29 Juli, 2008

Memaknai Kematian

Diantara berbagai bentuk perpisahan, kematianlah yang paling dihindari. Padahal semua juga tahu, kematian adalah sesuatu yang menyertai kelahiran yang saling melengkapi. Hadir sebagai paket tanpa bisa dipisah. Namun, seberapapun kita menyadarinya, kita selalu berjuang setengah mati untuk menghindari mati. Sulit saya hilangkan dari ingatan, tentang sebuah adegan yang menegangkan dari video singkat yang pernah diperlihatkan teman saya dengan fasilitas video di HPnya. Adegan dimana seseorang berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari gigitan singa di kebun binatang, yang dianggapnya sifat liarnya telah hilang sama sekali. Adegan ini diawali dengan berphoto mesra dengan singa, menunggangi dan membelai-belai kepala sang singa. Singa sebagai raja hutan bisa jadi merasa terinjak-injak harga dirinya diperlakukan tidak ubahnya kucing rumah atau kelinci piaraan. Sang singapun mengaum keras dan tidak bisa dihindari adegan tragis itupun terjadi, keceriaan berubah menjadi kepanikan luar biasa. Sang pemuda hanya bisa teriak meregang nyawa, dan pasrah tubuhnya dicabik-cabik setelah sebelumnya berusaha melepaskan diri. Saya hanya bisa merenungkan, betapa tidak berdayanya kita terhadap kekuatan yang lebih besar. Siapapun sebenarnya tidak ubahnya sang pemuda di atas. Kita selalu berusaha menghindari kematian. Orang yang sudah tidak berfungsi pun masih ditopang oleh segala macam mesin agar bisa hidup. Siapapun pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan lebih lama. Saya juga teringat video detik-detik kepergian Imam Khomeini, jantungnya ditopang mesin untuk bisa berdetak lebih lama, bantuan pernafasan diberikan. Namun, sebagaimana sang pemuda yang akhirnya berlutut pasrah, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali, berusaha untuk mengucapkan selamat tinggal. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti. Saya percaya, penyebab kematian yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa. Tentu dalam menghadapi prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun bukankah dengan adanya kematian kehidupan ini jadi penuh dengan makna. Jadi, semua faktor yang selama ini dikatakan sebagai penyebab kematian, sakit, kecelakaan, bencana alam, diterkam singa dan sebagainya menurut saya sebenarnya adalah gejala yang terlihat, bukan penyebab. Semuanya bisa diartikan hanya gejala, syarat-syarat akhirnya masa hidup telah habis. Pada akhirnya kita akan berpisah. Kalau kematian pada akhirnya, dan kita bisa memilih, mengapa tidak memilih kematian itu datang saat kita sedang taat-taatnya kepada-Nya ?

Kutulis sesaat setelah menerima kiriman sms dari orang yang paling dekat hatinya keaku, begini bunyinya, “Innalillahi wainnalillahi rajiun…bpknya ka Ani brpulang kerahmatullah barusan. Doata… 7-05-1387 21:02:37
Turut Berduka Cita……

Tidak ada komentar: