17 Oktober, 2009

Visualisasi Wajah Nabi, Salahkah?

Terpampang dalam kanvas sejarah secara telanjang, betapa Rasulullah saww dicintai oleh sahabat-sahabatnya. Ada seorang sahabat, yang setelah Rasulullah meninggal dunia, membanggakan mulutnya yang tidak lagi memiliki gigi. Pada saat perang Uhud, Rasulullah cedera karena rantai pelindung kepalanya menusuk pipinya. Lalu seorang sahabat menarik rantai itu dengan giginya, tapi sebelum rantai itu keluar, seluruh giginya rontok. Dia bangga bahwa giginya itu berjatuhan karena membela Rasulullah yang dicintainya. Ada seorang pedagang minyak wangi, di Madinah. Setiap kali pergi ke pasar, dia selalu sengaja singgah di depan rumah Rasulullah untuk sekedar mengucapkan salam dan melihat wajah Rasulullah saww. Suatu hari ia merasa tidak cukup hanya sekali melihat Rasulullah saww, iapun lebih cepat kembali dari pasar dan kembali menemui Rasulullah saww, “Saya ingin melihat engkau ya Rasulullah, karena saya takut tidak bisa melihat engkau setelah ini.” Berhari-hari kemudian, Rasulullah saww tidak lagi melihat pedagang tersebut. Ia meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk mencarinya. Ternyata, pedagang tersebut sudah meninggal dunia, tidak lama setelah melihat wajah Rasulullah saww yang terakhir kalinya. Lalu Rasulullah saww bersabda, “Kecintaannya kepadaku akan menyelamatkan dia di akhirat nanti.”

Sulit memahami ekspresi kecintaan sahabat-sahabat kepada Nabi, ini persoalan cinta, dan memang cinta cenderung diekspresikan tidak wajar. Sebagaimana perkataan Urwah Al-Tsafaqi kepada kaumnya, kaum kafir Qurays,“Orang Islam itu luar biasa! Demi Allah, aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah berkunjung kepada Kaisar, Kisra dan Najasyi. Demi Allah belum pernah aku melihat sahabat-sahabat mengangungkan rajanya, seperti sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad. Demi Allah, jika ia meludah, ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang diantara mereka. Ia usapkan ludah itu kewajahnya dan kulitnya. Bila ia memerintah, mereka berlomba melaksanakannya; bila ia hendak berwudhu, mereka hampir berkelahi memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara, mereka merendahkan suara dihadapannya. Mereka menundukkan pandangan dihadapannya karena memuliakannya.” (Shahih Bukhari 3 :255). Karenanya, adakah yang bisa memahami ketika muslim India bergejolak dan marah besar ketika suatu hari kehilangan sehelai rambut Rasulullah saww yang disimpan di salah satu mesjid di India, sehingga membuat pemerintah India yang sekuler kewalahan dan mengerahkan seluruh usahanya untuk menemukan kembali rambut tersebut?.

Karenanya meskipun pemerintah dan ulama-ulama Iran menghimbau peredaran dan dicetaknya kembali gambar yang diklaim wajah Nabi saww kala mudanya dihentikan tetap saja masyarakat Iran menunjukkan rasa suka terhadap gambar itu. Meskipun pada dasarnya masyarakat Iran sendiri sudah kehilangan sejarah mengenai asal-usul gambar tersebut, tetap saja diantara mereka ada yang mengklaim bahwa wajah tersebut benar-benar sketsa wajah Nabi, sebagian menyebutkan bahwa gambar tersebut dilukis oleh pendeta Buhaira yang sempat mengiringi pemuda Muhammad bersama pamannya ke Syam. Sekali lagi ini masalah cinta, dan cinta cenderung mengherankan dan sulit dimengerti.

Ekspresi Kecintaan

Pin yang bergambar seorang pemuda tampan dengan gigi rata, hidung mancung, bibir sempurna dengan latar warna hijau yang karena diklaim sebagai gambar wajah nabi kemudian memunculkan polemik dikalangan umat Islam di Indonesia. Pertama kali gambar ini dikenal secara meluas, ketika diterbitkan di majalah National Geographic pada bulan Januari tahun 1914 dalam sebuah artikel berbahasa Persia dengan judul “Inja va Anja Dar Shumal Afriqa” (Di sana dan di sini di Utara Afrika), di bawahnya tertulis “Arabi ba Yek Gol” (Seorang Arab dengan sebuah bunga). Pada dekade dua puluhan, gambar ini menjadi sampul kartu seri Tunisia L & L dan sangat disukai oleh tentara Prancis di Utara Afrika. Di awal tahun 90-an, gambar ini menjadi poster paling laris di Iran. Masyarakat Iran memang punya pengalaman yang cukup panjang dalam melukis keluarga Nabi Muhammad saww dan Nabi sendiri. Argumentasi logis yang mereka bangun, kalau ada upaya mensketsa wajah nabi berdasarkan deskripsi dari riwayat-riwayat yang ada dan itu tidak bisa dibenarkan. Maka sama halnya tidak bisa dibenarkan upaya penulisan sejarah nabi mulai dari lahirnya sampai wafatnya. Adakah yang bisa menjamin sejarah nabi yang ditulis sama persis dengan kejadian sesungguhnya?. Bukankah itu juga bentuk pelecehan jika ternyata tidak sesuai dengan sejarah nabi yang sebenarnya?. Kalau penulisan sejarah dibenarkan, mengapa menggambarnya disalahkan, sementara hakekatnya sama. Gambar dan tulisan adalah goresan-goresan tinta di atas kanvas. Ketika sahabat meriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad saww memiliki bibir yang sempurna, tidak tebal dan tidak tipis itu adalah penilaian salah seorang sahabat, yang bisa jadi berbeda dengan sahabat yang lain. Begitupun jika digambar berdasarkan deskripsi itu. Menolak visualisasi wajah Nabi, sama halnya kita menolak riwayat-riwayat yang mendeskripsikan keindahan wajah Nabi lewat kata-kata. Apa bedanya hidung mancung dengan kata-kata, dengan hidung mancung dalam bentuk gambar? Bukankah itu sama-sama upaya pendekatan agar sebuah wajah bisa sedikit dibayangkan?.

Diantara yang dilihat mendapat pahala adalah wajah ulama, apalagi wajah nabi. Apakah hanya karena alasan tidak pernah melihatnya, kita tidak bisa mereka-reka wajah Nabi?. Apalagi rekaan itu bukan khayalan kosong sebab ada deskripsi yang disampaikan sahabat-sahabat dan istri nabi dari riwayat yang ada. Mengapa sampai ada yang berani mensketsa surga dan neraka dalam komik-komik agama? Sementara Nabi saww bersabda, surga adalah keindahan yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam pikiran manusia. Mengapa menggambarkan surga dalam bentuk visual tidak dipersoalkan sementara menggambar wajah nabi digugat dan dianggap pelecehan agama?. Bukankah sangat sulit menggambar surga yang tidak pernah terlintas di dalam pikiran manusia?

Kekhawatiran bahwa akan ada yang terjebak dalam praktik kesyirikan jika menggambar wajah nabi diperbolehkan adalah kekhawatiran yang tidak beralasan. Telah puluhan tahun gambar itu ada, namun adakah diantara kaum muslimin yang menyembah nabi Muhammad karena gambar tersebut?. Karenanya, pemerintah dan Ulama Iran hanya sekedar menghimbau untuk tidak meyakini secara mutlak bahwa itu benar gambar wajah Rasulullah saww, tidak ada larangan apalagi ancaman hukuman bagi yang menyimpan dan memilikinya. Sebab pemerintah dan ulama Iran sendiri tidak bisa mengajukan bukti bahwa gambar tersebut adalah kedustaan dan pemanipulasian. Kesulitan mengklarifikasi kebenaran sesuatu bukanlah bukti bahwa sesuatu itu salah dan tidak benar. Berbeda dengan di Indonesia, atas nama kecintaan kepada Nabi sebagian dari ulama dan pemerintahnya serentak berpendapat itu kedustaan, penghinaan dan mengancam hukuman penjara, sementara mereka sendiri tidak mengetahui bagaimana wajah nabi yang sesungguhnya. Cinta memang aneh dan terkadang menggelikan.

Wallahu ‘alam bishshawwab

Qom, 16 Oktober 2009

Tidak ada komentar: