10 Februari, 2009

Iran dan Revolusi yang Belum Selesai

Begitu memasuki Februari, rakyat Iran disibukkan oleh hari-hari peringatan revolusi. Hari Kemenangan revolusi Islam 30 tahun lalu, bertepatan dengan 11 Februari tahun 1979, dalam penanggalan Iran tanggal 22 Bahman 1357 HS. Suasana gegap gempita di mulai dari sepuluh hari sebelumnya, yang merupakan hari kedatangan Imam Khomeini di Iran setelah pengasingannya di Perancis. Di seluruh pelosok negeri rakyat Iran melantunkan senandung kemenangan, Istiqlal, Ozodi, Jumhuri-e Islami (Independensi, Kebebasan dan Republik Islam). Gerakan massa yang dipimpin Imam Khomeini berhasil menumbangkan kekuasaan Rezim Syah Pahlevi. Kemenangan itu sekaligus membuktikan kekuataan massa tanpa senjata melawan rezim yang terkuat di Timur Tengah kala itu. Kemenangan revolusi Islam membuka lembaran baru bagi negara ini. Rakyat Iran memasang gambar-gambar Imam Khomeini, gambar para syuhada dilengkapi kata-kata perlawanan terhadap berbagai macam kedzaliman dan penindasan. Bendera Iran yang ditengahnya bertuliskan kalimat La ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah) berkibar dimana-mana.
Suasana revolusi 30 tahun silam memang sangat heroik, dan sulit untuk dilupakan rakyat Iran. Jutaan orang turun ke jalan dalam mobilisasi massa terbesar sepanjang sejarah revolusi-revolusi dunia, berhadapan dengan kekuatan militer terkuat kelima di dunia. Dalam pertempuran demi pertempuran sebelum dan pasca revolusi lebih dari satu juta rakyat Iran yang menjadi syuhada akibat perang Revolusi ini. Kekuatan kolosal kaum ploretar yang tak pernah menjadi perkiraan pengamat politik, menjatuhkan rezim dinasti yang sempat dirayakan hari jadinya yang ke 2.500 tahun 1971 oleh Syah Pahlevi. Revolusi ini juga dikenal dengan sebutan Revolusi Bunga, sebab rakyat Iran menghadapi kekuatan militer Syah dengan lontaran bunga. Pada saat itu, Michel Foucault (cendekiawan Perancis) yang berada di Teheran menulis sebuah artikel berjudul, "Mimpi Apa yang Dibayangkan Warga Iran". Disebutkannya, "10 bulan rakyat Iran berhadap-hadapan dengan Rezim yang memiliki persenjataan paling lengkap dan personil polisi yang paling mengerikan di dunia. Itupun dengan tangan kosong dan tanpa melakukan perlawanan senjata, serta dengan keberanian dan tekad besar yang akhirnya mampu memukul militer".
Dalam Revolusi Iran, agama menjadi poros dan motor penggerak perjuangan dan pengorbanan bangsa Iran. Pierre Blanche, Wartawan Perancis yang melihat langsung partisipasi epik masyarakat Iran sekan-akan tidak percaya dan menyebut "Revolusi Iran adalah Revolusi Para Malaikat". Terkait hal ini, seorang pengamat handal masalah Timur Tengah, Eric Rouleau mengatakan, "Revolusi Iran merupakan satu-satunya revolusi religius yang bahkan kelompok minoritas pun mendukung dan ikut berperan dalam prosesnya". Islam bagi rakyat Iran, bukan semata-mata kepercayaan akan ritual dan sekumpulan norma etik melainkan juga spirit bagi proses perubahan sosial. Menurut mereka, dasar kepercayaan Islam adalah kekuatan perlawanan dan pembebas. Sebuah kekuatan yang memprakarsai sebuah perjalanan baru sejarah sosial Islam. Islam tidak semata-mata memuat deretan do’a dan ibadah melainkan perlawanan yang bergelora.
Revolusi Iran, Revolusi Islam
Dalam hitungan hari suasana berubah drastis. Dinasti monarki hancur berkeping-keping dan berdirilah Republik Islam Iran. Republik Islam yang terbentuk berkat kemenangan revolusi Islam, adalah sistem pemerintahan baru yang dikenalkan bangsa Iran kepada dunia. Sebuah sistem pemerintahan yang tidak pernah tertulis dalam kamus politik manapun. Sistem yang menjadikan agama Islam sebagai pilar utama bagi membangun struktur politik, sosial dan budaya. Republik Islam memberikan perhatian besar kepada pembentukan spiritual dan nilai-nilai insaniah,dan inilah yang membedakan Republik Islam dari sistem-sistem pemerintahan lainnya. Memasuki Februari suasana benar-benar berganti. Muharram yang merupakan bulan berduka bagi rakyat Iran telah berlalu, kini kain hitam yang menutupi dinding-dinding rumah digantikan dengan kain berwarna hijau, putih dan merah. Gambar-gambar Imam Khomeini dan suasana revolusi 30 tahun lalu dipasang dimana-mana. Rakyat Iran menyebut 10 hari menjelang peringatan revolusi sebagai "Dah fajar mubarak" yang artinya sepuluh hari yang penuh keberkahan.
Hari kedatangan Imam Khomeini 1 Februari 1979 dari pengasingannya di Perancis dianggap hari keberkahan. Selama 10 hari ini rakyat Iran mengisinya dengan berbagai peringatan. Mimbar-mimbar masjid yang biasanya digunakan para ustadz dan da'i berkhutbah selama 10 hari ini digantikan oleh persaksian tokoh-tokoh yang terlibat dalam revolusi, materi khutbah digantikan dengan kisah-kisah kepahlawanan mereka tentang peristiwa revolusi yang spektakuler terrsebut. Mereka diberi gelar Syahid Zendeh (para syahid yang hidup) dan didaulat untuk bercerita tentang hari-hari menjelang revolusi. Mereka yang ditangkapi, disiksa oleh kaki tangan Syah yang anti revolusi. Di saat-saat mereka bercerita, kadang diselingi oleh pekikan takbir dari jama'ah. Setiap malam semua stasiun TV menyuguhkan film-film dokumenter yang berlatar belakang hari-hari kejatuhan Syah Pahlevi ataupun film-film yang menceritakan kisah-kisah para tokoh revolusioner. Khutbah-khutbah perlawanan Imam Khomeini kembali diperdengarkan, diantaranya yang paling sering adalah khutbah tahun 1963 yang membuatnya harus terbuang ke Turki, "Demi Allah, berdosalah orang yang tidak mau protes! Demi Allah, berdosa besar orang yang tidak mau berteriak, Adakah yang lebih buruk dari keterjajahan?" begitupun ceramah-ceramah Syahid Murtadha Muthahari diperdengarkan lewat loudspeaker di jalan-jalan utama.
Puncak peringatan pada hari 11 Februari, semua rakyat Iran bertumpah ruah di jalan raya. Mereka membuat karnaval yang terpanjang dan terbesar di dunia. Di Teheran tidak henti-hentinya rakyat Iran berziarah di makam Imam Khomeini, tokoh yang telah memimpin jalannya revolusi. Sedangkan di Qom dipusatkan di bekas rumah Imam Khomeini yang pernah didiaminya selama menjadi santri dan pengajar di Hauzah Ilmiyah Qom. Untuk menyebut rumah tersebut sebagai rumah Imam Khomeini sebenarnya kurang tepat, sebab rumah tersebut bukan milik pribadi melainkan status kontrakan. Rakyat Iran berjubelan di lorong kecil menuju bekas rumah kontrakan sang Imam. Tidak sedikit dari mereka yang menangis terisak, mengenang kesederhanaan Imam, yang meninggalkan negara yang dipimpinnya dengan harta pribadi berubah beberapa helai baju, beberapa buku, pemotong kuku, sisir dan kacamata. Meski telah berlalu puluhan tahun, Imam Khomeini tetap hidup di hati dan pikiran rakyat Iran. Yang menarik lainnya, di jalan-jalan bukan lagi seruan Mark bar Syah yang di lantangkan, sebagaimana 30 tahun lalu melainkan seruan-seruan yang sesuai konteks sekarang, Mark bar Amriko, Mark bar Israel (kebinasaan buat Amerika, kebinasaan buat Israel) dan seruan persatuan ummat Islam. Perjuangan rakyat Iran memang belum selesai, bagi mereka kedzaliman dan penindasan harus selalu di lawan.

Tidak ada komentar: