04 Juli, 2008

Islam : Inovasi atau Stagnasi?

Saya memulai dengan menulis kembali sebuah refleksi kritis dari Nurcholis Madjid. Beliau menulis, "Sekarang ini dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru yang Protestan; Eropa Selatan dan Amerika Selatan yang Katholik: Eropa Timur yang Katholik Ortodox; Israel yang Yahudi; India yang Hindu; Cina, Korea Selatan, Taiwan Hongkong, Singapura yang Budhis Konfusianis; Jepang yang Budhis Taois; Thailand yang Budhis. Praktis di semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dalam sains dan teknologi."
Kritikan ini mau tidak mau harus kita terima. Fenomena yang terjadi di negeri yang mayoritas Muslim ini setidaknya membenarkan ungkapan beliau. Ketertinggalan bangsa kita, khususnya umat Islam, dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak terbantahkan. Etos keilmuan masyarakat kita sangat rendah. Lembaga-lembaga pendidikan lebih mengutamakan gedung-gedung yang megah, fasilitas belajar yang canggih dibanding membangun tradisi intelektual dan diskursus-diskursus ilmiah yang menggairahkan peserta didik. Pertimbangan ekonomi (perut), sosial (popularitas), dan politik (kekuasaan) jauh lebih diutamakan ketimbang urusan pendidikan dan pengembangan SDM yang unggul. Rendahnya alokasi dana pendidikan dalam APBN menunjukkan rendahnya komitmen itu.
Cukup mengherankan, sejarah ulama-ulama yang memiliki etos keilmuan dan tradisi intelektual yang begitu tinggi pada abad 8-14 M -yang penggambarannya dalam kitab-kitab sejarah mirip reportase jurnalistik saking mendetailnya- seolah tidak pernah ada. Kebanyakan lembaga pendidikan Islam (baca: pesantren) justru menjadi tempat pembelengguan potensi kreatif anak didik yang paling efektif. Yang terjadi bukan pertukaran ide-ide melainkan learning shut down (pembisuan kebutuhan belajar) karena dipasung konsep-konsep dogmatis seperti takdir, nasib, surga, neraka dan bid'ah. Selain itu apapun dari ustadz dan ulama selalu dianggap benar tanpa studi kritis yang berarti. Islam yang kita kenal dari mereka tidak lebih dari deretan aturan hitam putih. Islam mengatur segenap urusan hidup privat ataupun sosial manusia. Proses penentuan aturan keagamaan telah berakhir, karena tidak ada lagi pihak yang representatif melakukan itu. Otoritas diserahkan kepada para ulama terdahulu (Salafush Shalih). Umat sekarang hanya tinggal mengamalkan hasil pembacaan tersebut. Karenanya, mulai dari cara makan, cara beristinja, cara duduk bahkan menerangkan berbagai persoalan-persoalan ilmiah, harus menunggu arahan-arahan dari agama. Tanpa harus repot atau menanggung sedikitpun beban penyelidikan, kita akan mendapatkan keberhasilan sebanyak mungkin dari petunjuk agama. Tidak ada lagi yang mesti dipikirkan, semuanya telah diajarkan Nabi SAW dan bukankah beliau sebaik-baik petunjuk dan pemahaman ulama Salaf adalah sebenar-benarnya pemahaman? Pandangan ini menjadikan umat Islam tidak ubahnya bayi yang tidak usah susah-susah menguyah sebab makanan sebelumnya telah dilebur sekecil-kecilnya oleh sang ibu. Meminjam istilah Ayatullah Misbah Yazdi pandangan ini disebut Maksimalisme Agama (Din Haddeaksari).
Maksimalisme agama pada dasarnya menempatkan otak hanya sebagai isi kepala tanpa peran berarti. Dengan tersedianya segala sesuatu umat manusia tidak perlu lagi memanfaatkan atau memberdayakan kekuatan akal dan mengembangkan potensi-potensi karuniawinya. Saya menolak pandangan ini, sebab setahu saya agama sama sekali tidak pernah mengajukan diri bahwa ia datang untuk menggeser habis peranan akal dan membekukan kandungan potensial manusia. Agama juga tidak datang dengan mendakwakan kehadirannya sebagai penuntas segenap kebutuhan umat manusia. Maksimalisme agama hanya akan menyeret manusia zaman Bill Gates ini ke zaman Abu Hurairah. Disepakati atau tidak kehidupan manusia sendiri tidak statis, tidak jumud, tetapi bergerak dan berubah-ubah. Pergerakan dan perubahan ini mencakup seluruh sisi dzahir kehidupan manusia, sisi-sisi fisikal dan hubungan interaktif antarmanusia, serta dialog antarpikiran mereka. Perubahan kehidupan manusia hanya ada dua keadaan yang silih berganti. Apakah yang terjadi evolusi progressif atau justru evolusi regressif. Di sinilah Islam dimintai pertanggungjawaban ilmiahnya atas klaim sebagai agama yang paripurna. Sebagai ajaran yang sama sekali tidak kehilangan validitas dan akurasinya. Bagaimana Islam memberi hukum atas fenomena-fenomena sosial baru yang tidak ditemui Nabi SAW dan sahabatnya (ra) di masa mereka?
Agama Inovator
Syariat Islam bukanlah syariat yang semata-mata mengatur kehidupan Nabi dan sahabatnya (ra) di gurun pasir abad ke-6 Masehi, melainkan telah tersedia dasar-dasar dan kaidah yang umum sehingga dengan kaidah ini dapat dirumuskan hukum-hukum yang bersifat juz'i (parsial). Kaidah umum dalam pranata hukum Islam yang mengatur perbuatan manusia terdiri atas lima macam; wajib, haram, mustahab, makruh dan mubah. Lima macam hukum ini baik kecil maupun besar, sangat berkaitan erat dengan kebahagiaan duniawi serta akhirat manusia. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan yang harus kita lakukan untuk memenuhi kebahagian adalah perbuatan wajib. Dan perbuatan yang harus kita tinggalkan untuk menghindarkan diri dari kesengsaraaan disebut perbuatan haram. Melakukan perkara-perkara yang mustahab dan meninggalkan perkara-perkara yang makruh juga bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan, sehingga kedua ini sama pentingnya. Kecuali perkara mubah, sebab dilakukan atau ditinggalkan tidak memberi pengaruh pada kebahagiaan manusia. Dengan pembagian ini dapat ditegaskan bahwa semua perkara dan urusan yang pelaksanaannya ataupun cara pelaksanaannya tidak diwajibkan agama berada dalam agenda perencanaan, penyelidikan dan penelaahan manusia. Perkara mustahab dan makruh diserahkan kepada akal dan pengetahuan manusia untuk menelaah dan merumuskannya. Sehingga dengan berbagai riset ilmiah dapat ditemukan cara-cara baru untuk mencapai kesempurnaan manusia dan pemenuhan kebutuhan seoptimal mungkin. Oleh karena itu, dengan adanya penetapan kelima kaidah hukum ini Islam sama sekali tidak memberangus aktifitas dan peran akal dan mengharamkan pencerahan pemikiran serta pengembangan potensi-potensi manusia. Islam sama sekali tidak kompromi dengan pemikiran yang stagnan. Justru dengan penjelasan-penjelasan yang beragam, Islam mendorong untuk mencari ilmu, mengembangkan pemikiran, mendorong kemajuan dan menjadi inspirator penemuan-penemuan baru, selama tidak menganggu gugat hal-hal yang telah diwajibkan. Keabadian Islam tidak berarti bahwa agama ini mengambil sikap pasif dan phobia terhadap setiap perubahan yang terjadi pada umat manusia dan aspek-aspek kehidupannya. Islam tidak membekukan kehidupan manusia dari segala bentuk, jalur, dan caranya. Bahkan, Islam menuntut manusia untuk melakukan inovasi dan kreasi, aktivitas dan kreativitas. Salah satu æasma Allah SWT adalah Maha Kreatif. Dia selalu mencipta dan berkarya tiada henti. Dalam Al Quran tertulis, "Setiap waktu Dia dalam kesibukan". (Qs. Ar-Rahman : 29). Sebagai muslim kita harus menyerap sifat dan asma-Nya. Bukan begitu ?
Pernah dimuat di Harian Tribun Timur

Tidak ada komentar: