04 Maret, 2009

Taklid Buta, Racun Beragama

Sebagai muslim, kita percaya, kelak mata, telinga dan hati akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan mahkamah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang meleset dari perhitungan-Nya. Dia yang Maha Besar berfirman, "Setiap orang bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya." (Qs. 74: 38). Karena diri kita sendirilah yang bertanggungjawab, maka sebuah keniscayaan untuk tidak sekedar ikut-ikutan tentang sesuatu. Sikap keberagamaan yang sejati adalah berani mengkritisi dan bersikap cerdas terhadap ajaran-ajaran agama yang disampaikan lewat para ulama. Apakah benar apa yang disampaikan ulama tersebut adalah bagian dari agama atau bukan?. Dalam Islam, ummat dilarang untuk ikut-ikutan tanpa pengkajian yang mendalam. Salah satu akar kata dari Islam adalah taslim yang berarti penyerahan sepenuhnya. Dan yang dimaksud, tentu saja penyerahan terhadap kebenaran. Dalam istilah syariat sikap ikut-ikutan tanpa daya kritis disebut taklid buta. Telah banyak ilmu yang telah kita dapatkan, baik di bangku pendidikan formal, lewat pengalaman atau ilmu yang kita gali dan kaji sendiri lewat media-media yang menawarkan pengetahuan, informasi dan wawasan yang beragam. Namun seberapa kritiskah kita terhadap semua itu?. Taklid buta memang harus kita hindari karena tidak sesuai dengan semangat zaman. Namun ada kalanya, ada banyak alasan dan kepentingan yang memaksa kita untuk tetap bertaklid buta, meskipun kita sadari sendiri, yang kita pertahankan sebenarnya sangat rapuh dan memang layak untuk dicampakkan. Taklid buta memiliki prolog, diantaranya berpikir keliru.
Penyebab Berpikir Keliru
Banyak hal yang membuat kita terkadang berpikir keliru. Diantaranya, bersandar pada prasangkaan bukan pada pengetahuan yang pasti. Kita lebih sering mendengar berita dan informasi yang masih taraf 'kayaknya', masih berupa gosip dan kabar burung, namun kita telah meyakininya sebagai kabar pasti. Allah SWT berfirman, "Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah berbuat kebohongan." (Qs. Al-An'am: 116). Ayat ini menegaskan, kebanyakan dari informasi yang berserakan adalah dari mereka yang hanya mengikutkan persangkaannya saja dan berbuat kebohongan. Hitler menulis dalam bukunya Mein Kamf, kebohongan yang dilakukan berulang dan sesering mungkin akan menjadi kebenaran suatu waktu. Yang dengan kebohongan-kebohongan inilah, penguasa menciptakan sejarahnya. Holocaust, yang menurut Ahmadi Nejad hanyalah mitos, namun bagi rakyat Eropa adalah kenyataan sejarah yang tidak bisa diragukan. Mereka bisa ragu terhadap keberadaan Tuhan, namun meragukan Holocaust adalah kejahatan. Fir'aun menjajah Bani Israel secara fisik dan pemikiran, berabad-abad lamanya, dengan mengatakan, "Aku adalah tuhanmu yang tertinggi." Dan tak ada yang berani menentangnya, sebab telah dijadikan keyakinan yang mutlak kebenarannya.
Penyebab lainnya berpikir keliru, adalah berpikir tradisional dan terlalu mengagungkan masa lalu. Seseorang cenderung mengagung-agungkan masa lalu, terlebih lagi masa lalu itu menyisakan cerita kegemilangan dan hikayat perjuangan yang mengagumkan. "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab, "(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya)". Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun, dan tidak mendapat petunjuk." (Qs. Al-Baqarah: 170). Ayat ini menceritakan tentang mereka yang merasa cukup untuk melakukan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Ketika ada yang menyampaikan kebenaran, merekapun menolaknya dengan alasan menjaga tradisi keilmuan dan budaya nenek moyang. Sehingga Al-Qur'an menegaskan, hatta nenek moyang mereka kolot dan tidak mendapat petunjuk, mereka tetap mengikutinya.
Kecenderungan manusia adalah cepat meyakini gagasan yang diklaim brialian dan mengagumi tokoh penggagasnya. Kekaguman terhadap seorang tokoh yang berlebihan juga dapat menjebak seseorang berpikir keliru. Yang ada adalah praktek taklid buta yang sangat dikecam oleh agama, sebab setiap orang kelak secara pribadi akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam Al-Qur'an tertulis ayat, "Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar." (Qs. Al-Ahzab: 67). Disini kita mesti membedakan antara Islam dengan ulama sebagai pembesar Islam. Ulama memang pengikut Islam yang taat dan mengajarkan Islam, namun mereka tidak identik dengan Islam dan menjadi bagian dari Islam. Kaum muslimin adalah mereka yang mengikuti ajaran Islam dan mengimaninya. Umat Islam bukanlah Islam itu sendiri. Sungguh berbeda antara akidah dengan pemeluk akidah, antara sahabat Nabi dan Nabi itu sendiri. Islam yang memiliki kebenaran mutlak di satu sisi dan pengikut yang memiliki pemahaman tentang Islam yang tidak mutlak kebenarannya berada di sisi lain. Setiap dari ulama memiliki pemahaman yang berbeda tentang syariat Islam bergantung pada tingkat kemampuan dan kadar keilmuan masing-masing, yang sangat ditentukan oleh besarnya keimanan dan kemampuan menanggalkan kepentingan hawa nafsu. Realitas menyodorkan kenyataan antara ulama yang satu dengan yang lainnya tidak satu dalam pemahaman mengenai apa yang disampaikan oleh Rasulullah atau mengenai ayat yang terdapat dalam Al-Qur'an.
Dialog sebagai Tradisi Intelektual
Islam (Al-Qur'an dan Sunnah) berada pada satu sisi, dan pemahaman ulama mengenai keduanya pada sisi lain. Karenanya, berbeda pemahaman dengan seorang ulama tidaklah berarti berbeda dengan Islam yang sebenarnya. Apabila seseorang mampu memahami sebuah nash dengan pemahaman tertentu, sementara yang lain memahaminya dengan pemahaman yang berbeda, maka berarti ada tugas lain yang menunggu. Setiap dari dua pihak yang memahami berbeda dari sebuah nash harus berulang kali berupaya kembali memahami kandungan nash tersebut dengan mempertimbangkan pemahaman mereka yang berbeda. Bukan malah menganggap pemahamannyalah yang paling sesuai dengan syariat. Inilah yang sesungguhnya semestinya dilakukan kaum muslimin, bersama-sama melakukan pengkajian terus menerus sampai memperoleh kesepakatan yang satu, sebab nash sesungguhnya hanya mempunyai maksud syar'i yang tunggal yang merupakan maksud Ilahi. Secara sepihak mengklaim diri pemahamannyalah yang paling benar sembari mengutuk dan mencela pemahaman yang lain berarti menyimpang dari ketentuan ajaran Islam. Yang perlu ditadisikan adalah dialog dan keterbukaan menerima pendapat yang berbeda. Furqon Hidayat (2007) menulis, "Dalam sejarah, dialog sebagai tradisi tidak pernah hilang dari kultur intelektual. Dialog menjadi aliran darah yang memompa jantung peradaban." Dari rahim dialog lahirlah philosophia, pencinta kebijaksanaan. Socrates telah memulainya dengan dialog-dialognya yang berani dan mencerahkan melawan hegemoni Sophist. Dalam arena keagamaan, taklid buta adalah racun yang mematikan hati penganutnya, sedangkan dialog, menghidupkannya. Karenanya perlu ada keberanian untuk melakukan pengembaraan intelektual, melepas semua ikatan-ikatan dogma yang membelenggu dan mengubur tradisi klaim yang beku, kita mulai dengan dialog, diskusi, debat atau apapun namanya. Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan: "Benturkan pandangan kalian satu sama lain, niscaya kalian temukan kebenaran". Ada semangat besar dalam mencari kebenaran yang terkandung dalam hikmah Imam Ali as ini. Bukan hanya sekedar berdiskusi, berdialog, bertukar pikiran namun juga kalau perlu saling berdebat, saling membenturkan pandangan, sealot dan sekeras mungkin. Imam Ali as melanjutkan pesannya, "Siapa yang bertabrakan dengan kebenaran akan terpental." Mari saling menghantamkan pandangan, kita lihat siapa yang terpental.
Wallahu'alam bishshawwab
Qom, 15 Februari 2009

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Madeceng ustas
Begitu banyak kendaraan gratis menuju Tuhan, kenaapa kita mesti menambatkan tali kekang leher kita ke orang tak-jelas?