Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

31 Agustus, 2009

Mendambakan Ospek Humanis, Rasional dan Religius

Kedatangan Mahasiswa Baru (untuk selanjutnya disebut Maba) adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu kedatangannya tiap tahun. Ibarat bulan ramadhan yang disambut dan dielu-elukan kaum muslimin begitupun kedatangan maba. Jauh-jauh hari hampir dipastikan disetiap universitas telah dibuat baliho dan spanduk dari bentuk yang paling ’purba’ sampai yang memakan biaya berjuta-juta. Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) atau apapun namanya, telah ada sejak perguruan tinggi pertama kali didirikan di Indonesia oleh usaha swasta di Bandung tahun 1920, Technise Hoogeschool (THS) yang kita kenal dengan ITB sekarang. Sejak awal pelaksanannya pertama kali, Ospek telah menimbulkan polemik, pada saat itu (1920) bahkan seorang wartawan dianiaya karena mengkritik praktek perploncoan di kampus tersebut (THS). Masalah tersebut kemudian berlanjut ke pengadilan dan diputuskan bahwa para mahasiswa itu bersalah. Tetapi meskipun menimbulkan polemik yang dahsyat, toh hingga saat ini mesih tetap dilaksanakan dengan pola yang tidak jauh beda tetap mengandalkan kekekerasan sebagai ’tragedi’ yang ternikmati.

Pada dasarnya Ospek merupakan wahana sosialisasi kampus bagi mahasiswa baru sehingga ada semacam pengetahuan dan pengalaman awal agar setelah masuk secara total tidak mengalami kegrogian. Dalam Ospek itu pulalah maba dibekali wawasan secara ideal, apa dan bagaimana sesungguhnya makhluk yang bernama mahasiswa itu. Agar mereka lebih mengenal dirinya, dapat mengaktualisir diri secara merdeka. Begitupun jika melihat jargon-jargon yang dikemas secara teoritik maka Ospek sesungguhnya sesuatu yang ideal karena penuh dengan pemberdayaan, penuh idealisme, penuh aroma intelektual sampai dibumbui dengan slogan ’Ilmiah dan Religius’. Namun, sayang dalam banyak kejadian Ospek harus dikritik, apalagi jika dipandang dari sudut paedagogis. Karena ternyata Ospek kering dengan pendekatan humanistik. Perangkat dan aturannya bersifat memaksakan sehingga tidak ada ruang sedikitpun bagi maba untuk berkreativitas. Ditutupnya ruang dialog dan komunikasi yang seimbang menyebabkan wajah Ospek begitu sangat buram, stagnan dan sangat mengerikan.

Bukti kengerian itu dapat dilihat dari pengalaman Ospek di tahun-tahun sebelumnya. Di UNDIP Semarang, Sivino Amaral meninggal dunia disebabkan kerasnya pelaksanaan Ospek. Andri Setiaji (masih di UNDIP) punya cerita yang menimbulkan ketraumaan psikologis yang luar biasa, ia dikeroyok 20 mahasiswa senior karena dinilai membantah dan memprotes para seniornya. Begitupun dibeberapa perguruan tinggi di pelosok tanah air tiap tahunnya memakan korban. Saya yakin kematian Wahyu Hidayat masih akan tetap membekas di benak kita semua. Dan Wahyu bukan korban pertama. Kekerasan menjadi budaya di Sekolah Tinggi yang siswanya kelak menjadi abdi negara. Gaya ’komando’ untuk mendisiplinkan menjadi sebuah keladziman. Kekerasan pun berbuah kematian, stress bahkan ada yang hampir gila. Karenanya tidak salah jika beberapa media menyebut STPDN sebagai Sekolah Tukang Pukul Dalam Negeri. Atau yang lebih sangar lagi, Mingguan Tempo menjulukinya ’neraka’.

Berbagai kejadian riil di lapangan itulah yang selalu menimbulkan perdebatan yang tak kunjung usai. Ada yang menginginkan Ospek dihapus sama sekali karena hampir setiap Ospek selalu menimbulkan korban mulai dari cacat fisik yang ringan hingga yang cukup parah, bahkan tak jarang korbannya mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan dan tak sedikit yang tewas akibat kebrutalan Ospek.

Dipandang dari sudut manapun, dengan model Ospek yang stagnan dan itu-itu tonji penulis menilai adalah sesuatu yang absurd. Pemandangan peserta Ospek yang ditampilkan kekanak-kanakan, lucu, menggemaskan sekaligus menimbulkan rasa iba menimbulkan satu pertanyaan untuk apa semua itu dilakukan ?. Imbasnya hanya satu, menimbulkan bahan tertawaan orang, tak ada sangkut pautnya dengan nilai-nilai intelektualitas, ilmiah apalagi religiusitas. Apalagi secara ekonomi, seluruh atribut yang dibebankan kepada maba menjadi beban yang semakin memberatkan. Mereka sudah harus membayar berbagai keperluan kampus, masih harus menanggung biaya Ospek. Dari sini terlihat secara jelas kesenjangan yang terjadi. Bila kita menyakini Ospek merupakan masa orientasi yang terjadi justru penetrasi kehendak. Bila kita menilai Ospek merupakan sarana pengenalan kampus yang terjadi masa ketakutan terhadap lingkungannya. Ospek diinginkan sebagi proses pendidikan yang terjadi justru praktik penindasan yang dahsyat. Lewat Ospek, kampus kehilangan nafas intelektual, ilmiah apalagi religius, misi kerakyatan dan pemihakan pada kaum tertindas pudar, idealisme larut. Karena yang hadir justru iklim kekerasan dan penindasan. Ini berarti terjadi negasi besar-besaran. Kita (para senior) bisa jadi terjebak dalam situasi yang paradoks. Kebebasan akademik yang dituntut selama ini justru diberangus saat Ospek. Pendidikan yang memanusiakan yang diperjuangkan sepanjang masa oleh mahasiswa diinjak-injak sendiri dalam prosesi Ospek. Pemihakan kepada mereka yang kesulitan membayar uang kuliah terlupa sesaat. Oleh karenanya selama Ospek menjadi instrument pemasungan dan penindasan mahasiswa baru oleh mahasiswa lama, maka selama itu pula Ospek layak digugat.

Sebagai wahana pengenalan kampus kepada maba yang masih ’lugu’ , maka Ospek bagaimanapun tetap dibutuhkan. Hanya saja diperlukan kebesaran jiwa para panitia Ospek untuk mengejawantahkan slogan-slogan penyambutan yang dibuat ke ’lapangan’, dan menghilangkan frame bahwa tindakan tidak manusiawi (bahasa kasarnya :pembinatangan) dalam Ospek harus dipertahankan. Haruskah superioritas, penindasan, otoritas, dan tindakan subversif lainnya kembali terjadi, haruskah itu mentradisi padahal tidak ada yang nyuruh ? . Apa salahnya kalau kita menyiapkan ruang penyambutan yang berintikan pembebasan kesadaran atau dialogika, yakni memancing mereka untuk berdialog, membiarkan mereka mengucapkan sendiri perkataannya, mendorong mereka menamai dan dengan demikian merubah paradigma mereka tentang dunia yang bisa saja selama ini meleset. Kita harus sadar yang kita hadapi adalah manusia-manusia yang butuh kesadaran, hendak disentak kemanusiannya, tapi seringkali kita masih tetap terjebak pada prosesi Ospek dengan kreativitas itu-itu juga. Hasilnya kita justru mengkader jiwa-jiwa penindas. Irrasionalitas, immoralitas, dan agresivitas adalah buah dari pohon yang kita tanam sendiri. Kita (mahasiswa senior) mesti berpikir, bahwa maba adalah adik yang akan mencontoh kakak-kakaknya dan hendaknya lebih menekankan pada maba akan penguatan dan pematangan nalar, bukan semata fisik. Bagaimanapun maba adalah manusia juga. Manusia yang memiliki keinginan untuk mencari dan mendekati Allah sebagai kodrat pertamanya sebagai manusia. Karenanya bantu mereka untuk merealisasikan keinginannya yang paling purba itu. Mencari, mendekati dan mencintai Allah Subhanahu wata ala.

Mari bekerjasama.

Ismail Amin Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran

Dimuat di Tribun Timur, 1 September 2009

23 Juli, 2008

Dunia Anak-anak yang Hilang -Refleksi Hari Anak Nasional-

Anak-anak bukan milikmu Mereka putra-putri kehidupan Yang rindu pada dirinya Kau bisa berikan kasih sayangmu Tapi tidak pikiranmu...
Begitulah Kahlil Gibran, penyair asal Libanon berbicara soal hakekat kemanusiaan. Syair diatas dikutip dari buku kecil, The Prophet, Gibran’s master piece, 1976 yang telah diterjemahkan dalam lebih dari 20 bahasa. Syair Kahlil Gibran tentang anak tersebut memang indah dan bermakna dalam. Kita dapat menangkap bahwa esensialnya anak itu adalah milik dirinya sendiri. Para orangtua dan masyarakat secara umum hanyalah berkewajiban membesarkan dan mendidik. Ibu berkewajiban memberikan cinta hatinya tetapi pikiran anak itu adalah hak dirinya sendiri sepenuhnya. Orangtua dalam membesarkan dan mendidik dapat dengan cara memberikan pengetahuan dan isi-isi untuk bahan pemikiran anak itu; tetapi tidak sampai membuat pikiran-pikiran orangtua adalah harus sepenuhnya menjadi pikiran anak juga. Dari sinilah kemudian terjadi ’kekisruhan budaya’ (meminjam istilah Emha Ainun Nadjib) hubungan antara anak dan orangtua. Dalam banyak kejadian sering orang-orangtua kita bukan sekedar memberikan alternatif tetapi menganggap bahwa apa yang diberikan kepada anak adalah satu-satunya yang terbaik, tidak ada alternatif lain. Ajaran orangtua sepenuhnya harus dianut, dipatuhi dan orangtua bisa sakit-sakitan dan bersedih hati jika sang anak tidak mengikuti pikirannya. Dalam hal ini, seringkali orangtua menjadi tirani bagi anaknya. Orangtua menerapkan konsep pikirannya pada anaknya. Orangtualah yang mengarahkan dan menentukan jalan hidup dan masa depan anaknya. Orangtualah yang memilihkan cita-citanya, profesi, bahkan sampai hal yang paling privacy mengenai pilihan suami atau istri misalnya. Anak-anak sering dianggap sepenuhnya adalah milik orangtua yang tidak memiliki dunia sendiri. Bagaimana kemudian kita melihat anak-anak yang sebetulnya cerdas menjadi kurang bertumbuh bahkan teramat kerdil karena kebanyakan orangtua punya kecenderungan untuk terlalu mengatur mereka, terlalu menentukan, terlalu menyutradarai, terlalu mengarahkan, terlalu banyak memerintah dan melarang yang pada akhirnya membuat nafas kemerdekaan anak-anak menjadi tersengal-sengal. Kreativitas yang Terpasung Kreativitas memerlukan kemerdekaan. Kemerdekaan disini bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Tentu saja yang dimaksud adalah kemerdekaan dalam konteks kodrati manusia. Ketika orangtua memberi pandangan. Sang anak berhak sepenuhnya untuk menerima atau menolak pandangan tersebut. Perlu ada kebiasaan untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk menentukan sendiri pilihannya, arah dari pilihan tersebut serta resiko apapun yang bakal terjadi dari pilihan tersebut. Persoalannya, anak kurang dididik untuk mengungkapkan dan mengenali dirinya. Anak lebih banyak dikendalikan daripada dimerdekakan. Sebab kemerdekaan itu besar resikonya dan dibutuhkan kesediaan untuk mungkin’diberontak’ oleh anaknya. Salah satu buktinya, polling yang pernah dilakukan oleh salah satu media tentang keinginan orangtua terhadap anaknya, hampir 70 % orangtua menginginkan anaknya rajin, sopan dan patuh dan hanya segelintir orangtua yang menginginkan anaknya cerdas dan kreatif.
Anak-anak (di) Sekolah, The Lost Generation
Faktor penentu selanjutnya anak-anak kehilangan kreativitas dan dunianya adalah pendidikan formal dalam hal ini sekolah. Sekolah yang idealnya menawarkan kegembiraan dan dunia petualangan yang bikin penasaran dalam banyak hal tidak lebih baik dari pola pendidikan orangtua kebanyakan. Di sekolah para anak didik terlalu disetting dan diformat sesuai dengan kehendak dan keinginan sekolah. Ketika memasuki halaman sekolah, anak-anak sebagai individu hilang secara autentik. Yang ada adalah penyeragaman yang menepis kekhasan manusia sebagai makhluk unik yang tak bisa dibandingkan dengan manusia lain diluar dirinya. Anak didik hanya memainkan peran pembantu, sebab guru adalah aktornya, pelajar hanya akan menjadi pelengkap penderita yang lebih diperlakukan sebagai obyek ketimbang subyek. Proses pendidikan semacam ini menurut Chaedar Alwasih (1993;23) hanya berfungsi untuk ‘membunuh’ kreativitas siswa, karena lebih mengedepankan verbalisme. Verbalisme merupakaan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, hubungan antara guru dengan murid sangat hirearkis dan bersifat vertikal; bahwa guru bicara, menjelaskan dan memberi contoh sementara murid menjadi pendengar saja. Tidak banyak yang sadar bahwa dengan model pendidikan yang menjadikan murid semata-mata sebagi obyek adalah bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap anak. Pendidikan gaya bank menghalalkan dipakainya kekerasan untuk menertibkan dan mengendalikan para murid. Murid dibelenggu dan ditekan untuk mematuhi apapun perintah dan anjuran pendidik. Kesadaran individu dikikis habis dan mengggantinya dengan kesadaran kolektif yang seragam. Efeknya memunculkan kepribadian yang mekanik, mirip dengan benda mati yang kehilangan kebugaran dan kreativitas. Dari sinilah proses pembinatangan (bahasa halusnya: dehumanisasi) terjadi. Kita dapat saksikan bagaimana nasib anak-anak yang sekarang waktu yang seharusnya diisi dengan permainan dan kegembiraan ditelan untuk belajar, menghapal, memahami dan mengerti berbagai paket pengetahuan, dari pagi hinga sore mirip pekerja pabrik menghabiskan waktunya di ruang kelas untuk menelan pelajaran yang dalam banyak hal tidak menyenangkan. Beban pelajaran ini kemudian diteskan lewat serangkaian ujian yang hasilnya kemudian dimuat dalam rapor yang penilaiannya berupa angka atau huruf. Parahnya, nilai kemanusiaan anak itupun direlevankan dengan nilai raport, semakin tinggi nilai raport maka akan semakin naik pula kemuliaan dan harga diri anak didik, orangtua dan gurunya. Korban dari sistem ini adalah eksistensi individu yang pada dasarnya memiliki kebebasan. Proses pendidikan yang seharusnya, sebagaimana makna sejatinya yakni menggiring keluar atau membebaskan potensi kemanusiaan yang ada dalam diri setiap individu belumlah terwujud. Yang ada justru pendidikan yang hanya menghasilkan airmata (Shindunata,2000).
Kesimpulan
Kutipan dari Ghibran diatas, mengajak para orangtua dan para pendidik secara umum untuk mengubah pandangan mereka tentang anak. Anak adalah putra-putri kehidupan para pemilik masa depan. Mereka harus dipersiapkan dengan dikasihi dan dididik menjadi diri mereka sendiri agar tumbuh dewasa dan mandiri. Anak-anak mesti dibiasakan sejak dini dari hidupnya untuk selalu belajar kepada siapa dan dimana saja, mencari dan menemukan. Agar ia bisa memilih dirinya, bisa menentukan ungkapan pribadinya, agar tidak lagi mengatakan, “Inilah dada bapakku” tetapi secara tegas berani mengatakan ”Inilah dadaku!”, begitu seharusnya seorang anak, kata Imam Ali. Seperti yang dipertanyakan juga oleh Emha Ainun Nadjib, dunia anak-anak itu ada mengapa kita tiadakan ?

10 Juli, 2008

Perlukah Anak di Sekolahkan ?

Pekan ini, hari terakhir anak-anak sekolah menghabiskan masa liburannya. Sedangkan bagi anak-anak yang baru didaftarkan, ini adalah hari terakhir mereka tidak harus dibangunkan terlalu pagi, untuk mandi, sarapan dan berseragam. Pengalaman hari pertama masuk sekolah bagi anak bisa jadi merupakan peristiwa penting yang sulit dilupakan. Ada kesan kegembiraan yang meluap disana, karena sekolah sejak awalnya menawarkan kegembiraan dengan teman-teman yang dapat diajak bermain-main dan menjanjikan pengalaman baru yang belum pernah dialami sebelumnya. Bagaimanapun juga, persiapan menjelang hari pertama masuk sekolah merupakan kesibukan tersendiri baik bagi orangtua terlebih lagi bagi sang anak. Hanya saja yang menjadi persoalan berikutnya adalah, benarkah selama ini sekolah berperan sebagaimana seharusnya bagi perkembangan pendidikan sang anak ?. Pertanyaan ini harus menjadi refleksi bagi para orangtua, agar tidak terjebak pada rutinitas menghantarkan anak ke sekolah, yang bisa berakibat fatal jika tanpa disertai kesadaran. Sebab tidak menutup kemungkinan, kita bukannya mengantar anak ke sekolah tetapi (maaf) malah membuangnya ke bak sampah. Saya tuliskan ucapan Everet Reimer, “Nenek ingin saya memperoleh pendidikan, karenanya, ia tidak mengizinkan saya sekolah” untuk menemani kita melakukan perefleksian ulang.
Persoalan Dasar Dunia Persekolahan Kita
Anak harus disekolahkan, idealnya memang seperti itu. Sebab fakta bahwa tak satupun keluarga yang mampu mendidik, mengajar dan melatih anak-anak mereka tanpa bantuan ‘orang sekampung’ (meminjam istilah Hillary Rodham Clinton). Pendidikan bagi anak menuntut adanya pembagian peran, tugas dan tanggung jawab dalam masyarakat. Dan dalam perspektif itulah lembaga-lembaga pengajaran atau dunia persekolahan (mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi) diberi tugas untuk membantu atau menerima sebagian tanggungjawab tersebut dan bukan seluruhnya, guna menolong orangtua agar dapat menjalankan peran mereka secara lebih bertanggungjawab. Hanya saja, realitas yang terjadi sebagian besar orangtua, mendidik anak itu berarti mempersiapkan uang sekolah, membelikan seragam, buku-buku dan perlengkapan belajar lainnya. Tanpa selanjutnya mau peduli dengan kondisi pendidikan anaknya dan menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga formal tersebut. Kalaupun anaknya mengeluh sulit belajar, orangtuapun memanggil dan membayar mahal guru-guru privat untuk memastikan anak-anaknya mendapatkan nilai tinggi di sekolah. Fakta inilah yang menyebabkan sekolah dan universitas terjebak pada semacam arogansi, sikap percaya diri yang terlalu berlebihan. Adanya ketergantungan orangtua yang sangat terhadap sekolah menyebabkan sekolah merasa mampu melakukan segalanya asal dibayar. Dengan berbagai ilusi konsep-konsep semacam ‘sekolah unggul’, alumninya diperhitungkan dilingkup nasional bahkan internasional dan lainnya, sekolah merasa wajar melakukan pungutan sebannyak-banyaknya kepada orangtua murid. Inilah sebabnya di Indonesia –sebagaimana yang dikatakan Andreas Harefa (2001)l- sulit membedakan antara sekolah terbaik dengan sekolah termahal.
Apa yang Terjadi dalam Kelas ?
Hampir selama beberapa generasi, proses pendidikan yang dijalankan tidak lebih dari sekedar pengalihan informasi dari guru ke murid secara sepihak. Anak didik dibebani dengan berbagai hapalan teori maupun rumus-rumus, sekedar untuk bisa menjawab soal-soal ujian tapi kemudian sulit diejawantahkan ke dalam realitas sosial. Anak didik hanya memainkan peran pembantu, sebab guru adalah aktornya, pelajar hanya akan menjadi pelengkap penderita yang lebih diperlakukan sebagai obyek ketimbang subyek. Proses pendidikan semacam ini menurut Chaedar Alwasih (1993;23) hanya berfungsi untuk ‘membunuh’ kreativitas murid, karena lebih mengedepankan verbalisme. Verbalisme merupakaan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, hubungan antara guru dengan murid sangat hirearkis dan bersifat vertikal; bahwa guru bicara, menjelaskan dan memberi contoh sementara murid menjadi pendengar saja. Tidak banyak yang sadar bahwa dengan model pendidikan yang menjadikan murid semata-mata sebagi obyek adalah bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap anak. Pendidikan gaya bank menghalalkan dipakainya kekerasan untuk menertibkan dan mengendalikan para murid. Murid dibelenggu dan ditekan untuk mematuhi apapun perintah dan anjuran pendidik. Kesadaran individu dikikis habis dan mengggantinya dengan kesadaran kolektif yang seragam. Efeknya memunculkan kepribadian yang mekanik, mirip dengan benda mati yang kehilangan kebugaran dan kreativitas (Eko Prasetyo, 2004) dari sinilah proses pembinatangan (bahasa halusnya dehumanisasi) terjadi. Kita dapat saksikan bagaimana nasib anak-anak yang sekarang waktu yang seharusnya diisi dengan permainan dan kegembiraan ditelan untuk belajar, menghapal, memahami dan mengerti berbagai paket pengetahuan, dari pagi hinga sore mirip pekerja pabrik menghabiskan waktunya di ruang kelas untuk menelan pelajaran yang dalam banyak hal tidak menyenangkan. Anak-anak diajarkan pada cara bagaimana ia bisa naik kelas, lulus dan lalu bisa dapat kerjaan. Mereka semata-mata diajarkan cara berhitung dan bukan tentang apa yang seharusnya diperhitungkan. Seorang peneliti pendidikan menulis di harian KOMPAS menurut temuannya rata-rata setiap murid SD kelas 3 sampai kelas 6 dalam setiap kuartal mempelajari sejumlah buku yang ketika ditimbang beratnya 43 kilogram, melebihi berat badan murid SD sendiri. Proses pendidikan yang seharusnya, sebagaimana makna sejatinya yakni menggiring keluar atau membebaskan potensi kemanusiaan yang ada dalam diri setiap individu belumlah terwujud. Yang ada justru pendidikan yang hanya menghasilkan airmata (Shindunata,2000). Betapa kita merindukan suasana sekolah yang didalamnya pertemuan antara guru dan murid terjadi dalam susana yang demokratis, dimana kecintaan guru terhadap murid-muridnya tak kalah dengan kecintaan ibu kepada anak kandungnya, guru bukan lagi figur yang hanya memberikan suapan bahan pelajaran tetapi teman yang menemani suka duka kehidupan murid. Sebab, kita percaya, sekolah dibangun untuk mengabdikan suatu pengalaman yang tidak lekang oleh waktu. Di sana, diperoleh pengalaman yang menakjubkan sekaligus mengharukan. Sekolah sesungguhnya adalah institusi yang menyenangkan, tempat mengembangkan mental juara dan menemukan jati diri, ranah kreativitas yang mengabulkan impian-impian indah dan membawa para anak didik semakin mendekati Tuhannya. Bukannya sekolah yang memunculkan anak yang tiba-tiba bunuh diri. Kalau realitasnya masih seperti itu, perlukah anak-anak kita sekolahkan ?. Wallahu 'alam bishshawwab
Qom, 10 Juli 2008/ 20 Tir 1387 HS

07 Juli, 2008

Menyoal Moralitas Iklan Pendidikan

Di tengah masa penerimaan (maha)siswa baru seperti saat ini, bukanlah sesuatu yang asing lagi bila kita melihat di sudut-sudut jalan tampak membludak iklan-iklan lembaga pendidikan baik dalam bentuk baliho, spanduk maupun dalam bentuknya yang (bisa jadi) kurang sopan seperti di tempel di pohon, di kendaraan umum, di tiang listrik bahkan di bak sampah. Dan tentu saja media cetak maupun elektronik turut kebanjiran iklan lembaga pendidikan. Dari sini, penulis dengan keawaman wawasan berusaha sedikit mengkritisinya.
Sedikit Tentang Iklan
Komunikasi komersial yang dikemas dalam bentuk periklanan pada mulanya dikenal hanya dalam dunia bisnis yang berorientasi pada pengembangan ekonomi yang bersifat kapitalis. Pada masa Yunani kuno praktik periklanan dalam bentuknya yang paling purba yakni periklanan lisan telah dilakukan oleh para penjaja keliling yang keliling kota berteriak menawarkan barang dagangannya. Sementara di Romawi orang-orang memasang iklan dalam bentuk tulisan-tulisan yang ditempelkan pada dinding kota namun baru sebatas untuk mengumumkan pertandingan pertarungan para gladiator dan mencari buronan. Baru kemudian sekitar tahun 1440-an saat Johannes Gutenberg dari Mainz Jerman menemukan mesin cetak maka terjadi suatu revolusi penting yang memicu perkembangan dunia periklanan, penemuan tersebut memungkinkan iklan-iklan dapat disampaikan lewat lembaran-lembaran cetakan. Sekitar tahun 1662 dengan terbitnya surat kabar pertama di Inggris yaitu The Weekly News oleh Nicholas Bourne dan Thomas Archer semakin memberikan dorongan luar biasa atas perkembangan iklan dalam bentuk iklan surat kabar. Hingga menjejak di zaman Bill Gates ini bentuk periklanan mencapai puncak kecanggihannya lewat media cetak, elektronik dan alat telekomunikasi lainnya, lewat browsing di internet misalnya.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, dunia periklanan terjebak pada situasi yang tidak sederhana, tidak lagi hanya berbicara pada tataran penginformasian produk belaka tetapi dalam banyak hal menjadi persoalan baru dalam masyarakat. Prinsip iklan jelas, yakni mengandung unsur bujukan, rayuan kepada masyarakat untuk membeli dan memanfatkan produk atau jasa yang ditawarkan. Namun unsur membujuk ini terkadang memperdaya masyarakat, melecehkan produk lain, mengabaikan kode etik dan tata krama kehidupan masyarakat yang bisa jadi sering bertentangan dengan substansi produk atau jasa yang ditawarkan. Bila kita cermati berbagai iklan di berbagai media maka nampaklah iklan tidak sebatas bermaksud menyampaikan informasi tentang produk atau jasa tetapi sampai pada tingkat bagaimana konsumen terhipnotis untuk selalu menggunakan produk yang diiklankan, yang bisa jadi sebenarnya bukanlah sesuatu yang penting tetapi oleh iklan dijadikan itu sebagai kebutuhan. Belum lagi persoalan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap anak-anak dan perempuan, tak perlu lagi mencari keterkaitan antara perempuan dengan oli mesin, yang jelas produk menjadi menarik jika mengekspos perempuan cantik dan seksi. Analisis terhadap iklan telah banyak dilakukan oleh pengamat, dan saya pada kesempatan ini membatasi diri untuk menyorot iklan pendidikan yang saya lihat masih kurang mendapat apresiasi di masyarakat.
Mendagangkan sekolah
Sebagaimana yang saya tulis di awal, setiap tahun ajaran baru tampak nyata ada semacam kompetisi antar lembaga pendidikan. Kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana masing-masing lembaga asyik menonjolkan dirinya sendiri. Ada yang menawarkan fasilitas tanpa uang pendaftaran, tanpa pembayaran gedung, pilihan waktu kuliah –pagi, sore atau malam-, staff pengajar bonafide lulusan luar negeri, tersedia fasilitas laboratorium, ruang belajar ber-AC, perpustakaan lengkap hingga memamerkan alumninya telah tersebar diberbagai instansi, bahkan tak sedikit pula pengelola lembaga pendidikan yang mengiklankan lembaganya dengan menampilkan figur terkenal di masyarakat (artis, misalnya) dan berbagai model bujukan lainnya. Yang jelas kebanyakan lembaga pendidikan menawarkan janji seragam; lulusannya akan memperoleh pekerjaan yang layak, gaji tinggi dan tentu saja karir yang terus menanjak. Untung jika lembaga yang diiklankan itu benar adanya dan memiliki fasilitas sesuai yang dijanjikan, tetapi bila hanya sekedar ’papan nama’ tentu yang menjadi korban adalah masyarakat sendiri. Sudah cukup banyak bukti yang terkuak betapa tidak sedikit lembaga pendidikan yang tidak bertanggungjawab di negeri ini. Bentuk penipuan dengan mengiklankan lembaga pendidikan lebih dari yang sebenarnya merupakan suatu bentuk kriminalitas pendidikan. Kriminal dalam arti yang seharfiah-harfiahnya, sederajat dengan maling, pemerkosa, koruptor dan bentuk kriminal lainnya. Karena itu masyarakat haruslah hati-hati dalam mensikapi dan menghadapi berbagai iklan pendidikan yang ada. Jangan terjebak oleh gombalan apalagi hanya oleh penampilan brosur mengenai suatu lembaga pendidikan yang luks, ekslusif dan mengkilat. Lembaga pendidikan yang tersohor sekalipun belum menjadi jaminan memiliki kualitas seperti yang diiklankan. Adanya semacam kompetisi antar lembaga pendidikan ini disebabkan semakin banyaknya jumlah lembaga pendidikan sehingga otomatis yang terjadi adalah persaingan dalam memperebutkan siswa. Ini disebabkan sejak awal oleh luwesnya aturan yang ada dibirokrasi pendidikan. Aturan menyangkut tentang pendirian sebuah sekolah nampaknya begitu mudah dan leluasa. Kalau niat mendirikan sekolah untuk melepaskan negara ini dari persoalan kulitas pendidikan yang semakin menukik tajam tentu saja bukan persoalan, bahkan membantu negara. Namun yang menjadi persoalan dalam banyak kejadian justru terjadi sebaliknya, bukannya bermotif pemerataan pendidikan melainkan semata-mata meraup untung. Mendirikan sekolah tidak ubahnya membuka biro travel, toko, ataupun super market. Mengiklankan sekolah tidak jauh beda dengan model pengiklanan sebuah produk kosmetik. Apa namanya ini kalau bukan komersialisasi pendidikan ?. Keberadaan lembaga pendidikan yang takluk di bawah kuasa modal semakin menambah carut marutnya dunia pendidikan kita. Ditangan mereka lulusannya dijadikan objek dunia industri dan kapitalisme global, bukannya subjek mandiri yang berilmu dan berwawasan luas. Kita tentu tidak begitu saja menggeneralisasikan, yang dibutuhkan hanyalah kejelian dan kehati-hatian. Agar mendapatkan lembaga yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan masyarakat perlu mencari informasi secara detail dengan misalnya, melihat kondisi kampus, dosennya, izin operasionalnya dan juga statusnya. Karena jelas, kesalahan dalam memilih lembaga pendidikan memiliki implikasi besar terhadap pengembangan diri dan masa depan. Disamping itu hendaknya pengelola lembaga pendidikan tidak mengobral janji terlalu muluk-muluk tanpa bukti hanya sekedar untuk merekrut (maha)siswa sebanyak-banyaknya. Bila realitas iklan pendidikan hanya sebatas obralan janji lewat iklan-iklan boombatisnya, tentu kita sulit membayangkan betapa tragisnya nasib masa depan bangsa ini nantinya. Karena bila lembaga yang kita nilai selama ini sebagai titik pusat produksi dan pengembangan moral dan kebudayaan tidak jujur lagi, siapa lagi yang kita percaya membenahi bangsa ini ?
Wallahu 'alam bishshawwab
Qom, 7 Juli 2008

16 April, 2008

Benarkah Kita Bangsa yang Bodoh ?

Taufik Ismail, sastrawan dan Budayawan besar yang dimiliki bangsa ini ternyata tidak cukup hanya dengan malu sebagai seorang Indonesia, namun juga telah mengambil kesimpulan bangsa ini sudah diambang kehancuran. Pernyataan inipun dipertegas oleh beberapa intelektual, sastrawan, budayawan serta yang mengaku sebagai pejuang demokrasi. Ceramah-ceramah di mimbar dan halaman-halaman koran mengutip makian dan kutukan mereka. Data-datapun dipaparkan; jumlah resmi orang miskin 39,5 juta jiwa. Angka yang fantastis untuk sebuah negara yang telah merdeka 62 tahun lebih. DiAsia Tenggara indeks pembangunan manusia Indonesiamenempati posisi ke-7 di bawah Vietnam. Negara kitapun masuk Guines Book of Record karena menjadi negara perusak hutan tercepat di dunia. Walaupun telah gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang merugikan negara sekitar USD 2 Miliar. Dengan seringnya terjadi kecelakaan transportasi beruntun dinegara kita, pemerintah AS mengeluarkan anjuran kepada warganya untuk tidak bepergian menggunakan maskapai penerbangan Indonesia. Indonesia duduk di ranking 143 dari 179 negara di dunia menurut Transparency International (IT) 2207 dengan Indeks Persepsi Korupsi(IPK) 2,3. Dengan indeks ini Indonesia sejajar dengan Gabia dan Togo dan kalah bahkan oleh Timor Leste. Pemerintah kitapun terengah-engah untuk menjaga sebuahkedaulatan, Malaysia tidak hanya berani merebut duapulau Indonesia namun juga mengklaim Lagu "RasaSayange" dan alat musik angklung sebagai milik mereka. Harian Jawa Pos (10/4) melansir berita, "Kita inisudah miskin, otak ngeres pula". Dengan paparan data,Indonesia pengakses situs porno ranking ke-7 dunia.4.200.000 situs porno di dunia, 100.000 diantaranyasitus porno Indonesia. 80% anak-anak 9-12 tahunterpapar pornografi. 40% anak-anak kita yang lebihdewasa sudah melakukan hubungan seks pranikah. Dansetiap hari kita baca kasus siswa SMP/SMA memperkosa anak SD satu-satu atau ramai-ramai. Kitapun bahkanpernah dikejutkan dengan data 97,05 % mahasiswi sebuahkota besar telah kehilangan keperawanannya. Salahkahmengajikan data dan fakta ini ?. Tentu saja tidak.Sebab kenyataan harus selalu dikabarkan. Namun bagisaya adalah kesalahan kalau hanya sekedar mengutuk danmencecerkan aib sendiri lalu kemudian pesimis dantidak berbuat apa-apa. Bahkan saya melihat adakecenderungan untuk diakui sebagai pakar ataupunaktivis harus lebih dulu berani menyematkanstigma-stigma buruk pada bangsa kita ini. Kalau orang asing menghina kita sebagai bangsa yang terbelakangdan bodoh, maka kita harus mengamini dan memaparkanbukti bahwa bangsa kita memang terbelakang. Tidak bisa kita pungkiri, kenyataan menyedihkan ini kita temukandalam dunia intelektual kita. Untuk disebut intelektual, sastrawan, budayawan dan pakar yangkritis harus berani mencari aib bangsa sendiri untukdibeberkan kepada orang asing. Apa ini namanya kalaubukan pengkhianatan ?. Tidakkah kita melihat ada tujuan-tujuan politis dibalik stigma-stigma buruk yang disematkan negara lain pada bangsa kita ?. Tidak sedikit negara yang lebih tertinggal dari Indonesia namun masih bisa membusungkan dada dan disegani didunia internasional karena mereka punya harga diri dan berusaha menjaganya. Ketika diberi stigma buruk, mereka justru melakukan usaha untuk menepis stigma itu.
Prestasi Anak Bangsa dan Penyikapan Kita
Tampak ada kecenderungan masyarakat kita lebih tertarik mengkonsumsi berita-berita pelajar yang terlibat tawuran dan yang berani tampil bugil dibanding prestasi-prestasi yang diraih anak-anak muda kita. Anggapan yang timbul puncenderung melihat anak-anak muda kita sebagai potensi masalah ketimbang sebuah harapan. Seberapa banyak dari kita yang mengenal Muh. Firmansyah Karim, pelajar SMAAthirah Makassar yang mengejutkan dunia intenasional dengan meraih medali emas tahun lalu pada ajang Olimpiade Fisika Internasional (IPhO) ke-38 di IsfahanIran. Medali emas indonesia dipersembahkan pelajarkelas I padahal hampir semua peserta olimpiade adalahkelas III SMA dan soal-soal yang diberikan setaradengan soal fisika tingkat S2/S3. Selesai upacarapemberian medali, semua orang menyalami. Prof. Yohanes Surya Ph.D pembina Tim menceritakan, "Orang Kazakhtanmemeluk erat-erat sambil berkata "wonderful job..."Orang Malaysia menyalami berkata "You did a greatjob..." Orang Taiwan bilang :"Now is your turn..."Orang filipina:"amazing..." Orang Israel "excellentwork..." Orang Portugal:" portugal is great in soccerbut has to learn physics from Indonesia", OrangNigeria :"could you come to Nigeria to train ourstudents too?" Orang Australia :"great...." Orangbelanda: "you did it!!!" Orang Rusia mengacungkankedua jempolnya.. Orang Iran memeluk sambil berkata"great wonderful..." 86 negara mengucapkan selamat. Suasananya sangat mengharukan, saya tidak bisa menceritakan dengan kata-kata.. Gaung kemenanganIndonesia menggema cukup keras. Seorang prof dari Belgia mengirim sms seperti berikut: Echo ofIndonesian Victory has reached Europe! Congratulations to the champions and their coach for these amazing successes!". Tidakkah cerita ini turut menggetarkanhati kita ?. Begitupun pada ajang olimpiade sainslainnya, pelajar-pelajar kita selalu mempersembahkan prestasi yang gemilang. Kitapun mungkin telah lupadengan Sulfahri, siswa SMA Negeri 1 Bulukumba yang telah menjadi duta Indonesia di ajang International Exhibition for Young Inventor (IEYI) di New Delhi,India 2007 dan tercatat sebagai seorang penemu mudainternasional. Begitupun Firman Jamil, seniman Indonesia asal Sul-Sel mengukir prestasi yang tidakkalah gemilangnya. Firman Jamil telah beberapa kali melanglang buana ke luar negeri, dalam rangka pementasan karya seninya. Salahsatunya, berhasil lolosseleksi pada Festival Seni Patung Outdoor di Taiwandari 165 seniman pelamar dari berbagai belahan dunia. Sayapun merasa perlu untuk menyodorkan nama cendekiawan muslim Indonesia, Dr. Luthfi Assyaukanie yang menjadi mahasiswa asing pertama Universitas Melbourne yang memenangkan "Chancellor's Prize"setelah tesis doktoralnya terpilih sebagai disertasi terbaik diantara hampir 500 tesis lainnya. Bahkan salah seorang astronot kita, Dr. Johni Setiawan tercatat sebagai 1 dari 4 orang di Jerman yang menemukan planet. Dr. J.Setiawan yang baru berusia 30tahun menemukan planet ekstra solar yang mengelilingibintang HD11977 yang berjarak 200 tahun cahaya. Yang tidak kalah gemilangnya, Bocah Indonesia, March Boedihardjo, mencatatkan diri sebagai mahasiswa termuda di Universitas Baptist Hong Kong (HKBU) dengan usia sembilan tahun. Bila lulus nanti, March akan memiliki gelar sarjana sains ilmu matematika sekaligus master filosofi matematika. Di Iran sendiri, pelajar-pelajar Indonesia diantara pelajar-pelajar asing lainnya selalu memiliki indeks prestasi tertinggi. Logikanya, jika anak-anak bangsa ini sering berprestasi bahkan sampai ajang internasional berarti memang SDM kita tidak perlu diragukan. Prestasi sesederhana apapun yang diraih anak bangsa harus didukung dan diapresiasi. Bukan dicelah atau difitnah. Bahkan sampai mengatakan prestasi olimpiade sains atauprestasi lainnya hanya kamuflase dan tidakmencerminkan kondisi pendidikan dan kualitas manusia Indonesia. Prestasi yang diraih bukanlah tujuan melainkan merupakan propaganda bahwa kitapun tidakkalah, punya daya saing dan kehormatan. Negara ini dibentuk dan diperjuangkan kemerdekaannya oleh parapendahulu bukan untuk unggul di atas bangsa-bangsa,namun agar diakui sebagai bangsa yang memiliki kedaulatan, bangsa yang akan mensejahterahkan rakyatnya. Simak saja, penggalan pidato Ir. Soekarno pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, "Di dalam Indonesia merdeka kita melatih pemuda kita, agar supaya menjadi kuat. Di dalam Indonesia merdeka kitamenyehatkan rakyat sebaik-baiknya."Memang saat ini kondisi sosial kita buruk, mesti kita akui itu. Namun marilah kita melihat peluang-peluang yang bisa dilakukan dan hal-hal baik yang mesti dipelihara. Lihatlah betapa banyak gunungan potensi yang dimiliki bangsa ini. Negara ini belum berakhir. Kita sudah divonis menderita krisis ekonomi akut, namun kenyataan mempertontonkan masyarakat kita masih saja mampu berjubel di mall-mall yang membuat para pengamat luar negeri terheran-heran. Sayapun tidak sepakat kalau kita disibukkan hanya dengan mengejar prestasi lalu mengabaikan kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan utama bangsa ini. Sebab pendidikan merupakan urusan yang lebih tinggi ketimbang menjadi juara olimpiade dan lulusUAN. Pendidikan adalah kekuatan strategis dan terpokok dalam mengeluarkan bangsa ini dari lubang derita. Pendidikan mengajarkan kita tentang identitas, harga diri bahkan ideologi sebuah bangsa. Namun, saya lebihtidak sepakat lagi dengan upaya-upaya menggembosi dan mencemooh terus menerus bangsa ini. Bagi saya itu menunjukkan bahwa kita benar-benar bangsa yang bodoh. Wallahu 'alam bishshawwab. Qom, 15 April 2008

18 Maret, 2008

Belajar Sebagai Proses Pendidikan Menjadi Manusia Seutuhnya

“Sesungguhnya Aku mengingatkan kepadamu supaya kamu tidak termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Qs.Hud:46)
“Tuntutlah ilmu, dari ayunan hingga liang lahat…” -Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam-
“Disemua tempat dan dimana saja kehidupan berlangsung, kita dapat belajar”
-Andreas Harefa -
Jakob Sumardjo, dalam artikelnya “Hidup itu belajar” yang di muat Kompas, 24 April 1996, memberikan warning, mengingatkan bahwa manusia “Hidup untuk belajar” dan bukan “belajar untuk hidup”. Bila orang belajar untuk hidup, untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jabatan, dan sebagainya, maka ia akan menjadi pemburu gelar dan atribut-atribut simbolis yang tidak esensial. Mereka akan puas setelah diwisuda dan merasa sudah tamat belajar. Pandangan inilah yang sangat efektif membuat mahasiswa berhenti membaca dan menulis usai lulus Universitas. Mereka sudah dianugerahi Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Sudah kelar, selesai, ngapain belajar lagi.
Duh, kalau belajar Cuma untuk medapat “hadiah” Sarimin juga bisa. Untuk dapat sebutir kacang, Sarimin harus belajar meniru majikanya. Sampai ia bisa ke pasar, berdandan atau menari dengan topeng. Tapi kita manusia, bukan Sarimin, bukan monyet. Dan hakikat penciptaan manusia adalah belajar untuk jadi diri sendiri agar lebih manusiawi. Mestinya, kita menyadari bahwa kita hidup untuk belajar, sehingga konsekwensi logis dari belajar yang berupa gelar atau simbol-simbol (ijazah, sertifikat, diploma) dan implikasi kenikmatan hidup yang menyertainya berupa jabatan, pekerjaan, tunjangan, dsb) bukan menjadi tujuan utama. Tapi yang terpenting adalah “mengeluarkan” potensi diri dan membuat diri punya guna yang nyata bagi sesama-sebagaimana pesan para ulama salaf “Manusia yang hidup hanya untuk dirinya sendiri tidak pantas untuk dilahirkan-. Dan proses belajar, tidak boleh terhenti, tidak boleh selesai, sampai seseorang ‘menaruh nisan di atas pekuburan’ kita, sebagaimana hadits Rasulullah di atas.
“Hidup untuk belajar” dan “Belajar untuk hidup” walaupun pada dasarnya berbeda, bukan berarti bertentangan. Tetapi sebagai dua hal yang saling memberi makna, saling membutuhkan, saling bersinergi. Keduanya harus ditempatkan dalam konteks kesalingbergantungan. Pemisahan antar keduanya akan menjadi persoalan besar, terutama ketika kita berorientasi sebatas “Belajar untuk hidup”. Kita akan kehilangan eksistensi kemanusiaan kita yang unik, karena food oriented ataupun money oriented membuat mahasiswa terkadang menggadaikan idealismenya, cita-citanya, demi pekerjaan yang terkadang tidak sesuai dengan bakat dan potensinya. Tidak sedikit Sarjana Pendidikan, Sarjana Tekhnik, Sarjana Hukum yang bekerja di Bank dan institusi lain yang tidak sesuai dengan gelar akademiknya. Mereka inilah yang menurut Andreas Harefa sebagai orang malang, yakni orang yang dipaksa melakukan hal yang tidak di sukainya, hal-hal yang tidak sesuai dengan potensi dan bakat unik mereka sendiri, dan melakukannya demi sesuap nasi. Aa Gym dalam salah satu ceramahnya pernah mengatakan, tujuan utama dari bekerja bukanlah uang tapi bagaimana kita menunjukkan, mengeluarkan potensi terbaik kita secara maksimal. Nah, pada dasarnya meskipun kita mendapatkan imbalan yang relatif besar dari karier dan pekerjaan kita saat ini, namun apalah artinya jika kita sesungguhnya melakukan hal-hal yang tidak disukai karena bertentangan dengan minat dan bakat kita? meskipun kita kaya dengan itu tapi itu di lakukan tidak sesuai dengan kompas hidup dan potensi unik dalam diri kita, maka kita akan menjadi sangat miskin dalam hidup ini.
Apakah Belajar?
Ada sebuah kesalahan besar yang menjadi ‘pembenaran’ kita semua, yaitu menyamakan antara bersekolah dan belajar. Sekolah adalah belajar dan belajar adalah sekolah, artinya kalau ingin belajar maka syaratnya adalah sekolah. Sehingga perspektif kita dengan orang-orang yang tidak sekolah adalah orang yang tidak belajar, otomatis mereka adalah orang-orang yang tidak berpengetahuan, tidak intelek, tidak ilmiah dan tidak sebagainya. Mereka yang tidak punya biaya untuk bersekolah, akhirnya terjebak dalam kondisi pragmatis yang menjadikan sebagian dari mereka tidak percaya diri untuk berbuat, mereka merasa tidak tahu apa-apa, bukan apa-apa, bukankah mereka tidak pernah belajar ?
Lalu, sesungguhnya apa sih belajar itu ? kalau kita mau jujur, di sekolah, di kampus, yang kita akui sebagai kampungya orang-orang yang belajar (siswa/mahasiswa) tidak pernah diajarkan tentang belajar. Ya, kita tidak pernah belajar tentang belajar. Yang ada sekedar menghafal, sekedar pertransferan pengetahuan dari otak sang guru ke otak sang murid. Kalaupun kita belajar, kita belajar terlalu sedikit (too little), terlalu lamban (too slow) dan terlalu lambat (too late). Lembaga Pendidikan (sekolah/universitas) belum sepenuhnya menjadi mediator yang mampu menerjemahkan makna belajar.
Ubaidillah AN, memaknai belajar sebagai proses melakukan sesuatu, kemudian membebaskan diri dari situasi atau tekanan yang diakibatkan ketidaktahuan. Ya, inti dari belajar adalah melakukan, cara terbaik untuk mempelajari sesuatu adalah dengan melakukannya, seperti yang ditulis oleh Rex dan Carolyin Sikes: "We learn about a city from being there, not from a map or guide book. We learned to walk and talk without reading instructions or following recipes. Learning is doing something, then getting rid of the unwanted parasitic movements". Jadi, dengan pemaknaan belajar menurut Ubaidillah AN, tesis yang merupakan kesimpulan dari pandangan Reg Revans, Bob Sadino, Charles Handy dan Alvin Toffler, menimbulkan sebuah pertanyaan. Sebagai mahasiswa benarkah kita telah belajar ?
Belajar tentang, Belajar (melakukan) dan Belajar Menjadi
“Kau menciptakan malam, dan aku yang membuat pelita. Kau menciptakan tanah liat, dan aku yang membuat piala.” -Dr. Muhammad Iqbal -
Allah, memberikan kedudukan yang sangat tinggi terhadap akal, karena hanya manusialah yang dibekali akal, maka manusia adalah ciptaan terbaik Allah. Allah memerintahkan manusia untuk menggunakan akal, dan cemohan Allah buat manusia yang tidak mau menggunakan akalnya. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Qs.88:17-20)
Salah satu ayat dari al-Qur’an di atas menegaskan kekuasaan Allah, memperjelas kepada manusia bahwa kenyataan-kenyataan empiris di dalam alam ini seharusnya menjadi sarana manusia untuk memanfaatkan dan menggunakan akalnya, sebagai mediator pembelajaran, sehingga daya pikirnya terlatih, dan dengan demikian mampu membina ilmu pengetahuan, mampu memanusiakan dirinya, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk, ialah (orang yang berlaku) tuli, yang (berlaku) bisu, dan yang tidak (mau ) mengerti.” (Qs.8:22). Ayat ini, mencemooh manusia yang tidak mau belajar untuk menemukan hakekat kemanusiaannya dan memenuhi panggilan kemanusiaannya yang pertama, yakni menjadi manusia yang senantiasa belajar, menjadi manusia pembelajar –meminjam istilah Andreas Harefa-.
Tugas pertama manusia sebagai pembelajar memberikan kepada kita sebuah konstruksi pemikiran bahwa manusia beda dengan makhluk ciptaan Allah lainnya, khususnya binatang. Manusia dapat belajar tentang, belajar melakukan, dan belajar menjadi dirinya sendiri. Sedangkan binatang hanya bisa belajar melakukan tapi tidak mampu untuk belajar tentang, apalagi belajar menjadi dirinya sendiri.
Ignas Kleden, sebagaimana yang di kutip Andreas Harefa dalam bukunya “Menjadi Manusia Pembelajar” pernah menjelaskan perbedaan antara belajar tentang dan belajar. Dicontohkan, belajar tentang bersepeda berarti mempelajari teori-teori terkait dan itu dapat dilakukan di sebuah ruangan yang tak ada sepedanya sama sekali (cukup dengan buku, film atau video tentang cara-cara bersepeda). Lain halnya dengan belajar bersepeda. Belajar bersepeda berarti pergi membawa sepeda ke tanah lapang dan praktik langsung, merasakan langsung ketika jatuh, nabrak, terkilir dan sebagainya. Sama halnya, ketika siswa/mahasiswa sekedar membaca teori-teori keTuhanan, menghafal rukun Islam dan iman, tanpa mempraktikan atau mengamalkan maka ia belumlah dikatakan belajar Islam tapi sekedar belajar tentang Islam. Artinya, dapat ditegaskan bahwa belajar pada dasarnya melakukan sesuatu, berarti mempraktikkan sesuatu yang dipelajari, sedangkan belajar tentang hanya sekedar mengetahui sesuatu. Begitulah, belajar shalat berarti melakukan shalat, belajar bahasa Inggris berarti mempraktikan bahasa Ingris, belajar tekhnik berarti mempraktikkan langsung. Mempelajari manusia tidaklah cukup hanya mempelajari biologi, sosiologi, psikolofi, filsafat, teologi dan berbagai kajian ilmu yang meletakkan manusia sebagai obyek dan teori, tetapi dilanjutkan dengan praktik, mencoba menerapkan perilaku dan kebiasaan tertentu yang sesuai teori hanya dapat dilakukan manusia. Selama pengetahuan yang dipelajari belum diaplikasikan maka pada dasarnya ia baru belajar tentang dan belum belajar.
Satu hal yang perlu kita tambahkan setelah belajar tentang (teori) dan belajar (praktik) adalah belajar menjadi. Untuk dapat memanusiakan diri seseorang maka ia harus belajar menjadi, yakni: merenungkan tentang dirinya, menghayati keberadaannya sebagai “apa” dan “siapa”, dan axiology (untuk apa) sebagai manusia. Inilah yang membuat manusia menjadi makhluk unik yang tidak dapat dibandingkan dengan binatang, yakni kemampuan manusia untuk menyadari keberadaannya serta menempatkan dirinya dalam suatu hubungan (sesuai pilihannya) dengan Sang Pencipta. Kemampuan dirinya untuk beraksi, menggunakan daya kreatifnya memakmurkan bumi, mengubah ‘alam pertama’ sebagai bahan baku menjadi ‘alam kedua’ dalam bentuk tekhnologi. Kemampuan manusia untuk menjadi dirinya, belajar menunaikan tugas dan tanggungjawabnya sebagai manusia. Aksi manusia yang tidak dimiliki binatang maupun malaikat ini, dilukiskan oleh Muhammad Iqbal, dengan untaian kata yang puitis dan makna yang mendalam : Thou didst create night and I made the lamp Thou didst create clay and I made the cup Karenanya, mahasiswa….ayo belajar, untuk menjadi manusia yang lebih manusiawi (seutuhnya), yang lebih menikmati proses dibanding hasil. Karena tidak ada yang instant di dunia ini, semuanya butuh proses kecuali jika anda ingin dikecewakan. Terimakasih….!!!
Bahan Bacaan Al-Qur’anul Karim
A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran, Penerbit Mizan, 1998
Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 2000
Andreas Harefa, Sekolah saja tidak cukup, Gramedia, Jakarta, 2001
Andreas Harefa, Pembelajaran di Era Serba Otonomi, Penerbit Harian Kompas, Jakarta 2001
Ubaidillah AN, Belajar Untuk Orang Dewasa, situs e-psikologi, 2004

28 Januari, 2008

BHP : Jalan Menuju Penindasan

“Menurut saya, masa sekolah adalah saat-saat yang paling tidak membahagiakan dalam seluruh keberadaan ummat manusia. Masa itu penuh tugas-tugas bodoh dan membosankan, peraturan baru yang tidak menyenangkan dan pelanggaran semena-mena terhadap akal sehat dan perilaku yang pantas.” -H.L Mencken- (dikutip dari The Cashflow Quadran, Robert T Kiyosaki) Kalau anda menonton film Scholl of Rock bisa jadi anda menemui fenomena yang berbeda sebagaimana yang digambarkan H.L Mencken di atas tentang sekolah. Sebaliknya, dalam film tersebut sekolah menjadi tempat yang begitu menyenangkan, ada kegembiraan yang meluap-luap, ada pendar-pendar kebahagiaan yang terkecapi oleh semua murid, yang ironisnya di ajar bukan oleh guru atau ahli pendidikan melainkan oleh seorang penipu. Si penipu yang dengan mahir melakukan banyak kebohongan, dengan mengaku sebagai guru, dibohonginya semua murid dan juga pengurus sekolah. Aksi tipu yang dilakukan sang tokoh ini mirip dengan kelakukan para birokrat pendidikan. Hanya saja, sang tokoh dengan keahliannya menipu berhasil disenangi oleh murid-murid karena dibebaskan dari tugas-tugas yang membosankan dan membuat aturan baru yang begitu menyenangkan : “Setiap murid diperbolehkan melakukan yang dia senangi, sesuai dengan bakat, minat dan talentanya”. Sedangkan birokrat pendidikan aksi tipunya menghasilkan deraian airmata. Saya menyukai film School of Rock (dan berkali-kali diminta untuk mem’bedah’nya), bukan hanya karena menawarkan tawa tetapi juga menggambarkan fenomena sekolah yang membuat saya berani menyimpulkan ada yang salah dengan sekolah kita. Lewat tulisan ini akan saya urai, kelakukan birokrat pendidikan yang terkadang mengeluarkan kebijakan sarat dengan penindasan dan ketidakadilan. Sulit dipungkiri, menipu memang merupakan aktivitas yang menyenangkan. Terlebih lagi jika dengan menipu mampu menumpuk laba. Aksi tipu-menipu pun masuk ke dalam dunia pendidikan kita. Sekolah adalah tempat yang penuh tipuan. Andreas Harefa menyikapi fenomena pendidikan di Negara kita dengan menyatakan, “Hanya dua bentuk respon yang bisa kita berikan menjawab pertanyaan tentang pendidikan kita, menangis atau gila.” Menangis karena sekolah kita selama ini memang hanya menghasilkan air mata dan gila karena persoalan pendidikan bagai benang kusut yang belum ketemu ujungnya sehingga sulit untuk diurai. Yang ada di ruang sekolah kita sejak dulu dan entah sampai kapan, adalah guru bohong-bohongan, murid bohong-bohongan, ijazah bohong-bohongan, ilmu bohong-bohongan, intelektual bohong-bohongan dan semuanya hampir tanpa terkecuali. Fenomena kedustaan, kebohongan dan penipuan di awali semenjak baru berencana memasuki gerbang sekolah. Di awal tahun ajaran baru, aksi tipu-menipu begitu gencar dilakukan pihak pengusaha sekolah. Kedustaan menjadi sesuatu yang lazim untuk mempromosikan sekolah yang dengan gencar dilakukan lewat saluran media, bahkan memanfaatkan artis yang populer, bukan karena berhasil sekolah melainkan sang artis berada pada posisi puncak ketenarannya. Sang artislah yang menjadi pemikat untuk menarik calon siswa agar mau mengeluarkan biaya untuk bersekolah disana, semahal apapun tidak menjadi persoalan. Iklan sekolah menjadi mirip iklan obat kulit karena memanfaatkan artis sebagai pemikat. Dalam promosinya, tiap sekolah menawarkan janji yang seragam; lulusannya akan memperoleh pekerjaan yang layak, gaji tinggi dan tentu saja karir yang terus menanjak. Lihat saja brosur promosi sebuah sekolah, meski hanya selembar, anda akan mendapat segepok info yang serba menakjubkan. Lantai sekolah yang licin, dinding gedung yang baru dicat, ruang kelas ber-ac, kantin yang menyediakan banyak menu dan nama pengajar yang gelarnya panjang sekali, tidak peduli prestasi apa yang pernah diraihnya yang penting mereka sangat berpengalaman bersekolah. Karena saking banyaknya, tiap sekolah bersaing satu sama lain dan terkadang dengan kompetisi, sekolah menjadi lembaga yang naïf. Kenaifan tersebut diawali dengan promosi sekolah yang berani memakai siasat bohong. Menjadikan besarnya sumbangan sebagai paramater diterima tidaknya seseorang menjadi siswa adalah bukti kenaifan lainnya. Uang mengambil peran yang signifikan dalam menentukan diterima tidaknya calon siswa. Meski ada kriteria nilai, menjadi tidak berarti jika si calon siswa mampu membayar sesuai jumlah yang diminta pihak sekolah. Diberikanlah berbagai macam istilah, jalur khusus, jalur mandiri atau apapun namanya buat mereka yang masuk berdasar biaya. Jangankan uang pangkal, untuk membeli formulir pendaftaran saja sudah ada kutipan biaya yang lumayan besar. Kebijakan pendidikan yang mahal ini tentu saja sangat merisaukan. Bukan hanya mengubur impian mobilitas kelas sosial bawah untuk memperbaiki status kelasnya, tetapi juga sampai pada skala ekstrim, tersingkirnya nilai-nilai kemanusiaan. Proses pembinatangan (bahasa halusnya : dehumanisasi) akan berlangsung secara cepat. Sebuah pertanyaan mendasar, mengapa uang mengambil peran yang sedemikian besar dalam dunia pendidikan kita ? Sekolah Dalam Cengkeraman Kuasa Modal Melihat realitas yang terjadi, ada benarnya pernyataan Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brazil, bahwa pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik. Pendidikan oleh penguasa dijadikan sebagai perpanjangan kebijakan untuk melanggenggkan kekuasaan atau melegitimasi dominasi mereka. Sehingga yang terjadi pendidikan harus sejalan sesuai dengan kepentingan penguasa. Kita sepakat, bahwa pendidikan harus memiliki keberpihakan. Hanya saja, adalah sebuah ironi jika pendidikan berpihak kepada kepentingan penguasa dan bukannya kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang lebih manusiawi. Persoalan selanjutnya, jika penguasa tidak sekedar menjalankan tugas penguasaannya namun sampai pada tataran pemenuhan nafsu untuk memanfaatkan kekuasaan dengan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, berbagai usahapun dilakukan. Dengan kondisi ini saya menyebutnya penguasa sekaligus pengusaha, dan dunia pendidikan pun tak terlepas dari incaran penguasaan untuk akumulasi modal. Pekerjaan sebagai pengusaha sekolah mampu menghasilkan laba yang tidak sedikit. Mandat sebagai pengusaha sekolah tidak lain adalah, bagaimana mendapatkan laba dengan mendirikan sekolah. Aktivitas pengusaha pendidikan memang berorientasi pada perolehan dan penumpukan laba. Karenanya segala perbuatan dan kebijakan diarahkan pada tujuan yang satu ini. Itu sebabnya merupakan kebutuhan primer pengusaha untuk berkoalisi dengan pemerintah untuk meloloskan berbagai kebijakan pendidikan yang menguntungkannya. Saling tukar menukar kepentingan akan semakin sukses jika pengusaha pendidikan merangkap sebagai politisi parlemen. Adapun keuntungan yang didapat yakni pengusaha bisa terlibat untuk mendorong kebijakan pendidikan agar sesuai dengan kepentingan-kepentingannya dan jika membuka suatu lembaga pendidikan akan memperoleh legitimasi dan mandat dari publik. Bagaimana pengusaha dengan orientasi penumpukan laba bisa mengeruk keuntungan dengan medium sekolah ? ada tiga langkah yang biasa dilakukan. Pertama, melakukan intervensi materi yang membuka peluang keterlibatan pengusaha, dengan cara mendorong sekolah untuk mengadopsi sejumlah materi-materi yang cocok dan tepat dengan kepentingan dunia usaha. Kedua, pengusaha menjadi pemasok kebutuhan-kebutuhan sekolah dari seragam, buku hingga kurikulum. Adanya keterlibatan pihak perbankan dalam usaha pendirian sekolah dengan maksud jelas: semua pembayaran harus melalui bank tersebut, adalah satu contoh fenomena. Metode yang ketiga adalah, pola rekruitmen sumber daya manusia untuk memenuhi kepentingan pengusaha. Lulusan dari sekolah diharapkan menjadi sekrup mekanisme yang taat dan dimasukkan dalam perusahaan-perusahaan. Kedekatan sekolah dengan industri makin menjadi-jadi dengan termanfaatkannya ruang yang luas di sekolah sebagai tempat promosi dan iklan sebuah produk. Ringkasnya sekolah tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu namun juga secara maksimal dapat memenuhi kepentingan kalangan pengusaha. Dari sini saya hendak menyatakan, merosotnya kualitas pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kebijakan negara dari sektor pendidikan. Menyamakan lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan adalah sebuah kebijakan yang keliru. Liberalisasi pendidikan pada hakekatnya telah membatasi akses sebanyak-banyaknya orang untuk menikmati sekolah. Komersialisasi pendidikan hanya memunculkan sekelompok orang yang menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Menyerahkan urusan pendidikan pada segelintir orang yang bermotif laba, musibah pasti muncul : pendidikan kian menyingkirkan diri kebutuhan riil rakyat. Buruknya Komitmen Pemerintah TAP No II/MPRS/1960 tentang Garis- garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 yang memerintahkan agar anggaran pendidikan berjumlah 25 persen dari anggaran belanja negara, tidak sempat dilaksanakan pemerintah dengan situasi politik yang carut marut. Sesuai dengan semangat Orde Baru, MPRS kembali membuat TAP No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan. Ketetapan ini menghendaki agar pemerintah melaksanakan anggaran pendidikan minimal 25 persen dari anggaran belanja negara. Lagi-lagi konstitusi tinggal sebagai kata-kata indah tak bermakna. Maka reformasi lewat amandemen UUD 1945 menempatkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (pasal 31 ayat 1 UUD 1945). Ayat (4) pasal ini menyebutkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Belajar dari rendahnya akuntabilitas publik pemerintah di bidang pendidikan, maka terbitlah UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 49 Ayat (1) UU ini menegaskan, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Besar kecilnya anggaran pendidikan jelas berhubungan positif dengan kinerja pendidikan nasional suatu negara. Tingginya alokasi anggaran pendidikan, akan membuahkan membaiknya kinerja pendidikan. Sebaliknya rendahnya dana pendidikan, akan mengakibatkan memburuknya kinerja pendidikan. Memang tidak salah jalan pikiran kalau sekolah memang harus mahal. Segala keperluan sekolah memang membutuhkan ongkos dan tidak gratis, hanya saja akan bermasalah jika keseluruhan beban biaya sekolah dibebankan kepada masyarakat. UUD 1945 yang mengamanahkan kepada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dinodai dengan kebijakan Pemerintah yang memberlakukan Badan Hukum Pendidikan sebagai penerapan liberalisasi sektor pendidikan. Akibat dari liberalisasi ini adalah swastanisasi serta privatisasi dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan kini harusmengubah strategi jika ingin dilirik, dari usaha pencerdasan menjadi kegiatan untuk melahirkan produk sebanyak-banyaknya. Tidak ada sekolah yang bangga dengan biaya yang murah tetapi akan selalu bertepuk dada karena fasilitas yang lengkap. Fasilitas itu bisa apa saja, dari ruangan yang super megah, ekstraklurikuler yang beragam sampai pengajar dari berbagai negara dan janjinya selalu saja seragam, akan lahir lulusan yang siap bertarung dalam iklim global. Dampak yang paling jelas adalah berujung pada seleksi kelas sosial pada lembaga pendidikan. Hanya mereka yang punya uang yang mampu mencicipi bangku sekolah, dengan kondisi ini sama halnya menyatakan sebagaimana judul buku Eko Prasetyo,” Orang Miskin di Larang Sekolah”. Ada banyak alasan menyatakan komitmen pemerintah begitu buruk terhadap persoalan pendidikan. Selain belum kucurnya dana 20 % dari APBN untuk anggaran pendidikan juga pekerjaan pemerintah sekedar mengutak-atik kebijakan tanpa perubahan berarti. Setiap ganti menteri ganti kurikulum adalah fenomena yang nyata. Merubah IKIP menjadi universitas tanpa perubahan kualitas tenaga pengajar hanya mengulang-ulang kesalahan. Kenyataan serupa terjadi pada kebijakan menejemen berbasis sekolah tetapi pengelolaan masih berbasis feodal, hal ini hanya menjerumuskan pendidikan dalam lingkaran keterbelakangan. Orientasi dagang dalam dunia pendidikan sangat kentara saat pendaftaran hingga ketika siswa lulus, semua jalur memakai uang dengan memanfaatkan motif yang seolah mulia. Kondisi yang diperburuk oleh rendahnya komitmen pemerintah untuk menglokasikan dana yang mencukupi untuk sektor pendidikan malah dengan konsep BHP intitusi pendidikan dituntut untuk menggali dana dari masyarakat. Upaya pengalihan ini dilakukan untuk mengurangi beban finansial pemerintah dan menyerahkan sektor pendidikan dalam arena pasar. Melalui kebijakan ini maka yang bisa diserap dalam lingkungan pendidikan adalah mereka yang memiliki modal yang cukup. Jika diusut penyebab ini semua. Tentu jawabannya adalah kebijakan ekonomi neoliberal. Yang terpokok dari ideologi neoliberal adalah dikarantinanya peran sosial negara dan menjadikan pasar bebas sebagai kiblat dari semua transaksi ekonomi. Ekonomi liberal ini membuat semua negara dipacu untuk membuka pasar dan mencabut semua subsidi yang memiliki tujuan perlindungan. Sekolah tidak perlu menjadi tanggungan negara, cukup diberikan kepada mekanisme pasar. Biarlah pasar yang menentukan sekolah yang patut dipertahankan dan mana yang harus gulung tikar. Di sini pendidikan hanya memberi pelayanan hanya kepada mereka yang kuat membayar. Sekolah tidak ubahnya menjadi hutan belantara dengan hukum rimba, siapa yang kuat dialah pemenangnya. Tawaran Solusi : Sekolah Mustinya Murah Usaha perubahan besar dalam lingkungan pendidikan, harusnya diawali dengan pemerataan kesempatan setiap orang untuk mengakses pendidikan. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Kurikulum didesain bukan untuk kebutuhan kompetisi apalagi keperluan memenuhi tuntutan pasar melainkan dirancang untuk kebutuhan pemanusiaan. Bukan masanya lagi menggunakan metodologi yang semata-mata mengandalkan fasilitas mewah melainkan menitikberatkan pada perkembangan jiwa peserta didik. Anggaran pendidikan yang lebih kecil dibanding anggaran pertahanan jelas tidak bisa memberikan solusi. Dana untuk sektor pendidikan hanya berkisar Rp. 13,6 trilun atau sekitar 4 % dari 20 % anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan. Minimnya anggaran pendidikan yang dikeluarkan pemerintah membuat pendidikan menjadi mahal. Inilah biang utama proses pemiskinan, karenanya pendidikan harus murah. Ada beberapa efek yang ditimbulkan akibat pendidikan yang bisa diakses murah. Pertama, pendidikan murah dapat menyenangkan sebanyak-banyaknya orang, terutama yang miskin. Perasaan senang adalah tugas sekolah karena dengan kegembiraan kita bisa melakukan apa saja. Kedua, pendidikan murah dapat menekan perilaku korupsi. Korupsi yang merambah dunia pendidikan karena melimpahnya dana di lingkungan pendidikan. Murahnya biaya pendidikan membuat dana pendidikan bisa diketahui, dikelola dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Ketiga, pendidikan murah akan memperkuat legitimasi negara dan memenuhi tugas pokok negara. Dengan pendidikan murah maka peran maupun posisi negara kian kuat dihadapan rakyat. Rakyat akan memberikan dukungan kepada pemerintah karena berada dipihaknya dan memperjuangkan hak-haknya. Pertanyaan taktis yang kemudian muncul, darimana ongkos pendidikan jika tidak mahal ? jika masyarakat hanya membayar murah ? uang darimana yang akan digunakan untuk membuat semua penduduk bisa menikmati pendidikan hingga perguruan tinggi ? uang dari mana untuk menggaji dan menjamin kesejahteraan guru agar bisa mengajar seefektif mungkin ?. Jawabannya, pemerintah harus mengalokasikan dana 20 % untuk pendidikan, ini adalah tuntutan konstitusional yang mewajibkan sekolah bisa menampung semua warga. Kedua, meminta komitmen pejabat tinggi pada institusi pendidikan dan kemajuan bangsa dengan bersedia dilakukan pemotongan gaji. Tumpukan kekayaan dari pejabat tinggi mulai dari Presiden hingga ke kepala dinas dan termasuk didalamnya anggota dewan jika dipotong 10 % dapat membantu pembiayaan pendidikan. Ketiga, menarik pajak pendidikan melalui perusahaan-perusahaan besar terutama yang menjadikan anak sekolahan sebagai konsumen terbesarnya. Pemberian beasiswa hanya menyentuh sejumlah orang sedangkan alokasi dana dapat membantu biaya pendidikan secara umum. Cara selanjutnya yakni melakukan penarikan dana langsung dari masyarakat. Penyelesaian dengan menaikkan ongkos pendidikan bukan solusi yang berdasar pada akal sehat, persoalan biaya lebih tepatnya jika didekati melalui mekanisme keterlibatan semua pihak. Saya percaya pemerintah sebenarnya mampu membiayai pendidikan hanya saja pemerintah tidak ‘mau’ melakukannya. Rendahnya komitmen dan menganggap pendidikan bukan prioritas adalah penyebab utamanya, selanjutnya adalah adanya tekanan dari rezim internasional untuk menjamin bahwa negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk patuh menjalankan prinsip pasar dan perdagangan bebas. Realitas inilah yang harus dipertanyakan dan dirubah. Realitas yang memerlukan perlawanan dan perjuangan yang panjang. Wallahu 'alam bishshawwab. Referensi: Sekolah kehidupan, Berhala globalisme dan kapitalisme global oleh Dimitri Mahayana Sekolah itu candu, Roem Topatimasang, Insist. The Cashflow Quadran, Robert T Kiyosaki Membedah relasi pendidikan dan politik kekuasaan, Alam. Jr Orang Miskin di Larang Sekolah, Eko Prasetyo, Resist Book. Film; School of Rock