26 November, 2008

Tuluskah Kita Mencintai Rasul ?

Kita heran mengapa hinaan terhadap Nabi kembali muncul, kita juga tidak habis pikir mengapa tak pernah henti-hentinya kebencian dan permusuhan selalu mendera pribadi suci beliau. Seseorang bisa saja memendam kebencian yang sangat kepada Rasulullah SAW sampai harus menggambarkan kehidupan beliau secara tidak senonoh pada lembaran-lembaran komik, namun kebencian bukanlah akhir segalanya. Benci dan cinta adalah perasaan yang sulit untuk dipetakan pada hati manusia. Perjalanannya sebagaimana iman, sangat fluktuatif dan tidak linear. Boleh jadi saat ini kau membenci sesuatu namun pada kali yang lain kau justru sangat mencintainya. Imam Ali ra pernah berkata, "Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya." Ya, bisa jadi orang yang menggambarkan Rasulullah sebagai seseorang yang amoral pada lembaran-lembaran website karena belum tahu apa-apa tentang pribadi Rasulullah SAW. Saya pribadi berharap, ia tidak berhenti pada kebencian yang sangat pada Rasulullah, sebab kebencian hanyalah salah satu etafe dari rute perjalanan manusia yang justru bisa menghantarkan seseorang pada tingkat iman yang menakjubkan. Saya ajukan sebuah contoh kisah nyata dari seorang Umar bin Khattab. Ia tidak hanya membenci Rasul tetapi juga selalu berusaha membunuhnya. Dengan gigih ia menghalangi-halangi orang yang menambatkan imannya pada nilai-nilai moral yang diajarkan sang nabi. Tetapi perjalanan manusia memang sulit ditebak, justru ketika Umar mengenal Muhammad lebih dekat, ia mengalami lompatan iman -dalam istilah Kierkegard leap of faith- yang begitu menakjubkan. Pada gilirannya, Umar ra justru menjadi sahabat nabi yang paling dekat, menjadi pembela Islam yang paling keras, sampai mendapat julukan, al-Waqqaf 'inda Kitabillah. Umar tidak sendiri, banyak orang-orang yang sebelumnya begitu keras permusuhannya terhadap Rasul, namun ketika mengenal beliau lebih dekat, justeru menjadi sahabat-sahabat nabi yang paling setia dan senantiasa menjaga nabi dari marabahaya.
Ketika nabi kita kembali mendapat penghinaan, kita hanya bisa geram. Kita marah, kita turun ke jalan, kita membakar dan melempari apa saja untuk menunjukkan pembelaan terhadap kekasih kita. Sebagai muslim yang mengaku mencintainya kita meneriakkan suara yang sama, tidak ada kata maaf bagi yang telah melecehkan nabi. Kita mungkin masih ingat dengan Imam Khomeini yang tanpa ampun mengeluarkan fatwa mati bagi Salman Rusdie yang menyebut wahyu yang dibawa nabi tidak lain hanyalah ayat-ayat setan. Apa saja bisa kita lakukan sebagai bentuk ekspresi penolakan dan kegeraman nama baik nabi kita diinjak-injak. Namun tidakkah kita tertarik untuk lebih melihat kedalam diri kita ?. Tidakkah kita merasa perlu bertanya pada diri sendiri, "Tuluskah cinta kita kepada nabi ?". Sejauh mana usaha kita memperkenalkan kemuliaan dan keagungan akhlak nabi kepada mereka ?. Daripada meledakkan kemarahan dimana-mana, saya lebih memilih memperkenalkan kepribadian Muhammad yang di mata Goethe, adalah cahaya di atas cahaya. Saya ingin semua tahu tentang nabi Islam yang Karen Armstrong menyebutnya “Seorang manusia yang kompleks dan penuh kasih,” dan Michael H. Hart yang mendudukkannya pada posisi terhormat sebagai tokoh yang paling populer dan berpengaruh sepanjang masa. Terlalu banyak pujian dan sanjungan atasnya, sehingga Abdul Wahid Khan harus membukukan kekaguman dan penghormatan intelektual non muslim kepada Rasulullah dalam bukunya, "Rasulullah di Mata Sarjana Barat". Bahkan Allah SWT Pencipta alam semesta beserta para malaikat-Nya pun bershalawat atasnya (Qs. Al-Ahzab : 56).
Seandainya Rasulullah ada disekitar kita, dan melihat betapa merebaknya penghinaan atasnya beliau mungkin akan melakukan hal yang sama ketika penduduk Thaif melemparinya dengan batu. Jibril yang sedih melihat itu menawarkan sesuatu pada Sang Nabi, “bila Kau mau, Kekasih Allah, aku bisa membalikkan bumi dan menimpakan gunung kepada mereka.” Lalu Muhammad menjawab, “Tidak! Sesungguhnya mereka hanya belum tahu.” Atau sebagaimana Abdullah bin Ubay yang meminta izin untuk membunuh ayah kandungnya sendiri karena telah melecehkan nabi, Nabi dengan penuh kasih menjawab, "Jangan, tetaplah berbuat baik kepada ayahmu." (Sirah al-Halabiyyah 2:307).
Di mata Rasul, mereka hanya belum tahu sehingga kebencian merambati hatinya. Tidakkah kita melihat sisi lain dari penghinaan nabi yang tiada hentinya dan semakin menjadi-jadi. Bila mereka begitu rajin dan semangat mengolok-olok nabi kita yang mulia, seberapa rajinkah kita memuliakan dan mengagungkannya ?. Seberapa banggakah kita menyenandungkan shalawat atasnya ? Bergetarkah hati kita ketika namanya disebut dalam senandung suara azan ?. Seberapa cintakah kita mengamalkan sunnah beliau dalam kehidupan kita ?. Yang kita lakukan justru sebaliknya, dengan dalih bid'ah, kita klaim mereka yang mengadakan maulid nabi sebagai orang sesat padahal tidak seorangpun muslim yang menyebut maulid hukumnya wajib atau sunnah sehingga tidaklah termasuk mengada-adakan hukum baru. Dengan dalih syirik kita cemooh mereka yang berdesak-desakan untuk mencium mihrab nabi, padahal semuapun bersaksi bahwa Rasulullah adalah juga hamba Allah. Kita haramkan Barazanji karena kita anggap terlalu mengkultuskan nabi, padahal dalam puisi dan syair, cinta sulit dilukiskan tanpa hiperbola dan metafora. Hiperbola bukanlah kedustaan dan metafora bukanlah kesyirikan. Setiap usaha memperkenalkan Ahlul Bait Nabi kita klaim sebagai penyebar aliran sesat. Padahal Rasulullah berpesan, "Perhatikan bagaimana kalian bersikap terhadap keluargaku."
Pandangan mata saya nanar sewaktu melihat langsung gambar-gambar yang divisualisasikan sebagai Rasulullah SAW pada halaman web. Saya yakin semua yang melihatnya juga merasakan hal yang sama, ada tangis yang tertahan. Kecintaan kita diperolok-olok sedemikian rupa. Saya tiba-tiba merasa Rasulullah begitu dekat, sembari bertanya kepada kita semua, "Benarkah kalian mencintaiku ? sudahkah kalian memperkenalkan aku kepada mereka ? gigihkah kalian menebar cinta sebagaimana telah aku tebarkan ?'. Saatnya melirik kembali cara kita beragama, yang saling mengasingkan dan penuh persaingan. Mari kita tebar cinta, adakah yang lebih indah dari sang pecinta selain membicarakan kekasihnya sesering mungkin ?.
Maafkan kami ya Rasulillah….
Wallau 'alam bishshawwab.

Tidak ada komentar: