07 November, 2008

MEMAHAMI HAKIKAT PERBEDAAN

(Bantahan Atas Tulisan Ismail Amin yang Berjudul:
Oleh: Rahmat A. Rahman
Ketua MUI Makassar dan Sekretaris Umum Forum IJABISAH
Tidak semua perbedaan itu terpuji sebagai sunnah alamiyah, tidak semua juga tercela, sebab memang manusia memiliki pola pandang yang berbeda dari setiap masalah. Di dalam masalah agama yang menjadi tolok ukur adalah dalil syar’i itu sendiri, di saat dalil memberikan kesempatan berbeda maka perbedaan dapat ditolerir ,dan di saat tidak ada kesempatan untuk itu, maka perbedaan dianggap aib. Khazanah umat Islam dalam persoalan fiqh begitu kaya sebab mereka mampu mendudukkan perbedaan pada tempatnya, sebaliknya dalam persoalan aqidah dan filosofi kebenaran, maka kita dapatkan kecaman dari zaman Rasulullah SAW, hingga saat ini sebab hal itu dapat membawa perpecahan yang bersifat destruktif. Demikian halnya dalam memahami agama, fakta sejarah menunjukkan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah SAW. Ternyata tidak menyentuh esensi dari agama itu sendiri sebagai satu kesatuan yang sempurna dan menyeluruh. Justru pola fikir yang ghuluw (berlebih-lebihan)-lah yang merusak perbedaan itu sehingga mengeluarkannya dari lingkaran menjadi perpecahan. Salah satunya, adalah dipaksakannya pemikiran Syiah yang menghendaki seorang khalifah pengganti Nabi harus dari kalangan Ahlul Bait, ternyata menyebabkan umat sejak saat itu terpecah dalam beberapa golongan. Bahkan menimbulkan pertumpahan darah di beberapa waktu setelahnya. Terbunuhnya Umar ibnul Khattab -salah seorang sahabat Nabi yang utama- lalu Utsman ibn Affan RA, dan Ali ibn Abi Thalib RA., setelahnya juga adalah imbas dari masuknya pemikiran yang ekstrim tersebut. Fenomena ini, jika bisa membuka kembali lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan berkata, bahwa sesungguhnya perpecahan tersebut tidak perlu terjadi, jika semua tetap komitmen terhadap sunnah Rasulullah SAW., -sayangnya kaum munafiqin tidak suka jika umat tidak terpecah.
Sahabat dan Sunnah
Setiap Nabi yang diutus oleh Allah SWT akan dipilihkan sahabat setia yang akan melindungi, dan melanjutkan ajaran yang dibawa oleh para Nabi tersebut. Para pendamping ini tentulah juga dari kalangan orang-orang pilihan, sebab Allah tentu tahu peran yang akan mereka emban khususnya setelah sang Nabi telah wafat. Demikian pula halnya dengan Rasulullah Muhammad SAW. dipilihkan oleh Allah sahabat setia sebagai pendamping dan pelanjut perjuangan beliau, terpilihlah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar ibnul Khatthab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Zaid ibn Tsabit dan lainnya -Radhiyallahu Anhum- sebagai orang-orang kepercayaan Rasulullah SAW. dalam memahami dan mengamalkan serta mengajarkan agama ini. Pengorbanan yang mereka berikan dalam aktualisasi diri sebagai seorang muslim dan pelanjut perjuangan menyebarkan agama sebagaimana yang mereka dapatkan dari Rasulullah SAW. sungguh tak tertandingi, harta bahkan jiwa mereka berikan semuanya untuk agama Allah hingga mencapai maqam Ridha. Makanya, Allahpun ridha terhadap mereka, dan surga adalah balasan yang setimpal atas pengorbanan mereka. Hal ini dijelaskan Allah dalam Al Qur’an diantaranya; “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.(Q.S.09:100)“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” (Q.S. 48:18)Komitmen para sahabat terhadap sunnah jangan diragukan, bahkan merekalah panutan dalam hal ini, rasanya sangat naif, jika ada orang yang menuduh mereka sengaja menyimpang dari sunnah Rasulullah SAW. Pada saat beliau justru menyuruh umat untuk komitmen terhadap jalan hidup mereka (Hadits Riwayat Abu Daud dari al-Irbadh ibn Sariyah), atau meragukan lurusnya pemahaman mereka hanya dengan dalih karena mereka sering bersengketa. Padahal silang sengketa para sahabat bukanlah dalam perkara esensial sebagaimana telah kami jelaskan di muka.
Ahlus Sunnah dan Ahlul Bait
Dua istilah yang sangat sering didikotomikan oleh sebagian kaum muslimin padahal tidak semestinya seperti itu. Ahlus Sunnah adalah golongan yang senantiasa komitmen terhadap sunnah Rasulullah SAW, dalam segala hal sedangkan Ahlul Bait adalah keluarga Rasulullah SAW, yang beriman dan komitmen terhadap ajaran beliau hingga wafat. Semua Ahlul Bait adalah golongan Ahlus Sunnah meskipun tidak semua Ahlus Sunnah dikategorikan Ahlul Bait namun mereka wajib mencintai Ahlul Bait sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW. Membedakan pemahaman para sahabat dengan pemahaman Ahlul Bait adalah suatu hal yang tidak obyektif dan hanya menambah panjang sebab perpecahan di tengah umat, kecuali jika di balik seruan itu memang ada maksud tersembunyi -wallahu a’lam-. Saatnya untuk umat saat ini melepaskan diri dari segala bentuk dikotomi yang diwariskan oleh kaum ekstrimis di zaman dahulu yang hanya menimbulkan perpecahan, jika kita mau jujur memandang, bukankah Islam di zaman Nabi itu satu ? dari manakah pemahaman bahwa yang menjadi khalifah sepeninggal Nabi haruslah dari kalangan keluarga beliau padahal beliau tidak pernah mengajarkan itu ? dari manakah asal keraguan bahwa para sahabat pendamping Rasulullah SAW. tidak lebih baik pemahamannya dari Ahlul Bait padahal para sahabat pun tidak pernah mau dikotomikan seperti itu ? Catatan:Sejak kapan Jalaluddin ar-Rumi, Ibnu Sina, Mullah Sadra, Taba’tabai dan Khomeini menjadi Ahlul Bait ?
Bantahan ini juga bisa dibaca di http://www.wahdah.or.id/
Komentar saya :
Bantahan di atas tidak menyinggung inti tulisan saya. Yakni tawaran saya untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Ahlul Bait sebagaimana wasiat Rasulullah SAWW
Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat."
(H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533, juga terdapat di dalam kitab-kitab induk hadis yang lain)
Hadits ini terdapat dalam kitab hadits yang diakui kesahihannya oleh ulama Ahlus Sunnah sendiri. Karenanya saya ingin bertanya, apa salahnya meninggalkan “al-Quran dan as-Sunnah” yang landasan hukum (hadis)-nya masih bermasalah dan hadis itu tidak terdapat dalam Kutubussuttah, dan kemudian kita beralih kepada wasiat Rasul untuk berpegangan terhadap “al-Quran dan al-Ithrah” yang hadisnya mutawatir dan shohih yang terdapat dalam beberapa Kutubussittah, kitab-kitab standart saudara Ahusunah sendiri? bisaki baca lebih lengkapnya disini (diblogku yang lain) http://harykoe.wordpress.com/category/antar-mazhab/
Tanggapan lainnya, kalau silang sengketa para sahabat bukanlah dalam perkara esensial sebagaimana yang ditulis yang mulia Ketua MUI di atas, bagaimana bisa sahabat bisa terlibat dalam berkali-kali perang besar dan saling bunuh antar mereka. Kalau tidak esensial mengapa harus saling bunuh, justru tradisi perpecahan dan pertikaian menurut saya kita warisi dari mereka. Yang bunuh Sahabat Usman bin Affan ra, siapa ? apa orang Yahudi, kaum musyrikin atau orang2 Majusi ? yang membunuh Imam Ali ra adalah orang khawarij yang tetap diakui sebagai golongan Islam. Yang bunuh Imam Hasan dan Imam Husain siapa ? jangan bilang sejarah itu hanyalah rekayasa yang dibuat-buat. Kalau dalam persoalan tidak esensial saja harus mengangkat pedang, mana kebesaran jiwa mereka sebagai sahabat2 nabi ?
Catatan di akhir tulisan bantahan di atas juga menggelikan, Sejak kapan Jalaluddin ar-Rumi, Ibnu Sina, Mullah Sadra, Taba’tabai dan Khomeini menjadi Ahlul Bait ? saya menjawabnya, saya tidak tahu, soalnya saya bilang mereka itu kader-kader lepasan dan terlahir dari madrasah Ahlul Bait bukan Ahlul bait he...he.... (aduh kualitas Ketua MUI Makassar kita seperti ini :-) ) Terakhir, saya minta pertanggungjawaban ilmiah sang ustadz, bahwa yang menyebabkan perpecahan adalah dipaksakannya pemikiran Syiah yang menghendaki seorang khalifah pengganti Nabi harus dari kalangan Ahlul Bait. Bahwa Ahlul Bait (keturunan nabi) yang harus menjadi khalifah setelah nabi Muhammad SAW adalah pemikiran ekstrim. (Naudzubillah, Allah dan Rasul-Nya disebut ekstrim)
Saya ingin tanya bagaimana beliau memahami ayat ini,
“Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia.” Ibrahim berkata, “(Dan aku mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman :”Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah : 124).
Apakah perjanjian Allah SWT kepada nabi Ibrahim as di atas adalah perjanjian yang main2 saja. Apakah keturunan nabi Ibrahim as berakhir hanya sampai pada nabi Muhammad SAW dan setelah itu tidak ada lagi keturunan nabi Ibrahim yang menjadi imam bagi seluruh umat manusia ? lalu mengapa pula Imam Mahdi nanti adalah keturunan Nabi dari kalangan Ahlul Bait ? mengapa bukan keturunannya Abu Bakar atau Umar ?
Bukhari-Muslim meriwayatkan, “Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai dua belas khalifah, semuanya dari Qurays.” Semua kaum muslimin menerima periwayatan ini. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71). Pertanyaan saya, Rasul yang membatasi khalifah setelah beliau harus dari Qurays apa itu bukan pemikiran ekstrim menurut ustadz ?. Allah SWT dari ayat di atas jelas-jelas menegaskan bahwa keimmahan atau kepemimpian tidak akan diberikannya kepada orang-orang dzalim.
Kita ajukan pertanyaan lagi, katanya semua sahabat setia terhadap Sunnah Rasulullah SAWW. Komitmen mereka tidak perlu diragukan, namun kita patut mempertanyakan Muawiyah yang juga mereka klaim sebagai sahabat nabi. Bahkan menyebut Muawiyah adalah sahabat yang juga adil. Kalau Muawiyah dan para pengikutnya (yang juga beberapa sahabat nabi) beriman kepada Al-Qur'an dan petunjuk Rasul mengapa memerangi Imam Ali sebagai khalifah yang sah ? mengapa ia tidak tunduk pada hadits Rasul, taatlah kepada pemimpinmu meskipun ia dari kulit hitam, meskipun dzalim, bahkan meskipun merebut harta dan memukul tulang punggung kalian. Mengapa Muawiyah tidak mengikuti kaidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yakni menasehati pemimpin, taat kepada pemimpin pada hal2 yang bukan maksiat dan tidak keluar sedikitpun dari jama'ah. Muawiyah memerangi Imam Ali as berarti hanya ada dua kemungkinan, Imam Ali as telah kafir di mata Muawiyah dan layak diperangi atau Muawiyah yang justru keluar dari petunjuk Rasul. Pekerjaan rumah kita tidak sederhana. Memang pekerjaan kita masih banyak, terutama membenahi aqidah ummat yang diliputi kesyirikan, tapi menyelidiki madhzab dan pandangan keislaman kita adalah juga salah satu pekerjaan kita. Bahkan salah satu pekerjaan terbesar. Karena Allah dan Nabi-Nya hanya akan menerima ajaran mereka, maka sekalipun kita sibuk membenahi dan membangun ummat, kita tidak boleh lalai dan merenungi serta menyelidiki dari mana keyakinan Islam kita ini dan datang dari pihak yang mana.
Semoga kita semua mendapatkan petunjuk. Adalah sebuah kewajaran bahkan keharusan untuk senantiasa memperbaharui keyakinan kita, dan tidak menutup diri untuk mempelajari keyakinan yang lain, karena bisa jadi kebenaran sesungguhnya ada disana. Saya adalah diri yang sedang berproses dan semoga Allah melembutkan hatiku untuk menerima kebenaran. Mohon maaf kalau ada kesalahan.
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk." (Qs. An-Nahl : 125).

Tidak ada komentar: