13 Februari, 2009

Sahabat Rasulullah saww Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah (1)

-Tanggapan atas Tulisan Rahmat A. Rahman yang berjudul : Sahabat Rasulullah SAW dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah-
-Bagian Pertama dari Dua Tulisan-
Aturan-aturan Ilahi dalam Islam merupakan aturan yang universal dan hakiki. Segala aspek yang terdapat di dalamnya adalah tuntunan yang sempurna. Aturan tersebut dibuat dan dipersiapkan secara lengkap dan ditetapkan khusus untuk membimbing manusia guna menyempurnakan kemanusiaannya dan mencapai etape kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tuntunan Islam yang dibentuk dengan tabiat dan hukum Ilahi itu berdiri pada pondasi kepastian mutlak dan keyakinan menyeluruh, berbeda dengan hukum buatan manusia yang dibuat berdasarkan pada prasangkaan, dugaan-dugaan dan pemikiran yang sifatnya sementara. Aturan Ilahi tidak sekedar terdiri dari teks-teks suci dan teori semata, melainkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh. Artinya, aturan Ilahi yang pada dasarnya adalah untaian kalimat yang menderetkan aturan-aturan main kehidupan sesungguhnya memiliki kekuatan untuk mengubah potensi diri manusia menjadi gerakan perilaku yang pasti.
Gambaran ringkasnya ada pada pribadi Muhammad saww yang mampu mengaktualisasikan aturan Ilahiah ini dalam seluruh hembusan nafas dan perilakunya. Muhammad saww diutus sebagai nabi untuk membimbing umat manusia melalui dakwah sedimikian rupa dengan menerapkan aturan Ilahi tersebut, sehingga dapat membentuk umat terbaik dan mampu menyelenggarakan daulah yang agung dalam sejarah kebudayaan manusia. Sungguhpun demikian, perjalanan sejarah umat Islam yang masih belia dan baru terbentuk mengalami pergolakan politik pada permulaan langkahnya, persis menjelang wafatnya Rasulullah saww. Sebagian muslimin telah berupaya untuk menjaga tatanan Daulah Islamiyah warisan Rasulullah yang berkeadilan, namun seolah telah menjadi nasib, pergolakan politik pada generasi awal kaum muslimin menimbulkan pertikaian yang susul menyusul, berlanjut terus mewarnai perjalanan sejarah umat manusia. Efek dramatis akibat pertikaian-pertikaian ini pun tak terhindarkan, umat Islam kemudian terpecah menjadi kepingan-kepingan besar. Pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab, mengapa terjadi perpecahan? Mengapa perpecahan ini terus berlangsung dan menimbulkan prahara yang tak berkesudahan di tubuh kaum muslimin? Mengapa perpecahan ini mengakibatkan penerapan ajaran Islam keluar dari makna dan gambaran aslinya, dan kita sebagai generasi dimasa ini tidak mampu mengaplikasiakan aturan-aturan Ilahiah tersebut secara menyeluruh bahkan seakan tercerabut dari kehidupan nyata?
Secara logika, mustahil penyebab semua ini bersumber dari aturan Islam, sebab ajaran Islam bersumber dari Allah SWT sang Pencipta dengan segala sempurna. Menurut saya ada dua hal yang bisa jadi menjadi penyebab semua ini, pertama, adanya keberanian dari penguasa-penguasa yang menorehkan tinta berwarna selain Islam dengan membuat aturan-aturan politik yang lain dan menyebutnya dengan aturan politik Islam dan kedua adanya sekelompok orang yang mengklaim diri sebagai ulama yang berusaha keras mengambil alih pikiran umat dengan memberikan pemahaman bahwa apa yang mereka pahami tentang Islam adalah pemahaman Islam yang sebenarnya. Kedua kelompok inilah yang berusaha keras meyakinkan umat Islam bahwa sejarah perpolitikan Islam sejak Rasulullah wafat hingga runtuhnya kekhalifaan Turki Usmaniyah adalah juga aturan politik Islam yang diturunkan oleh Allah untuk membimbing gerak umat manusia. Upaya mereka untuk meyakinkan kaum muslimin itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, padahal sesungguhnya tindakan pencampuradukan, mereka telah mendahulukan tabi' (orang yang mengikuti) dari pada matbu' (orang yang harus diikuti), mereka menjadikan orang-orang yang sebenarnya juga adalah pengikut (baca : sahabat nabi) sebagai sebaik-baiknya tauladan, sementara Nabi yang seharusnya menjadi pusat tauladan dalam segala hal sebagai pihak yang terabaikan.
Melalui pembahasan yang sederhana ini saya berusaha menjelaskan apa-apa yang telah diturunkan Allah dan apa-apa yang telah menjadi sunnah nabi-Nya yang saya khususkan mengenai sahabat-sahabat nabi. Apa yang terjadi setelah Rasulullah wafat hingga tercerabutnya banyak aturan Islam dalam pola kehidupan keseharian nyata umat Islam bukan disebabkan oleh adanya ketimpangan pada ajaran Islam atau salahnya aturan Ilahi, namun penyebab utamanya dari umat Islam sendiri yang telah berani mengganti nikmat -hukum- Allah dengan hawa nafsu mereka. Dari sinilah tersembunyi benih-benih malapetaka itu. Jadi marilah kita mengkajinya, melihat masa kini dengan kacamata masa lalu (al-fahm al turatsy li al-ashr).
"Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (Qs. Al-Anfal : 53).
Defenisi Ash-Shuhbah dan Ash-Shahabah
Dalam kamus-kamus bahasa dituliskan, al-ashhab, ash-shahabah, shahaba, yashhubu, shuhbatan, shahabatan, shahibun artinya, teman bergaul, sahabat, teman duduk, pengikut, penolong. Ash-shahib artinya kawan bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang yang melakukan dan menjaga sesuatu. Kita juga dapat menyatakan seperti dalam frasa ishthahaba al-qaum, artinya mereka saling bersahabat satu sama lain, atau ishthahaba al-bair, artinya menyelamatkan unta. Jika kita membaca Al-Qur'an maka kita akan menemukan kata yang berbunyi: tushahibni, shahibahuma, shahibahu, shahibatahu, ashhab, ashhabun. Kata-kata ini dapat ditemui dalam Al-Qur'an berulang-ulang sebanyak 97 kali, namun kita tidak menemukan lafadzh shahabah dan shuhbah dalam Al-Qur'an. Dengan menelaah kalimat yang ada dalam Al-Qur'an, kita dapat mengetahui bahwa kalimat-kalimat tersebut dapat memberikan makna dengan tashrif (maksud) yang berbeda-beda. Kata ash-shuhbah, mempunyai banyak makna, dan bentuknya bisa memiliki arti positif atau negatif.
Kata ash-shuhbah (persahabatan) dapat diterapkan pada hubungan antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya, antara seorang anak dengan kedua orangtuanya yang berbeda keyakinan (Qs. Luqman:15), antara dua orang yang bersama-sama melakukan perjalanan (Qs. An-Nisa:36), antara tabi' (pengikut) dengan matbu' (orang yang diikuti) (Qs. At-Taubah: 40), antara seorang mukmin dengan orang kafir (Qs. Al-Kahfi: 34 dan 37), antara orang kafir dengan orang kafir lainnya (Qs. Al-Qamar: 29), antara seorang nabi dengan kaumnya yang kafir (Qs. An-Najm: 2). Jadi secara bahasa kata ash-shuhbah memiliki makna yang sangat umum yang artinya bisa positif namun juga bisa negatif.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah mendefinisikan Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah saww, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam. Defenisi ini dibuat berdasarkan pendapat yang paling shahih menurut para muhaqqiq, seperti Bukhari, Ahmad bin Hanbal serta orang-orang yang ikut dengan mereka. Kalau kita sepakat dengan definisi ini maka dapat ditelusuri siapa saja yang bisa disebut sebagai sahabat. Yakni orang yang bertemu dengan nabi Muhammad saww, baik bertemu pada saat majelis, melalui obrolan atau sekedar melihat saja.
Defenisi ini tidak lolos dari kritik. Menurut Ibnu Hajar, seorang sahabat adalah yang beriman kepada Muhammad saww dan mengaku bahwa beliau adalah seorang nabi. Maka untuk memastikan seseorang sahabat nabi atau bukan maka kita harus benar-benar memastikan hakikat keimanan seseorang terhadap Rasulullah saww. Ini mustahil sebab masalah keimanan yang merupakan isi hati yang paling dalam dan rumit berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Yang bisa dihukumi adalah apa yang menjadi sisi dzahiriah seseorang, misalnya dengan ucapan "Saya beriman" atau menampakkan keimanan kepada nabi saww. Ini musykilah pertama dalam menentukan seseorang sahabat nabi atau bukan.
Dengan defenisi ini pula, maka tidak ada jumlah yang jelas berapa banyak yang terkategorikan sahabat nabi. Dakwah nabi, daulah, peperangan beliau, baiat umat manusia kepadanya, haji, umrah, fathu Makkah, haji wada dan kekuasaan Daulah Islamiyah beliau yang menguasai jazirah Arab seluruhnya, telah memberikan kesempatan kepada umat Islam kala itu untuk bertemu dengan Rasulullah. Terlebih lagi pemerintahan Islam yang dipimpin Rasulullah telah menghapuskan jarak dan berbagai bentuk perbedaan antara penguasa dengan rakyatnya. Rasulullah saww seringkali berjalan sendiri tanpa pengawalan ketika mencari berbagai keperluannya sendiri, sehingga masyarakat dalam pemerintahan Islam itu dapat melihat, berbicara dengannya dan menghadiri majelisnya. Karenanya dengan defenisi yang telah disebutkan, masyarakat pada Daulah Islamiyah yang dipimpin Rasulullah saww bisa disebut sahabat, sebab mereka bisa dengan sangat mudah untuk sekedar bertemu atau melihat Rasulullah saww. Lalu dengan dasar apa, Imam Abu Zur’ah Ar Raaziy, seorang ulama hadits terkemuka, menyebutkan total jumlah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam 114 ribu orang, sementara seseorang sudah bisa termasuk sahabat nabi meskipun tidak meriwayatkan hadits?. Dalam peristiwa Haji Wada' saja, sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Tadzkirah, Sibth Ibnu Al-Jauzi kaum muslimin yang bersama Rasulullah jumlahnya 120 ribu orang. Kalau jumlah yang diajukan Ibnu Al-Jauzi itu benar, maka menurut Abu Zur'ah Ar Raaziy ada sekitar 6 ribu orang yang bukan sahabat dalam pelaksanaan haji Wada bersama Rasulullah saww. Ini hanya contoh kecil adanya ketidaksepakatan antara ulama tentang sahabat nabi.
Namun anehnya, kelompok Ahlussunnah bersepakat bahwa seluruh sahabat adalah orang yang adil. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, tidak ada yang berselisih pendapat tentang hal ini kecuali segelintir ahli bid'ah, maka wajib bagi muslimin untuk meyakini sikap sahabat tersebut karena telah ditetapkan bahwa, seluruh sahabat adalah ahli surga, tak seorangpun dari mereka yang akan masuk neraka (Rujuk dalam kitab Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah karya Ibnu Hajar). Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Kabair hal. 352-353: “Barangsiapa yang mencaci dan menghina mereka (para shahabat), maka sungguh ia telah keluar dari agama Islam dan merusak kaum muslimin". Disinilah penggugatan saya terhadap ulama-ulama Ahlussunnah yang sangat berani menetapkan hukum kekafiran terhadap sesuatu yang belum jelas dan masih debatable, terlebih lagi tidak mendapatkan penetapan dari Rasulullah saww sebagai utusan Allah yang lebih berhak memberikan penetapan hukum.
Pertama, Rasulullah saww tidak pernah memberikan pendefinisian dan penentuan siapakah yang termasuk sahabat beliau. Yang menentukan defenisi adalah ulama-ulama Ahlus Sunnah seperti misalnya Ibnu Hajar al-Asqalani yang pendefinisian yang diajukannya dikatakan sebagai definisi yang paling kuat dan diterima ulama-ulama lainnya. Saya menyebutnya ini adalah bid'ah, menetapkan sesuatu yang tidak pernah ditetapkan oleh Rasulullah saww.
Kedua, dengan definisi –yang bid'ah- ini mereka (ulama Ahlus Sunnah) bersepakat untuk mengkafirkan mereka yang mencela dan menghina orang-orang yang dikategorikan sahabat menurut mereka, sementara sekali lagi, tidak ada teks hadist yang jelas memberikan penghukuman sebagaimana penetapan mereka. Saya menyebut mereka, sangat berani mengambil kedudukan Rasulullah dalam penetapan hukum.
Ketiga, pernyataan mereka bahwa para sahabat adil tanpa kecuali dan menyelisihi pendapat mereka kafir adalah pernyataan tanpa dasar, sebab yang berhak sepenuhnya menilai keadilan para sahabat hanyalah Allah SWT. Secara logika, faktual dan hukum syara', para sahabat tidaklah berada pada satu derajat yang sama. Diantara mereka ada dalam golongan yang shadiq yang tingkat keshadiqannya juga beragam, mereka adalah sahabat-sahabat yang mendapat keridhaan Allah SWT. Diantara mereka juga ada yang lemah imannya, iman belum menghujam kuat di hati-hati mereka dan tidak sedikit pula diantara mereka yang munafik, dengan tingkat kemunafikan yang berbeda-beda pula. Karenanya, hanya Allah SWT yang mengetahui apa yang ada dalam hati-hati mereka hanya Dia yang mampu memastikan keislaman dan keimanan seseorang. Ahlus Sunnah mengklaim pemahaman mereka terhadap Islamlah yang paling benar, dan yang menyelisihi pemahaman mereka disebut kafir atau minimal disebut ahli bid'ah. Ini jelas sesuatu yang sangat menyimpang dari hukum Islam. Sebab Islam sebagai sebuah ajaran Ilahi adalah satu hal sementara pemahaman kita tentang Islam tersebut adalah hal lain. Misalnya saya berbeda dengan seseorang dalam memahami Islam, tidak serta mereka pemahaman saya satu-satunya yang benar dan siapapun harus menjadikan saya sebagai sumber rujukan sementara yang tidak sependapat dengan saya otomatis kafir dan keluar dari Islam. Pandangan sempit yang menyebutkan hanya pendapat merekalah yang sesuai dengan agama diiringi dengan tuduhan kepada siapa saja yang menyelisihi mereka sama dengan kafir sangat patut untuk disangsikan. Sebab, tentu saja, menafsirkan Islam bukanlah hak prerogatif mereka, karena jelas pendapat mereka (ulama Ahlus Sunnah) adalah satu hal dan Islam adalah hal yang lain. Sayangnya, tak hanya sekedar mengklaim diri sebagai satu-satunya kebenaran namun juga menghalangi orang-orang untuk melakukan pencarian hakikat kebenaran syariat.
Selanjutnya, kita lihat hadits-hadits yang katanya membenarkan penghukuman mereka. Rahmat A. Rahman telah cukup membantu dengan mengajukan kepada kita diantara hadits-hadits tersebut, mari kita kaji.
Hadits Pertama:
Dari Abu Sa'id ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Jangan kalian mencela seorang-pun dari sahabatku. Sungguh jika salah seorang diantara kalian berinfaq sebesar gunung uhud emas, maka itu belum menyamai segenggam (dari infaq) mereka dan tidak pula setengahnya". HR. al-Bukhari, no: 3673, Muslim, no: 2541
Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata: "Jangan kalian memaki sahabat-sahabat Muhammad shallallahu alaihi wasallam, sungguh keberadaan mereka sesaat (di sisi Nabi shallallahu alaihi wasallam) lebih baik dari pada amal ibadah kalian selama empat puluh tahun". Riwayat Ahmad dalam Fadhailus Shahabah, I/57, Ibnu Majah no: 158, Ibnu Abi Ashim, II/484. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, I/32.
Hadits diatas justru tidak membenarkan penetapan mereka bahwa yang menghina dan mencela sahabat nabi telah kafir dan keluar dari Islam. Hadits di atas hanya menunjukkan bahwa adanya larangan untuk mencela sahabat nabi karena keutamaan mereka, bahwa amalan mereka tidak bisa disamai oleh 'kalian' yang disebut Rasulullah saww tersebut. Al-Qur'an menyatakan bahwa amalan-amalan orang kafir itu sia-sia, tertolak karena kekafiran mereka (baca diantaranya, Qs. Hud: 16). Sementara hadits di atas amalan si "kalian" itu tidaklah sia-sia hanya saja tidak atau belum menyemai segenggam dari infaq para sahabat dan tidak pula setengahnya dan lebih baik dari amal ibadah si "kalian" selama empat puluh tahun. Kalau pencelaan terhadap sahabat nabi menyebabkan kekafiran, adalah sebuah keniscayaan Rasulullah saww untuk menyebutkan dan menyampaikan secara terang dan jelas, sebab sangat berkaitan dengan keimanan dan keselamatan seorang muslim. Rasulullah saww adalah yang paling besar keinginan untuk melihat umatnya selamat dunia dan akhirat. Hadits di atas tidak memberikan keterangan yang jelas dan terang, bahwa yang mencela sahabat nabi kafir dan keluar dari Islam.
Persoalan selanjutnya, kita patut mengajukan pertanyaan, siapa yang dikatakan Rasulullah 'kalian' pada hadits di atas. Kalau kita mengamati secara cermat, maka "kalian" pada teks di atas tentu bukanlah sahabat nabi, melainkan orang selain mereka, karenanya dilarang untuk mencela sahabat. Lalu -dengan definisi Ibnu Hajar- adakah orang yang bertemu dengan Rasulullah saww, beriman terhadap beliau dimasanya namun tidak termasuk sahabat beliau?, jawabnya tentu saja tidak ada, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Kalau dikatakan bahwa "kalian" yang dimaksud adalah orang-orang kafir, maka teks berikut, "Sungguh jika salah seorang diantara kalian berinfaq sebesar gunung Uhud emas dan itu belum menyamai segenggam (dari infaq) mereka dan tidak pula setengahnya" adalah ucapan sia-sia, sebab buat apa Rasulullah mengucapkannya sementara sudah jelas bagi siapapun bahwa amalan orang-orang kafir tertolak, sia-sia dan tidak bisa diperbandingkan dengan amalan orang-orang yang beriman dan tidak mungkin Rasulullah mengucapkan teks tersebut.
Kalaupun benar hadits diatas adalah hadits yang shahih dan benar-benar berasal dari Rasulullah saww, maka ada dua kemungkinan. Pertama, tidak semua orang yang bersama dan yang beriman kepada Rasulullah saww dimasanya adalah sahabat nabi, sebab si "kalian" diatas bukanlah sahabat nabi. Dengan hadits ini defenisi sahabat oleh Ibnu Hajar tertolak dengan sendirinya. Kemungkinan kedua, dengan sepakat pada pendefinisian Ibnu Hajar, maka 'kalian' yang dimaksud adalah sahabat nabi. Maka secara harfiah hadits diatas juga bisa dikatakan,"Janganlah kalian (sahabat) mencela seorangpun dari sahabatku (diri kalian sendiri)" yakni, hadits diatas adalah larangan yang ditujukan kepada sahabat-sahabat nabi untuk jangan mencela diri mereka sendiri. Kalau disuruh memilih –sebab hadits diatas dikatakan pasti shahih sebab diriwayatkan Bukhari-Muslim- saya memilih kemungkinan pertama, sebab kemungkinan kedua sangat tidak jelas dan tidak mengandung makna apa-apa, apalagi jika dikaitkan dengan pahala infaq. Kemungkinan pertama berbunyi, tidak semua orang yang bersama dengan Rasulullah dimasanya bisa disebut sebagai sahabat nabi. Sahabat nabi adalah orang-orang yang benar-benar telah teruji keimanannya dan mampu menunjukkan kesetiaannya kepada Islam sampai akhir hayatnya. Karenanya, kalaupun hadits ini benar-benar shahih, maka pesan Rasulullah saww ini ditujukan kepada orang-orang yang baru masuk Islam setelah kondisi aman dan tidak terjadi peperangan lagi, misalnya setelah Fathul Makah, ataupun kepada orang-orang Islam yang tidak pernah ikut bersama Rasulullah dalam hijrah dan jihad, karenanya Rasulullah membedakan umat Islam saat itu, ada yang termasuk sahabatnya yakni golongan yang pertama masuk Islam, berhijrah dan berjihad bersama Rasulullah dan juga ada yang tidak termasuk dalam kategori sahabat nabi. Hal ini bisa kita pahami dari ayat berikut, "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan." (Qs. At-Taubah: 19-20) atau pada ayat berikut, "Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Qs: al-Hadid : 10). Ayat kedua ini jika kita kaitkan dengan hadits Rasulullah saww di atas maka ini menunjukkan adanya perbedaan diantara mereka yang menafkahkan hartanya dan berperang sebelum penaklukkan Mekah (disebut sahabat oleh nabi) dan mereka yang menafkahkan harta dan berperang setelah Fathul Makah (disebut 'kalian' oleh Nabi saww). Karenanya wajar, jika Rasulullah mengatakan kepada si 'kalian' yakni yang menafkahkan hartanya setelah peristiwa Fathul Makah (meskipun bertemu langsung dan beriman kepada Rasulullah namun Rasul tidak menyebutnya sebagai sahabatnya) tidak akan mencapai pahala sahabat-sahabat nabi yakni yang menafkahan hartanya sebelum penaklukan kota Makah.
Riwayat kedua diatas yang berasal dari Ibnu Umar ra, bisa sedikit kita terima bahwa "kalian" yang dimaksud Ibnu Umar ra memang bukan yang termasuk sahabat nabi, sebab dimasa Ibnu Umar ra (yakni masa sepeninggal Rasulullah saww) terdapat orang-orang Islam yang tidak sempat bertemu dengan Rasulullah saww. Namun saya kembali bertanya, apakah riwayat dari Ibnu Umar ra di atas termasuk hadits yang kita wajib berpegangan dan berpedoman padanya?. Dalam teks riwayat di atas, Ibnu Umar ra sama sekali tidak menyampaikan bahwa apa yang dikatakannya tersebut berasal dari Rasulullah saww, jadi yang mendengarkannya bisa langsung berpendapat bahwa ini adalah pendapat pribadi Ibnu Umar ra. Pertanyaannya, dengan kapasitas apa Ibnu Umar ra bisa menetapkan hukum, bahwa keberadaan sahabat sesaat lebih baik dari amal ibadah si 'kalian' selama empat puluh tahun?. Meskipun Ibnu Umar ra termasuk sahabat nabi lalu apakah beliau berhak menetapkan sesuatu tanpa petunjuk wahyu dan penetapan Rasulullah saww?. Kalaupun pernah ditetapkan Rasulullah seharusnya beliau menyertakan nama Rasulullah ketika menyampaikan riwayat di atas bahwa beliau mendengarnya dari Rasulullah saww. Riwayat di atas dalam ilmu hadits dikategorikan sebagai riwayat yang mursal.
Hadits Kedua:
Dari Uwaim bin Sa'idah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah memilih diriku, lalu memilih untukku para sahabat dan menjadikan mereka sebagai pendamping dan penolong. Maka siapa yang mencela mereka, atasnya laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah Ta'ala tidak akan menerima amal darinya pada hari kiamat, baik yang wajib maupun yang sunnah". HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau berkata: Sanadnya Shahih, dan disepakati oleh az-Dzahabi, III/632. Akan tetapi didhaifkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ad-Dhaifah, no: 3157
Hadits Ketiga:
Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Berhati-hatilah tentang sahabatku, jangan kalian jadikan mereka bahan ejekan sepeninggalanku. Siapa yang mencintai mereka, maka dengan cintaku aku mencintainya. Dan siapa yang membenci mereka maka dengan kebencianku akupun membenci mereka. Siapa yang menyakiti mereka maka sungguh ia telah menyakiti aku. Siapa yang menyakiti aku maka ia telah menyakiti Allah. Dan siapa yang menyakiti Allah, maka pasti Ia akan menyiksanya". (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: Hadits ini Hasan. Akan tetapi Syaikh al-Albani menyatakan dha'if dalam Dha'if at-Tirmidzi no: 808.)
Hadits kedua dan ketiga di atas, dengan adanya penjelasan dari pakar hadits terkemuka, Syaikh Al-Albani bahwa kedua hadits tersebut sanadnya dhaif, maka tidak memberi pengaruh apa-apa dalam penetapan hukum. Karenanya, sangat disayangkan ulama-ulama Ahlus Sunnah menetapkan hukum kekafiran kepada orang-orang yang mencela dan menghina sahabat nabi berlandaskan kepada hadits-hadits yang riwayatnya lemah atau dhaif.
Kedudukan Sahabat dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah sumber referensi yang diyakini autensitasnya oleh seluruh kaum muslimin sebagai rujukan dalam penetapan hukum. Al-Qur'an menyebut dirinya diantaranya sebagai pengingat -al-Dzikr- (Qs. Al-Hijr: 9), pembeda –al-Furqan- (Qs. Ali-Imran: 4) dan penjelas –al-Bayan- (Qs. Al-Baqarah: 185). Karenanya dalam penetapan hukum kita harus lebih dahulu melihat bagaimana pandangan Al-Qur'an tentang suatu hal. Al-Qur'an memuat firman-firman Allah SWT yang suci yang membicarakan banyak hal, tentang para sahabat Rasulullah saww Allah SWT pun tidak luput menceritakannya dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an misalnya menceritakan tentang As-Sabiquna al-Awwalun, pelopor-pelopor pertama dari para Muhajirin dan Anshar (Qs. At-Taubah: 100), Al-Mubayyi'una tahta asy-Syajarah (Qs. Al-Fath: 18), Al-Muhajirun yang diusir dari rumahnya dan dipisahkan hartanya (Qs. Al-Hasyr: 8-10), Ashhabul Fath (Qs. Al-Fath: 29) dan lain-lain yang mendapat kemuliaan dan keridhaan Allah SWT. Namun Allah SWT juga tidak luput untuk menceritakan kelakuan sahabat-sahabat nabi yang sebaliknya. Allah SWT berfirman, "(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah dan Allah melihat apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Ali-Imran: 163)
Ayat Pertama:
"Dan diantara orang-orang Arab yang (tinggal) di sekitarmu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar." (Qs. At-Taubah: 101).
Tim penerjemah Depag RI menerjemahkan al-a'rab sebagai orang-orang Arab Badui, sementara Arab Badui adalah mereka yang tinggal dipebukitan dipinggiran kota Makah dan kehidupannya sangat sederhana dan terbelakang, sementara ayat di atas tertulis jelas adalah orang yang tinggal di sekitar nabi, dan Nabi tinggal dijantung kota Madinah. Orang desa yang bermigrasi kekota dan bermukim disana, tidak bisa lagi disebut sebagai orang desa. Orang-orang Arab Badui juga sangat dikenal dengan kesederhanaan pola pemikirannya, mereka sangat lugu, polos dan jujur. Kisah yang paling masyhur tentang salah seorang Arab Badui adalah yang mengencingi Masjid Nabi, ketika sahabat-sahabat nabi hendak memukulinya, nabi justru menjelaskan dengan lembut bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan. Ayat di atas menceritakan keberadaan orang-orang munafik yang berada disekitar nabi, yang mereka keterlaluan dalam kemunafikannya, artinya sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan sangat lihai menampakkan apa yang tersembunyi di hati-hati mereka, karenanya tidaklah benar jika dinisbahkan kepada orang-orang Arab Badui yang pikirannya sederhana. Artinya orang-orang yang dikatakan munafik itu, mereka menampakkan secara dzahir bahwa mereka juga termasuk orang-orang beriman, melakukan amalan sebagaimana amalan kaum muslimin pada umumnya, mereka shalat berjamaah bersama Rasulullah, berjihad, berzakat dan sebagainya. Saking kerasnya mereka dalam kemunafikannya tidak ada yang mengetahui bahwa mereka sebenarnya orang-orang munafik sebab secara dzahir mereka menampakkan keshalihan hatta –sebagaimana dijelaskan ayat di atas- Rasulullah saww sendiri tidak mengetahui mereka. Karenanya wajar jika kemudian orang-orang mengenali mereka sebagai sahabat-sahabat nabi, bahkan bisa jadi oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah termasuk golongan sahabat nabi yang terkemuka.
Ayat Kedua
Dalam Surah Al-Munafiqun ayat 1 sampai 8. Diceritakan bahwa orang-orang munafik datang dan berkata kepada Rasulullah saww, "Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasul Allah." Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai. Karena orang-orang munafik ini menampakkan keimanan maka sekali lagi mereka dikenal dan diakui termasuk orang-orang beriman dan sahabat-sahabat nabi. Allah SWT berfirman, "Dan apabila engkau melihat mereka, tubuh mereka mengagumkanmu. Dan jika mereka berkata, engkau mendengarkan tutur katanya." (Qs. Al-Munafiqun: 4). Maksud dari "tubuh mereka mengagumkanmu" adalah amalan-amalan dzahir mereka. Mereka tampak benar-benar shalih dan ahli ibadah, ada bekas sujud di dahinya, rambut mereka kusut karena ibadah dan sebagainya, sehingga tubuh-tubuh mereka benar-benar sangat mengagumkan, padahal sebenarnya mereka sebagaimana firman Allah SWT adalah musuh yang sebenarnya.
Karenanya saya tegaskan berkenaan dengan surah Al-Munafiqun ini atau surah At-Taubah ayat 101 di atas, dengan defenisi sahabat dari Ibnu Hajar sangat besar kemungkinannya mereka yang sebenarnya orang-orang munafik yang Allah SWT meminta kita untuk waspada kepada mereka dikategorikan oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah sebagai sahabat-sahabat Rasulullah saww, sebab jangankan mereka (ulama-ulama Ahlus Sunnah) Rasulullah sendiri tidak mengetahui kemunafikan mereka. Yang kemudian ulama-ulama Ahlus Sunnah ini bersepakat jika ada yang mencela yang dalam kategori mereka sebagai sahabat nabi maka akan dikenai hukum, kafir dan keluar dari Islam dan halal darahnya untuk ditumpahkan. Benar-benar merindingkan bulu roma, untuk sesuatu yang sangat tidak jelas hakikatnya mereka bersepakat tanpa keraguan untuk mengeluarkan istinbath hukum. Tidakkah mereka membaca firman Allah SWT, "Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar-benar (berhalangan) dan sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?" (Qs. At-Taubah: 43). Kalau kepada nabi-Nya sendiri Allah SWT bertanya mengapa ada penetapan hukum sebelum jelas bagi nabi Muhammad saww mana diantara yang meminta izin untuk tidak pergi berjihad orang-orang yang benar-benar berhalangan dan orang-orang yang berdusta, maka bagaimana mereka ulama-ulama Ahlus Sunnah bisa menetapkan hukum atas sesuatu yang bagi mereka belum jelas mana diantara sahabat-sahabat nabi yang benar-benar beriman dan mana diantara mereka yang munafik dan mati dengan membawa selubung kemunafikannya itu.
Ayat Ketiga
"Jika (mereka berangkat bersamamu), niscaya mereka tidak akan menambah (kekuatan)mu, malah hanya akan membuat kekacauan, dan mereka tentu bergegas maju kedepan di celah-celah barisanmu untuk mengadakan kekacauan (dibarisanmu); sedang diantara kamu ada orang-orang yang sangat suka mendengarkan (perkataan) mereka. Allah mengetahui orang-orang yang dzalim." (Qs. At-Taubah: 47).
Ayat di atas menceritakan tentang keberadaan orang-orang yang ikut bersama nabi berjihad namun sesungguhnya hanya membuat kekacauan, mereka tidak menambah kekuatan kaum muslimin sebab mereka pada dasarnya ikut berjihad bukan untuk memerangi orang-orang kafir, mereka hanya berlarian kesana-kemari ditengah barisan kaum muslimin, tanpa membunuh seorangpun musuh. Dan sekali lagi, bisa jadi karena mereka ikut berjihad bersama Rasulullah saww dan berada ditengah-tengah barisan kaum muslimin, ulama-ulama Ahlus Sunnah mengkategorikannya sebagai sahabat-sahabat nabi, sebab jangankan mereka (ulama-ulama Ahlus Sunnah) diantara sahabat-sahabat nabi sendiri (yang sebenar-benarnya sahabat) sebagaimana firman Allah SWT di atas, suka mendengarkan perkataan mereka sebab menganggap mereka juga adalah orang-orang yang setia dan berjihad demi keagungan Islam dan kaum muslimin, padahal mereka hanyalah orang-orang yang mengadakan kekacauan pada barisan kaum muslimin, yang kerjaannya dimedan jihad hanya berlarian kesana kemari. Tim Penerjemah Depag RI menerjemahkan اوضعوا dengan "bergegas maju kedepan", dalam kamus bahasa Arab Al-Munjid diartikan berjalan dengan cepat (berlarian) kesana kemari.
Ayat Keempat
"Dan ada pula yang lain, yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. At-Taubah: 102). Ayat ini menceritakan sisi kemanusiaan sahabat-sahabat nabi yang tidak ubahnya dengan kita kaum muslimin di masa kekinian. Diantara mereka juga ada yang shaleh disuatu waktu, dan kembali sesat diwaktu yang lain. Karenanya meskipun dengan keagungan dan keutamaan mereka yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya, kita tetap hatus kritis terhadap mereka, memuji disaat mereka lagi shalih-shalihnya dan berlepas diri dari mereka saat mereka melakukan penyimpangan terhadap sunnah nabi.
Ayat Kelima
"Kemudian, setelah kamu ditimpa kesedihan, Dia menurunkan rasa aman kepadamu (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata, "Adakah sesuatu yang kita perbuat dalam urusan ini?" Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah." Mereka menyembunyikan yang di dalam hatinya apa yang tidak mereka terangkan kepadamu." (Qs. Ali-Imran: 154). Tim Penerjemah Depag RI menafsirkan golongan yang satu sebagai golongan Islam yang kuat keyakinannya, sedangkan golongan yang kedua adalah orang Islam yang masih ragu-ragu. Karenanya jelas, ayat ini menjelaskan keimanan sahabat-sahabat nabi juga bertingkat-tingkat, ada yang telah kuat keimanannya dan masih ada juga diantara mereka yang masih diliputi keraguan meski mereka tumbuh langsung di bawah naungan tarbiyah Rasulullah, melihat langsung mukjizat dan ayat-ayat Allah diturunkan kepada Rasulullah saww. Karenanya, minimal bagi saya, menyamaratakan kedudukan keimanan sahabat-sahabat nabi adalah salah besar. Rahmat A. Rahman menulis pada artikelnya, "Merekalah generasi yang tumbuh langsung di bawah naungan tarbiyah Rasulullah saw. Menyaksikan dan mendengar segala yang berkaitan dengan agama ini langsung dari beliau saw. Karenanya, mereka ibarat menara benderang dalam hal pemahaman akan kebenaran, kelurusan aqidah, kesungguhan ibadah, kemuliaan akhlak dan kesahajaan hidup. Dan semua ini tergores apik dalam tinta emas sajarah peradaban umat. Hingga tidak heran kalau kemudian mereka ditahbis sebagai tonggak penegak kelangsungan ajaran Islam.". Ayat di atas menunjukkan realitas lain, sebab diantara sahabat nabi ada juga yang mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, antara keshalihan dan kebejatan, dan diantara mereka juga masih ada yang memiliki keyakinan kepada Allah SWT sebagaimana prasangkaan orang jahiliah. Karenanya bagaimana bisa ditetapkan secara keseluruhan bahwa mereka tanpa kecuali adalah "ibarat menara benderang dalam hal pemahaman akan kebenaran, kelurusan aqidah, kesungguhan ibadah, kemuliaan akhlak dan kesahajaan hidup".
Ayat Keenam
"(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada siapapun, sedang Rasul (Muhammad) yang berada diantara (kawan-kawan)mu yang lain memanggil kamu (kelompok yang lari), karena itu Allah menimpakan kepadamu kesedihan demi kesedihan, agar kamu tidak bersedih hati lagi terhadap apa yang luput darimu dan terhadap apa yang menimpamu. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan." (Qs. Ali-Imran: 153).
Ayat ini turun di Uhud, tatkala perang berkecamuk antara kaum muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah saww sendiri dengan kaum musyrikin Mekah. Dalam kedahsyatan perang, sebagian sahabat melarikan diri dan tidak lagi menoleh kebelakang meskipun Rasulullah memanggil mereka untuk kembali. Ketidak patuhan mereka terhadap perintah Rasulullah saww menyebabkan kaum muslimin mengalami kekalahan dalam perang ini, sampai Rasulullah saww sendiri penuh luka dan giginya patah (Ibnu Hisyam menuliskan dalam sirahnya siapa saja diantara sahabat yang melarikan diri dalam perang tersebut). Meskipun pada ayat berikutnya (ayat 155 pada surah yang sama) Allah SWT memberikan ampunan dan memaafkan mereka yang lari dan meninggalkan Rasulullah saww, namun ini hanya bisa dipahami bahwa dosa yang diampuni hanyalah dosa larinya mereka pada perang Uhud ini, sebab sesungguhnya kesalahan serupa kembali mereka lakukan pada perang Hunain. Allah SWT berfirman, "Sungguh Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik kebelakang dan lari tunggang langgang." (Qs. At-Taubah : 25). Ayat ini turun berkenaan dengan beberapa sahabat yang pada perang Hunain berbalik kebelakang dan lari tunggang langgang, dan diantara mereka sebagaimana yang ditulis al-Hakim dalam al-Mustadraknya III hal 37 adalah sahabat Abu Bakar (yang dikenal sebagai sahabat paling utama nabi) dan Umar bin Khattab (yang dikenal sebagai pahlawan Islam yang gagah berani). Allah SWT melanjutkan firman-Nya pada ayat ke 27 pada surah yang sama, "Setelah itu Allah menerima taubat orang yang Dia kehendaki. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." Ayat ini memberi penegasan bahwa meskipun yang lari tunggang langgang dari perang Hunain bertaubat, namun belum tentu diterima, sebab Allah hanya menerima taubat orang yang Dia kehendaki.
Allah SWT berfirman, "Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka." (Qs. An-Nisa': 80).
Ayat Ketujuh
"Wahai orang-orang yang beriman! Bersiap siagalah kamu dan majulah (ke medan pertempuran) secara berkelompok atau majulah bersama-sama (serentak). Dan sesungguhnya di antara kamu pasti ada orang yang sangat enggan (ke medan pertempuran). Lalu jika kamu ditimpa musibah dia berkata, "Sungguh, Allah telah memberikan nikmat kepadaku, karena aku tidak ikut berperang bersama mereka." (Qs. An-Nisa': 71-72).
Ayat di atas tidak ada keraguan lagi menceritakan tentang adanya sahabat yang sangat enggan untuk terjun dan maju ke medan pertempuran. Mukhatib (pendengar) dari firman di atas adalah orang-orang beriman di zaman Rasulullah yang artinya dengan menggunakan defenisi Ibnu Hajar, maka ayat di atas ditujukan kepada sahabat-sahabat nabi. 'Sayangnya', secara terus terang Allah SWT menyampaikan bahwa di antara mereka (sahabat nabi) ada yang enggan menuju medan pertempuran. Ayat ini dan ayat ke enam di atas yang menceritakan adanya sahabat yang lari tunggang langgang dari medan jihad, bertentangan dengan pendapat Rahmat A. Rahman ketika menulis tentang sahabat, "Merekalah para pahlawan yang selalu tegar di garda terdepan membela dan menyebarkan agama ini. Melalui tetes keringat dan darah mereka syariat ini abadi. Dan sejarah membuktikan, bahwa ketulusan dan keikhlasan hati mereka mengemban amanah Rasulullah saw itu, menjadikan mereka generasi teladan sepanjang sejarah umat manusia." Dalam surah An-Nisa' ayat 77 diceritakan ada di kalangan mereka yang 'sok jagoan', meminta izin untuk berperang sebelum ada perintah berperang, namun ketika ada pewajiban perang, mereka justru takut kepada musuh seperti takutnya kepada Allah bahkan lebih takut dari itu. Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?".
Pada surah At-Taubah ayat 38 Allah SWT memberi jawaban atas pertanyaan mereka, "Wahai orang-orang yang beriman, (maa lakum) mengapa kamu ini?, bila dikatakan kepada kamu, "Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah", kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit."
Ya, Al-Qur'an mengatakan lain, bahwa pendapat Rahmat A. Rahman tentang sahabat terlalu mengada-ada.
Ayat Kedelapan
"Dan apabila mereka melihat perdagangan dan permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, "Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan," dan Allah pemberi rezeki yang terbaik." (Qs. Al-Jumuah: 11) Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa orang-orang yang beriman sebelum kami. Saya tidak ingin banyak bercerita tentang ayat ini. Ketika Rasulullah berdiri di mimbar dan sedang berkhutbah, sebagian dari mereka meninggalkan Rasulullah dan lebih memilih berdagang dan bermain-main. Dengan melihat dua ayat sebelumnya pada surah yang sama, maka 'mereka' yang dimaksud adalah orang-orang beriman, yang tentu saja termasuk sahabat menurut Ibnu Hajar. Lihat lebih jelasnya penjelasan Imam Suyuthi dalam kitab Ad-Durrul Mantsur, hlm 220, 223.
Ayat Kesembilan
"Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar." (Qs. Al-Fath: 10).
Sayang, ayat ini tidak menjadi perhatian Rahmat A. Rahman ketika memberi penjelasan ayat ke 18 surah Al-Fath yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)". (Qs: al-Fath : 18).
Rahmat A. Rahman menulis, "Ayat ini merupakan dalil yang jelas akan persaksian Allah Ta'ala dan tazkiyah atas para sahabat. Dan ini merupakan bentuk persaksian terhadap apa yang ada dalam hati mereka, sebab Allah-lah yang Maha Mengetahui apa yang terkandung di dalamnya. Dari sini lahirlah keridhaan-Nya atas mereka. Dan siapa yang Allah Ta'ala telah ridha padanya, mustahil mati dalam keadaan kufur. Sebab ukuran utamanya adalah kematian dalam keadaan Islam. Disamping keridhaan itu tidak mungkin terwujud melainkan jika kematian mereka berada di atas agama Islam."
Pertanyaannya, dari manakah Rahmat A. Rahman menetapkan bahwa "siapa yang Allah Ta'ala telah ridha padanya, mustahil mati dalam keadaan kufur. Sebab ukuran utamanya adalah kematian dalam keadaan Islam", sementara Allah SWT dan Rasul-Nya sendiri tidak menetapkan itu?. Kehidupan setiap manusia diciptakan sebagai sarana untuk menguji mereka. Allah SWT berfirman, "Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun." (Qs. Al-Mulk: 2). Proses ujian Allah SWT kepada setiap manusia dimulai ketika akalnya telah mampu membedakan antara yang baik dengan yang batil, dan proses ujian ini terus berkelanjutan dan berakhir dengan kematian. Seorang hamba harus selalu berada dalam ketaatan sampai ajal menjemputnya. Ketika seseorang secara sadar merusak ketaatan itu dan tidak ada upaya untuk kembali pada ketaatan maka akan membuatnya keluar dari Islam dan akan mendatangkan murka-Nya. Keridhaan atau kemurkaan Allah itu terletak pada setiap amal perbuatan manusia, dan pada ayat di atas keridhaan itu hanya diberikan atas mereka ketika berjanji setia kepada nabi Muhammad saww. Seorang yang taat akan mendapatkan keridhaan Allah SWT dan akan selalu mendapatkan keridhaan dengan syarat ketaatan tersebut, namun kemudian seandainya sehari sebelum ajalnya dia kafir kepada Allah dan tidak bertaubat sampai ajal menjemputnya maka sia-sialah segala ketaatannya terdahulu dan mati dengan membawa kemurkaan dari Allah SWT.
Kalau dikatakan, keridhaan Allah atas sahabat yang berjanji setia di bawah pohon berarti mereka mustahil mati dalam keadaan kufur, maka sama halnya telah berarti proses ujian buat mereka. Dengan mengucapkan janji setia kepada Rasul, mereka tidak perlu lagi diuji dalam kehidupan mereka. Jelas ini bertentangan dengan hikmah penciptaan manusia. Allah SWT berfirman, "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, "Kami telah beriman," dan mereka tidak diuji?. Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." (Qs. Al-Ankabut: 2-3). Mereka yang berjanji setia dengan Rasulullah saww di bawah pohon juga tersentil dengan ayat ini. Tidaklah cukup bagi mereka sekedar menyatakan bahwa mereka setia sebelum kesetiaan mereka itu diuji. Keridhaan Allah SWT atas mereka karena kejujuran dan kemantapan iman mereka ketika mengucapkan janji, sebab Allah Maha Mengetahui sisi-sisi terdalam lubuk hati manusia. Keridhaan Allah yang mereka dapatkan bukanlah sebagai jaminan kepastian bahwa mereka akan selalu setia dengan janji mereka dan tidak sekalipun waktu melakukan pelanggaran atas janji yang telah mereka sematkan atas nabi Muhammad saww. Hal ini bisa kita pahami ketika kita merujuk pada ayat lain dalam Kitab Suci Al-Qur'an.
Allah SWT berfirman, "Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar." (Qs. Al-Fath: 10).
Ayat di atas secara terang dan jelas mengatakan, bahwa saking ridhanya Allah kepada mereka yang berjanji setia kepada nabi Muhammad saww, Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka. Namun sekali lagi, keridhaan dan Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka bukanlah jaminan mereka tetap setia pada janji mereka apalagi memastikan bahwa mereka tidak akan mati dalam keadaan kufur, sebab itu Allah SWT melanjutkan firman-Nya, "….maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar."
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, "Maka adakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya di neraka Jahannam? Itulah seburuk-buruk tempat kembali." (Qs. Ali-Imran: 162). Ayat ini lebih jelas lagi memberi keterangan dari pada ayat sebelumnya, bahwa orang yang sebelumnya mendapatkan keridhaan Allah ketika melanggar janjinya akan kembali membawa kemurkaan dari Allah SWT dan tempatnya di neraka Jahannam. Di akhir ayat 55 surah An-Nur tertulis, "…Tetapi barangsiapa kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (Qs. An-Nur: 55).
Di bagian lain Al-Qur'an Allah SWT berfirman, "Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, serta mengakui bahwa Rasul (Muhammad) itu benar-benar (rasul), dan bukti-bukti yang jelas telah sampai kepada mereka? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang dzalim. Mereka itu balasannya ialah ditimpa laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya." (Qs. Ali-Imran: 86-87).
Ayat di atas saya kira sudah cukup meyakinkan kita, bahwa keridhaan yang didapatkan sahabat-sahabat yang berjanji setia di bawah pohon bukanlah keridhaan yang meniscayakan mereka akan selalu setia pada janji mereka, tetap ada kemungkinan suatu waktu mereka berbelot dan menjadi musuh-musuh Islam selanjutnya. Berkenaan dengan sabda Rasulullah saww, "Tidak akan masuk neraka dengan izin Allah seorang-pun yang ikut berbai'at di bawah (pohon)". (HR. Muslim, no. 2496) tetap tidak menunjukkan keniscayaan mutlak, sebab dengan izin Allah hanya bisa dipahami, selagi mereka tetap setia dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam ajaran Islam seseorang yang masuk Islam yang kemudian hari dia kembali kepada kekafiran dan keluar dari Islam maka dihukumi seakan-akan dia tidak pernah masuk Islam, amalan ibadahnya sewaktu menjadi muslim menjadi sia-sia. Begitupun halnya mereka yang berbaiat, yang kemudian hari mencabut baiatnya atau melakukan perbuatan yang menggugurkan baiatnya maka dia terhukumi seakan-akan tidak pernah ikut berbaiat, dan baiatnya tidak bisa menjadi hujjah baginya kelak.
Demikianlah, masih banyak lagi ayat-ayat yang berkenaan dengan sahabat-sahabat nabi dalam Al-Qur'an yang tidak hanya menceritakan keagungan dan kecemerlangan mereka, namun juga secara terus terang menjelaskan bahwa diantara mereka, ada yang lemah imannya, ada yang lari tunggang langgang dari peperangan, enggan ikut berjihad, ada yang mengingkari janjinya dan sebagainya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Karenanya penetapan bahwa seluruh yang dikategorikan sahabat –dengan defenisi Ibnu Hajar- adalah adil dan masuk surga tanpa terkecuali sangat menyimpang dari ajaran-ajaran suci Al-Qur'an. Kedudukan mereka tidaklah berada pada titik derajat yang sama melainkan bertingkat-tingkat, dan kita harus secara jujur mengakui itu. Jangankan para sahabat, diantara Rasul-Rasul Allah saja yang tidak ada lagi keraguan atas keimanan mereka di sisi Allah derajat dan kedudukan mereka satu sama lain tidaklah sama. Allah SWT berfirman, "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang (langsung) Allah berfirman dengannya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat." (Qs. Al-Baqarah: 253). Lalu dari manakah ulama-ulama Ahlus Sunnah itu mengambil keputusan?. Apakah sama keimanan Abu Bakar ra dan Imam Ali as sebagai golongan yang pertama masuk Islam dengan Abu Sufyan dan Muawiyah yang masuk Islam karena kekalahan dan tidak lagi punya pilihan lain?. Apakah sama keimanan sahabat-sahabat yang mengantongi curicullum vitae keagungan jihad bersama Rasulullah di perang Badar, Uhud, Hunain dengan mereka yang masuk Islam setelah Fathul Makah?. Apakah sama mereka yang bersungguh-sungguh berjihad di medan perang demi keagungan Islam dan kaum muslimin dengan mereka yang lari tunggang langgang dari peperangan atau yang sekedar berlarian kesana kemari di tengah-tengah barisan?. Nalar kita dan syariat Islam menegaskan mereka tidaklah sama. Allah SWT berfirman, "(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah dan Allah melihat apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Ali-Imran: 163).
Selanjutnya, jika ada yang mengelak dari kenyataan ini dan berkilah ayat-ayat yag telah saya ajukan berkenaan dengan orang-orang munafik dan bukan untuk para sahabat. Saya mengajukan dua poin penekanan.
Pertama, sebagian dari ayat-ayat yang telah dikemukakan dimulai dengan seruan "Wahai orang-orang beriman..." yang artinya ditujukan kepada orang yang beriman saat itu. Dengan defenisi Ibnu Hajar maka tentu saja mereka terkategorikan sebagai sahabat-sahabat nabi. Kedua, dari mana ulama Ahlus Sunnah bisa memastikan yang mana termasuk sahabat dan yang mana diantara mereka yang munafik?, sementara ayat-ayat sendiri menyebutkan Rasulullah saww dan dikalangan sahabat sendiri tidak mengetahui siapa diantara mereka yang munafik dan yang menyembunyikan kekufuran di hatinya. Untuk dizaman mereka saja, orang-orang munafik itu dikenal sebagai sahabat-sahabat nabi oleh yang lainnya, apalagi untuk zaman sesudahnya. Karenanya sangat besar kemungkinannya, mereka yang sebenarnya munafik dan seharusnya mendapatkan laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya namun oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah dikategorikan sebagai sahabat nabi yang dianggap layak mendapatkan pengagungan dan penghormatan dan kekufuran bagi yang mencela dan menghina mereka.
Untuk itu dalam hal ini perlu kerja tahqiq yang ekstra untuk menyeleksi diantara mereka siapakah yang mu'min sejati dan siapa yang sekedar berpura-pura dan mati tetap di dalam kedustaannya itu. Sejarah mempersembahkan perjalanan kehidupan mereka, kita bisa melakukan pengkajian dan menelusurinya dari situ. Menutup jalan penelitian atas mereka, dengan alasan mereka para sahabat nabi adalah orang-orang yang adil tanpa terkecuali dan meragukan keadilan salah seorang dari mereka adalah kekufuran, kefasiqan, kemunafikan dan bid'ah tentu saja sangat tidak Islami. Ajaran para nabi, dari nabi Adam as sampai nabi Muhammad saww, bertujuan membebaskan manusia dari taqlid buta, kebodohan, keterbelakangan, takhayul, perilaku tidak etis dan pola berpikir yang keliru. Islam sama sekali tidak kompromi dengan pemikiran yang stagnan dan taqlid buta, ikut-ikutan tanpa kitab yang menerangi dan hujjah yang kuat. Justru dengan penjelasan-penjelasan yang beragam, Islam mendorong untuk mencari ilmu, mengembangkan pemikiran, melakukan gugatan-gugatan dan ktitis terhadap budaya dan pemikiran orang-orang terdahulu. Dalam lingkungan ilmiah, harus ada izin bagi tiap orang untuk mengatakan pikirannya, mengizinkan setiap orang untuk berbicara sehingga kebenaran pada akhirnya bisa diungkapkan.
Adakah yang lebih puitis selain berbicara tentang kebenaran?
Bukan begitu?.
(Bersambung)
Ismail Amin
Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran
Tulisan Rahmat A. Rahman bisa dibaca di www.wahdah.or.i

Tidak ada komentar: