaur Rasyidin lebih membingungkan lagi. Mengapa sewaktu Rasulullah SAW menyampaikan hadits ini tidak satupun dari sahabat yang bertanya siapakah yang termasuk Khulafaur Rasyidin yang dimaksud Rasulullah SAW, sementara para sahabat adalah orang-orang yang sangat mencintai ilmu dan sangat menginginkan keselamatan ?. Lalu atas dasar apapula Khulafaur Rasyidin hanya dibatasi empat khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman dan Imam Ali) bahkan ditambah dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dan siapa yang menetapkan mereka sebagai Khulafaur Rasyidin sementara tidak ada petunjuk apapun dari Rasulullah tentang itu? mengapa pula Muawiyah tidak termasuk di dalamnya sementara dia juga katanya adalah salah seorang sahabat Rasul yang mulia, yang mendapat petunjuk dan memberi petunjuk ?. Bagaimana pula kita mengkaitkan hadits ini dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa khalifah sepeninggal Rasulullah berjumlah dua belas dan seluruhnya dari bani Qurays (Bukhari-Muslim). Karenanya tidak butuh kerja akal yang ekstra untuk memahami bahwa kedua hadits ini sengaja diada-adakan sebagai tandingan hadits "Berpegangan kepada Al-Qur’an dan al-Itrah Ahlul Bait nabi." Usaha-usaha untuk menggembosi peran Ahlul Bait sebagai sumber rujukan dan referensi utama ajaran Islam setelah al-Qur’an memang tampak jelas, terutama jika kita meninjau ulang tragedi-tragedi yang menimpa Ahlul Bait yang susul menyusul paska wafatnya Rasulullah SAW.
Berpegangan Kepada Al-Qur’an dan Ahlul Bait
Rasulullah SAW mewasiatkan kepada seluruh kaum muslimin di masa beliau dan kaum muslimin sepeninggalnya untuk berpegang teguh kepada ‘Ats-Tsaqolain’ (Dua pusaka yang berharga dan agung) yakni Al-Quran dan Ahlul Bait (al-Itrah) dan kedudukan hadits ini lebih utama dari kedua hadits yang telah kita kaji di atas. Pertanyaannya sekarang, masihkah saudara kita Ahlusunah bersikeras untuk lebih mengutamakan hadits berpegangan teguh terhadap "al-Quran dan as-Sunnah" yang hadis itu tidak terdapat dalam Kutubussuttah, dan tidak mengindahkan wasiat Rasul untuk berpegangan terhadap "al-Quran dan al-Ithrah" yang hadisnya mutawatir dan shohih yang terdapat dalam beberapa Kutubussittah, kitab-kitab standart saudara Ahlus Sunnah sendiri?. Kalaupun dikatakan diantara kedua hadits Rasul ini tidak ada kontradiksi, dikotomi dan pertentangan lalu mengapa mereka lebih mengutamakan salah satunya di atas yang lain ?. Yang anehnya, mereka justru lebih mengutamakan yang derajat haditsnya lebih rendah tanpa melakukan pengkajian lebih mendalam terhadap hadits yang lebih utama derajatnya "Berpegangan kepada Al-Qur’an dan Ahlul Bait". Kalau mereka menyatakan hadits-hadits dalam Shahih Bukhari-Muslim adalah hadist-hadits shahih dari Rasulullah yang wajib diikuti dan harus berpegang teguh atasnya, sebagai Ahlus Sunnah sejati (sebagaimana pengakuan mereka), kita mau lihat bagaimanakah cara mereka menerapkan hadits Rasulullah untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Ahlul Bait dalam kehidupan keseharian mereka. Dalam pandangan kami, hadits "Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah" tidaklah bertentangan jika yang dimaksud Sunnah nabi adalah sunnah sebagaimana yang dipahami dan diamalkan Ahlul Bait nabi, sebab merekalah yang lebih dekat dengan Rasulullah di dalam rumah, disetiap tempat dan di banyak waktu "Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sungguh, Allah Maha Lembut, Maha Mengetahui." (Qs. Al-Ahzab : 34). Dan hadits "Berpegang teguh kepada sunnah Khulafaur Rasyidin" dapat pula dijadikan pegangan jika yang dimaksud Khulafaur Rasyidin adalah Khalifah yang dua belas yang kesemuanya berasal dari Keturunan Rasulullah SAW, yakni khalifah yang benar-benar mendapat petunjuk dan memberi petunjuk, "Wahai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu." (Qs. An-Nisa’ : 59). Sebagaimana nubuat Rasulullah SAW khalifah terakhir (yang ke-12) akan muncul di akhir zaman untuk menciptakan keadilan di muka bumi adalah dari keturunan mulia beliau. Yakni Imam Mahdi afz yang kita nanti-nantikan kemunculannya. Dengan persepsi seperti ini maka tidak ada pertentangan antara hadits-hadits tersebut. Dan menurut saya inilah yang lebih selamat dan lebih sesuai dengan manhaj Rasulullah SAW.
Wallahu ‘alam bishshawaab
Qom, 20 November 2008

17 November, 2008

Terimakasih Berkat Doata

Moja kodong bagi-bagi perasaan... Senangku.... terimakasih berkat doata semua, dapatka' juara 1 lomba Musabaqah Suluk-e Qur'an, bangganya nilai terbaik (perfect) 20 diraih dua-duanya dari Indonesia, saya (Makassar) dan Diding (Bandung) sedang teman2 dari Yaman, Pakistan, Azerbeijan, Kasmir, Sudan berada di bawah nama kami berdua.....
Terimakasih Sayang, telah menyebut namaku dalam doa-doa malammu.....

Merajut Kembali Toleransi Kebangsaan

Mayoritas pemikir abad 19 dan 20 memprediksi bahwa seiring dengan kemajuan sains dan tekhnologi, agama akan semakin terpinggirkan, bahkan musnah sama sekali. Auguste Comte meramalkan bahwa masa depan adalah masa kaum positivis-saintis, masa teologis segera akan menjadi masa lalu. Karl Marx mensistematisir perkembangan sejarah yang berakhir dengan terbentuknya masyarakat komunis internasional, di mana ketidakrelevanan agama dalam kehidupan publik akan semakin diakui, diapun menyeut agama sebagai candu. Nietzche dalam refleksi filsafatnya menyebut, Tuhan telah mati. Max Weber meramalkan semakin merebaknya kesadaran rasional individu, yang secara langsung mengikis motivasi teologis dalam kehidupan. Sedang Huston Smith dalam Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief mempertanyakan, apakah agama akan menemukan ajalnya ?. Namun dalam konteks Indonesia, ramalan para pemikir ini salah besar. Kita dapat menyaksikan bagaimana masyarakat kota dan pedesaan semakin religius. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, melalui survei nasional tahun 1999, 2000, 2001, 2002 dan 2003, menunjukkan tentang adanya trend kenaikan religiusitas tersebut per tahun. Peningkatan religiusitas ini dapat diukur dengan fakta bahwa semakin banyak bermunculan gerakan-gerakan kegamaan yang diorganisir dalam bentuk organisasi-organisasi modern, kaum perempuan Islam yang mengenakan jilbab, semakin ramainya tempat-tempat ibadah, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan ibadah, semakin banyak dan kuatnya komitmen masyarakat terhadap agama yang dianutnya dan lain-lain. Namun realitas ini sangat paradoks dengan tingkat intoleransi masyarakat yang juga meningkat. Berbagai bentuk kerusuhan disertai penjarahan bahkan pembunuhan banyak terjadi di beberapa daerah sejak tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998 sampai sekarang, menunjukkan peningkatan religiusitas berelevansi dengan kefanatikan dan tingkat intoleransi dengan penganut agama lain.. Dan belum tampak semuanya akan berakhir, konflik laten bisa saja manifes dengan alasan yang sangat sederhana sekalipun Yang menyedihkan, tindakan anarkis dan kekerasan sering mengatasnamakan agama sebagai pembenar.
Lahirnya Indonesia dan Toleransi
Pada dasarnya, sejak dahulu rakyat di negeri ini sadar dengan adanya kemajemukan bangsa. Namun kemajemukan itu tidaklah dijadikan dalih untuk saling menyudutkan, justru dijadikan sebagai kekuatan pemersatu menuju terbentuknya republik. Kelompok nasionalis berlatar belakang sekuler, kalangan agamis (Islam), dan kelompok komunis melakukan konsolidasi di bawah payung ideologis bernama keindonesiaan. Perlulah kiranya selalu kita ingat bersama-sama bahwa Sumpah Pemuda, yang dilahirkan sebagai hasil Kongres Pemuda II yang diselenggarakan tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta adalah manifestasi yang gemilang dari hasrat kuat kalangan muda Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan agama, untuk menggalang persatuan bangsa dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Atas prakarsa Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) inilah kongres pemuda itu telah melahirkan Sumpah Pemuda yang berisi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa yaitu Indonesia. Republik Indonesia lahir 17 tahun kemudian, yang dijiwai semangat kebersamaan, persatuan, dan toleransi yang tinggi terhadap perbedaan. Semua pihak turut ambil andil dalam lahirnya republik. Meskipun ummat Islam mayoritas namun tak bisa dinafikan bahwa ada umat Khonghucu (Yap Tjwan Bing) yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Perlu dicatat pula bahwa sewaktu teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dibacakan, tempatnya di rumah seorang Tionghoa Khonghucu bernama Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta (yang sekarang dijadikan Museum Sumpah Pemuda). Ataupun kendaraan Kepresidenan pertama adalah mobil sumbangan seorang Tionghoa sebagai bentuk kecintaannya kepada republik yang baru terbentuk. Ini perlu dinukilkan karena masih saja ada anggapan, suku Tionghoa tidak memberi andil apa-apa dalam terbentuknya Republik Indonesia. Toleransi kebangsaan lagi-lagi dipertontonkan para founding father negeri ini, dalam usaha mempertahankan kemerdekaan. 10 November 1945 dalam kalender sejarah bangsa kita dicatat sebagai hari lahirnya pahlawan-pahlawan bangsa, yang rela mati demi tegaknya sebuah negeri bernama Indonesia. Tanpa mempersoalkan suku, agama dan ras rakyat Indonesia saling membahu dalam menghadapi musuh bersama. Tentara sekutu sesumbar dapat menguasai Surabaya dalam 3 hari, namun pertempuran memakan waktu berminggu-minggu, meskipun tentara sekutu mengerahkan kekuatan penuh, namun tidak mudah menundukkan semangat rakyat yang merajut kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Tentara sekutu tersentak dan akhirnya paham. Indonesia yang baru berusia 3 bulan, bukan bangsa kecil. Persatuan dan semangat toleran adalah kekuataan yang maha dahsyat, yang tidak tertundukkan. Karenanya tak bisa dipungkiri, rangkaian perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah terbukti begitu kokoh dalam pijakan kemajemukan bangsa, mulai dari suku, agama, ras hingga budaya .
Toleransi Antar Umat Beragama
Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia, baik yang Muslim, Kristiani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara pada masanya, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi. Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari mesjid tersebut adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat. Friedrich Silaban yang oleh Bung Karno menjulukinya sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal. Kebesaran jiwa dari umat Islam sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima pemikiran atau desain tempat ibadah mereka dari seorang yang non muslim. Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh umat Islam di Indonesia, di desain dan wakil kepala proyek pembangunannya dijabat oleh seorang Kristiani. Dia menciptakan karya besar untuk saudaranya sebangsa yang beragama Islam, tanpa mengorbankan keyakinannya pada agama yang dianutnya. Ummat Islampun menunjukkan kebesaran jiwanya dan penghargaan kepada Friedrich Silaban dengan menyebut Qubah Mesjid Istiqlal sebagai “Si1aban Dom”, atau Qubah Si1aban. Silaban dan kaum beragama di negeri ini mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau teknologi. Sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun. Karenanya, keanekaragaman yang selama ini ada menjadi tonggak "bineka tunggal ika" yang kuat dalam menopang berdirinya bangsa Indonesia, mesti tetap dipertahankan. Pluralitas dan multikulturalitas bagi bangsa ini merupakan suatu keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tak terbantahkan. Pluralitas dan multikulturalitas yang kita miliki ini telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia di sepanjang perjalanan sejarahnya. Sungguh memilukan melihat nilai-nilai pluralitas dan multikulturalitas yang telah tumbuh sejak awal terbentuknya republik ini, di kekekinian seolah-seolah tidak pernah ada. Sementara di sisi lain, eksklusivisme kelompok justru terlihat semakin menonjol. Maka sesungguhnya tak ada satu pun pihak, tak satupun suku, tak satupun agama, yang bisa mengakui keberadaannya tanpa andil pihak lain. Tak satupun. Tak bisa kita pungkiri, kita adalah bagian dari orang lain; ada sebagian dari orang lain dalam diri kita. Mengutip Emha Ainun Nadjib, “Kamu adalah aku yang lain". Sikap dan penerimaan kultural seperti ini tidak akan memberi izin atau permisi kepada siapa pun untuk arogan, menganggap dirinya lebih benar, dan merasa berhak untuk menghakimi pihak lain. Dengan sikap seperti itu, kita pun dapat terhindar dari pelbagai cedera sosial yang belakangan ini menimpa bangsa kita melalui konflik-konflik horizontal maupun vertikal, intelektual maupun fisikal.
Solusi Radikal
Konflik horizontal yang terjadi berlarut-larut di negeri salah satu penyebabnya karena kurangnya rasa toleransi. Intoleransi melemahkan kekuatan, merusak martabat dan menyebabkan bangsa kita tetap dalam keterjajahan kekuatan asing. Karenanya persatuan bangsa adalah sebuah keniscayaan. Namun, satu hal yang mesti diperhatikan, persatuan tidaklah berarti bahwa penganut agama atau keyakinan apapun harus mengabaikan prinsip keyakinannya demi menjaga persatuan bangsa. Keyakinan dan prinsip praktis adalah hak asasi yang tidak boleh diganggu gugat. Ada perbedaan tekhnis antara kelompok bersatu dan front bersatu. Untuk kelompok bersatu ideologi, taktik dan strategi dalam pencapaian visi misi harus sama dalam semua hal. Sedangkan untuk front bersatu, berbagai kelompok sekalipun berbeda ideologi dengan berfokus pada titik persamaan yang ada, membentuk front bersama untuk menghadapi musuh bersama. Ini bukan sesuatu yang mustahil, para pendahulu kita memiliki kisah-kisah romantis dalam merajut kebersamaan di masa lalu. Perasaan senasib dan sebangsa, badan-badan perjuangan yang berbeda ideologi membentuk front persatuan untuk menghadapi musuh bersama. Pada sisi ini, kita, seluruh bangsa Indonesia perlu meneladani pola keberagamaan yang telah ditunjukkan generasi-generasi awal bangsa ini. Kita dituntut untuk mengembangkan keagamaan dalam konstruk pemahaman seperti itu sehingga dapat memberikan tawaran segar dan mencerahkan bagi Indonesia hari ini dan masa depan. Menyebarkan agama dengan 'pedang' tidak ada manfaatnya. Karena iman dan keyakinan yang ditundukkan atas dasar ancaman dan paksaan, menurut pemikir asal Iran, Abdul Karim Soroush, bukanlah iman yang benar. “To be a true believer,” katanya (1996), “one must be free.” Iman harus bebas dan dibebaskan dari intervensi siapa pun. Menurut saya, tidak ada yang salah dari keyakinan bahwa hanya aqidah dan keyakinan kita sendirilah yang benar. Siapapun berhak mengatakan dan meyakini itu. Dalam agama Kristiani sendiri misalnya, pandangan ini dikukuhkan antara lain melalui Konsili Florence 1442, dan terbaca dari rumusan-rumusan seperti extraecclesiam nulla salus (tidak ada keselematan di luar gereja); extra ecclesiam nullus propheta (tidak ada nabi di luar gereja). Pandangan ini menegaskan bahwa tak seorangpun di luar gereja yang berhak mengaku sebagai nabi atau berhak mengaku akan mendapat keselamatan. Yang salah dan tidak bisa dibenarkan menurut saya, adalah pemaksaan keyakinan. Menuntut orang lain memiliki keyakinan yang sama dengan apa yang kita yakini. Islam mengajarkan bukan semata-mata keyakinan orang lain yang harus dijadikan musuh, melainkan kedzaliman. Lakum dinikum waliyadin, adalah konsep yang paling jelas akan adanya ajaran toleran terhadap keyakinan lain dalam Islam. Karenanya, bukan ajaran yang menyatakan semua agama sama yang harus dikembangkan untuk mengajak pemeluk agama beragama secara dewasa. Sebab pandangan itu justru merusak dan meruntuhkan sendi-sendi dan syariat khusus masing-masing ajaran agama. Kebutuhan mendasar adalah memberikan dorongan teologis bahwa kendatipun setiap agama memiliki perbedaan norma dan doktrin, namun dalam tataran empirik mempunyai kesamaan realitas, yakni kesamaan kemanusiaan. Manusia yang keinginannya sederhana saja, ingin menjadi orang baik-baik, berbudi, bermoral, berguna di hadapan manusia lain dan mulia di hadapan Tuhannya. Insya Allah, dengan semangat toleransi kita akan mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar. Intoleransi hanya menjadikan kemanusiaan kita tersungkur berkalang tanah. Mari bekerjasama.Konflik horizontal yang terjadi berlarut-larut di negeri ini salah satu penyebabnya karena kurangnya rasa toleransi. Intoleransi melemahkan kekuatan, merusak martabat dan menyebabkan bangsa kita tetap dalam keterjajahan kekuatan asing. Karenanya persatuan bangsa adalah sebuah keniscayaan. Ini bukan sesuatu yang mustahil, para pendahulu kita memiliki kisah-kisah romantis dalam merajut kebersamaan di masa lalu. Perasaan senasib dan sebangsa, badan-badan perjuangan yang berbeda ideologi membentuk front persatuan untuk menghadapi musuh bersama. Pada sisi ini, kita, seluruh bangsa Indonesia perlu meneladani pola keberagamaan yang telah ditunjukkan generasi-generasi awal bangsa ini. Kita dituntut untuk mengembangkan keagamaan dalam konstruk pemahaman seperti itu sehingga dapat memberikan tawaran segar dan mencerahkan bagi Indonesia hari ini dan masa depan. Insya Allah, dengan semangat toleransi kita akan mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar dan agar kemanusiaan kita tidak jatuh tersungkur. Mengutip Helen Keller, “Toleration is the greatest gift of the mind - Toleransi adalah anugrah dari pikiran yang paling luar biasa." Mari bekerjasama.
Wallahu 'alam.

10 November, 2008

Imamah dan Ahlul Bait

(Tanggapan Balik atas Tulisan Rahmat A. Rahman; Memahami Hakekat Perbedaan)

Akidah Islamiyah adalah kumpulan kaidah, hukum, landasan, perintah, larangan dan pengetahuan yang universal dan terperinci yang diturunkan Allah SWT kepada hamba-Nya, Muhammad SAW. Rasululullah SAW bertugas memberikan penjelasan kepada umat mausia melalui perantara dakwah dan daulah yang dipimpinnya sendiri. Oleh karena itu setiap perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW adalah juga aturan Ilahi sebagai pelengkap Al-Qur’an. Semasa hidupnya, Rasulullah menjadi satu-satunya sumber rujukan syar’i yang merupakan pengejewantahan akidah Ilahiah. Adalah mustahil jika aqidah yang berasal dari Allah ini dibiarkan tanpa seorang rujukan yang bertugas menjelaskan aqidah tersebut. Sumber rujukan ini haruslah orang yang memiliki pengetahuan Ilahiah, paling baik, afdhal dan tepat dari sekian manusia yang ada. Untuk memilih dan mengangkat orang yang memiliki kapasitas itu, hanya Allah sendirilah yang berhak menentukan. Sejarah perjalanan manusiapun membuktikan, semua nabi-nabi yang 124 ribu jumlahnya diutus dan diangkat oleh Allah SWT. Tak sekalipun Allah SWT menyerahkan penentuan dan pemilihan orang yang menjadi sumber rujukan kepada hawa nafsu dan pendapat-pendapat manusia. Begitulah sejarah membuktikan, dan tidak ada seorangpun yang menyelisihi ini.
Lewat tulisan ini, saya ingin memperlihatkan ada realitas lain selain Nabi dan Rasul yang juga menjadi ketetapan Ilahi. Allah SWT berfirman, "Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman :"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman :"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Qs. Al-Baqarah : 124). Ayat ini menunjukkan bahwa menurut Al-Qur'an ada satu lagi realitas selain nabi dan rasul yakni imam, sebab bukankah penunjukan Ibrahim sebagai imam setelah ia menjadi nabi dan rasul dengan berbagai ujian ?. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, "Dan Kami menganugerahkan kepadanya (Ibrahim), Ishak dan Yaqub sebagai suatu anugerah. Dan masing-masing Kami jadikan orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami…" (Qs. Al-Anbiya : 73). Di ayat lain, "…Kemudian Allah memberinya (Dawud) kerajaan dan hikmah dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki." (Qs. Al-Baqarah : 41). Dari ayat-ayat ini menunjukkan bahwa penunjukkan imam, khalifah ataupun pemimpin atas umat manusia adalah wewenang dan otoritas mutlak Allah SWT sebagaimana penunjukan nabi dan rasul.
Sebagaimana surah Al-Baqarah ayat 124 di atas, kedudukan imam sebagai jabatan langit selain nabi dan rasul juga dianugerahkan kepada keturunan biologis nabi Ibrahim as. Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali lebih dahulu oleh kenabian, kerasulan dan berakhir pada keimamahan. Ini bisa dimaklumi bahwa tidak mungkin ada hukum tanpa ada hakim. Hukum Islam telah sempurna, karenanya dengan wafatnya Nabi terakhir meniscayakan adanya hakim Ilahiah yang mendampingi pelaksanaan hukum. Hakim di bumi inilah yang disebut Imam.
Setelah nabi Ibrahim as wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam dan Aku akan membuatnya menjadi umat yang besar (Kejadian 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik dua belas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah :12)
Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari perjanjian antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus. Al-Qur’an menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7) Alhasil, substansi yang ingin saya tegaskan, bahwa status seorang imam di dalam Islam bahkan dalam ajaran Ibrahimik lainnya (Yahudi dan Nashrani) memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Imamah atau kekhalifaan terlalu berharga, terlalu tinggi dan tidak pantas hanya disebut sebagai pemimpin sebuah pemerintahan. Imamah terlalu pelik dan rumit bagi manusia biasa untuk memilih dan mengangkat sendiri imam mereka. Imamah tidak dapat diputuskan dalam pemilihan. Sebab imamah bukan sekedar masalah mengurus ummat melainkan perwakilan Allah SWT di muka bumi. Karena itu hanya Allah SWT yang berhak memilih dan mengangkatnya. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar dan ini bukanlah pemikiran ekstrim sebagaimana menurut sebagian kelompok yang berusaha menjauhkan Ahlul Bait dengan keimamahan yang telah menjadi hak mereka, sampai harus menumpahkan darah keturunan-keturunan suci Rasulullah.
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54). Maka bagaimanakah dengan keluarga Muhammad saw sendiri? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?. Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. Bukhari-Muslim meriwayatkan, "Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai dua belas khalifah, semuanya dari Qurays."
Wallahu’alam bishshawwab.

07 November, 2008

MEMAHAMI HAKIKAT PERBEDAAN

(Bantahan Atas Tulisan Ismail Amin yang Berjudul:
Oleh: Rahmat A. Rahman
Ketua MUI Makassar dan Sekretaris Umum Forum IJABISAH
Tidak semua perbedaan itu terpuji sebagai sunnah alamiyah, tidak semua juga tercela, sebab memang manusia memiliki pola pandang yang berbeda dari setiap masalah. Di dalam masalah agama yang menjadi tolok ukur adalah dalil syar’i itu sendiri, di saat dalil memberikan kesempatan berbeda maka perbedaan dapat ditolerir ,dan di saat tidak ada kesempatan untuk itu, maka perbedaan dianggap aib. Khazanah umat Islam dalam persoalan fiqh begitu kaya sebab mereka mampu mendudukkan perbedaan pada tempatnya, sebaliknya dalam persoalan aqidah dan filosofi kebenaran, maka kita dapatkan kecaman dari zaman Rasulullah SAW, hingga saat ini sebab hal itu dapat membawa perpecahan yang bersifat destruktif. Demikian halnya dalam memahami agama, fakta sejarah menunjukkan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah SAW. Ternyata tidak menyentuh esensi dari agama itu sendiri sebagai satu kesatuan yang sempurna dan menyeluruh. Justru pola fikir yang ghuluw (berlebih-lebihan)-lah yang merusak perbedaan itu sehingga mengeluarkannya dari lingkaran menjadi perpecahan. Salah satunya, adalah dipaksakannya pemikiran Syiah yang menghendaki seorang khalifah pengganti Nabi harus dari kalangan Ahlul Bait, ternyata menyebabkan umat sejak saat itu terpecah dalam beberapa golongan. Bahkan menimbulkan pertumpahan darah di beberapa waktu setelahnya. Terbunuhnya Umar ibnul Khattab -salah seorang sahabat Nabi yang utama- lalu Utsman ibn Affan RA, dan Ali ibn Abi Thalib RA., setelahnya juga adalah imbas dari masuknya pemikiran yang ekstrim tersebut. Fenomena ini, jika bisa membuka kembali lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan berkata, bahwa sesungguhnya perpecahan tersebut tidak perlu terjadi, jika semua tetap komitmen terhadap sunnah Rasulullah SAW., -sayangnya kaum munafiqin tidak suka jika umat tidak terpecah.
Sahabat dan Sunnah
Setiap Nabi yang diutus oleh Allah SWT akan dipilihkan sahabat setia yang akan melindungi, dan melanjutkan ajaran yang dibawa oleh para Nabi tersebut. Para pendamping ini tentulah juga dari kalangan orang-orang pilihan, sebab Allah tentu tahu peran yang akan mereka emban khususnya setelah sang Nabi telah wafat. Demikian pula halnya dengan Rasulullah Muhammad SAW. dipilihkan oleh Allah sahabat setia sebagai pendamping dan pelanjut perjuangan beliau, terpilihlah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar ibnul Khatthab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Zaid ibn Tsabit dan lainnya -Radhiyallahu Anhum- sebagai orang-orang kepercayaan Rasulullah SAW. dalam memahami dan mengamalkan serta mengajarkan agama ini. Pengorbanan yang mereka berikan dalam aktualisasi diri sebagai seorang muslim dan pelanjut perjuangan menyebarkan agama sebagaimana yang mereka dapatkan dari Rasulullah SAW. sungguh tak tertandingi, harta bahkan jiwa mereka berikan semuanya untuk agama Allah hingga mencapai maqam Ridha. Makanya, Allahpun ridha terhadap mereka, dan surga adalah balasan yang setimpal atas pengorbanan mereka. Hal ini dijelaskan Allah dalam Al Qur’an diantaranya; “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.(Q.S.09:100)“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” (Q.S. 48:18)Komitmen para sahabat terhadap sunnah jangan diragukan, bahkan merekalah panutan dalam hal ini, rasanya sangat naif, jika ada orang yang menuduh mereka sengaja menyimpang dari sunnah Rasulullah SAW. Pada saat beliau justru menyuruh umat untuk komitmen terhadap jalan hidup mereka (Hadits Riwayat Abu Daud dari al-Irbadh ibn Sariyah), atau meragukan lurusnya pemahaman mereka hanya dengan dalih karena mereka sering bersengketa. Padahal silang sengketa para sahabat bukanlah dalam perkara esensial sebagaimana telah kami jelaskan di muka.
Ahlus Sunnah dan Ahlul Bait
Dua istilah yang sangat sering didikotomikan oleh sebagian kaum muslimin padahal tidak semestinya seperti itu. Ahlus Sunnah adalah golongan yang senantiasa komitmen terhadap sunnah Rasulullah SAW, dalam segala hal sedangkan Ahlul Bait adalah keluarga Rasulullah SAW, yang beriman dan komitmen terhadap ajaran beliau hingga wafat. Semua Ahlul Bait adalah golongan Ahlus Sunnah meskipun tidak semua Ahlus Sunnah dikategorikan Ahlul Bait namun mereka wajib mencintai Ahlul Bait sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW. Membedakan pemahaman para sahabat dengan pemahaman Ahlul Bait adalah suatu hal yang tidak obyektif dan hanya menambah panjang sebab perpecahan di tengah umat, kecuali jika di balik seruan itu memang ada maksud tersembunyi -wallahu a’lam-. Saatnya untuk umat saat ini melepaskan diri dari segala bentuk dikotomi yang diwariskan oleh kaum ekstrimis di zaman dahulu yang hanya menimbulkan perpecahan, jika kita mau jujur memandang, bukankah Islam di zaman Nabi itu satu ? dari manakah pemahaman bahwa yang menjadi khalifah sepeninggal Nabi haruslah dari kalangan keluarga beliau padahal beliau tidak pernah mengajarkan itu ? dari manakah asal keraguan bahwa para sahabat pendamping Rasulullah SAW. tidak lebih baik pemahamannya dari Ahlul Bait padahal para sahabat pun tidak pernah mau dikotomikan seperti itu ? Catatan:Sejak kapan Jalaluddin ar-Rumi, Ibnu Sina, Mullah Sadra, Taba’tabai dan Khomeini menjadi Ahlul Bait ?
Bantahan ini juga bisa dibaca di http://www.wahdah.or.id/
Komentar saya :
Bantahan di atas tidak menyinggung inti tulisan saya. Yakni tawaran saya untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Ahlul Bait sebagaimana wasiat Rasulullah SAWW
Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat."
(H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533, juga terdapat di dalam kitab-kitab induk hadis yang lain)
Hadits ini terdapat dalam kitab hadits yang diakui kesahihannya oleh ulama Ahlus Sunnah sendiri. Karenanya saya ingin bertanya, apa salahnya meninggalkan “al-Quran dan as-Sunnah” yang landasan hukum (hadis)-nya masih bermasalah dan hadis itu tidak terdapat dalam Kutubussuttah, dan kemudian kita beralih kepada wasiat Rasul untuk berpegangan terhadap “al-Quran dan al-Ithrah” yang hadisnya mutawatir dan shohih yang terdapat dalam beberapa Kutubussittah, kitab-kitab standart saudara Ahusunah sendiri? bisaki baca lebih lengkapnya disini (diblogku yang lain) http://harykoe.wordpress.com/category/antar-mazhab/
Tanggapan lainnya, kalau silang sengketa para sahabat bukanlah dalam perkara esensial sebagaimana yang ditulis yang mulia Ketua MUI di atas, bagaimana bisa sahabat bisa terlibat dalam berkali-kali perang besar dan saling bunuh antar mereka. Kalau tidak esensial mengapa harus saling bunuh, justru tradisi perpecahan dan pertikaian menurut saya kita warisi dari mereka. Yang bunuh Sahabat Usman bin Affan ra, siapa ? apa orang Yahudi, kaum musyrikin atau orang2 Majusi ? yang membunuh Imam Ali ra adalah orang khawarij yang tetap diakui sebagai golongan Islam. Yang bunuh Imam Hasan dan Imam Husain siapa ? jangan bilang sejarah itu hanyalah rekayasa yang dibuat-buat. Kalau dalam persoalan tidak esensial saja harus mengangkat pedang, mana kebesaran jiwa mereka sebagai sahabat2 nabi ?
Catatan di akhir tulisan bantahan di atas juga menggelikan, Sejak kapan Jalaluddin ar-Rumi, Ibnu Sina, Mullah Sadra, Taba’tabai dan Khomeini menjadi Ahlul Bait ? saya menjawabnya, saya tidak tahu, soalnya saya bilang mereka itu kader-kader lepasan dan terlahir dari madrasah Ahlul Bait bukan Ahlul bait he...he.... (aduh kualitas Ketua MUI Makassar kita seperti ini :-) ) Terakhir, saya minta pertanggungjawaban ilmiah sang ustadz, bahwa yang menyebabkan perpecahan adalah dipaksakannya pemikiran Syiah yang menghendaki seorang khalifah pengganti Nabi harus dari kalangan Ahlul Bait. Bahwa Ahlul Bait (keturunan nabi) yang harus menjadi khalifah setelah nabi Muhammad SAW adalah pemikiran ekstrim. (Naudzubillah, Allah dan Rasul-Nya disebut ekstrim)
Saya ingin tanya bagaimana beliau memahami ayat ini,
“Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia.” Ibrahim berkata, “(Dan aku mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman :”Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah : 124).
Apakah perjanjian Allah SWT kepada nabi Ibrahim as di atas adalah perjanjian yang main2 saja. Apakah keturunan nabi Ibrahim as berakhir hanya sampai pada nabi Muhammad SAW dan setelah itu tidak ada lagi keturunan nabi Ibrahim yang menjadi imam bagi seluruh umat manusia ? lalu mengapa pula Imam Mahdi nanti adalah keturunan Nabi dari kalangan Ahlul Bait ? mengapa bukan keturunannya Abu Bakar atau Umar ?
Bukhari-Muslim meriwayatkan, “Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai dua belas khalifah, semuanya dari Qurays.” Semua kaum muslimin menerima periwayatan ini. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71). Pertanyaan saya, Rasul yang membatasi khalifah setelah beliau harus dari Qurays apa itu bukan pemikiran ekstrim menurut ustadz ?. Allah SWT dari ayat di atas jelas-jelas menegaskan bahwa keimmahan atau kepemimpian tidak akan diberikannya kepada orang-orang dzalim.
Kita ajukan pertanyaan lagi, katanya semua sahabat setia terhadap Sunnah Rasulullah SAWW. Komitmen mereka tidak perlu diragukan, namun kita patut mempertanyakan Muawiyah yang juga mereka klaim sebagai sahabat nabi. Bahkan menyebut Muawiyah adalah sahabat yang juga adil. Kalau Muawiyah dan para pengikutnya (yang juga beberapa sahabat nabi) beriman kepada Al-Qur'an dan petunjuk Rasul mengapa memerangi Imam Ali sebagai khalifah yang sah ? mengapa ia tidak tunduk pada hadits Rasul, taatlah kepada pemimpinmu meskipun ia dari kulit hitam, meskipun dzalim, bahkan meskipun merebut harta dan memukul tulang punggung kalian. Mengapa Muawiyah tidak mengikuti kaidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yakni menasehati pemimpin, taat kepada pemimpin pada hal2 yang bukan maksiat dan tidak keluar sedikitpun dari jama'ah. Muawiyah memerangi Imam Ali as berarti hanya ada dua kemungkinan, Imam Ali as telah kafir di mata Muawiyah dan layak diperangi atau Muawiyah yang justru keluar dari petunjuk Rasul. Pekerjaan rumah kita tidak sederhana. Memang pekerjaan kita masih banyak, terutama membenahi aqidah ummat yang diliputi kesyirikan, tapi menyelidiki madhzab dan pandangan keislaman kita adalah juga salah satu pekerjaan kita. Bahkan salah satu pekerjaan terbesar. Karena Allah dan Nabi-Nya hanya akan menerima ajaran mereka, maka sekalipun kita sibuk membenahi dan membangun ummat, kita tidak boleh lalai dan merenungi serta menyelidiki dari mana keyakinan Islam kita ini dan datang dari pihak yang mana.
Semoga kita semua mendapatkan petunjuk. Adalah sebuah kewajaran bahkan keharusan untuk senantiasa memperbaharui keyakinan kita, dan tidak menutup diri untuk mempelajari keyakinan yang lain, karena bisa jadi kebenaran sesungguhnya ada disana. Saya adalah diri yang sedang berproses dan semoga Allah melembutkan hatiku untuk menerima kebenaran. Mohon maaf kalau ada kesalahan.
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk." (Qs. An-Nahl : 125).

01 November, 2008

Pesona Warna Warni Negeri Persia

Judul : Pelangi di Persia - Menyusuri Eksotisme Iran
Genre : Traveling, Culture, Memoirs
Penulis : Dina Y. Sulaeman
Penerbit : Pustaka IMaN, Cetakan Pertama, Desember 2007
Tebal: 297 halaman
Iran sebuah negara di Teluk Persia. Negara ini tidak henti-hentinya menjadi sorotan berbagai media, terutama pasca Revolusi Islam Iran 1979, dan lebih seringnya mendapat prasangka dan stereotype negatif. Stigma buruk lebih sering dihembuskan media Barat terutama untuk mengatasi sikap pembangkangan rakyat Iran terhadap resolusi PBB tentang pemanfaatan tekhnologi nuklir dan penentangannya atas berdirinya Israel di atas tanah Palestina. CNN pernah menjuluki Iran sebagai bangsa yang keras kepala. Semakin diserang propaganda dari luar, semakin membangkang, ini bukti bahwa mereka bangsa yang tidak mau diatur-atur negara lain. Sifat ‘keras kepala’ bangsa Iran tidaklah terbentuk dengan sendirinya dan serta merta, namun memiliki alur sejarah yang panjang. Sejarah kelam yang penuh dengan penindasan dan penjajahan baik bangsa asing maupun penguasa dari bangsa sendiri membentuk watak rakyat Iran untuk tidak mudah diatur. Sejarah Iran dimulai lebih dari 3000 tahun yang lalu ketika suku bangsa Arya bermigrasi ke wilayah itu. Dan ketika itu juga wilayah tersebut mendapatkan namanya yaitu ‘Iran’ yang berarti ‘Tanah Bangsa Arya’ (‘The Land of The Aryan‘). Anehnya, tanah bangsa Arya ini oleh orang-orang Yunani disebut sebagai Persis, yang menjadi asal kata nama Persia.
Bangsa Persia mencapai kejayaannya sekitar menjelang tahun 500 SM sebagai sebuah negara adikuasa yang menguasai wilayah Timur dan Barat yaitu dari kawasan India saat ini sampai ke Laut Tengah dan Afrika Utara. Tercatat sebagai ‘was the largest empire the world had ever seen’. Imperium ini didirikan oleh Raja Cyrus (Cyrus the Great), diyakini sebagai sosok legendaris yang disebut sebagai Dzulqarnain (berarti: yang memiliki dua tanduk). Sepeninggal Raja Cyrus imperium ini diwariskan kepada penerusnya. Perjalanan imperium ini dipenuhi dengan peperangan dan pertumpahan darah terutama untuk melindungi diri dari penguasaan bangsa asing. Pada tahun 331 S.M. setelah mengaIahkan tentara Persia yang besar dalam pertempuran di Arbela Alexander dari Macedonia menaklukkan imperium ini. Kemenangan ini mengakhiri Imperium Archaemenia dan Persia pun menjadi bagian dari kekaisaran Alexander. Penaklukan ini dianggap sebagai sebuah tragedi besar oleh bangsa Iran. Sekitar tahun 224 M seorang Persia bernama Ardhasir berhasil mengambil alih kerajaan dan mendirikan Dinasti Sassania. Setelah lebih dari 550 tahun di bawah kekuasaan bangsa asing, orang Persia kembali memerintah Persia, dan dinasti Sassania ini bertahan selama lebih dari 400 tahun. Dalam kurun waktu itu, seni budaya Iran tumbuh subur, jalan-jalan, irigasi dan bangunan berkembang pesat, akan tetapi perang antara bangsa Persia dan bangsa Romawi terus berlanjut mewarnai sebagian besar masa pemerintahan rezim Sassania. Zoroastrianisme menjadi agama negara. Meskipun mencapai kemajuan, dinasti Sassania bukannya tidak bermasalah, bahkan pada masa ini eksploitasi dan penindasan yang ekstrim terhadap rakyat Iran mencapai puncaknya. Perbudakan telah rnelampaui batas dan memasuki masa krisis. Penindasan yang terakumulasi itu tiba-tiba meledak dalam bentuk gerakan revolusioner di bawah pimpinan Mazdak. Gerakan rakyat ini memiliki kandungan komunistik. Ajarannya menuntut distribusi kesejahteraan yang adil dan memperjuangkan eliminasi kebangsawanan dan feodalis. Namun gerakan ini diatasi secara brutal oleh Raja Nosherwan dan tiga puluh ribu pengikutnya dibinasakan. Gerakan revolusioner Mazdak adalah salah satu perjuangan kelas yang paling inspiratif dalam sejarah gerakan revolusioner Iran.Di pertengahan abad ke-7 M, tentara Arab menaklukkan negara tersebut dan kebanyakan rakyat Iran kemudian menganut agama Islam. Alasan utama agama baru ini diterima bangsa Iran, karena ajaran ini membawa semangat pembebasan bagi rakyat kecil yang tertindas.
Dengan memperkenalkan Islam, bangsa Arab mengganti kepercayaan kuno Persia, Zoroastrianisme, dan sejak saat itu hingga hari ini, orang Persia menjadi Muslim. Namun kemudian ditangan raja-raja Arab dari Dinasti Umayyah rakyat Iran kembali mengalami penindasan. Sampai abad ke-9, kontrol Arab melemah kekuasaan atas bangsa Iran pun berada ditangan kerajaan Turki sampai pertengahan abad ke-11. Belum lepas dari penjajahan Turki tahun 1220 musuh baru kembali datang. Bangsa Mongol yang dipimpin Jenghis Khan mengepung seluruh wilayah, dan meluluhlantakkan segalanya. Mereka menjadikan kota-kota di Iran menjadi puing-puing dalam sekejap dan menjagal beribu-ribu orang. Bencana nasional ini menginspirasi para penyair Persia untuk menulis tragedi berdarah ini dalam epik-epik mereka. Setelah tahun 1335 kerajaan Mongol di Iran pada gilirannya terpecah belah dan sekali lagi sebuah kerajaan digantikan dengan serangkaian dinasti-dinasti kecil. Antara tahun 1381 dan 1404 Iran diporak-porandakan oleh invasi berulangkali oleh penakluk lainnya dari daerah Stepa Timur, yang di Barat dikenal sebagai Timurlane yang setelahnya diikuti oleh periode chaos dimana silih berganti pemimpin-pemimpin Iran saling berebut kekuasaan.
Tahun 1979 gerakan massa yang dipimpin Imam Khomeini memberi lembaran baru dalam sejarah perjalanan bangsa Iran. Dalam semalam suasana berubah drastis. Dinasti monarki yang sempat dirayakan hari jadinya yang ke 2.500 tahun 1971 oleh Syah Pahlevi. hancur berkeping-keping dan berdirilah Republik Islam Iran.Peristiwa-peristiwa yang meskipun traumatik ini tidak ingin dilupakan begitu saja oleh rakyat Iran. Peninggalan-peninggalan dinasti-dinasti yang pernah berkuasa masih tersimpan rapi pada kota-kota besar di Iran.
Kita patut berterimakasih kepada Dina Y Sulaeman yang dengan apik menceritakan kembali dan mengabadikan peninggalan-peninggalan kerajaan Persia ini dalam bukunya “Pelangi di Persia- Menyusuri Eksotisme Iran”. Buku ini merupakan cerita perjalanan penulis diberbagai wilayah Iran yg sangat beragam dan indah. Penggunaan kata pelangi untuk judul buku ini menurut saya sangat tepat, sebab dengan adanya interaksi rakyat Iran dengan budaya-budaya asing yang telah berkuasa menciptakan keanekaragaman budaya dan etnis yang sangat berharga dan indah, seindah warna-warni pelangi. Salah satu kota yang diceritakan penulis buku ini adalah Isfahan. Kota yang menjadi Ibukota Safavi di tahun 1598, dikenal sebagai salah satu kota berperadaban yang paling maju. Pada masa itu orang Persia suka menyebut Isfahan sebagai Nisf-e Jahan (Setengah Dunia). Kota ini memiliki banyak bangunan-bangunan hasil peradaban Islam di masa lampau. Begitu banyak peninggalan-peninggalan yang diditinggalkan oleh para penguasa yang pernah menduduki daerah ini. Mulai dari Dinasti Deylamite, buyid yang meninggalkan pintu gerbang kuno mesjid Hakim. Di masa dinasti ini, Ibnu Sina juga pernah mengajar di Isfahan. Dinasti selanjutnya, Dinasti Seljuk, ini meninggalkan bangunan berupa menara indah dan kubah besar mesjid Jumat. Dinasti Muzaffari meninggalkan menara dardasht mausoleum Lady Soltan Bakht Agha. Dan Dinasti Timurian meninggalkan empat teras di masjid jame’. Yang menjadi pusat kota di Isfahan adalah Maidan (Lapangan) Emam. Tempat ini selalu dijadikan tempat untuk sholat jumat atau pidato-pidato yang dilakukan oleh para pejabat tinggi negara (seperti Presiden atau Rahbar). Disekitar Maidan Emam ini, ada banyak gedung-gedung yang indah berdiri menambahkan keindahan Isfahan, seperti mesjid Emam, Istana Ali Qapu dan lain-lain. Yang paling unik diIsfahan adalah adanya Gereja Vank yang dikenal sangat fanatik tapi masih tetap mampu berdiri tegak dengan damainya ditengah-tengah Islam Iran. Arsitekturnya khas Safavi dengan lengkungan-lengkungan dan kubah yang Islam-sentris. Berdirinya Gereja Vank ini yang beratusan tahun direpublik Islam membuktikan tingginya rasa persaudaraan antar agama.
Di Iran ini, ummat Kristiani sangat dihormati oleh kaum syiah Iran. Yang paling dikagumi dan diakui oleh penulis terhadap Syiah Iran adalah penghormatan syiah terhadap umat kristiani dan dalam doa-doa Syiah iran, ada nama Isa Al- Masih disebut-sebut. Ini yang membuat penulis mengaku mengagumi Syiah.Kalau Isfahan mempersembahkan karya kemanusiaan yang tidak ternilai harganya dengan adanya toleransi antar umat beragama. Di kota Sanandaj, ibu kota dari Kurdistan Iran timur mempertontonkan bentuk toleransi antar pemeluk mazhab berbeda dalam Islam. Orang-orang pribumi di kota ini disebut suku kurdi yang terdiri atas dua kelompok besar Kurdi Sunni dan Kurdi Syiah, dan Kurdi Sunnilah sebagai penduduk mayoritas. Di kota ini ada bangunan yang disebut menarik oleh penulis yaitu mesjid Sunni. Disini, Kurdi Sunni yang mayoritas sangat menghormati kaum Kurdi yang bermazhab Syiah. Beda dengan kita di Indonesia, syiah dan sunni saling menghujat bahkan sampai yang paling ekstrim, mengkafirkan. Yang dikatakan penulis sebagai hal menarik dari mesjid ini adalah, meskipun dikatakan mesjid sunni tapi orang-orang syiah pun berdatangan untuk sholat meski tidak berjamaah. Mereka sholat dengan cara fiqih mereka masing-masing. Syiah sholat dengan tangan lurus sedangkan sunni dengan tangan bersedekap. Mereka tak ada yang saling berdebat, menghujat atau sampai mengkafirkan. Mereka berjalan dengan saling menghormati.
Selain disanandaj, ada mesjid penyimpanan Al Quran sangat kuno. Yaitu didesa Negel sekitar 65 kilometer dari sanandaj-marivan. Orang-orang sunni mengklaim bahwa Quran kuno ini tulisan tangan Khalifah Ustman sementara orang-orang syiah mengatakan kalau tulisan itu dari buah tangan Imam Ali. Al Quran ini menurut perkiraan, ada sejak abad 10 M atau 11 M. Dan berapa kali Al Quran ini dicuri..Ada lagi warna lain yang menebarkan pesona, yaitu mekahnya orang zoroaster diYazd. Namanya “Chakcahk” yang artinya tetesan air. Disana ada sebuah ‘mukjizat’ mata air yang terus menerus menetes disela-sela batuan cadas dan ini mengingatkan kita pada mukjizat adanya mata air zam-zam dikaki ka’bah. Kata Chakchak ini merujuk pada sebuah gua tempat peribadatan orang Zoroaster. Orang zoroaster menjulukinya sebagai mekah karena bentuknya agak mirip. Dan ketika kita mau samakan, ini sama dengan gua hira, tempat Rasul menerima wahyu pertamanya. Bedanya, dimekah, orang-orang non muslim tidak boleh berkunjung, sedangkan dichakchak, orang bebas datang berdatangan Tempat ini dibentuk oleh seorang perempuan bernama “Nikabanu” salah satu putri dari Raja Yagzerd III pemimpin dinasti sassania. Nikabanu lari kegua ini bersembunyi. Saat lari, dia membawa pohon Chaner. Dialah yang menanam pohon itu ditengah-tengah batuan cadas dan tanah yang tandus. Yang sampai sekarang, pohon itu masih ada berdiri tegak dan disekelilingnya ada mata air yang bermunculan disela-sela batuan cadas. Bukan hanya itu, ada juga nama bangunan orang Zoroaster yang mengikuti bangunan orang islam, yaitu ka’bah orang zoroaster, tapi bukan di Yazd. Bangunan itu ada di syiraz. Penulis mengungkapkan ketakjubannya ketika melihat bangunan-bangunan orang zoroaster. Penulis merasa melihat gambar-gambar yang ada di film-film setting yunani romawi semisal Alexander Agung dan Troy, bangunan yang sangat kuno dan alami. Keistimewaan buku ini adalah penulis tidak lupa untuk melampirkan photo-photo esklusif di lembaran buku yang ditulisnya. Hal ini sangat membantu pembaca sehingga tidak sulit untuk membayangkan keeksotisan bangunan yang sedang diceritakan penulis.
Dan yang menarik juga yang diceritakan adalah kehidupan orang zoroaster yang sangat damai dan jarang sekali ada konflik diantara mereka, mereka juga menjauhi sikap-sikap korup, bertutur sopan dan berperilaku jujur. Menurut cerita, itu karena mereka menjalankan 3 prinsip dari ajaran agamanya yaitu agama Zardtust, Pendar-e nik, Goftar-e nik, dan Raftar-e nik; Berpikir baik, berucap baik dan berperilaku baik. Lewat 3 prinsip ini mereka bisa hidup berdampingan dengan kaum yang lainnya dan bisa menerima pemerintahan Islam. Meskipun buku ini ditulis sebagai catatan perjalanan (travelogue) sang penulis yang dilakukannya selama 2 bulan mengelilingi Iran namun sesungguhnya buku ini adalah catatan pengalaman dan kajiannya terhadap Iran. Tinggal selama 8 tahun di Iran, penguasaan bahasa Persia yang baik dan pekerjaannya sebagai penyiar dan editor di Radio Indonesia IRIB (Islamic Repubic of Iran Broadcasting) Teheran menjadikan kajian Dina Y Sulaeman terhadap Iran dari berbagai sisi sangat komprehensif. Dina menulis apa yang dilihat dan didengarnya secara jujur dan objektif. Dia secara blak-blakan menceritakan tentang pedagang-pedagang di pasar Iran yang justru diperlakukan seperti raja oleh pembeli, bahkan pembeli yang harus berterimakasih. Dia juga tanpa beban mengungkapkan kejengkelannya dengan sopir-sopir taksi Iran yang menyebalkan. Tanggapannya tentang penerapan hukum Islam yang terlalu ketat untuk generasi muda dan mahar perempuan Iran yang terlalu tinggi. Catatan-catatan ini, menunjukkan Dina tidak membawa agenda setting apa pun. Setelah membaca buku ini, dijamin akan terjadi perubahan pada mindset pikiran anda tentang Iran yang selama ini dikenal sebagai negara yang fundamentalis dan radikal. Yang ada adalah Iran yang menebarkan berbagai pesona yang warna-warni sebagai salah satu peradaban tertua, seindah pesona yang ditawarkan pelangi. Sebagaimana saya, bisa jadi anda tertarik mengunjunginya suatu hari.
Peresensi : Haryati Ismail