10 April, 2008

Mengapa Kami Membela Syiah

Dan sungguh, kepada Bani Israil telah Kami berikan kitab (Taurat) kekuasaan dan kenabian, Kami anugerahkan kepada mereka rezeki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masa itu). Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas tentang urusan (agama), maka mereka tidak berselisih kecuali setelah datang ilmu setelah mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sungguh Tuhan akan memberi keputusan kepada mereka pada hari kiamat terhadap apa yang selalu mereka perselisihkan. Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui. ” (Qs. Al-Jasiyah 45 : 16 – 18)
Dari ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa syariat yang ada dan berlaku pada Bani Israil juga berlaku untuk nabi Muhammad SAWW. Syariat yang dimaksud sebagaimana termaktub dalam ayat di atas adalah kitab, kekuasaan, kenabian, rezeki yang baik, kelebihan atas umat yang lain dan keterangan yang jelas tentang urusan agama. Pada artikel ini kita mengkhususkan pada wacana kekuasaan dan keterangan yang jelas tentang urusan agama dan adanya perselisihan dalam tubuh Bani Israil yang menurut ayat di atas juga terjadi pada ummat Nabi Muhammad SAWW. Jika kita melihat sejarah Islam dari sudut pandang peristiwa yang memanifestasikan sisi-sisi kemanusiaan, maka akan kita ketahui sejarah Islam betapa tidak ada bandingannya. Sejarah Islam penuh dengan perbuatan heroik, penuh pengorbanan demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Imam Khomeini ra menyatakan, “Islam tumbuh dan berkembang dengan pengorbanan dan kesyahidan putra-putra tercintanya.” Sejarah Islam sarat dengan kecemerlangan dan keungulan manusiawi. Ketika hari pembebasan kota Makah (Fathul Makah), semua kaum kafir Qurays yang selama ini memusuhi nabi dan Islam, tertaklukan. Mereka menunggu keputusan sang Panglima Islam, Muhammad SAWW. Sang nabipun bersabda tentang mereka, “Hari ini adalah hari yang penuh kasih sayang, kalian bebas dan aman dari gangguan siapapun.” Dua tempat yang disebut oleh Nabi Muhammad SAWW sebagai tempat paling aman bagi musuh-musuhnya untuk berlindung, rumah abu Sufyan (gembong Qurays yang sangat memusuhi nabi) dan Baitullah. Betapa manusiawinya, betapa cemerlangnya. Namun kecemerlangan sejarah Islam juga diselingi dengan beberapa titik kelam sejarah. Beberapa peristiwa kelam terjadi dalam dunia Islam, dan kita tidak boleh menutup diri untuk mempelajari dan mengkajinya terus menerus. Apalagi jika peristiwa-peristiwa tersebut mempengaruhi nasib masyarakat Islam selanjutnya. Mengabaikan peristiwa-peristiwa kelam itu begitu saja sama saja mengabaikan kesejahteraan kaum muslimin. Kita tidak bisa menutup mata dengan terjadinya perselisihan antara kaum muslimin yang justru terjadi sejak generasi awal. Semua bencana yang terjadi pada kaum muslimin disebabkan karena perselisihan. Ayat di atas pun mengungkapkan hal tersebut. Bahwa perselisihan ini terjadi karena adanya kedengkian dan orang-orang yang tidak mengetahui. Syahid Murtadha Muthahari dalam bukunya menceritakan, seorang Yahudi menemui Imam Ali as dan memberi komentar terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada periode awal Islam berkenaan dengan masalah kekhalifaan yang menimbulkan perselisihan antar sahabat bahkan berujung peperangan dan saling bunuh. Dia berkata, “Anda memakamkan nabi Anda persis pada saat mulainya perselisihan tentangnya.” Imam Ali as memberikan jawaban, “Anda salah, kami tidak memperselisihkan Nabi itu sendiri. Kami hanya berselisih soal petunjuk yang kami terima darinya. Namun kaki anda belum kering dari laut, anda mengatakan kepada nabi anda, tunjukkan bagi kami Tuhan sebagaimana tuhan-tuhan mereka. Dia berkata, kamu adalah orang-orang yang bodoh.” (Nahj al-Balaghah). Imam Ali as bermaksud mengatakan, “Perselisihan kami bukan mengenai prinsip-prinsip tauhid dan kenabian. Namun mengenai apakah Al-Qur’an dan Islam telah menyebutkan orang tertentu yang menjadi penerus nabi SAWW atau ummat yang berhak memilih penerus nabi SAWW. Kamu kaum Yahudi justru pada saat nabi kamu masih hidup sudah melontarkan pertanyaan yang bertentangan sama sekali dengan agama kamu dan ajaran nabi kamu.” Dan yang menjadi awal perselisihan kaum muslimin sepeninggal Rasul adalah siapakah yang akan menjadi penerus kepemimpinannya atas umat?. Apakah mungkin Islam dengan Al-Qur’annya tidak membahas tentang sesuatu yang maha penting ini ? sementara Allah SWT berfirman, ” Alif Lam Ra (inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti”. (Qs. Hud : 1). Apakah mungkin Islam sebagai syariat terakhir yang bahkan mengajarkan adab bersuci tidak memberi petunjuk satupun tentang persoalan kepemimpinan dalam Islam ?. Islam adalah prinsip hidup yang mencakup semua urusan duniawi maupun spiritual. Kelompok yang menyatakan Islam tidak mengurusi masalah politik, kepemimpinan dan pemerintahan sama saja melakukan sekularisasi dalam Islam. Syahid Murtdha Muthahari memberikan pemisalan yang bagus. Menurut beliau, hubungan antara agama dan politik seperti hubungan antara roh dan tubuh. Tubuh dan roh serta kulit dan isi harus selalu menjadi satu. Kulit melindungi isi agar tetap kuat. Islam memandang politik, pemerintah, undang-undang dan jihad sebagai sesuatu yang sangat penting untuk melindungi dan menjaga wawasan spritualnya, yaitu tauhid, supremasi nilai-nilai spiritual dan moral, keadilan sosial, persamaan hak dan perhatian terhadap sentiment manusia. Jika kulit dipisahkan dari isinya, maka isi akan rusak dan kulit menjadi menjadi sesuatu yang tidak berguna.
Imamah dan Penjagaan Islam
Kita akan mengawali pembahasan imamah dan penjagaan warisan spiritual Islam dari hadits Tsaqalain. Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, juz 4 hal 123 terbitan Beirut Lebanon, Zaid bin Arqam berkata, “Pada suatu hari Rasulullah SAWW berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di telaga yang bernama “Khum”, yang terletak antara Makah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah SAWW berkata, “Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di atas kesesatan.” Kemudian Rasulullah SAWW melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.” Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.” Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim).” Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits ini pun dinukil. Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita. Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini. Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah dengan Al-Qur’an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah SWT telah menjamin dalam Al-Qur’an bahwa apapun yang disampaikan Rasul adalah semata-mata wahyu dari-Nya. Pertanyaanya, mengapa Al-Qur’an saja tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah ?. Diantara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti kerasulannya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. ” (Qs. Ibrahim : 4). Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur’an secara mendetail ? Niscaya kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun Rasulullah SAWW memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAWW, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kuffar pada awal-awal revolusi Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci. Sementara Allah SWT berfirman, ” Alif Lam Ra. (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti”. (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, “Tidaklah Kami lalaikan sesuatu pun dalam Kitab ini.” (Qs. Al-An’am : 38). Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan Al-Qur’an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu.” (Qs. Al-Maidah : 3 ). Sebab, “Kewajiban Rasul tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah).” (Qs. Al-Maidah : 99). Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur’an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas. Al-Qur’an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf : 52). Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara terperinci ayat-ayat Al-Qur’an. Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, “Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan yang benar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu”. Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya” Hadits ini disepakati keshahihannya oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits, diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali as sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati’i dan As-Shuyuti dalam kitabnya masing-masing, “Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya” Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.
Imamah dan Ahlul Bait
“Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau ?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian Dia perlihatkan kepadanya para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama semua ini, jika kamu yang benar.” (Qs. Al-Baqarah : 30-31).
Kisah ini sudah sangat masyhur di kalangan muslimin, tentang proses penciptaan awal manusia. Hanya saja ada pendapat yang ingin kami luruskan. Bahwa yang dimaksud Allah SWT akan menciptakan khalifah di muka bumi oleh sebagian besar orang ditafsirkan adalah manusia secara keseluruhan. Sehingga dianggap bahwa semua manusia di muka bumi ini adalah khalifah Allah. Sesungguhnya tidaklah demikian. Sebab jelas-jelas pada ayat di atas Allah menyebut ’seorang khalifah’, yang kemudian Dia menciptakan nabi Adam as, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh-Ku kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Qs. Al-Hijr : 29). Jadi yang dimaksud dengan seorang khalifah yang diciptakan dan dibekali dengan ilmu Ilahi adalah nabi Adam as. Sehingga para malaikatpun mengakui ketinggian derajat dan maqam sang Khalifah Allah yang baru saja diciptakan sembari bersujud di hadapan nabi Adam as. Dengan demikian, Al-Qur’an memberikan gambaran bahwa manusia pertama yang menginjakkan kakinya di muka bumi bukanlah sejenis manusia purba yang mengantungkan nasibnya pada kemurahan alam melainkan khalifah Allah di muka bujmi, yang memiliki otoritas Ilahi yang senantiasa memiliki kontak gaib dengan Allah SWT, “Aku telah meniupkan roh-Ku kedalamnya” dan menguasai ilmu tentang nama-nama berbagai sesuatu. Dan dengan firman Allah SWT, “Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi.”, berarti di muka bumi akan senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah SWT untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata, “Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran.” Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki ‘Roh Tuhan’ yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib. Imamah atau kekhalifaan terlalu berharga, terlalu tinggi untuk hanya disebut sebagai pemimpin sebuah pemerintahan. Imamah terlalu pelik dan rumit bagi manusia biasa untuk memilih dan mengangkat sendiri imam mereka. Imamah tidak dapat diputuskan dalam pemilihan. Sebab imamah bukan sekedar masalah mengurus ummat melainkan perwakilan Allah SWT di muka bumi. Karena itu hanya Allah SWT yang berhak memilih dan mengangkatnya. “Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia.” Ibrahim berkata, “(Dan aku mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman :”Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah : 124). Ayat ini menunjukkan bahwa menurut Al-Qur’an ada satu lagi realitasselain nabi dan rasul yakni imam, sebab bukankah penunjukan Ibrahim sebagai imam setelah ia menjadi nabi dan rasul dengan berbagai ujian ?. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan Kami menganugerahkan kepadanya (Ibrahim), Ishak dan Yaqub sebagai suatu anugerah. Dan masing-masing Kami jadikan orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah.” (Qs. Al-Anbiya : 73). Di ayat lain, “…Kemudian Allah memberinya (Dawud) kerajaan dan hikmah dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Al-Baqarah : 41). Dari ayat-ayat ini menunjukkan bahwa penunjukkan imam, khalifah ataupun pemimpin atas umat manusia adalah wewenang dan otoritas mutlak Allah SWT sebagaimana penunjukan nabi dan rasul. Nah, kita kembali sebagaimana yang saya gambarkan sejak awal bahwa Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa sesungguhnya risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAWW adalah kelanjutan aturan-aturan yang ditetapkan Allah SWT pada Bani Israil. Dan salah satunya, “Dan sungguh, Allah SWT telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan Kami telah mengangkat dua belas orang pemimpin di antara mereka.” (Qs. Al-Maidah : 12). Dan yang menyebabkan Bani Israil yang sebelumnya dilebihkan atas ummat-ummat yang lain kemudian menjadi berpecah belah dan tersesat, karena mereka melanggar janjinya, “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membantu.” (Qs. Al-Maidah : 13). Sebagaimana perjanjian Allah SWT dengan Bani Israil, sepeninggal nabi Muhammad SAWW juga ada 12 khalifah, Bukhari-Muslim meriwayatkan, “Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai dua belas khalifah, semuanya dari Qurays.” Semua kaum muslimin menerima periwayatan ini. Namun apakah semua mengakui kekhalifaan 12 orang sebagaimana yang diinformasikan Rasul bahwa seluruhnya berasal dari Bani Qurys ?. Bani Israil yang sebelumnya menjadi umat yang dilebihkan atas umat yang lain - “Wahai Bani Israil ! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu dari semua umat yang lain di alam ini.” (Qs. Al-Baqarah : 122) - kemudian dilaknat karena ketidak konsistensinya mereka terhadap perjanjian Ilahi. “Allah tidak mengubah kondisi suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Qs. Ar-Ra’ad : 11). Dan pada ayat yang lain, “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfal : 53). Jadi sesungguhnya, bukan Allah SWT tidak menepati janjinya, bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik, ummat yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, melainkan umat ini sendiri yang mengingkari nikmat dan anugerah yang telah diberikan. “Dan mengapa setiap kali mereka mengikat janji, sekelompok mereka melanggarnya ? Sedangkan sebagian besar mereka tidak beriman.” (Qs. Al-Baqarah : 100). Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi, “Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. ” (Qs. Al-Baqarah : 251). Sebagian manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul Bait sebagaimana hadits Rasulullah SAWW, “Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.” Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal sebagai hadits Safinah, diantaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang dinanti-nantikan, Imam Mahdi as. Rasulullah SAWW bersabda, “Kiamat tidak akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan.” Hadits-hadits Rasulullah SAWW tentang Imam Mahdi sangat banyak jumlahnya. Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, dan siapakan Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman ?. Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka, sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71). Pertanyaan saya, siapa Imam anda ? Inilah sedikit jawaban kami mengapa membela keyakinan Syiah, membela pengikut dan pecinta Ahlul Bait Nabi SAWW. Yang memahami Al-Qur’an sebagaimana yang dipahami orang-orang terpilih dari kalangan Ahlul Bait Nabi. Imam Syafi’I ra berkata dalam salah satu syairnya : “Jika mencintai keluarga Muhammad dituduh sebagai Syiah, maka saksikanlah jin dan manusia, bahwa aku ini Syiah.” Sebab sebuah pertanyaan maha penting yang harus dijawab oleh orang-orang yang mengaku muslim. Apakah ajaran Islam sepeninggal nabi masih ada ? kalau masih ada, apakah ia utuh sebagaimana yang dipahami dan diajarkan nabi ? kalau masih utuh siapa yang mengajarkannya dan apa jaminannya ? kalau tidak utuh lagi sebagaimana persis yang dipahami dan diajarkan nabi apakah seorang muslim masih layak mendakwahkan bahwa dia berada pada jalan yang lurus dan termasuk golongan yang selamat ?. Bagi kami, orang-orang yang memahami Islam persis sebagaimana yang dipahami nabi adalah orang-orang terpilih dari Ahlul Baitnya. “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sungguh, Allah Maha Lembut, Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Ahzab : 34). Dan inilah yang menjadi keyakinan kami. Islam yang kami yakini ini punya hak untuk tumbuh dan tetap hidup. Sebagaimana sebagian kaum muslimin menyandarkan pemahamannya mengenai Al-Qur’an sebagaimana yang dipahami Salafush Shalih yang dibatasi pada tiga generasi; sahabat, tabi’in dan tabi tabi’in ataupun yang memilih bertaqlid pada salah satu diantara empat mazhab. Menurut keyakinan kami, jika mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) itu selamat dan layak untuk tetap bertumbuh maka mazhab Ahlul Baitpun lebih selamat. Sebab tidak ada satupun dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengarahkan kaum muslimin untuk mengikuti mazhab yang empat. Mengapa mereka dianggap sah untuk diikuti padahal meskipun hadits da’if bahkan palsu sekalipun tidak ada yang membenarkan kaum muslimin terpecah menjadi bermazhab-mazhab dan bergolong-golongan ?. Lalu mengapa Syiah yang mengaku sebagai pengikut Ahlul Bait harus dimusuhi, disisihkan dari golongan kaum muslimin bahkan dikafirkan ? Dan sesungguhnya, mazhab, agama atau apapun yang menjadi pilihan untuk kita yakini kelak akan dimintai pertanggungjawaban. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. (Qs. Al-Isra’ : 36). Apakah saudara-saudara saya yang memilih salah satu mazhab dari empat mazhab yang diakui dalam Islam telah mempelajari dan membandingkan keempat mazhab seluruhnya, sehingga menjatuhkan pilihan pada mazhab Syafi’i misalnya ?. Pada akhirnya, saya harus mengutip perkataan Syahid Murthada Muthahari, “Kami, kaum Syiah, bangga mengikuti orang-orang terpilih keturunan Nabi SAWW. Kami menganggap tidak dapat dikompromikan setiap sesuatu yang dianjurkan atau dilarang oleh para Imam. Dalam hal ini kami tidak mau memenuhi harapan siapapun, kami juga tak mengharapkan orang lain meninggalkan prinsipnya atas nama kebijaksanaan atau demi persatuan Muslim. Yang kami harapkan dan inginkan adalah terciptanya atmosfer kemauan baik, sehingga kami, yang memiliki fiqh, hadits, tradisi, teologi, filsafat dan literatur sendiri, dapat menawarkan barang-barang kami sebagai barang-barang terbaik, sehingga kaum Syiah tak lagi diisolasikan, sehingga pasa-pasar penting dunia muslim tidak tertutup bagi informasi penting pengetahuan Islam syiah.” Qom, 7 April 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

"Mengapa kami membela Syi'ah?", Jawabnya karena Iblis dan Balatentaranya telah menjerumuskan hamba Allah ke jurang-jurang Neraka, Hati telah dibuat penuh dengan jelaga sehingga tidak lagi tampak cahaya iman yang Allah tetapkan di hati muslim sejati. Iblis telah memenangkan pertarungan antara hawa nafsu dan Kebeningan Manhaj, yang pada akhirnya mereka berhasil memalingkan Hamba Allah yang dulunya adalah Pengikut Sunnah berbalik menjadi pengikut kesesatan yang mengatasnamakan Kebenaran dan Perjuangan.

Semoga Allah membalikkan hatimu wahai Adikku ke jalan Hidayah

http://andisra.wordpress.com/