07 Juli, 2008

Menyoal Moralitas Iklan Pendidikan

Di tengah masa penerimaan (maha)siswa baru seperti saat ini, bukanlah sesuatu yang asing lagi bila kita melihat di sudut-sudut jalan tampak membludak iklan-iklan lembaga pendidikan baik dalam bentuk baliho, spanduk maupun dalam bentuknya yang (bisa jadi) kurang sopan seperti di tempel di pohon, di kendaraan umum, di tiang listrik bahkan di bak sampah. Dan tentu saja media cetak maupun elektronik turut kebanjiran iklan lembaga pendidikan. Dari sini, penulis dengan keawaman wawasan berusaha sedikit mengkritisinya.
Sedikit Tentang Iklan
Komunikasi komersial yang dikemas dalam bentuk periklanan pada mulanya dikenal hanya dalam dunia bisnis yang berorientasi pada pengembangan ekonomi yang bersifat kapitalis. Pada masa Yunani kuno praktik periklanan dalam bentuknya yang paling purba yakni periklanan lisan telah dilakukan oleh para penjaja keliling yang keliling kota berteriak menawarkan barang dagangannya. Sementara di Romawi orang-orang memasang iklan dalam bentuk tulisan-tulisan yang ditempelkan pada dinding kota namun baru sebatas untuk mengumumkan pertandingan pertarungan para gladiator dan mencari buronan. Baru kemudian sekitar tahun 1440-an saat Johannes Gutenberg dari Mainz Jerman menemukan mesin cetak maka terjadi suatu revolusi penting yang memicu perkembangan dunia periklanan, penemuan tersebut memungkinkan iklan-iklan dapat disampaikan lewat lembaran-lembaran cetakan. Sekitar tahun 1662 dengan terbitnya surat kabar pertama di Inggris yaitu The Weekly News oleh Nicholas Bourne dan Thomas Archer semakin memberikan dorongan luar biasa atas perkembangan iklan dalam bentuk iklan surat kabar. Hingga menjejak di zaman Bill Gates ini bentuk periklanan mencapai puncak kecanggihannya lewat media cetak, elektronik dan alat telekomunikasi lainnya, lewat browsing di internet misalnya.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, dunia periklanan terjebak pada situasi yang tidak sederhana, tidak lagi hanya berbicara pada tataran penginformasian produk belaka tetapi dalam banyak hal menjadi persoalan baru dalam masyarakat. Prinsip iklan jelas, yakni mengandung unsur bujukan, rayuan kepada masyarakat untuk membeli dan memanfatkan produk atau jasa yang ditawarkan. Namun unsur membujuk ini terkadang memperdaya masyarakat, melecehkan produk lain, mengabaikan kode etik dan tata krama kehidupan masyarakat yang bisa jadi sering bertentangan dengan substansi produk atau jasa yang ditawarkan. Bila kita cermati berbagai iklan di berbagai media maka nampaklah iklan tidak sebatas bermaksud menyampaikan informasi tentang produk atau jasa tetapi sampai pada tingkat bagaimana konsumen terhipnotis untuk selalu menggunakan produk yang diiklankan, yang bisa jadi sebenarnya bukanlah sesuatu yang penting tetapi oleh iklan dijadikan itu sebagai kebutuhan. Belum lagi persoalan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap anak-anak dan perempuan, tak perlu lagi mencari keterkaitan antara perempuan dengan oli mesin, yang jelas produk menjadi menarik jika mengekspos perempuan cantik dan seksi. Analisis terhadap iklan telah banyak dilakukan oleh pengamat, dan saya pada kesempatan ini membatasi diri untuk menyorot iklan pendidikan yang saya lihat masih kurang mendapat apresiasi di masyarakat.
Mendagangkan sekolah
Sebagaimana yang saya tulis di awal, setiap tahun ajaran baru tampak nyata ada semacam kompetisi antar lembaga pendidikan. Kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana masing-masing lembaga asyik menonjolkan dirinya sendiri. Ada yang menawarkan fasilitas tanpa uang pendaftaran, tanpa pembayaran gedung, pilihan waktu kuliah –pagi, sore atau malam-, staff pengajar bonafide lulusan luar negeri, tersedia fasilitas laboratorium, ruang belajar ber-AC, perpustakaan lengkap hingga memamerkan alumninya telah tersebar diberbagai instansi, bahkan tak sedikit pula pengelola lembaga pendidikan yang mengiklankan lembaganya dengan menampilkan figur terkenal di masyarakat (artis, misalnya) dan berbagai model bujukan lainnya. Yang jelas kebanyakan lembaga pendidikan menawarkan janji seragam; lulusannya akan memperoleh pekerjaan yang layak, gaji tinggi dan tentu saja karir yang terus menanjak. Untung jika lembaga yang diiklankan itu benar adanya dan memiliki fasilitas sesuai yang dijanjikan, tetapi bila hanya sekedar ’papan nama’ tentu yang menjadi korban adalah masyarakat sendiri. Sudah cukup banyak bukti yang terkuak betapa tidak sedikit lembaga pendidikan yang tidak bertanggungjawab di negeri ini. Bentuk penipuan dengan mengiklankan lembaga pendidikan lebih dari yang sebenarnya merupakan suatu bentuk kriminalitas pendidikan. Kriminal dalam arti yang seharfiah-harfiahnya, sederajat dengan maling, pemerkosa, koruptor dan bentuk kriminal lainnya. Karena itu masyarakat haruslah hati-hati dalam mensikapi dan menghadapi berbagai iklan pendidikan yang ada. Jangan terjebak oleh gombalan apalagi hanya oleh penampilan brosur mengenai suatu lembaga pendidikan yang luks, ekslusif dan mengkilat. Lembaga pendidikan yang tersohor sekalipun belum menjadi jaminan memiliki kualitas seperti yang diiklankan. Adanya semacam kompetisi antar lembaga pendidikan ini disebabkan semakin banyaknya jumlah lembaga pendidikan sehingga otomatis yang terjadi adalah persaingan dalam memperebutkan siswa. Ini disebabkan sejak awal oleh luwesnya aturan yang ada dibirokrasi pendidikan. Aturan menyangkut tentang pendirian sebuah sekolah nampaknya begitu mudah dan leluasa. Kalau niat mendirikan sekolah untuk melepaskan negara ini dari persoalan kulitas pendidikan yang semakin menukik tajam tentu saja bukan persoalan, bahkan membantu negara. Namun yang menjadi persoalan dalam banyak kejadian justru terjadi sebaliknya, bukannya bermotif pemerataan pendidikan melainkan semata-mata meraup untung. Mendirikan sekolah tidak ubahnya membuka biro travel, toko, ataupun super market. Mengiklankan sekolah tidak jauh beda dengan model pengiklanan sebuah produk kosmetik. Apa namanya ini kalau bukan komersialisasi pendidikan ?. Keberadaan lembaga pendidikan yang takluk di bawah kuasa modal semakin menambah carut marutnya dunia pendidikan kita. Ditangan mereka lulusannya dijadikan objek dunia industri dan kapitalisme global, bukannya subjek mandiri yang berilmu dan berwawasan luas. Kita tentu tidak begitu saja menggeneralisasikan, yang dibutuhkan hanyalah kejelian dan kehati-hatian. Agar mendapatkan lembaga yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan masyarakat perlu mencari informasi secara detail dengan misalnya, melihat kondisi kampus, dosennya, izin operasionalnya dan juga statusnya. Karena jelas, kesalahan dalam memilih lembaga pendidikan memiliki implikasi besar terhadap pengembangan diri dan masa depan. Disamping itu hendaknya pengelola lembaga pendidikan tidak mengobral janji terlalu muluk-muluk tanpa bukti hanya sekedar untuk merekrut (maha)siswa sebanyak-banyaknya. Bila realitas iklan pendidikan hanya sebatas obralan janji lewat iklan-iklan boombatisnya, tentu kita sulit membayangkan betapa tragisnya nasib masa depan bangsa ini nantinya. Karena bila lembaga yang kita nilai selama ini sebagai titik pusat produksi dan pengembangan moral dan kebudayaan tidak jujur lagi, siapa lagi yang kita percaya membenahi bangsa ini ?
Wallahu 'alam bishshawwab
Qom, 7 Juli 2008

Tidak ada komentar: