16 Mei, 2009

Negeri yang Terlahir dari Buku

Setahu saya, tidak ada yang lebih membuat seseorang lebih dikenal dan menjadi besar kecuali lewat transkrip-transkrip pemikiran yang dituliskannya pada berlembar-lembar kertas yang kemudian kita menyebutnya buku. Tidak bisa dipungkiri, kehidupan kita bisa jadi lebih mudah dengan ditemukannya alat-alat teknologi yang dikekinian semakin canggih dan beragam, ataupun banyak nyawa-nyawa kritis yang terselamatkan dengan semakin modernnya peralatan medis. Namun adakah yang bisa membendung dan menyembunyikan nama besar seseorang yang terlahir lewat buku?. Bukankah nama-nama penemu dunia justru kalah populer dibanding para penulis buku?. Setiap saya berbicara tentang buku, ingatan saya tidak bisa lepas dari Muhammad Hatta. Orang besar yang dimiliki bangsa ini pernah menulis, “Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja; sebab dengan buku pikiranku tetap bebas."
Lewat tulisan yang dimuat dalam buku Memoir yang ditulisnya sendiri, Muhammad Hatta ingin menunjukkan betapa ia sangat mencintai buku. Bentuk cintanya, tidak hanya dengan membacanya, namun juga membuat buku sendiri. Alam Pikiran Yunani adalah bukti konkret betapa ia memiliki kecintaan yang meluap-luap, sekaligus membuktikan bahwa pikirannya benar-benar bebas merdeka meskipun tubuhnya terpenjara. Buku 'Alam Pikiran Yunani' ditulisnya selama mendekam di Digul 1934 dan berlanjut di Pulau Ende pada 1936. Dari penjaralah, "Alam Pikiran Yunani" lahir.
Di sini Hatta tidak sendiri. Saya kira setiap pemimpin pergerakan dan orang-orang yang kemudian hari menjadi besar itu tidak pernah bisa jauh dari buku. Buku bagi mereka adalah nyawa. Adalah nafas panjang. Itulah sumber energi yang menggerakkan tubuh dan jiwa mereka. Dengan membaca, bagi orang-orang seperti Soekarno, Hatta, Soetan Syahrir, Muhammad Yamin, Tan Malaka sampai Amir Syarifuddin tidak pernah merasa terpenjara dan perlu merasa takut. Lihat saja fragmen terfakhir dari perjalanan hidup Amir Syarifuddin, perdana menteri kedua dalam sejarah Indonesia setelah Syahrir. Beberapa jam sebelum di ekseskusi mati di Solo –karena terlibat dalam peristiwa Madiun 1948- perwira yang bertugas menjaganya bertanya apa permintaan terakhirnya. Ia menjawab dengan meminta buku. Maka disodorkanlah buku Romeo and Juliet karangan William Shakespeare, dan selanjutnya dikisahkan, Amir menghabiskan detik-detik terakhirnya membaca buku dengan tenang sebelum ditembak mati.
Ini hanyalah salah satu fragmen sejarah bangsa yang menunjukkan adanya hubungan yang akrab antara revolusi Indonesia dengan buku. Karenanya tidak berlebihan kalau Zen Rahmat Soegito mengatakan bahwa Indonesia didirikan diantaranya oleh orang-orang pecinta, pembaca dan penulis buku. "Banyak sekali fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hal itu", tulisnya.
Sebagaimana yang dikatakan Hatta, pikiran tidak pernah terpenjara. Begitu pulalah Kartini. Dalam kondisi dipingit di 'sangkar' kadipaten ia belajar autodidak. Majalah atau koran terkenal seperti Maatschappelijk werk in Indie, De Gids, De Hollandsche Lelie, De Locomotief sampai karya Multatuli berjudul Max Havelaar di lahapnya. Dengan bacaan-bacaan ini ia menuliskan karya-karyanya, tidak hanya buku Door Duisternis Tot Licht (Usai Gelap Berpendarlah Terang) sebagaima yang telah dikenal tetapi juga tercatat ada dua buku kebudayaan, yakni Het buwelijk bij de Kodjas (Upacara Perkawinan pada Suku Koja) dan De Batikkunst in Indie en haar Geschiedenis (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya). Buku kedua ini yang membuat ukiran Jepara dikenal di seantero negeri. Dengan karya-karya itu, maka Kartini bukan hanya pejuang emansipasi yang lebih dikenal dengan kebayanya, tapi juga ibu epistolari –meminjam istilah Muhidin M. Dahlan- yakni ibu penulis.
Negeri yang Lahir dari Tinta
Kalau Kartini menulis pergulatan pemikirannya dalam bentuk surat dan dikirimkan ke 12 korespondesinya di Belanda. Sjahrir menulis renungan-renungannya dalam bentuk surat kepada istrinya di Belanda, Maria Duchateau. Surat-surat inilah yang kemudian terbit dalam bentuk buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen (dalam edisi Indonesia berjudul Rantau dan Perjuangan). Inilah renungan kebudayaan paling cemerlang yang pernah ditulis oleh seorang anak bangsa. Buku ini menunjukkan keluasan erudisi seorang Sjahrir. Ia mampu meletakkan setiap pokok gagasan dalam konteks alur perkembangan sejarah intelektual dunia. Sjahrir mampu menjelaskan seperti apa “hubungan darah” antara satu filsuf dengan filsuf yang lain, dari Johan Huizinga, Dante, Dostoyevski, Benedotte Croce hingga Nietzche. Selanjutnya, tidak adil kalau saya tidak menyebut nama Tan Malaka sebagai yang termasuk penulis kawakan yang dimiliki bangsa ini. Bahkan bagi saya ia harus berada dalam deretan teratas. Ketangguhannya dalam menulis benar-benar telah teruji. Produktivitas dan staminanya betul-betul tanpa tanding. Penjara, pengasingan, pembuangan dan penyakit akut tidak pernah mampu membuatnya berhenti menulis. Hanya kematian yang bisa menghentikannya menulis. Coba anda bayangkan, di tengah situasi yang begitu berbahaya pada masa kekuasaan Jepang, Tan Malaka masih mampu menerbitkan sebuah buku dahsyat berjudul Madilog. Tan Malaka menulis Madilog dalam situasi yang sangat terbatas, tanpa referensi, seluruh kutipan diambil dari ingatannya belaka, dengan bahan tulis yang terbatas dalam persembunyiaannya, memaksanya menulis Madilog dengan huruf-huruf yang sangat kecil. Madilog berbicara nyaris tentang semua aspek kehidupan, dari mulai filsafat, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, sejarah hingga sains modern, yang meliputi dari matematika, kimia, fisika hingga astronomi. Bukunya menununjukkan betapa hebatnya ia sebagai orang asia, sebagai orang timur dan sebagai orang Indonesia . Dan orang ini pula yang dalam pekik perang kemerdekaan, dalam suasana perang mempertahankan kemerdekaan, masih sempat-sempatnya menerbitkan buku yang berjudul Moeslihat. Bahkan dalam pemenjaraan yang tak jelas selama periode 1946-1948, Tan Malaka tetap meneruskan aktivitas intelektualnya. Di penjara itulah Tan Malaka, di antaranya, menulis From Jail to Jail atau Dari Penjara ke Penjara. Hanya peluru tentara republiklah yang kemudian menghentikan aktivitas menulis Tan Malaka. Soekarno sebagai Presiden pertama republik inipun tidak pernah bisa lepas dari kerja-kerja intelektual, membaca dan menulis. Meski negara yang dipimpinnya tengah mengalami kondisi politik dan ekonomi yang porak-poranda ia masih sempat juga menulis dan menerbitkan buku Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia , 1947.
Karenanya, tidak berlebihan jika menyebut Negara ini dibangun dan diperjuangkan oleh orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap buku yang melimpah. Tradisi cinta buku tidak bolehlah mati. Negeri ini tidak hanya dibangun dari tetesan keringat dan darah tapi juga tinta. Lahir dari buku dan lembaran-lembaran agitasi. Jangan pinggirkan kenyataan itu!!!.

Selamat Hari Buku Nasional, 17 Mei.
Ismail Amin, penikmat buku sedang belajar di Qom Iran .

Tidak ada komentar: