08 September, 2008

Indonesia (juga) Melawan Amerika

Apa yang saya tulis ini sekedar perjuangan melawan lupa, bahwa bangsa kita juga pernah dengan berani dan tegas menentukan sikap sendiri, tidak terima untuk diatur-atur negara lain termasuk negara adikuasa Amerika Serikat. Bahasa ekstrimnya sebagaimana judul yang saya pilih, Indonesia juga pernah melawan Amerika. Penggunaan kata juga, karena belakangan ini Iran tampil sebagai sebuah negara yang merepotkan Amerika. CNN menjuluki Iran sebagai bangsa yang keras kepala. Semakin diserang propaganda dari luar, justru semakin mampu membuktikan bahwa mereka tidak terima diatur-atur. Kekeraskepalaan bangsa Iran terlihat dalam masalah nuklir. Amerika dan Eropa bersikeras melarang Iran melakukan proses pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Alasannya: khawatir justru Iran memproduksi senjata nuklir. Keluarlah resolusi untuk Iran. Dewan Keamanan PBB No. 1747 mengeluarkan resolusi melarang Iran melanjutkan proses pembuatan bahan bakar nuklir dan mengharuskannya membeli bahan bakar nuklir dari Eropa. Negara-negara Gerakan Non Blok yang sebelumnya mendukung Iran –termasuk Indonesia-, pada akhirnya harus tunduk pada tekanan Barat dan memberi suara abstain ataupun mendukung resolusi ini.Sebagai Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad telah menjadi newsmaker, sorotan utama, si pembuat berita. Ahmadi Nejad tidak bisa dilepaskan dari isu program nuklir Iran dan pernyataan-pernyataannya yang keras terhadap Barat. Ketokohannya di panggung dunia tercipta melalui ketegasan sikapnya membela program nuklir Iran dari tudingan Amerika Serikat. Ahmadinejad dipandang sebagai ikon anti-imperialisme Barat bahkan dijuluki sebagai David di tengah angkara Goliath dunia. Ahmadinejad sebagaimana orang Iran –pasca revolusi Islam Iran- pada umumnya, tumbuh besar di dalam naungan pemikiran Imam Khomeini yang pernah berkata, ''Jika Amerika senang kepadamu, maka ada yang patut dipertanyakan dengan akidahmu.'' Rakyat Boliviapun patut bersyukur, jika rakyat Iran berbangga dengan Ahmadi Nejad, maka mereka punya Eva Morales. Presiden Bolivia tersebut dengan berani mengusir pemodal-pemodal asing yang mengelola industri-industri strategis negara tersebut. Kebijakan Nasionalisasi Morales tersebut adalah implementasi dari janji-janjinya selama masa kampanye. Sikap penolakan terhadap intervensi asing juga ditunjukan oleh Presiden Venezuela Hugo Chavez. Venezuela adalah negeri penghasil minyak terbesar di kawasan Amerika latin. Kita juga mengenal Fidel Castro meskipun diusianya yang tua dan mulai sakit-sakitan ia tetap lantang menolak intervensi Amerika. Castro tetap konsisten mengusung semangat perlawanannya terhadap kemapanan yang coba di tawarkan negara-negara kapitalis.
Di Bawah Bayang-bayang Soekarno
Tidak bisa dipungkiri, kita kagum dengan kepiawaian Ahmadi Nejad, keberanian Eva Morales, Kebersahajaan Hugo Chaves dan ketangguhan Fidel Castro dalam melakukan diplomasi politik yang cantik dan elegan di panggung internasional dalam memperjuangkan hak legal mereka. Namun, sayangnya pada saat yang sama, bangsa kita justru diperhadapkan dengan kenyataan yang berbeda. Kita harus menerima kenyataan bahwa diplomasi Indonesia ‘minta belas kasihan’ dari negara-negara pemberi hutang di Paris Club gagal total, bahwa harga BBM harus naik demi memenuhi tuntutan para investor asing, bahwa pemerintah pasrah saja di obok-obok oleh IMF, bahkan ketika berkonflik dengan Malaysia kita harus kelabakan saat Amerika memberi ancaman embargo senjata untuk Indonesia. Dan yang paling ‘gress’, 40 anggota Kongres AS melayangkan surat meminta pembebasan ''segera dan tanpa syarat'' dua anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage. Keduanya mengibarkan bendera bintang kejora di Abepura, 1 Desember 2004. Pada Mei 2005, pengadilan menjatuhkan hukuman penjara 14 tahun kepada keduanya. Apapun alasannya, munculnya surat itu, memperlihatkan lemahnya diplomasi Indonesia di Kongres AS. Saya tiba-tiba terpancing untuk membayangkan seandainya saat ini Indonesia dipimpin Soekarno, maka ia tidak perlu waktu untuk berpikir dan menyatakan ketegasan menolak permintaan kongres AS itu. Bisa jadi kita akan kembali mendengar pidato Soekarno yang membahana, “Go to hell with your aid, Inggris kita linggis, Amerika kita setrika.” Para pengamat politik terkesima tak bersuara, rakyat bergemuruh bertepuk tangan menyambut seruan itu. Rakyat kecil bisa jadi tidak paham dengan bahasa politik tingkat tinggi, yang mereka tahu, mereka punya presiden yang membela mereka.
Indonesia yang Mandiri
Sebagaimana Iran dan beberapa negara Amerika Latin, Indonesia juga pernah melawan Amerika di bawah pimpinan Soekarno. Dinamika perpolitikan Indonesia di era perang dingin kurun waktu 1953-1963 ditandai dengan aroma diplomasi yang cemerlang, disertai dengan kebijakan para pemimpin yang tidak mau didikte dan tunduk pada Amerika. Meski saat itu negeri Indonesia baru merdeka dalam hitungan belasan tahun, semangat nasionalisme dan kecerdikan para pemimpinnya menjadikan negara Indonesia disegani oleh Amerika, Uni Soviet dan negara-negara Sekutu. Bagi Bung Karno, tidak ada kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Menurutnya segala bantuan dan manajemen pembangunan yang ditawarkan barat hanyalah alat pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang. Meskipun belum berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Bung Karno memberi ajaran untuk mampu berdiri di atas kaki sendiri, daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan.Bersama pemerintahan Soekarno, kebijakan luar negeri Indonesia sangat disegani asing. Pada tahun 1948 ditandai dengan deklarasi politik bebas aktif, membentuk Gerakan Non Blok dengan menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 dan tahun 1963 mendeklarasikan Indonesia keluar dari PBB untuk membuktikan Indonesia sebagai bangsa besar yang tidak mau diintervensi negara manapun.Pada 17 Mei 1956, Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme. Sebagaimana Ahmadi Nejad yang memberi respon atas kasus Palestina, “Israel harus dihapuskan dari peta dunia” (2005), Bung Karno pun memberikan pembelaan terhadap Palestina yang tertindas. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Ketika itu, media massa Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim ini. Tidak hanya dalam dunia perpolitikan, namun juga dalam ajang pertandingan olahraga Indonesia sangat disegani. Tahun 1962, Indonesia telah menunjukkan kegemilangannya dengan menjadi tuan rumah Asian Games IV. Dengan 9 medali emas, 12 perak, dan 29 perunggu yang dapat diraih, Indonesia berada di urutan ketiga setelah Jepang dan India. Kenyataan-kenyataan di atas berbeda 180 derajat dengan keadaan yang kita hadapi sekarang. Di usia yang ke 63 tahun bangsa ini, kita patut bertanya dan bercermin diri. Ada apa dengan bangsa ini ? Kemerdekaan kita seperti tingkap kaca, seolah-olah tidak ada batasnya, namun ketika ingin berdiri, kepala kita terantuk juga. Kita bertanya, SBY yang mantan jenderal militer, mengapa sulit untuk menjauhkan negeri ini dari negara-negara kapitalis ? Bagi saya kemandirian lebih mudah dibangun dibanding merebut kemerdekaan, tapi mengapa kita belum bisa juga, padahal kemerdekaan telah kita raih 63 tahun lalu ?.
Kita bertanya, kita menjawab.
Ismail Amin
Pelajar Hauzah Ilmiyah QOM

Tidak ada komentar: