15 Februari, 2008

Kontroversi Kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol

Ro Bonjol… Ro Bonjol
(Bonjol datang… Bonjol datang).

Basyral Hamidy Harahap, 67 tahun, peneliti sejarahMandailing, masih ingat cerita-cerita lisanturun-temurun di kampungnya di Simanabun, PadangLawas. Kisah tentang bagaimana takutnya pendudukketika pasukan Padri pimpinan Tuanku Tambusai datangmenyerbu. Masyarakat Simanabun memukul kentungansembari berteriak, "Bonjol datang, Bonjol datang."Lalu mereka naik perbukitan Dolok menyelamatkan diri. Kontroversi Kebrutalan Kaum PadriGerakan Padri selama ini diidentikkan dengankepahlawanan Imam Bonjol dan kelompoknya melawanBelanda. Tapi belakangan sebuah buku lama yangkontroversial dan me sisi gelap Padri,Tuanku Rao, diterbitkan kembali. Lalu muncul buku barudengan judul Greget Tuanku Rao sebagai reaksi. Kedua buku ini memperlihatkan bahwa gerakan Padrisesungguhnya adalah gerakan Wahabi—gerakan pemurnianIslam yang dilakukan secara keras terhadap Islamkultural di Minang dan Batak. Dan itulah gerakan yangmembuat puluhan ribu nyawa jadi korban. Imam Bonjol dianggap dengan sadar melakukan itu, sehingga ada usul gelar pahlawan nasional dicabut darinya. Betulkahdemikian? Ikuti pembahasan Tempo.

… Petisi ini mendesak Pemerintah Indonesia untukmembatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagaiPahlawan Perjuangan Kemerdekaan…. Imam Bonjol adalahpimpinan Gerakan Wahabi Paderi…. Gerakan ini memilikialiran yang sama dengan Taliban dan Al Qaeda…. Invasi Paderi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang…. Petisi online itu tersebar di banyak mailing listseminggu lalu. Seorang anak muda, MudySitumorang—lulusan Teknik Elektro Institut TeknologiSepuluh Nopember, kelahiran Simanindo, PulauSamosir—telah mengirimnya. Dalam petisi itu, iamembeberkan dosa-dosa gerakan Padri, antara lain pembantaian massal keluarga Kerajaan Minangkabau Pagaruyung dan penyerbuan Padri ke Batak yang menewaskan Sisingamangaraja X. Ia mengatakan petisi itu atas nama pribadi, bukan organisasi, dan semata-semata untuk pelurusan sejarah."Kita tunggu sampai 500 pendukung. Hasilnya dikirim kepemerintah," katanya saat dihubungi Tempo. Sampai sekarang, petisi itu memang belum "berbunyi". Namun petisi ini mengingatkan orang akan dua buah buku bertema sama yang baru-baru ini terbit. Yang satuadalah buku lama karya Mangaradja Onggang Parlindunganberjudul Tuanku Rao. Buku itu pertama kali dicetakpenerbit Tanjung Pengharapan, 1964, dan diluncurkankembali oleh penerbit LKiS Yogya, Juni lalu, tanpa suntingan apa pun, bahkan tetap dalam ejaan lama. Itulah buku yang pada 1964 menghebohkan. Buku itutidak bercerita langsung tentang Imam Bonjol, tapi berisi kronologi penyerangan komandan-komandan Padri. Parlindungan sendiri menyusun buku itu berdasarkan data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah diNormaalschool Pematangsiantar. Ayahnya memiliki warisan dokumen sejarah Batak turun-temurun dari tigagenerasi sepanjang 1851-1955. Di samping itu, Parlindungan memakai bahan-bahan milikResiden Poortman. Posisi Poortman sama dengan SnouckHurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yanginformasinya diminta oleh pemerintah Belanda.Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortmanpensiun pada 1930 dan kembali ke Belanda. Di Leiden,Belanda, Poortman lalu menemukan laporan-laporan paraperwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku ImamBonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadidan pernah bertemu di Belanda. Poortman mengirimka nbahan-bahan laporan itu saat Parlindungan menulis bukunya. Parlindungan bukan sejarawan profesional. Caranya menulis pun serampangan. Data yang diramunya itu sering ditampilkan cut and glue atau dinarasikan kembali dengan bahasa campuran: bahasa Indonesia lisan, kadang disisipi kalimat-kalimat Inggris yang panjang. Di sana-sini, ia memberikan komentar yang cara penulisannya seperti seorang ayah yang menerangkan kisah kepada anaknya. Kata ganti yang dipakai untuk dirinya adalah "Daddy". Sedangkan anak laki-lakinya di situ disebut "Sonny Boy". Ketikapolemik menghangat, buku itu ditarik dari peredaran. Buku itu pun jadi buku langka. Di sebuah pameran buku di Jakarta, buku itu beberapa tahun lalu bahkan sempat dihargai Rp 1,5 juta. Buku kedua, Greget Tuanku Rao, ditulis Basyral Hamidy Harahap, terbit September lalu. Basyral adalah KetuaJurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voorTaal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Ia inginmengoreksi beberapa info tentang Tuanku Rao yang dianggapnya kurang tepat. Tapi, pada garis besarnya,ia sepakat dan bahkan menambahkan data kekerasan yang dilakukan Padri. "Buku Parlindungan banyak salahnya,tapi buku itu ada di jalan yang benar." l l l Siapakah Parlindungan? Tak banyak yang tahu sosokpengarang ini. Basyral sendiri pada 1974 pernahbertemu dengannya di dekat rumah Hamka di Jakarta. Ialangsung menanyakan kabar polemik antara Parlindungandan Buya Hamka. Agaknya Parlindungan tak suka. "Saatitu ia langsung mengarahkan tongkatnya yang berkepalagading ke arah dahi saya. Saya kaget, mengelak,"kenang Basyral. Hal ini sedikit terkuak ketika anaknya, DorpiParlindungan Siregar, kini 59 tahun, mau berceritakepada Tempo—dialah anak yang dipanggil Sonny Boydalam bukunya. "Ayah saya seorang perwira KNIL. Perjalanan karierayah saya dimulai ketika pada 1 Oktober 1945, JenderalMayor Oerip Soemohardjo mendirikan Tentara KeamananRakyat (TKR). Beliau mengumpulkan 17 anak muda diYogyakarta, di antaranya Soeharto, Ibnu Sutowo, danayah saya." Pada usia 27 tahun, menurut Dorpi, ayahnya memperolehpangkat letnan kolonel. Sebagai insinyur kimia lulusanJerman dan Belanda, ayahnya menjadi bawahan dr WillerHutagalung, dulu dokter pribadi Jenderal Soedirman.Mereka kemudian mengambil bekas pabrik mesiu danperalatan senjata Belanda, yang lalu menjadi Pindad. Pada 1960, ayahnya ditahan rezim Soekarno karenadianggap pro-Masyumi. Tempat tahanan ayahnyaberpindah-pindah, dan akhirnya menjalani tahananrumah. Di sanalah, dengan data milik kakeknya danResiden Poortman, ayahnya menulis buku Tuanku Rao. Dan yang mengejutkan, bagian terbesar halaman bukuayahnya menceritakan kisah kejahatan algojo Padribernama Tuanku Lelo, sosok yang tak lain menurutParlindungan adalah kakek dari kakeknya sendiri. "Jadiia seperti menceritakan aib keluarga sendiri. Takbanyak penulis yang berani seperti itu," kata AhmadFikri dari LKiS. Buku itu awalnya, menurut Dorpi,tidak diperuntukkan bagi umum, tapi bagi anak-anaknyasaja. "Sehabis membaca Al-Quran setiap hari, Ayahmembacakan cerita ini untuk saya dan adik," kenangDorpi akan ayahnya yang meninggal pada 1975 itu. Atas desakan teman-temannya, buku itu akhirnya diterbitkan.

Perang Paderi, Wahabi vs Syiah (peny)

Buku itu intinya berisi informasi bagaimana gerakan Wahabi masuk Minang. Waktu itu, tahun 1803, HajiPiobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin kembali ke Minang setelah bermukim di Mekkah lebih dari 12 tahun.Mereka adalah bekas perwira tentara Turki. Mereka mencoba menanamkan mazhab Hambali di Sumatera, menekankan pemurnian Islam. Gerakan pembersihan agama Islam ini menarik hati seorang mubalig besar bernama Tuanku Nan Rentjeh, yangtengah gundah lantaran di Minang berkembang Islam Syiah. Mereka bersama-sama kemudian mencita-citakan suatu Darul Islam. Piobang membentuk pasukan Padriyang sangat profesional. Pakaian mereka serba putih.Persenjataannya cukup kuat. Mereka, misalnya, menurutParlindungan, memiliki meriam 88 milimeter bekas miliktentara Napoleon yang dibeli "second hand" di Penang. Dua belas perwira Padri dikirim belajar di Turki. Tuanku Rao, yang aslinya seorang Batak bernama Pongkinangolngolan Sinambela, dikirim untuk belajartaktik kavaleri; Tuanku Tambusai, aslinya bernamaHamonangan Harahap, belajar soal perbentengan. Pasukan Padri juga memiliki pendidikan kemiliteran di Batusangkar. Sasaran pertama "gerakan kaum putih" ini adalah Istana Pagaruyung, karena istana itu dianggap sebagai boneka Belanda yang merintangi Darul Islam. Pada 1804, ribuan rumah dibakar dan keluarga Istana Pagaruyung dibantai. Untuk cita-cita Darul Islam, pasukan Padri ingin meluaskan agresinya ke luar alam Minangkabau—ke tanahBatak. Salah satu tamatan pendidikan militer Batusangkar,bernama Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, olehTuanku Nan Rentjeh diperintah mencari lokasi yangbakal digunakan sebagai benteng—basis tentara Padrimenyerang Tanah Batak. Peto menemukan bekas sarangperampok di rute Minangkabau-Batak bernama Bonjol. Ia mengislamkan kawasan Bonjol, membangun benteng disana, serta melatih kekuatan 10 ribu tentara. Sejak itu, ia dijuluki Imam Bonjol. Buku Tuanku Rao ini menjelaskan cukup detail bagaimanapersiapan dan kronologi invasi Padri ke Batak Selatan(1816) dan Toba (1818- 1820). Dari etape-etape danserangan kilat (blitzkrieg), siasat-siasat, sampainotula rapat-rapat para panglima dideskripsikan.Pendiri Padri, Haji Piobang dan Tuanku Imam Bonjol,mengkoordinasi penyebaran pasukan di bawah pimpinanTuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lelo, TuankuAsahan, Tuanku Maga, dan Tuanku Kotapinang. Toba dikepung dari empat penjuru. Tuanku Asahan dengankavaleri berkekuatan 11 ribu tentara menyerang darisamping kanan; Kolonel Djagorga Harahap dengankekuatan 4.000 anggota pasukan dari sayap kiri; TuankuMaga menusuk dari sisi tengah atas dengan 5.000anggota pasukan; Tuanku Lelo bersama 9.000 tentaranyamerangsek dari sisi tengah bawah. Pada 1820,Sisingamangaraja X, yang bertahan di Benteng Bakkara,akhirnya tewas. Kepala Sisingamangaraja X ditusuk diatas tombak, dipancang di tanah. Penyerbuan yang paling bengis dilakukan oleh TuankuLelo. Parlindungan sendiri menganggap "eyangnya" itu"kriminal perang". Tuanku Lelo bernama asli IdrisNasution. Sosoknya besar, berjanggut hitam, berambutpanjang, berombak-ombak. Ia mengenakan baju jubah danserban yang seluruhnya putih serta suka memakaiselempang dan ikat pinggang berwarna merah bertaburanemas—yang dirampasnya di Pagaruyung. Ia dikenalsebagai algojo pembantai, juga maniak seks. Parlindungan bahkan sampai menyebut eyangnya ituseorang big scoundrel yang memiliki kelakuan binatang.Di tiap kawasan, sang eyang mengumpulkan ratusanwanita, lalu memerkosanya. Di Toba, 14 malamberturut-berturut pasukannya dibiarkan melakukan pestaseks besar-besaran. Ketika pasukan bergerak meninggalkan Toba, Tuanku Lelomemerintahkan ribuan wanita dikumpulkan di Red LightDistrict di Sigumpar Toba. Dari Sigumpar, merekadigiring berjalan kaki melalui Siborong-borong,Pangaribuan, Silantom, Simangambat, Sipirok, menujuNatal Mandailing. Sesampai di Mandailing, hanya 300wanita selamat; 900 mati. Yang capek dipenggal. Kemudian Belanda memutuskan menyerang Padri. Pertempuran pada 1820, menurut Parlindungan, meletusdi Benteng Air Bengis. Imam Bonjol turun sendiri.Tuanku Rao tewas di situ. Nah, di pertempuran AirBengis ini, secara licik Tuanku Lelo melakukandesersi. Melihat Imam Bonjol terdesak, ia lalumemimpin kavalerinya sendiri menuju Angkola danSipirok. Ia melanjutkan petualangannya, menjarah,membunuh, melampiaskan nafsu seksualnya. Ia lalumenjadi warlord di Angkola dan Sipirok selama1822-1833. Ia di sana mendirikan sebuah harem dibentengnya di Padang Sidempuan. Buku Tuanku Rao hanya sedikit menyinggung peran TuankuTambusai. Namun, menurut Basyral, Tuanku Tambusai takkalah kejam dibanding Tuanku Lelo. "Kebrutalan TuankuTambusai terjadi di daerah Padang Lawas, Dolok, danBarumun. Salah satu kawasan yang paling parah terkenaadalah daerah nenek moyang saya, Simanabun," tuturBasyral (lihat "Tambusai dan Pasukan Putih-putih"). l l l Para sejarawan berbeda pendapat soal kebrutalan ini."Sebetulnya masuknya Padri ke Batak bukan ekspansi.Kelompok-kelompok musuh Padri saat itu dapat dipukulmundur hingga ke Tapanuli Selatan. Karena itu, merekabertempur sampai ke daerah tersebut," tutur Dr MestikaZed, sejarawan dari Universitas Negeri Padang. "Sebagai sebuah buku sejarah, buku Parlindungansumbernya sangat lemah. Dokumen Poortman sendiridiragukan. Banyak yang tidak faktual," kata Dr AsviWarman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.Hamka bahkan pernah menganggap Tuanku Lelo hanyalahkarangan Parlindungan belaka (lihat "MengenangSanggahan Hamka"). Memang, sekarang mustahil untukmengecek semua sumber yang digunakan Parlindungan,karena semua data itu dimusnahkan oleh Parlindungansendiri. Dalam bukunya itu, Parlindungan menyebutkan data yangdiwariskan ayahnya kepadanya hanya meliputi 20 persendari yang dimiliki ayahnya. Ia menyaksikan sendiri,pada 1941, ayahnya membakar sisanya sambil bercucuranair mata di tepi Sungai Bah Bolon. "Daddy tidak mau risiko," katanya kepada anaknya. "Ourfamily secrets yang ketahuan pada outsiders cukup yangterbatas dalam buku ini. No more." "Saya menduga, ituadalah alibi dia, yang sebenarnya tak cukup memilikidata otentik, atau bisa juga ia tak mau sejarawan lainmenelitinya," kata J.J. Rizal dari Yayasan Bambu, yangmenerbitkan Greget Tuanku Rao. Akan halnya Dr Gusti Asnan, pengajar Jurusan SejarahFakultas Sastra Universitas Andalas, Padang,menganggap tidak semua sumber Belanda yang digunakanParlindungan mengandung bias. Dari 100 laporan, ada20-50 persen data yang benar. Menurut dia,historiografi Perang Padri sendiri dimulai pada1950-an. "Saat itu terjadi dekolonialisasihistoriografi Indonesia, termasuk Perang Padri. Demipersatuan dan kesatuan, bagian-bagian miring dari datayang ada, seperti kebrutalan Perang Padri, sengajatidak disiarkan." Ia juga melihat gerakan pasukan Padri tak semata-matabermotif agama, tapi juga ekonomi. Sejak akhir abadke-18 hingga awal abad ke-19, perkembangan ekonomi diSumatera Barat memang luar biasa karena booming kopi. Dr Gusti pernah membaca sebuah kisah tentang saudagarbernama Peto Magik di Pasaman. Ia dikenal sebagaisaudagar Padri—bisa dianggap konglomerat. SeorangBelanda bernama Bulhawer yang melakukan kerja samadengan Peto mengaku tidak melihat sedikit pun gambaranislami padanya. "Kesan yang dilihat Bulhawer, PetoMagik adalah seorang kapitalis. Dan gambaran ini sayarasa juga menggambarkan sebagian besar kaum Padri,"ujar Gusti. Maka, menurut Gusti, ketika daerah kekuasaan di TanahDatar dan Agam mulai direbut Belanda, kaum Padri punmeluaskan ekspansi ke utara: Bonjol, Pasaman, danTapanuli Selatan. Mengapa ke utara? Karena daerahutara memiliki basis kekayaan yang sangat tinggi.Apalagi, dengan menguasai area tersebut, Padri masihdapat melakukan hubungan dengan kaum lain, sepertiAceh, melalui jalur sungai. Sekalipun mengakui kekerasan yang dilakukan Padri,sebagian orang memandang dari sudut berbeda. "Soalnyasaat itu kan tidak ada HAM," kata sejarawan TaufikAbdullah. Basyral sendiri melihat Imam Bonjol mengetahui segalaperampokan, pemerkosaan, dan mutilasi yang dilakukanperwira-perwiranya. "Mustahil Imam Bonjol tak tahu. Iakan komandan," kata Basyral. Tapi Taufik Abdullah tak sependapat. Menurut dia,kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawabTuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikaldi awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan barumenjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satupemimpin gerakan Padri saat itu. "Buat saya, pencabutan gelar pahlawan itu nonsens.Justru di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol pasukanPadri lebih menitikberatkan serangan pada pihakBelanda," kata Taufik. Menurut Taufik, keliru jika melihat sosok Imam Bonjoldalam Padri disamakan dengan Diponegoro. "Diponegoromerupakan pemimpin tunggal, sementara gerakan Padrimerupakan gerakan sosial kolektif, dengan banyakpemimpin," katanya. Taufik mengatakan, bahkan, Tuanku Imam Bonjol sempatmengirim empat anak buahnya ke Mekkah untuk naik haji,termasuk Tuanku Tambusai. Tujuannya untuk melihatkondisi Islam di Mekkah. Ternyata Islam saat itu jauhlebih moderat. Sehingga, ketika kembali ke Minang,Tuanku Tambusai pun menjadi lebih moderat. Sekembalidari Mekkah, seperti disebut dalam Tuanku Rao, ia punmenyesal melihat dengan mata kepala sendiri bagaimanawanita-wanita ditawan oleh pasukan Tuanku Lelo. Menurut Taufik, adat basandi syarak justru mengemukadi bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Imam Bonjolwafat pada usia 93 tahun di Manado, pada 1864. Takbanyak orang yang tahu, ia meninggalkan sebuah"catatan harian".

Sumber : Tempo Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007

Tidak ada komentar: