29 Maret, 2010

Korelasi antara Ketakwaan dan Santapan Kita

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Qs. Ali-Imran: 102). Penggalan firman suci ini bukan sesuatu yang asing lagi kita dengar, hampir setiap da’i dan muballigh kita sebelum memulai nasehat-nasehat keagamaannya lebih lanjut sering mengawalinya dengan berpesan dan mengingatkan dalam hal ketakwaan. Bahkan dalam kehidupan seharian dengan mudah kita menemukan kata-kata takwa; dalam butir-butir Pancasila, dalam spanduk-spanduk pesan kemasyarakatan, dalam butiran misi lembaga-lembaga pendidikan dan dalam setiap pasal persyaratan untuk menjadi pemimpin atau menduduki jabatan dalam sebuah organisasi atau lembaga pemerintahan dan dalam butiran nasehat orang-orang tua kita. Namun dengan sedemikian akrabnya kita dengan idiom ‘takwa’ ini, apakah kita telah menemukan orang yang benar-benar bertakwa? Seberapa gigihkah kita untuk menjadi insan yang bertakwa? Atau kita perlu mengajukan pertanyaan, sedemikian pentingkah ketakwaan itu?. Takwa adalah kata serapan dari bahasa Arab yang secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata-kata ittaqa-yattaqiy, yang berarti menjaga dari segala yang membahayakan. Dalam istilah syar’i, kata takwa mengandung pengertian,“menjaga diri dari segala perbuatan dosa, kemaksiatan dan hal-hal yang dilarang Allah SWT dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya.” Al-Qur’an menyebut orang yang bertakwa dengan muttaqi, jamaknya muttaqin dan berulang sebanyak 50 kali, dan kata takwa secara keseluruhan dengan berbagai varian dan dalam konteks yang bermacam-macam berulang sebanyak 258 kali, hal ini menunjukkan sedemikian penting dan urgennya pembahasan mengenai ketakwaan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujurat: 13). Sebenarnya dengan menyimak satu ayat ini saja, telah cukup menunjukkan betapa pentingnya ketakwaan itu. Selain itu Al-Qur’an juga tidak luput untuk menyampaikan kepada kita janji-janji Allah SWT kepada orang-orang yang bertakwa, diantaranya, diberikan kemudahan atas segala urusannya (Qs. 65: 4), diberikan keberkahan dari langit dan bumi (Qs. 7: 96), mendapat kemenangan (Qs. 78: 31) dan mendapat perlindungan Allah (Qs. 45: 19). Dengan segala keistimewaan dan kemuliaannya, maka wajar jika ulama-ulama dan da’i kita tanpa lelah menggedor-gedor kesadaran kaum muslimin untuk bertakwa dan senantiasa meningkatkannya. Hanya saja ada hal penting yang terkadang lalai atau lupa untuk tersampaikan. Takwa tidak hanya berkaitan dengan ketaatan dalam melakukan hal-hal yang diperintahkan namun juga kerelaan untuk meninggalkan yang terlarang. Ketakwaan sangat berkaitan erat dengan menjaga perut dari makanan haram, sebab pantangan terbesar ahli takwa adalah memakan makanan haram. Allah SWT berfirman, “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (Qs. Al-Maaidah: 88). Dalam ayat ini, perintah untuk memakan makanan yang halal lagi baik (tayyiban) lebih didahulukan dari perintah untuk bertakwa, sebab seseorang tidak akan mencapai derajat ketakwaan jika tidak lebih dahulu mencegah masuknya makanan yang diharamkan ke dalam perutnya. Sebagaimana dalam hadits disebutkan, “Sesungguhnya syaitan itu dalam diri anak Adam layaknya darah yang mengalir.” (Safinat al-Bihar, juz I, hal. 698). Syaitan masuk kedalam diri manusia seringnya lewat makanan haram. Sebagaimana yang diketahui, makanan adalah penyuplai energi bagi tubuh, yang lewat energi itu manusia bergerak dan beraktivitas. Bila suplai energi bagi tubuh dari sesuatu yang haram, maka yang mendominasi motivasi seseorang beraktivitas adalah nafsu syaitani. Sebagaimana aliran darah, syaitan akan menguasai dan leluasa dalam tubuh manusia. Selama makanan haram masih tersisa dan mencemari dalam tubuh, maka selama itu pula syaitan akan tetap bersemayam dan mengambil alih kuasa atas pikiran dan tubuh. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa jika seseorang memakan makanan haram maka selama 40 hari shalatnya tidak diterima dan do’anya tidak di ijabah. Ini disebabkan karena dalam tubuh masih terdapat sisa makanan haram. Meskipun orang tersebut membaca Al-Qur’an, shalat, puasa dan berzikir pada hakikatnya yang melakukannya adalah jiwa syaitani. Hatta pada saat isti’adzah (memohon perlindungan Allah) sekalipun, sebab lisannya adalah lisan syaitani. Melalui perantara lisannya, syaitan melafadzkan kalimat, a’udzubiillahi minasysyaithanirrajim. Syahid Tsani dalam Asrar al-Shalatnya meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi saww, “Allah memandang hati kalian, bukan wajah kalian.” (Rasa’il asy-Syahid al-Tsani, hal. 110). Hadits ini mengingatkan sekaligus menegaskan bahwa yang terpenting dari sebuah amalan adalah ‘isi’nya bukan penampakan lahiriahnya. Yang diinginkan oleh Allah pada hakikatnya adalah yang bersifat hakiki yang secara lahiriah tidak nampak di mata manusia. Ungkapan lisan bisa saja menarik perhatian orang lain, namun bagi Allah SWT yang menarik bukanlah padanan dan manisnya tuturan kata-kata itu, melainkan apa yang terkandung di dalam hati yang berbicara. Hal ini sejalan dengan penjelasan al-Qur’an, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan darimulah yang dapat mencapainya.” (Qs. Al-Hajj: 37). Dalam hal ini kita harus senantiasa tetap dalam kehati-hatian dan kecurigaan jangan sampai syaitan telah mengambil alih kendali diri kita. Sekalipun kita berada dalam kondisi kebaikan, senantiasa terbiasa melakukan amalan ibadah ataupun selalu berniat mendekatkan diri kepada Allah, namun bisa saja itu adalah bisikan syaitan bukan hidayah Ilahi. Boleh jadi secara lahiriah, penampilan dan perilaku kita sangat mengagumkan dan menakjubkan, namun pada hakikatnya, hati kita telah membusuk dan merupakan musuh yang paling nyata disebabkan masuknya makanan haram di dalam tubuh. “Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (Qs. Al-Baqarah: 12). Karena itu, diantaranya –bahkan termasuk yang terpenting- yang mesti dilakukan untuk menjadi ahli takwa adalah menghindarkan meja kita dari sajian makanan yang didapat melalui cara-cara yang diharamkan. Ketakwaan tidaklah secara ekslusif hanya bisa diraih oleh kalangan tertentu, ulama, urafa, sufi atau hanya didominasi oleh wali-wali Allah yang mencapai maqam tertentu dan kedekatan dengan Allah lewat tarekat-tarekat dan suluk (perjalanan spiritual) yang sulit dan rumit. Insya Allah, kita bisa memulai untuk menjadi ahli takwa dengan menjaga perut dari makanan-makanan yang diharamkan ataupun yang bernilai syubhat, sehingga dengan hidayah-Nya kita bisa terhindar dari melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang lebih besar. Allah SWT berfirman, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. Al Baqarah: 168). Larangan Allah SWT untuk untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan hanya bisa dipatuhi dan dilaksanakan ketika terlebih dahulu memenuhi perintahnya, dengan memakan makanan yang halal lagi baik (thayyib). Menurut Al-Qur’an, adalah kesia-siaan belaka jika anjuran untuk bertakwa dalam pesan-pesan keagamaan di atas mimbar-mimbar mesjid kita, tidak disertai dengan ajakan untuk menjaga apa yang kita santap. Perlu ada seruan berulang-ulang, bahwa yang masuk ke dalam perut bukanlah makanan yang diperoleh dari korupsi, menipu dan merampas hak orang lain. Uang yang dipergunakan untuk membeli makanan bukan dari pekerjaan yang diperoleh dari sogokan, suap dan nepotisme. Dalam ayat terakhir yang saya sebutkan, dengan frase, “Hai sekalian manusia…” menunjukkan seruan Allah SWT ini tidak hanya dikhususkan kepada orang Islam dan yang beriman saja, setidaknya lewat ayat ini Allah SWT ingin menyampaikan pesan, “Kalaupun kau tidak mau beriman kepada Ku, setidaknya makanlah makanan yang kau peroleh secara halal dan baik-baik.” Wallahu ‘alam bishshawwab Qom, 9 Maret 2009

21 Februari, 2010

Tawassul, Tanda Cinta Nabi pada Ummatnya

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah : 35).

Al-Qur’an menyatakan kepada kita bahwa ada suatu cara pendekatan “al-wasilah” untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, dan kita diperintahkan mencarinya. Salah satu wasilah pendekatan kepada Allah SWT yang kebanyakan kaum muslimin melupakannya, malah oleh rekayasa sejarah dianggap kesyirikan adalah tawassul. Sesungguhnya tawassul dan wasilah berasal dari akar kata yang sama. Tawassul adalah usaha pendekatan kepada Allah melalui perantara yang lebih taat kepada Allah. Karena melalui perantara maka wasilah ini dianggap kesyirikan dengan dalih menggan

ggap ada selain Allah yang bisa mendatangkan manfaat dan memberikan mudharat atau praktik berdoa melalui perantara sama halnya memohon pertolongan kepada selain Allah. Sesungguhnya dalih ini tidak beralasan menganggap tawassul adalah usaha yang sesat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Apalagi menyamakan tawassul dengan menyembah berhala atau praktik tawassul kaum kafir jahiliyah yang menjadikan patung-patung buatan mereka sendiri sebagai perantara diri mereka dengan Allah. Alasan praktik penyembahan kaum kafir jahiliyah dilarang dan dianggap kesyirikan bukan karena menggunakan perantara melainkan keyakinan mereka terhadap berhala yang mereka jadikan perantara dapat mendatangkan kehancuran dan memberikan manfaat. Alasan selanjutnya adalah mereka menggunakan perantara yang salah, perantara yang menurut prasangkaan mereka dapat memberikan pertolongan padahal yang mereka jadikan perantara tidak dapat memberikan manfaat apa-apa, “Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah tidak dap

at memperkenankan sesuatu pun bagi mereka.” (Qs. Ar-Ra’d: 14).

Sedangkan jika bertawassul kepada orang yang dekat kepada Allah dan tidak meyakini bahwa yang menjadi perantara memiliki kekuatan sendiri selain dari Allah tetapi yang mereka miliki adalah kedudukan ruhani di sisi Allah dan Allah tidak mengabaikan permohonan mereka apabila mereka berdoa kepada Allah atas diri kita, bukanlah perbuatan syirik. Dan saya akan memberikan beberapa referensi singkat mengenai hal ini.

Memohon Kepada Allah Melalui Perantara

Saya akan mengawalinya dari yang telah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin, bahwa sesun

gguhnya tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa memohon kepada Allah melalui perantara, secara prinsip adalah sah. Tidak ada perbedaan dikalangan ummat Islam mengenai bolehnya tiga jenis tawassul kepada Allah :

  1. Bertawassul kepada orang yang sangat dekat kepada Allah yang masih hidup. Contohnya seorang pelajar memohon di doakan oleh ulama agar bisa memiliki konsentrasi penuh dalam belajar. Tawassul sejenis ini juga pernah dilakukan oleh putra-putra Nabi Yakub as, "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah ". (QS. Yusuf : 97). Begitu juga pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat yang meminta kepada Rasulullah saww agar memohon kepada Allah SWT supaya menurunkan hujan bagi mereka. (HR Bukhari No. 1013 dan Muslim 897)
  2. Bertawwassul kepada Allah melalui perbuatan baik dan amal salehnya. Contohnya, pada hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya tentang tiga orang yang terkurung oleh batu besar dalam sebuah gua. Mereka memohon kepada Allah SWT melalui perantaraan amal-amal saleh yang pernah mereka lakukan.
  3. Bertawassulnya seseorang kepada Allah melalui nama-nama-Nya yang indah. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan Allah memiliki Asma’ul Husna (nama-nama yang indah) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu…” (Qs. Al-A’raf: 180).

Karena legalitas tiga jenis tawassul ini telah disepakati, tidak ada alasan untuk menunjukkan bukti. Ketidaksepakatannya adalah bertawassul kepada seorang yang shalih yang telah meninggal dunia.

Disini, saya kemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Hakim melalui rangkaian perawi dari Usman bin Hunaif, "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah saww dan berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata, "Ambillah air wudhu, lalu beliau berwudhu dan sholat dua rakaat, dan berkata: "Bacalah doa (artinya)" Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman berkata:"Demi Allah, kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar".

Dari hadits ini, praktik tawassul adalah absah dalam ibadah, secara implisit hal ini tidak hanya membenarkan tawassul kepada orang saleh yang masih hidup (seperti Nabi yang waktu itu masih hidup) tetapi juga membenarkan keabsahan tawassul melalui orang yang sudah meninggal dunia juga, karena dari gambaran hadits tersebut, Rasulullah saww mengajarkan rangkaian lafadz do’a tanpa menyampaikan keharamannya untuk dibaca apabila beliau telah meninggal dunia. Artinya setiap memiliki hajat-hajat yang serupa, lafadz do’a tersebut bisa dibaca kapan saja, tidak ada syarat atau kaitannya dengan kehidupan dan kematian Rasulullah saww. Pada hakikatnya, tawassul melalui orang yang masih hidup atau sudah meninggal bukan melalui tubuh fisik, kehidupan atau kematian, tetapi melalui makna positif (ma’na tayyib) yang melekat pada orang itu baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal. Tubuh hanyalah kendaraan yang memuat makna, yang dalam dirinya tetap dihormati baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal.

Dalam surah an-Nisa’ ayat 64, Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. Ayat ini menegaskan ketaatan kepada Rasulullah saww tidak memiliki kaitan dengan kehidupan dan kematian beliau, meskipun Rassullah saww sudah meninggal dunia sehingga kaum muslimin pada masa ini tidak hidup bersama beliau dan tidak bisa bertemu langsung namun ajaran-ajaran, pesan-pesan moral serta sabda-sabdanya adalah keniscayaan untuk ditaati bagi segenap kaum muslimin tanpa terkecuali disetiap tempat dan masa. Karenanya demikian pula dengan kasih sayang Rasulullah terhadap umatnya, setiap dari umatnya yang telah menzalimi diri mereka sendiri ‘datang’ kepada Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT maka Rasulullah saww pun turut memohonkan ampun buat mereka. Pada bagian yang lain banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Adalah salah besar jika memahami bahkan meyakini bahwa dengan kematian segala sesuatu yang menyangkut dengan manusia berakhir sudah dan tidak ada yang tersisa dari manusia selain tubuh fisiknya yang secara bertahap kembali melebur menjadi tanah. Al-Qur’an menegaskan bahwa kematian fisik tidak meniscayakan kehidupan ruh juga turut berakhir, melainkan ruh terus hidup meski telah berpisah dengan raganya. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Qs. Al-Baqarah: 154). Tidak ada keraguan sama sekali, bahwa Rasulullah saww adalah yang termasuk gugur di jalan Allah bahkan yang paling utama. Berdasarkan ayat ini, pada hakikatnya Rasulullah saww masih hidup, masih mendapat rezeki dan nikmat-nikmat dari Tuhannya, maka berdoa dengan menjadikan beliau saww sebagai wasilah masih tetap absah dan berlaku sebagaimana sahabat-sahabat Nabi dimasanya melakukannya. Karenanya, bagi ulama atau kelompok Islam yang mempersyaratkan bahwa tawwasul yang diperbolehkan adalah melalui perantaraan orang-orang shalih selagi masih hidup maka bertawassul melalui Rasulullah saww dan orang-orang yang gugur di jalan Allah termasuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan, dan dalil untuk menyebutnya syirik atau kesesatan tidak cukup kuat sebab akan mendapat penentangan dari Allah SWT, “… mereka tidaklah mati, mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”

Kasih Sayang yang Tak Berkesudahan

Saya nukilkan satu ayat lagi yang semakin mempertegas bahwa terpisahnya ruh Rasulullah saww dengan jasadnya bukanlah akhir hubungan dan keterikatan beliau dengan umatnya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman. Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzab: 56). Perintah Allah SWT untuk mengucapkan salam dengan penuh penghormatan kepada Rasulullah saww bukanlah salam-salam tanpa makna atau sekedar formalitas belaka. Ketika Rasulullah saww bersabda bahwa menjawab salam wajib hukumnya, maka perintah Allah SWT kepada orang-orang beriman untuk menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad saww meniscayakan kenyataan yang takkan terbantahkan bahwa Nabi Muhammad saww akan menjawab setiap salam yang disampaikan kepadanya.

Menakjubkan! Adalah sangat tidak adil, jika kaum muslimin yang hidup sezaman dengan Rasulullah saww setiap mereka menzalimi diri, cukup dengan mendatangi Rasulullah saww dan memohon ampun kepada Allah SWT dan Rasulullah saww pun turut memohonkan ampun hanya berlaku semasa Rasulullah saww hidup dan kaum muslimin pasca wafatnya Rasulullah saww tidak memiliki kesempatan serupa untuk dimohonkan ampun oleh Rasulullah saww sementara kewajiban-kewajiban syariat terus berlaku untuk segenap kaum muslimin di setiap masa termasuk mengucapkan salam penghormatan kepada Rasulullah saww. Sangat tidak adil, jika sahabat-sahabat setiap berdosa dapat segera menemui Nabi dan meminta agar Nabi memohonkan bagi mereka ampunan Allah diyakini sebagai tauhid, begitu juga putra-putra Nabi Ya’qub as yang telah meminta kepada ayah mereka agar memohonkan ampunan Allah bagi mereka (sebagaimana tersurat dalam surah Yusuf ayat 97-98) disebut sebagai bagian dari tauhid namun ketika permohonan ampun kepada Allah SWT melalui Nabi-Nya setelah wafatnya disebut sebagai syirik dan membatalkan keimanan.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya nukilkan dua riwayat yang semoga dapat menghilangkan keraguan kita akan keabsahan bertawassul kepada Nabi saww, bahwa tanpa beban psikologis apapun kita katakan, tawassul adalah salah satu mukjizat dan karomah kenabian, Nabi Muhammad saww. Adalah wajar, Rasululah saww sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah / maqom / wajih) yang sangat tinggi di sisi Allah, diberi otoritas oleh Allah untuk menjadi perantara (wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah SWT.

Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)

Ad-Darami (dalam Sunan Ad-Darami: 1/56), meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”.

Konklusinya adalah, jika kaum muslimin yang bertemu dan hidup bersama Rasulullah saww setiap melakukan kesalahan atau memiliki hajat bisa memohon kepada Allah SWT dengan perantaraan Nabi, maka kaum muslimin setelahnya pun bisa melakukannya. Rasullah saww adalah rahmat bagi semesta alam, kebaikan dan keberkahannya tidak hanya didapatkan oleh orang-orang yang semasanya dan tidak pula berakhir dengan wafatnya. Kepada Nabi Muhammad saww, Allah SWT berfirman, “…dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) kententraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. At-Taubah: 103).

Allahumma inni atawajjahu ilaika binabiyyika nabiyyirrahmati Muhammadin shallallahu ‘alaihi wa alihi…

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi-Mu, nabi pembawa rahmat, Nabi Muhammad, shalawat atasnya dan atas keluarganya…

Wallahu ‘alam bishshawwab

Qom, 7 Rabiul Awal 1431 H

22 Desember, 2009

Revolusi Al-Husain, Inspirasi yang Tak Pernah Habis

Karbala terletak beberapa kilo meter dari hulu sungai Eufrat di barat laut Kufah. Tanah Karbala awalnya bernama Kur Babal lalu disingkat menjadi Karbala untuk memudahkan pengucapan. Kata Babal dalam nubuat Yesaya berarti gurun laut (shahra' al bahr) sebuah lembah luas yang dibelah oleh sungai Eufrat. Versi lainnya, disebut Karbala karena pada zaman Babilonia disana terdapat tempat penyembahan. Karb berarti tempat penyembahan, tempat sembahyang dan tempat suci dan kata 'Abala dalam bahasa Aramea berarti Tuhan, sehingga Karbala artinya tanah suci Tuhan. Kitab-kitab samawi sebelumnya menyebut tanah tersebut Karbala, karena dinubuatkan di tempat inilah terjadi kesulitan dan bencana yang sangat memilukan hati. Karb dalam bahasa Arab artinya kesulitan dan bala artinya bencana. Al-Kitab, memberitakan bahwa di Karbala inilah terjadi penyembelihan yang teramat dahsyat, yang digambarkan pedang akan makan sampai kenyang dan akan puas minum darah mereka (Yeremia 46:1). Sejarahpun mengabadikan, Karbala adalah hamparan sahara yang menyuguhkan genangan darah dan air mata suci putera-puteri Rasul. 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain bersama 72 pengikutnya — termasuk di dalamnya anak-anak — syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid bin Muawiyyah di padang Karbala, Irak. Kepala Imam dan para syuhada dipenggal dan diarak keliling kota. Sangat disayangkan, peristiwa tragis ini kurang mendapat apresiasi bahkan dari kaum muslimin sendiri. Diantara buku-buku sejarah yang menumpuk diperpustakaan kita, sulit kita temukan buku yang membahas pembantaian Karbala, seakan-akan peristiwa ini tidak ada pentingnya untuk dikaji dan diapresiasi, sedangkan yang dibantai secara tragis adalah Imam Husain, cucu Rasulullah yang tersisa. Rasul bersabda tentangnya, "Husain berasal dariku dan aku berasal darinya. Allah mencintai siapa yang mencintainya. Siapa menyakitinya berarti menyakitiku" Karbala bukanlah sebuah peristiwa sejarah yang berhenti pada 10 Muharram, tetapi merupakan titik balik yang sangat penting bagi aqidah Islam yang agung. Yang dilakukan Imam Husain as di Karbala adalah revolusi tauhid, yakni revolusi yang –menurut Ali Syariati- gugusannya dimulai oleh nabi Ibrahim as, diledakkan secara sempurna oleh Nabi Muhammad saww, dipertahankan hidup oleh Imam Husain as dan berakhir pada Imam Mahdi. Ali Syariati merasa perlu mengingatkan, bahwa melupakan riwayat Imam Husain as sebagai mata rantai yang lepas dari rangkaian sejarah tidak bedanya memotong bagian tubuh manusia yang masih hidup untuk dilakukan penelitian atasnya. Perlawanan yang dikobarkan Imam Husain adalah hikayat kebebasan yang dikubur hidup-hidup oleh pisau kezaliman pada setiap zaman dan tempat. Karenanya semangat itu perlu kita hidupkan kembali. Pentingnya Mengenang Karbala Kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkat Yazid putranya sendiri sebagai khalifah atas kaum muslimin adalah awal pemicu prahara tak berkesudahan dalam tubuh umat Islam. Pengangkatan ini tidak hanya mengakhiri keagungan dan kecemerlangan Daulah Islamiyah yang telah dibangun oleh Rasulullah saww dan dijaga oleh keempat sahabat beliau yang mulia namun juga telah mengoyak-ngoyak tatanan politik Islam yang berkeadilan. Para sejarahwan menuliskan Yazid bukanlah orang yang layak menjadi khalifah, ia dzalim dan sering tampak secara terang-terangan menginjak-injak sunnah Rasulullah. Untuk memutlakkan kekuasaannya atas kaum muslimin, Yazid bin Muawiyah meminta baiat dan pengakuan dari Imam Husain as, sebagai orang yang paling alim dimasanya. Disinilah kondisi lebih pelik bermula, berhadapan dengan kekuatan besar dan kekuasaan Yazid, kematian adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi ketika memilih menolak berbaiat. Sebenarnya bisa saja Imam Husain as menganggap jalan menuju surga tidak hanya terbatas pada berjuang di bawah kilatan pedang. Jihad bukanlah satu-satunya jalan menuju surga, bukankah dengan hidup zuhud, menyingkirkan diri dari keramaian, menyibukkan diri dengan ibadah di sudut-sudut mesjid adalah jalan yang lebih mudah dan aman menempuh surga?. Tetapi tidak bagi al-Husain, surga bukanlah satu-satunya tujuan dan impiannya. Beliau harus melaksanakan tugas yang diemban dan taklif yang saat itu berada dipundaknya, mempertahankan kebenaran dan revolusi Islam yang telah diledakkan sang kakek. Menurut Imam Husain as, dasar kepercayaan Islam adalah kekuatan perlawanan dan pembebas. Islam tidak semata-mata memuat deretan do’a dan ibadah melainkan perlawanan yang bergelora. Mungkin dengan semangat itulah, Islam hakiki akan tampak, sebagaimana diturunkan pertama kali, menjadi pembebas bagi mereka yang berada dalam ketertindasan. Baginya, mengosentrasikan jiwa dan pikiran di sudut-sudut mesjid dan rumah-rumah kosong adalah pengkhianatan terhadap revolusi Islam. Dengan kekuatan yang tersisa, Imam Husain as mengajak keluarganya untuk memilih kematian daripada harus mengakui kekuasaan Yazid yang menumpahkan tinta lain selain Islam dalam pemerintahannya. Imam Husain berangkat melawan untuk membela kebenaran, yakni kebenaran bagi semua umat manusia. Jadi perlawanan tersebut dengan esensinya akan terus berlangsung selama-lamanya. Dimanapun seorang melakukan perlawanan terhadap kezaliman, disitulah Karbala. Setiap tusukan pedang pada hari Asyura adalah tusukan terhadap penguasa yang dzalim pada periode kapanpun. Itulah perlawanan yang mulai membara dan terus membara selama masih ada kedzaliman di atas muka bumi, selama masih ada pemerintah yang dzalim, selama masih ada aqidah dipermainkan. Itulah perlawanan yang takkan mereda, terutama saat ini ketika intimidasi menimpa banyak bangsa, aqidah dan agama dipermainkan untuk mengokohkan kezaliman, pengrusakan dan membenarkan kebiadaban segelintir manusia atas manusia lainnya Antoane Bara dalam bukunya The Saviour Husain dalam Kristinitas (Citra, 2007) menulis, Al-Husain adalah pelita Islam yang menerangi batin agama-agama hingga akhir zaman. Ajaran-ajaran revolusi Imam Husain, perlawanan terhadap ketidak adilan, kebebasan dan kemerdekaan jiwa, altruisme (ajaran rela berkorban) bukankah ini batin agama-agama sepanjang masa? Revolusi Al-Husain adalah lompatan keberanian dalam penjara-penjara hegemoni pada zamannya. Sebuah citarasa yang tinggi. Kalimat syahadat, La ila haillallah adalah simbol universitas kesyahidan, yakni kebebasan, tidak ada ketundukan kepada selain Allah. Allah SWT berfirman, "Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, tetapi mereka hidup" Demikianlah Al Husain tetap hidup, hidup di sisi Allah, di dalam hati, jiwa dan pikiran orang-orang yang memerdekakan jiwanya. Hidup dalam perasaan, di atas mimbar, di dalam majelis-majelis, dalam slogan-slogan perlawanan, hidup dalam buku. Gerakan, semangat dan misi Al-Husain di Karbala, di hari Asyura akan selalu menginspirasi setiap gerakan revolusi di dunia, di setiap masa. Revolusi Al-Husainlah yang menginspirasi Mahatma Ghandi membawa rakyat India menuju pembebasan dari penjajahan Inggris. Di penghujung abad 20 Imam Khomeini telah menuntun kafilah dan semangat Asyura meruntuhkan Imperium yang berkuasa 2.500 tahun membuktikan Revolusi Al-Husain mengungguli dunia dan zaman. Kullu Yaumin As-Syura , Kullu ardin Karbala, semua hari adalah As-Syura, semua tempat adalah Karbala. Wallahu 'alam bishshawwab