08 September, 2008

Mengapa Harus Bulan Ramadhan ?

Salah satu lagu Islami yang sampai saat ini masih populer, bercerita tentang seorang anak yang bertanya tentang amalan ibadah kepada bapaknya. Salah satu pertanyaannya, “Mengapa kita harus bersusah-susah puasa ?”. Sudah sangat sering kita mendengar jawaban dari pertanyaan ini. Semua pakar mengajukan jawabannya menurut sudut pandang masing-masing. Ulama, psikiater/psikolog, dokter bahkan ‘orang pintar’ memberikan jawaban yang nyaris sama, puasa adalah pelatihan mental yang sangat berperan dalam pertumbuhan jiwa dan kesehatan fisik, yang dapat mengubah sikap dan kejiwaan manusia, menurut terminologi agama, dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Lagu itu sudah populer sejak saya masih kecil dulu, artinya telah berlalu lebih dari dua puluh tahun. Sesuai dengan perkembangan intelektual dan pemikiran anak-anak masa kini, bisa jadi pertanyaan yang diajukan sedikit lebih kritis, “Amalan tersebut mengapa disebut puasa dan mengapa wajibnya harus di bulanRamadhan ?”. Dan pertanyaan ini harus dijawab oleh sang bapak. Untuk sementara, saya bantu untuk menjawabnya.
Etimologi Puasa
Kata “puasa” dalam bahasa Indonesia diambil dari dua kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu: “upa” dan “wasa.” Upa adalah semacam prefiks yang berarti dekat. Wasa berarti Yang Maha Kuasa (seperti umat Hindu di Indonesia menyebut Sang Hyang Widhi Wasa). Jadi “upawasa”, atau yang kemudian dilafalkan sebagai puasa dapat diartikan sebagai cara mendekatkan diri kepada Tuhan, Dzat yang Maha Kuasa. Tentu saja defenisi ini terlalu umum dan luas, sebab tidak semua cara atau amalan yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan disebut puasa. Sedangkan puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau Shaum –keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja Sha-wa-ma–, yang secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain (Al-Syaukani, 1173-1255 H., dalam kitabnya Fathu-l-Qadir). Shiyam atau Shaum merupakan qiyam bila ‘amal, yang berarti ‘beribadah tanpa bekerja’. Dikatakan ‘tanpa bekerja’ karena amalan inisendiri bebas dari gerakan-gerakan, baik gerakan itu berupa: berdiri, berjalan, makan, minum dan sebagainya. Makna amalan yang “menahan” ini juga terlihat jelas tatkala kita menelusuri sejarah bahasa shiyam atau Shaum (M. Luthfi Thomafi, 2002).Ibnu Mandzur, pakar sejarah bahasa Arab yang sangat diakui kemampuannya dalam melakukan pelacakan atas asal-muasal kata, mendefinisikan Shaum sebagai “hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara”. Definisi ini adalah definisi paling asli dan sahih dalam sejarah bahasa Arab. Ini cocok dengan keterangan Al-Qur’an, misalnya, pada kisah Sayyidah Maryam saat menjawab tuduhan orang-orang kepadanya, "Sesungguhnya aku telah bernazar shaum untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini" (QS. 19:26). Shaum yang dimaksud Sayyidah Maryam di situ adalah “menahan untuk tidak bicara”. Lalu mengapa shaum diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi puasa ?. Sebab puasa yang dimaksud sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan dilakukan dengan cara sebisa mungkin seperti Tuhan. Manusia yang berpuasa layaknya Tuhan yang tidak butuh terhadap makan, minum dan hubungan biologis. Puasa berbicara tentangsebuah pertahanan diri untuk mengikis naluri kemanusiaan, berupaya tidak hanya mendekati Tuhan tapi ‘menjadi’ Tuhan. Di sini, sifat ‘menahan’ menjadi titik atau letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah yang lainnya. Apapun amal ibadah seseorang, pasti akan dapat diketahui dari sisi dhahir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi, untuk puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan dzahir atau fisik. Pantaslah jika Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya’ –melakukan amalan karena berharap pujian manusia- adalah puasa. Seberapapun ngototnya seseorang untuk disebut sedang berpuasa, sulit menerima sepenuhnya, sebab puasa meskipun juga amal badaniyah namun secara batiniyah hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Mengapa Ramadhan ?
Kata Ramadhan berasal dari akar kata dasar ra-mi-dha yang berarti “panas” atau “panas yang menyengat”. Kata itu berkembang sebagaimana biasa terjadi dalam struktur bahasa Arab– dan bisa diartikan “menjadi panas, atau sangat panas”, atau dimaknai “hampir membakar”. Jika orang Arab mengatakan Qad Ramidha Yaumuna, maka itu berarti “hari telah menjadi sangat panas”. Ar-Ramadhu juga bisa diartikan “panas yang diakibatkan sinar matahari”. Demikianlah istilah bulan Ramadhan diambil dari kalimat ramidha-yarmadhu, yang berarti “panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus”. Keterangan-keterangan tentang lafadz Ramadhan ini disampaikan oleh Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir Al-Razi (w. 721 H) dalam kamus Mukhtaru-sh-Shihhah dan Muhammad bin Mukarram bin Mandzur Al-Mashri (630-711 H), yang terkenal dengan sebutan Ibnu Mandzur, dalam karya monumentalnya, Lisanu-l-‘Arab.Satu-satunya nama bulan dari 12 bilangan bulan dalam setahun yang disebutkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an hanyalah Ramadhan (baca Qs. Al-Baqarah : 185) Sedangkan bulan lainnya termasuk bulan haram (baca Qs. at-Taubah : 36) tidak disebutkan dalam artian penamaannya diserahkan kepada manusia. Dari sini muncul pertanyaan, mana yang lebih dahulu ada, perintah puasa atau penamaan bulan Ramadhan ?. Disini ada catatan menarik. Ketika Allah SWT menyebut bulan dimana didalamnya diturunkan Al-Qur’an dan diwajibkannya orang-orang beriman untuk berpuasa dengan kata Ramadhan, masyarakat Arab waktu itu tidak merasa asing dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur bahasa Arab, kata ini sudah menjadi Ism ghoiri munsharif yakni kata-kata yang sangat jelas maksudnya meskipun tidak sesuai dengan struktur gramatikal bahasa Arab.Dengan demikian, masyarakat Arab saat itu telah sangat akrab dengan tradisi Ramadhan, yang didalamnya orang berpuasa. Yakni keadaan seseorang lebih merasa panas diakibatkan tenggorokan yang haus dan kering, sehingga menyebut saat-saat itu sebagai Ramadhan. Lalu dari mana orang-orang Arab saat itu mengenal tradisi Ramadhan ?. Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183 yang memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa yang berbunyi,”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa…”. adalah jawabannya. Yakni kewajiban melaksanakan puasa diperintahkan sebagaimana orang-orang sebelumnya. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar RA (w. 73 H), sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsir (701-774 H) dalam tafsirnya, bahwa Nabi SAW bersabda “Puasa bulan Ramadhan telah diwajibkan oleh Allah SWT atas umat sebelum kamu”.Dengan demikian, kita bisa memastikan pula bahwa penamaan Ramadhan itu ada, setidaknya, sejak syariat puasa diturunkan kepada umat manusia. Telah kita ketahui bahwa syariat puasa memang sudah menjadi syariat bagi setiap umat manusia. Dan di antara sekian macam syariat, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif. Puasa merupakan komunikasi paling rahasia antara hamba dengan Tuhannya. Itulah sebabnya sangat bisa diterima mengapa Shuhuf-nya Ibrahim as, Tauratnya nabi Musa as, Injilnya nabi Isa as serta Al-Qur’annya kaum muslimin turun pertama kali pada bulan Ramadhan, bulan saat para nabi mengalami hubungan paling sakral dengan Allah SWT. Memang bukan ini satu-satunya jawaban, namun saya harap jawaban ini memuaskan sang anak. Selamat Berpuasa.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Ismail Amin
Pelajar Hauzah Ilmiyah Qom

Indonesia (juga) Melawan Amerika

Apa yang saya tulis ini sekedar perjuangan melawan lupa, bahwa bangsa kita juga pernah dengan berani dan tegas menentukan sikap sendiri, tidak terima untuk diatur-atur negara lain termasuk negara adikuasa Amerika Serikat. Bahasa ekstrimnya sebagaimana judul yang saya pilih, Indonesia juga pernah melawan Amerika. Penggunaan kata juga, karena belakangan ini Iran tampil sebagai sebuah negara yang merepotkan Amerika. CNN menjuluki Iran sebagai bangsa yang keras kepala. Semakin diserang propaganda dari luar, justru semakin mampu membuktikan bahwa mereka tidak terima diatur-atur. Kekeraskepalaan bangsa Iran terlihat dalam masalah nuklir. Amerika dan Eropa bersikeras melarang Iran melakukan proses pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Alasannya: khawatir justru Iran memproduksi senjata nuklir. Keluarlah resolusi untuk Iran. Dewan Keamanan PBB No. 1747 mengeluarkan resolusi melarang Iran melanjutkan proses pembuatan bahan bakar nuklir dan mengharuskannya membeli bahan bakar nuklir dari Eropa. Negara-negara Gerakan Non Blok yang sebelumnya mendukung Iran –termasuk Indonesia-, pada akhirnya harus tunduk pada tekanan Barat dan memberi suara abstain ataupun mendukung resolusi ini.Sebagai Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad telah menjadi newsmaker, sorotan utama, si pembuat berita. Ahmadi Nejad tidak bisa dilepaskan dari isu program nuklir Iran dan pernyataan-pernyataannya yang keras terhadap Barat. Ketokohannya di panggung dunia tercipta melalui ketegasan sikapnya membela program nuklir Iran dari tudingan Amerika Serikat. Ahmadinejad dipandang sebagai ikon anti-imperialisme Barat bahkan dijuluki sebagai David di tengah angkara Goliath dunia. Ahmadinejad sebagaimana orang Iran –pasca revolusi Islam Iran- pada umumnya, tumbuh besar di dalam naungan pemikiran Imam Khomeini yang pernah berkata, ''Jika Amerika senang kepadamu, maka ada yang patut dipertanyakan dengan akidahmu.'' Rakyat Boliviapun patut bersyukur, jika rakyat Iran berbangga dengan Ahmadi Nejad, maka mereka punya Eva Morales. Presiden Bolivia tersebut dengan berani mengusir pemodal-pemodal asing yang mengelola industri-industri strategis negara tersebut. Kebijakan Nasionalisasi Morales tersebut adalah implementasi dari janji-janjinya selama masa kampanye. Sikap penolakan terhadap intervensi asing juga ditunjukan oleh Presiden Venezuela Hugo Chavez. Venezuela adalah negeri penghasil minyak terbesar di kawasan Amerika latin. Kita juga mengenal Fidel Castro meskipun diusianya yang tua dan mulai sakit-sakitan ia tetap lantang menolak intervensi Amerika. Castro tetap konsisten mengusung semangat perlawanannya terhadap kemapanan yang coba di tawarkan negara-negara kapitalis.
Di Bawah Bayang-bayang Soekarno
Tidak bisa dipungkiri, kita kagum dengan kepiawaian Ahmadi Nejad, keberanian Eva Morales, Kebersahajaan Hugo Chaves dan ketangguhan Fidel Castro dalam melakukan diplomasi politik yang cantik dan elegan di panggung internasional dalam memperjuangkan hak legal mereka. Namun, sayangnya pada saat yang sama, bangsa kita justru diperhadapkan dengan kenyataan yang berbeda. Kita harus menerima kenyataan bahwa diplomasi Indonesia ‘minta belas kasihan’ dari negara-negara pemberi hutang di Paris Club gagal total, bahwa harga BBM harus naik demi memenuhi tuntutan para investor asing, bahwa pemerintah pasrah saja di obok-obok oleh IMF, bahkan ketika berkonflik dengan Malaysia kita harus kelabakan saat Amerika memberi ancaman embargo senjata untuk Indonesia. Dan yang paling ‘gress’, 40 anggota Kongres AS melayangkan surat meminta pembebasan ''segera dan tanpa syarat'' dua anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage. Keduanya mengibarkan bendera bintang kejora di Abepura, 1 Desember 2004. Pada Mei 2005, pengadilan menjatuhkan hukuman penjara 14 tahun kepada keduanya. Apapun alasannya, munculnya surat itu, memperlihatkan lemahnya diplomasi Indonesia di Kongres AS. Saya tiba-tiba terpancing untuk membayangkan seandainya saat ini Indonesia dipimpin Soekarno, maka ia tidak perlu waktu untuk berpikir dan menyatakan ketegasan menolak permintaan kongres AS itu. Bisa jadi kita akan kembali mendengar pidato Soekarno yang membahana, “Go to hell with your aid, Inggris kita linggis, Amerika kita setrika.” Para pengamat politik terkesima tak bersuara, rakyat bergemuruh bertepuk tangan menyambut seruan itu. Rakyat kecil bisa jadi tidak paham dengan bahasa politik tingkat tinggi, yang mereka tahu, mereka punya presiden yang membela mereka.
Indonesia yang Mandiri
Sebagaimana Iran dan beberapa negara Amerika Latin, Indonesia juga pernah melawan Amerika di bawah pimpinan Soekarno. Dinamika perpolitikan Indonesia di era perang dingin kurun waktu 1953-1963 ditandai dengan aroma diplomasi yang cemerlang, disertai dengan kebijakan para pemimpin yang tidak mau didikte dan tunduk pada Amerika. Meski saat itu negeri Indonesia baru merdeka dalam hitungan belasan tahun, semangat nasionalisme dan kecerdikan para pemimpinnya menjadikan negara Indonesia disegani oleh Amerika, Uni Soviet dan negara-negara Sekutu. Bagi Bung Karno, tidak ada kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Menurutnya segala bantuan dan manajemen pembangunan yang ditawarkan barat hanyalah alat pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang. Meskipun belum berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Bung Karno memberi ajaran untuk mampu berdiri di atas kaki sendiri, daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan.Bersama pemerintahan Soekarno, kebijakan luar negeri Indonesia sangat disegani asing. Pada tahun 1948 ditandai dengan deklarasi politik bebas aktif, membentuk Gerakan Non Blok dengan menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 dan tahun 1963 mendeklarasikan Indonesia keluar dari PBB untuk membuktikan Indonesia sebagai bangsa besar yang tidak mau diintervensi negara manapun.Pada 17 Mei 1956, Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme. Sebagaimana Ahmadi Nejad yang memberi respon atas kasus Palestina, “Israel harus dihapuskan dari peta dunia” (2005), Bung Karno pun memberikan pembelaan terhadap Palestina yang tertindas. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Ketika itu, media massa Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim ini. Tidak hanya dalam dunia perpolitikan, namun juga dalam ajang pertandingan olahraga Indonesia sangat disegani. Tahun 1962, Indonesia telah menunjukkan kegemilangannya dengan menjadi tuan rumah Asian Games IV. Dengan 9 medali emas, 12 perak, dan 29 perunggu yang dapat diraih, Indonesia berada di urutan ketiga setelah Jepang dan India. Kenyataan-kenyataan di atas berbeda 180 derajat dengan keadaan yang kita hadapi sekarang. Di usia yang ke 63 tahun bangsa ini, kita patut bertanya dan bercermin diri. Ada apa dengan bangsa ini ? Kemerdekaan kita seperti tingkap kaca, seolah-olah tidak ada batasnya, namun ketika ingin berdiri, kepala kita terantuk juga. Kita bertanya, SBY yang mantan jenderal militer, mengapa sulit untuk menjauhkan negeri ini dari negara-negara kapitalis ? Bagi saya kemandirian lebih mudah dibangun dibanding merebut kemerdekaan, tapi mengapa kita belum bisa juga, padahal kemerdekaan telah kita raih 63 tahun lalu ?.
Kita bertanya, kita menjawab.
Ismail Amin
Pelajar Hauzah Ilmiyah QOM