29 Maret, 2010

Korelasi antara Ketakwaan dan Santapan Kita

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Qs. Ali-Imran: 102). Penggalan firman suci ini bukan sesuatu yang asing lagi kita dengar, hampir setiap da’i dan muballigh kita sebelum memulai nasehat-nasehat keagamaannya lebih lanjut sering mengawalinya dengan berpesan dan mengingatkan dalam hal ketakwaan. Bahkan dalam kehidupan seharian dengan mudah kita menemukan kata-kata takwa; dalam butir-butir Pancasila, dalam spanduk-spanduk pesan kemasyarakatan, dalam butiran misi lembaga-lembaga pendidikan dan dalam setiap pasal persyaratan untuk menjadi pemimpin atau menduduki jabatan dalam sebuah organisasi atau lembaga pemerintahan dan dalam butiran nasehat orang-orang tua kita. Namun dengan sedemikian akrabnya kita dengan idiom ‘takwa’ ini, apakah kita telah menemukan orang yang benar-benar bertakwa? Seberapa gigihkah kita untuk menjadi insan yang bertakwa? Atau kita perlu mengajukan pertanyaan, sedemikian pentingkah ketakwaan itu?. Takwa adalah kata serapan dari bahasa Arab yang secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata-kata ittaqa-yattaqiy, yang berarti menjaga dari segala yang membahayakan. Dalam istilah syar’i, kata takwa mengandung pengertian,“menjaga diri dari segala perbuatan dosa, kemaksiatan dan hal-hal yang dilarang Allah SWT dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya.” Al-Qur’an menyebut orang yang bertakwa dengan muttaqi, jamaknya muttaqin dan berulang sebanyak 50 kali, dan kata takwa secara keseluruhan dengan berbagai varian dan dalam konteks yang bermacam-macam berulang sebanyak 258 kali, hal ini menunjukkan sedemikian penting dan urgennya pembahasan mengenai ketakwaan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujurat: 13). Sebenarnya dengan menyimak satu ayat ini saja, telah cukup menunjukkan betapa pentingnya ketakwaan itu. Selain itu Al-Qur’an juga tidak luput untuk menyampaikan kepada kita janji-janji Allah SWT kepada orang-orang yang bertakwa, diantaranya, diberikan kemudahan atas segala urusannya (Qs. 65: 4), diberikan keberkahan dari langit dan bumi (Qs. 7: 96), mendapat kemenangan (Qs. 78: 31) dan mendapat perlindungan Allah (Qs. 45: 19). Dengan segala keistimewaan dan kemuliaannya, maka wajar jika ulama-ulama dan da’i kita tanpa lelah menggedor-gedor kesadaran kaum muslimin untuk bertakwa dan senantiasa meningkatkannya. Hanya saja ada hal penting yang terkadang lalai atau lupa untuk tersampaikan. Takwa tidak hanya berkaitan dengan ketaatan dalam melakukan hal-hal yang diperintahkan namun juga kerelaan untuk meninggalkan yang terlarang. Ketakwaan sangat berkaitan erat dengan menjaga perut dari makanan haram, sebab pantangan terbesar ahli takwa adalah memakan makanan haram. Allah SWT berfirman, “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (Qs. Al-Maaidah: 88). Dalam ayat ini, perintah untuk memakan makanan yang halal lagi baik (tayyiban) lebih didahulukan dari perintah untuk bertakwa, sebab seseorang tidak akan mencapai derajat ketakwaan jika tidak lebih dahulu mencegah masuknya makanan yang diharamkan ke dalam perutnya. Sebagaimana dalam hadits disebutkan, “Sesungguhnya syaitan itu dalam diri anak Adam layaknya darah yang mengalir.” (Safinat al-Bihar, juz I, hal. 698). Syaitan masuk kedalam diri manusia seringnya lewat makanan haram. Sebagaimana yang diketahui, makanan adalah penyuplai energi bagi tubuh, yang lewat energi itu manusia bergerak dan beraktivitas. Bila suplai energi bagi tubuh dari sesuatu yang haram, maka yang mendominasi motivasi seseorang beraktivitas adalah nafsu syaitani. Sebagaimana aliran darah, syaitan akan menguasai dan leluasa dalam tubuh manusia. Selama makanan haram masih tersisa dan mencemari dalam tubuh, maka selama itu pula syaitan akan tetap bersemayam dan mengambil alih kuasa atas pikiran dan tubuh. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa jika seseorang memakan makanan haram maka selama 40 hari shalatnya tidak diterima dan do’anya tidak di ijabah. Ini disebabkan karena dalam tubuh masih terdapat sisa makanan haram. Meskipun orang tersebut membaca Al-Qur’an, shalat, puasa dan berzikir pada hakikatnya yang melakukannya adalah jiwa syaitani. Hatta pada saat isti’adzah (memohon perlindungan Allah) sekalipun, sebab lisannya adalah lisan syaitani. Melalui perantara lisannya, syaitan melafadzkan kalimat, a’udzubiillahi minasysyaithanirrajim. Syahid Tsani dalam Asrar al-Shalatnya meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi saww, “Allah memandang hati kalian, bukan wajah kalian.” (Rasa’il asy-Syahid al-Tsani, hal. 110). Hadits ini mengingatkan sekaligus menegaskan bahwa yang terpenting dari sebuah amalan adalah ‘isi’nya bukan penampakan lahiriahnya. Yang diinginkan oleh Allah pada hakikatnya adalah yang bersifat hakiki yang secara lahiriah tidak nampak di mata manusia. Ungkapan lisan bisa saja menarik perhatian orang lain, namun bagi Allah SWT yang menarik bukanlah padanan dan manisnya tuturan kata-kata itu, melainkan apa yang terkandung di dalam hati yang berbicara. Hal ini sejalan dengan penjelasan al-Qur’an, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan darimulah yang dapat mencapainya.” (Qs. Al-Hajj: 37). Dalam hal ini kita harus senantiasa tetap dalam kehati-hatian dan kecurigaan jangan sampai syaitan telah mengambil alih kendali diri kita. Sekalipun kita berada dalam kondisi kebaikan, senantiasa terbiasa melakukan amalan ibadah ataupun selalu berniat mendekatkan diri kepada Allah, namun bisa saja itu adalah bisikan syaitan bukan hidayah Ilahi. Boleh jadi secara lahiriah, penampilan dan perilaku kita sangat mengagumkan dan menakjubkan, namun pada hakikatnya, hati kita telah membusuk dan merupakan musuh yang paling nyata disebabkan masuknya makanan haram di dalam tubuh. “Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (Qs. Al-Baqarah: 12). Karena itu, diantaranya –bahkan termasuk yang terpenting- yang mesti dilakukan untuk menjadi ahli takwa adalah menghindarkan meja kita dari sajian makanan yang didapat melalui cara-cara yang diharamkan. Ketakwaan tidaklah secara ekslusif hanya bisa diraih oleh kalangan tertentu, ulama, urafa, sufi atau hanya didominasi oleh wali-wali Allah yang mencapai maqam tertentu dan kedekatan dengan Allah lewat tarekat-tarekat dan suluk (perjalanan spiritual) yang sulit dan rumit. Insya Allah, kita bisa memulai untuk menjadi ahli takwa dengan menjaga perut dari makanan-makanan yang diharamkan ataupun yang bernilai syubhat, sehingga dengan hidayah-Nya kita bisa terhindar dari melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang lebih besar. Allah SWT berfirman, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. Al Baqarah: 168). Larangan Allah SWT untuk untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan hanya bisa dipatuhi dan dilaksanakan ketika terlebih dahulu memenuhi perintahnya, dengan memakan makanan yang halal lagi baik (thayyib). Menurut Al-Qur’an, adalah kesia-siaan belaka jika anjuran untuk bertakwa dalam pesan-pesan keagamaan di atas mimbar-mimbar mesjid kita, tidak disertai dengan ajakan untuk menjaga apa yang kita santap. Perlu ada seruan berulang-ulang, bahwa yang masuk ke dalam perut bukanlah makanan yang diperoleh dari korupsi, menipu dan merampas hak orang lain. Uang yang dipergunakan untuk membeli makanan bukan dari pekerjaan yang diperoleh dari sogokan, suap dan nepotisme. Dalam ayat terakhir yang saya sebutkan, dengan frase, “Hai sekalian manusia…” menunjukkan seruan Allah SWT ini tidak hanya dikhususkan kepada orang Islam dan yang beriman saja, setidaknya lewat ayat ini Allah SWT ingin menyampaikan pesan, “Kalaupun kau tidak mau beriman kepada Ku, setidaknya makanlah makanan yang kau peroleh secara halal dan baik-baik.” Wallahu ‘alam bishshawwab Qom, 9 Maret 2009

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamu ‘alaikum wr. wb,
Saya mencoba mengumpulkan hadits-hadits tentang takwa untuk lebih mengenal apa sih takwa? di link:
http://www.4shared.com/dir/36033670/73f01d03/sharing.html
mudah-mudahan bermanfaat