01 Agustus, 2008

Vegetarian, Sebuah Pilihan

Dari dulu saya paling tidak tahan melihat truk yang mengangkut hewan, entah itu sapi, kambing atau ayam. Semua juga tahu ujung dari perjalanan mereka. Hewan-hewan itu dibunuhi secara massal untuk memenuhi kebutuhan industri makanan manusia. Meskipun saya tidak tahan untuk berlama-lama menatap wajah memelas mereka, namun tidak seberapa dengan kekontrakdisian yang saya lakukan. Saya iba, namun sama dengan kelompok manusia lainnya, saya termasuk pembunuh mereka dan bahkan termasuk pemakan paling lahap. Saya dengan lahap menghabiskan mereka di meja makan yang telah diramu menjadi coto, konro, gulai kambing, bakso, ayam bakar dan telur mata sapi, seolah saya tidak pernah iba sebelumnya. Namun dari sini kita layak melontarkan pertanyaan. Apakah manusia tidak bisa hidup layak tanpa membunuhi mereka ? apakah memakan daging mereka adalah kebutuhan atau justru kepentingan untuk sekedar memenuhi selera makan ? apakah tidak ada cara lain untuk bergizi selain membunuhi hewan secara massal ? intinya, makan daging itu apakah untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau untuk memenuhi nafsu kita ?. Tentu saja memakan daging adalah pilihan, sebagaimana memilih untuk tidak mengkonsumsinya. Dalam satuan hari, kita selalu diperhadapkan dengan berbagai pilihan yang beraneka ragam. Saya terkadang merenungi ini, ketika kita memilih membeli baju misalnya apakah saat membelinya karena butuh atau bermaksud mengoleksi. Disini, ada batas tegas antara butuh dan koleksi. Ketika pilihan dari yang kita lakukan telah melampaui batas kebutuhan maka saat itulah pilihan kita merambah area koleksi, yang tentu saja tidak akan pernah bisa terpuaskan. Logika koleksi sederhana, jumlahnya harus banyak, tak terhitung dan bermacam-macam. Kita lihat para kolektor, apapun yang mereka koleksi maka angka berapapun tidak akan cukup. Tiga ratus potong baju, lima ratus pasang baju, sepuluh buah mobil kesemuanya masihlah sedikit dan perlu ditambah. Sama halnya ketika kita memilih apa yang harus dimakan. Jika aktivitas makan bukan lagi sarana untuk keberlangsungan hidup tapi untuk ajang koleksi kenikmatan indrawi maka hewan di seluruh bumipun tidak akan pernah cukup. Bisa saja kita membantah, “Apa salahnya ? kalau ada uang kenapa tidak ?”. Namun disini izinkan saya memberikan bahan refleksi bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis di muka bumi ini karena aktivitas kita makan daging. Woww, apa hubungannya ?. Sekarang coba kita bayangkan, berapa banyak manusia yang lebih memilih menggemukkan binatang ternaknya dan lupa banyak manusia lain yang kelaparan. Tahukah kita, untuk mendapatkan satu kilo daging, hewan butuh mengkonsumsi sepuluh kilo tumbuhan bergizi ?. Ekstrim saya katakan, industri ternak tumbuh dan berkembang bukan karena butuh tapi nurani kita telah lumpuh. Untuk sekedar makan lidah sapi kita menjadikan perut kita sebagai kuburan bagi ratusan hewan dan juga menjadi kuburan bagi saudara-saudara kita. Lebih lanjutnya, baca paparan data yang saya ambil dari potongan-potongan artikel Chindi Than, seseorang yang telah memutuskan untuk menjadi vegetarian.
Vegetarian = Penyelamatan Bumi
Fakta berbicara, seperti laporan yang dirilis Badan Pangan Dunia – FAO (2006) dalam Livestock’s Long Shadow – Environmental Issues and Options, daging merupakan komoditas penghasil emisi karbon paling intensif (18%), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta api, helikopter) di dunia (13,5%). Peternakan juga adalah penggerak utama dari penebangan hutan. Diperkirakan 70% persen bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Setiap tahunnya, penebangan hutan untuk pembukaan lahan peternakan berkontribusi emisi 2,4 miliar ton CO2. Memelihara ternak membutuhkan energi listrik untuk lampu-lampu dan peralatan pendukung peternakan, mulai dari penghangat ruangan, mesin pemotong, mesin pendingin untuk penyimpanan daging. Mesin pendingin (kulkas) merupakan mata rantai paling tidak efisien energi listrik. Hitung saja mesin pendingin mulai dari rumah jagal, distributor, pengecer, rumah makan, pasar hingga sampai pada konsumen. Mata rantai inefisiensi berikutnya adalah alat transportasi untuk mengangkut ternak, makanan ternak, sampai dengan elemen pendukung lain dalam peternakan intensif seperti obat-obatan, hormon dan vitamin. Masalah lainnya yakni, inefisiensi air. Sekian triliun galon air diperuntukkan untuk irigasinya saja. Sebagai gambaran sederhana, untuk mendapatkan satu kilogram daging sapi mulai dari pemeliharaan, pemberian pakan ternak, hingga penyembelihan seekor sapi membutuhkan satu juta liter air! Data yang dihimpun Lester R. Brown, Presiden Earth Policy Institute dan Worldwatch Institute, memaparkan dalam bukunya ”Plan B 3.0 Mobilizing to Save Civilization” (2008) bahwa karena untuk memproduksi satu ton biji-bijian membutuhkan seribu ton air, tidak heran bila 70% persediaan air di dunia digunakan untuk irigasi. Sedangkan untuk konversi energi, Dr Rajendra memberi ilustrasi konversi energi untuk memelihara sampai menghasilkan sepotong daging sapi, domba atau babi sama besar dengan energi yang dibutuhkan untuk menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang 36,4 kg CO2, tidak heran bila data dari film dokumenter ”Meat The Truth” menyebutkan emisi CO2 seekor sapi selama setahun sama dengan mengendarai kendaraan sejauh 70.000 km. Penelitian di Belanda (www.partijvourdedie.en.el) mengungkapkan, seminggu sekali saja membebaskan piring makan dari daging masih 7,6 kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga dalam setahun. Mata rantai lain yang sangat tidak efisien tapi telah berlaku demikian kronis adalah pemanfaatan hasil pertanian untuk peternakan. Dua pertiga lahan pertanian di muka Bumi ini digunakan untuk peternakan. Sebagai contoh, Eropa mengimpor 70% protein (kedelai, jagung dan gandum) dari pertanian untuk peternakan. Indonesia sendiri pada tahun 2006 mengimpor jagung untuk pakan ternak 1,77 juta ton. Padahal, asal tahu saja, pakan yang selama ini diberikan kepada ternak dapat memenuhi kebutuhan kalori 8,7 miliar orang! Berarti masih ada kelebihan kalori untuk 2,1 miliar orang. Sementara kenyataan yang terjadi 40.000 manusia mati setiap hari karena kelaparan. Pada saat yang sama, hasil pertanian yang digunakan untuk pakan ternak di negara Amerika saja bisa memberi makan 1,3 miliar manusia.
Rekomendasi
Di dunia saat ini jumlah seluruh hewan ternak berkaki empat mencapai angka enam miliar. Enam miliar ternak itu tidak dicapai semata-mata oleh alam, manusialah yang secara sengaja mewujudkannya atas nama pemenuhan kebutuhan hidup. Sesama hewan tidak memakan spesiesnya, tapi manusia sibuk memberi makan hewan sampai lupa memberi makan spesiesnya sendiri. Di atas puncak piramida makanan, tak ada lagi predator yang menghabisi kita. Hanya kitalah yang bisa membunuh saudara-saudara kita sendiri. Jangan bayangkan, membunuh saudara kita melulu melalui peluru atau belati, apa bukan termasuk membunuh, bila kita sibuk memberi makan hewan ternak dan membiarkan perut saudara kita keroncongan ?. Contoh sederhananya, untuk memproduksi satu kilo daging sapi dibutuhkan enam belas kilo tanaman biji-bijian yang merupakan makanan pokok manusia. Jadi, bisa dibilang, saat kita mengonsumsi satu kilo daging, kita telah mengambil jatah enam belas porsi makan manusia. Bisa jadi ada yang mendebat, ”Bukankah daging tetap dibutuhkan tubuh untuk kesehatan? bukankah daging sebagai sumber protein kelas satu, sumber kalsium, sumber lemak, sumber vitamin B12 dan sumber zat besi sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia ?”. Saya tidak perlu mengajukan data lagi, cukup adakanlah survei kecil. Berapa banyak pasien penderita stroke, serangan jantung, hipertensi, diabetes dan kanker dan yakinlah, sepuluh dari sepuluh penderita tersebut dianjurkan oleh dokter untuk mengurangi atau berpantang daging. Begitu sederhana pesan yang bisa diamati dari sekeliling kita tanpa perlu studi atau riset untuk sampai pada pemahaman bahwa: konsumsi daging berlebih telah menimbulkan deretan penyakit tersebut pada tubuh manusia. Saya bukan siapa-siapa yang layak mengajukan rekomendasi. Karenanya saya menyebutkan memutuskan untuk mengurangi konsumsi daging atau sama sekali menjadi vegetarian adalah pilihan. Menjatuhkan pilihan terhadap apa yang makan sepenuhnya bergantung pada mindset pikiran tiap kita. Sejenak, berpikirlah – sebab makan juga butuh aktivitas pikir- dan resapi pesan Imam Ali as, “Jangan jadikan perut kalian sebagai kuburan binatang.” Atau ingat pesan Mahatma Gandi, “Saya makan untuk melayani, bukan menyenangkan diri.” Percayalah, dengan makan nasi pecel kita telah memberi kontribusi besar atas penyelamatan bumi. Kalaupun tidak bisa diselamatkan lagi, setidaknya kita tidak berkontribusi merusaknya. Abstrak? Ribet? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti kalau tanggapan seperti itu muncul. Dengan memilih dan bertanggungjawab terhadap apa yang kita makan, dari sinilah kita bisa mengetahui seninya menjadi manusia.
Sayang, kalau datangma, jangan maki lagi ke warung coto na’. Kita pernah tidak makan daging 20 hari, lanjut lagi yuk…. Percayalah kau akan semakin cantik….

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sebelum Anda menulis ini, pasti Anda sudah tahu bahwa Tumbuhan itu adalah salah satu penghasil Oksigen yang terbesar di planet kita.

Being vegetarian = stop eating meat = eating MORE vegetables.

berarti dengan demikian kita harus menghabisi umur sayuran (tumbuhan) untuk konsumsi. Berarti juga kita menghabisi umur salah satu penghasil oksigen.

Dan tahukan Anda bahwa CO2 yg berlimpah itu adalah salah satu penyebab pemanasan global?
Dan salah satu penghasilnya adalah manusia dan hewan-hewan (termasuk sapi-sapi-an itu).

Mungkin saya berfikir sederhana. Saya memang bukan pemikir ulung. :)) bukankah dengan memakan (baca:membunuhi) hewan-hewan itu, kita berarti mengurangi penghasil CO2 itu. :))
---

Maaf, saya berfikir terlalu sederhana. Saya memang bukan pemikir ulung. ^^

Salam kenal.

Mus_