21 Maret, 2009

Mengambil Hikmah dari Negeri Empat Musim

Sedari dulu saya begitu tertarik dengan salju. Saya gila terhadap bacaan (novel, cerpen, puisi) yang selalu menjadikan salju sebagai latar ceritanya. Sekarang saya tidak perlu lagi berkhayal bisa menyentuh salju. Di Iran, saya bisa melihat pepohonan di taman asrama dilapisi putihnya salju. Ada kekaguman terhadap deretan cemara yang selalu tegar melawan musim. Pohon yang saya lihat di musim panas, gugur, dingin dan semi adalah deretan pohon itu-itu juga. Di musim salju, cemara harus lebih tegar lagi menahan beban tumpukan salju.
Butiran-butiran salju yang tertumpah dari langit lebih berat dari tetes-tetes hujan, namun ia jatuh ke bumi tanpa suara. Kristal-kristal putih itu melayang dengan lembut dan mendarat dengan halus. Namun, pernahkah engkau bayangkan sekiranya butiran-butiran halus salju itu menyentuh kulitmu?. Pernahkah engkau membayangkan bagaimana rasanya hidup di musim salju tanpa mengenakan baju hangat, atau tinggal di rumah yang tidak dilengkapi fasilitas pemanas ruangan?. Pada saat itu salju bukan lagi keindahan, namun tontonan tragedi yang menyayat hati. Teman saya asal Bosnia menceritakan, di musim salju, ketika tumpukan salju disingkirkan dari jalan-jalan kota, tidak sedikit ditemukan mayat-mayat manusia. Mereka adalah para tunawisma yang mencoba bertahan hidup di tengah musim dingin yang menusuk tulang. Ya, dongeng tentang salju tidak melulu menceritakan kebahagiaan sang putri salju, namun juga kegetiran hidup putri penjual korek api, yang mati beku kehabisan api penghangat.

Bertepatan dengan 20 Maret tahun ini, masyarakat Iran bersuka cita menyambut datangnya musim semi yang juga menandai datangnya tahun baru. Dalam penanggalan Iran hari tahun baru adalah hari pertama di musim semi (disebut Fasl-e Bahor). Sistem penanggalan Iran telah disusun sejak 1725 tahun sebelum Masehi dan terus mengalami penyempurnaan hingga kini. Dimasa kekhalifaan Islam, kalender Iran mengalami penyesuaian dengan kalender Islam dan disebut dengan Kalender Hijriyah Syamsi sebab penentuan tanggal Iran berdasar pada edar bumi terhadap matahari dan disebut Hijriyah karena tahun pertamanya juga dihitung dari hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. Adanya perbedaan jumlah hari dalam setahun dengan kalender Hijriyah Qamari menyebabkan jalannya tahun pada kalender Iran lebih lambat dan tahun ini baru memasuki 1388 HS sementara kalender Hijriyah telah memasuki tahun ke 1429.
Wajar masyarakat Iran menyambut tahun baru mereka dengan luapan kegembiraan. Mereka tidak lagi tersiksa oleh dahsyatnya hawa dingin, tersiksa oleh tumpukan salju di jalan yang mengakibatkan kemacetan berjam-jam. Mereka tidak perlu lagi repot-repot mengenakan pakaian hangat yang tebal setiap keluar rumah, tidak perlu lagi takut terpeleset oleh jalan yang licin, tidak ada lagi aktivitas membersihkan atap rumah dari tumpukan salju yang berton-ton beratnya. Datangnya musim semi benar-benar kesyukuran bagi mereka.
Letak geografis Iran dan bentangan daratnya yang variatif membuat negara ini memiliki empat musim (semi, panas, gugur dan dingin). Di musim panas cuacanya sangat panas. Pada Juli sampai Agustus suhu mencapai rata-rata 38°C (100°F). Di musim gugur mereka kerepotan dengan hembusan angin gurun yang juga panasnya tidak ketulungan. Dan di musim dingin, mereka harus bisa bertahan dengan suhu udara yang bisa menukik hingga minus. Musim semi adalah saat yang dinanti-nantikan. Di saat itulah mereka bisa keluar rumah sepuasnya, bunga-bunga pun bersemi menampakkan keindahan warnanya. Tradisi menyambut tahun baru (mereka menyebutnya Nouruuz) dimulai sejak dua-tiga minggu sebelum bulan Esfand (bulan terakhir dalam penanggalan Iran) berakhir. Diantara kebiasaan mereka adalah membeli ikan mas kecil dan bibit gandum yang telah tumbuh sekitar 4-7 cm, konon katanya tradisi ini telah berumur 15.000 tahun. Ikan mas hidup yang ditaruh dalam toples melambangkan kelincahan dan hidup yang penuh aktivitas, sedangkan bibit gandum melambangkan produktivitas. Bahwa di tahun baru ini mereka harus lebih aktif dan produktif dalam menghasilkan karya-karya bagi kemanusiaan.
Namun ada fenomena menarik yang bisa jadi selama ini luput dari pengamatan kita, bahwa negara-negara yang memiliki empat musim lebih maju dibanding negara di daerah tropis. Kita bisa lihat perbandingan taraf hidup dinegara-negara Eropa, Amerika, Jepang, China, Korea, Australia dengan negara-negara yang hanya memiliki dua musim yang tersebar disebagian Asia dan Afrika. Iran pun tidak bisa dipungkiri, saat ini melejit sebagai salah satu negara maju di belahan Timur Tengah. Saya yakin, kondisi alam berpengaruh besar dalam membentuk karakter membangun dalam jiwa-jiwa mereka. Adanya perbedaan musim yang drastis menuntut penduduknya untuk tidak monoton dalam aktivitas hidup. Mereka dituntut untuk tangguh menghadapi kegerahan di musim panas, kekeringan di musim gugur, mengatasi dingin di musim salju, dan tidak terlena di musim semi. Dalam analisis sosio-psikologi adanya perubahan musim yang membutuhkan adaptasi ini akan membentuk karakter bangsa yang kuat dan tangguh dalam mengatasi problematika hidup. Tidak heran, di tengah ketatnya sanksi dan embargo jangka panjang negara-negara Barat dan Amerika Serikat, Iran justru mampu menunjukkan dirinya sebagai negara yang mandiri secara cemerlang. Salah satu keberhasilan negeri ini yang membuat dunia terpana adalah kemajuan dari segi iptek.
Sejak kemenangan Revolusi Islam pada tahun 1979, Iran telah dihadapkan pada embargo ekonomi Barat. Lewat langkah terselubung, negara-negara Barat berusaha mencegah masuknya perlengkapan dan teknologi cangih ke Iran. Meski demikian, Iran tetap mampu menorehkan beragam prestasi mengagumkan di bidang iptek, tidak hanya dalam hal tekhnologi nuklir, produksi mobil namun juga piawai dalam teknologi antariksa. Dengan keberhasilan meluncurkan roket pembawa satelit "Safir Omid" dan sebuah maket satelit percobaan di orbit bumi, Iran menjadi negara regional pertama yang mandiri tanpa bantuan asing, baik dalam membuat satelit maupun dalam meluncurkan dan mengontrolnya.
Kalau Iran bisa melakukan ini, kira-kira apa yang menghambat kemajuan di Indonesia?. Ketika melihat salju, saya teringat betapa beruntungnya kita. Kita bisa hidup dengan kontruk bangunan ala kadarnya, hatta dindingnya terbuat dari kardus atau pelepah pohon. Di negeri empat musim, rumah harus dibangun kokoh, lengkap dengan sistem pemanas dan pendingin jika tidak ingin mati diterkam keganasan alam. Sayangnya, anugerah Ilahi ini disia-siakan oleh tangan-tangan kotor yang tahunya hanya menjarah dan menindas. Hasan Aspahani (2004), menolak menyebut Indonesia sebagai negeri dua musim, dalam puisinya "Dongeng Negeri Empat Musim" (2004) dia menyebut, ada empat musim di negeri ini, musim berdusta, musim berjanji, musim berpura-pura dan musim lupa. Anehnya, empat musim itu bisa terjadi dalam waktu yang sama.
Qom, 20 Maret 2009
Sesaat setelah Iran merayakan Nouruuz nya

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Cerita menarik ustas.
Banyak org kaya indonesia yg melancong ke negeri empat musim krn pengen menikmati musim2 itu seumpama di filem2 atau fiksi2 yg mereka baca.
Sayangnya banyak yg abai klo sesungguhnya dua musim yg kita miliki jauh lebih indah, sejenak saja diterpa banjir atau kemarau panjang mengeluhnya seperti penduduk paling nestaapa di dunia...

Ismail Amin mengatakan...

Lebih kacaunya, kalau kekeringan dan banjir itu disebut takdir he..he...

Unknown mengatakan...

Salam,

Wah tulisannya sangat menarik dan memberikan insiprasi tuk kami di Indonesia,
di tunggu "lilin-lilin" berikutnya.
Mohon ijin copas artikelnya untuk disimpan di gubuk saya
http://bersama14.blogspot.com/
http://www.facebook.com/pages/Mari-belajar-dari-Iran-kemajuan-Iran-setelah-diembargo-Amerika/453919221292275