15 Desember, 2009

Pluralisme, Ancaman Laten Agama-agama

-Sebuah Tanggapan- Dalam sejarah kelahiran, pertumbuhan dan perkembangannya, agama-agama seringkali mengalami proses yang disebut oleh Luthfi Assyaukanie sebagai ”proses heretisasi”, yakni upaya menjauh dari pemahaman ortodoks. Jika proses heretisasi berlangsung mulus, sebuah agama baru bakal muncul; jika tidak, konflik dan ketegangan akan terus terjadi. Proses heretisasi terjadi sepanjang sejarah. Jika kaum Yahudi menganggap Kristiani sebagai agama sempalan Yahudi, Kristen justru memandang Islam sebagai sekte sesat. Begitupun sebaliknya agama-agama yang datang belakangan memandang agama sebelumnya sebagai agama sesat jika tidak mengakui ajaran-ajaran baru yang mereka bawa. Munculnya keragaman pemahaman dan keyakinan adalah realitas yang sulit untuk dipungkiri. Perbedaanpun tidak hanya berkisar dalam tataran fikih (fhuru') bahkan merembes pada persoalan ushul (asas) pada ajaran agama. Setiap agama, baik yang telah punah ataupun masih tumbuh, yang kuno maupun modern, yang teistik maupun non-teistik, lahir dan hadir lengkap dengan klaim kebenaran. Terlepas apakah klaim tersebut valid atau tidak, rasional atau irrasional. Doktrin kebenaran yang dijunjung tinggi masing-masing agama, selama ini dianggap sebagai pemantik dan pemicu terjadinya kekerasan atas nama agama. Sejarah agama-agama selalui disertai dengan tragedi fanatisme yang berdarah-darah. Mulai dari ‘penyaliban’ Isa al Masih, sampai dengan aksi terorisme abad 21 yang menyisakan kisah pilu yang tak berkesudahan. Hal ini menggugah tokoh pemikir dan kaum cendekiawan untuk berkompetisi mengusulkan solusi-solusi yang tidak hanya teoritis namun juga praktis. Mulai dari liberalisme agama abad ke-15, Protestanisme liberal abad ke-19, hingga pluralisme agama abad ke-21. John Hick, yang dianggap sebagai konseptor isme terakhir ini, berupaya mengikis religious zeal (kecemburuan agama) dengan mengeluarkan konsep, “Semua agama adalah respon terhadap keberadaan tertinggi yg bersifat transenden (Allah-yang disebutnya The Real).” Karenanya bagi John Hick, semua agama sama saja, intinya adalah mengajarkan pada kebaikan. Sebagai tawaran solusi, pluralisme agama memang tampil simpatik, cerdas dan humanis, karena ingin membangun teologi yang toleran, inklusif dan berupaya menempatkan masing-masing penganut agama sejajar satu sama lain. Dalam pandangan pluralisme agama, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh ada satupun pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Meskipun terkesan luhur, teologi pluralisme agama ini tidak luput dari beberapa kritikan terutama mengenai ancamannya yang serius terhadap pertumbuhan dan perkembangan agama-agama. Bahaya Pluralisme Pada dasarnya, paham pluralisme agama menyangkali iman sejati agama-agama. Yudaisme mempunyai doktrin the chosen people (masyarakat terpilih). Kebenaran dan keselamatan hanya berdasar atas etnisitas yang sempit, yaitu bangsa Yahudi. Katolik punya doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan), Protestan dengan doktrin outside Christianity, no salvation (di luar Kristen tidak ada keselamatan). Dan Islam memiliki doktrin, “Tidak ada agama yang diridhai kecuali Islam”. Karena dapat mereduksi keunikan pandangan masing-masing agama, paham pluralisme agamapun mendapat perlawanan sengit dari tokoh agama dan lembaga keagamaan. Tahun 2000, Vatikan telah menolak paham pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus. Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham pluralisme agama berjudul 'Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini'. Tahun 2006, Media Hindu menerbitkan satu buku berjudul 'Semua Agama Tidak Sama' dan tidak ketinggalan MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham pluralisme agama (Adian Husaini, 2006). Kritikan lainnya, tokoh-tokoh pluralis dalam menganut paham pluralisme agamanya cenderung in-konsisten. Jika mereka menyebut salah orang-orang yang menganggap pemahaman dan keyakinan sendirilah yang paling benar, maka mereka melakukan kesalahan yang serupa jika menyakini paham pluralisme agamalah yang paling benar dan mampu memberi keselamatan bagi umat manusia. Jika seorang pluralis anti terhadap kaum eksklusivis yang meyakini hanya agamanya saja yang benar, maka ia bukanlah pluralis yang konsisten. Pluralis sejati adalah yang memberi ruang kebebasan berkeyakinan hatta terhadap kaum eksklusivis sekalipun tanpa perlu repot-repot menggugat keyakinan mereka. Dalam tataran praktis, kaum pluralis justru ingin mengungguli klaim kebenaran masing-masing agama dengan mengklaim diri, paham pluralisme agama sajalah yang mutlak benar. Toleransi yang dibangun atas dasar keyakinan bahwa semua agama benar adalah toleransi yang semu. Toleransi sejati justru muncul sebagaimana yang dikatakan Frans Magnis Suseno seorang cendekiawan Kristen, ”meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.” Karenanya, menurut saya, tidak ada yang salah dari keyakinan bahwa hanya agama dan keyakinan kita sendirilah yang benar. Siapapun berhak mengatakan dan meyakini itu. Umat Kristiani perlu berani mengakui perkataan Yesus "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Sikap demikian bukanlah fanatik tetapi konsisten. Fanatik adalah meyakini sesuatu tanpa sikap kritis dan studi mendalam. Seseorang yang belum pernah belajar semua agama tetapi tiba-tiba mengatakan semua agama samalah yang justru fanatik dan berbahaya. Yang salah dan tidak bisa dibenarkan menurut saya, adalah pemaksaan keyakinan. Menuntut orang lain memiliki keyakinan yang sama dengan apa yang kita yakini. Islam mengajarkan bukan semata-mata keyakinan orang lain yang harus dijadikan musuh, melainkan kedzaliman. Lakum dinikum waliyadin (untukmu agamamu dan untukku agamaku), adalah konsep yang paling jelas akan adanya ajaran toleran terhadap keyakinan lain dalam Islam. Karenanya, bukan ajaran yang menyatakan semua agama sama yang harus dikembangkan untuk mengajak pemeluk agama beragama secara dewasa. Sebab pandangan itu justru merusak dan meruntuhkan sendi-sendi dan syariat khusus masing-masing ajaran agama. Kebutuhan mendasar adalah memberikan dorongan teologis bahwa kendatipun setiap agama memiliki perbedaan norma dan doktrin, namun dalam tataran empirik mempunyai kesamaan realitas, yakni kesamaan kemanusiaan. Manusia yang keinginannya sederhana saja, ingin menjadi orang baik-baik, berbudi, bermoral, berguna di hadapan manusia lain dan mulia di hadapan Tuhannya. Kita tidak harus berpikir sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir, untuk perdamaian dan tatanan kehidupan yang lebih baik. Wallahu ‘alam bishshawwab Ismail Amin Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran

Tidak ada komentar: