28 Januari, 2008

BHP : Jalan Menuju Penindasan

“Menurut saya, masa sekolah adalah saat-saat yang paling tidak membahagiakan dalam seluruh keberadaan ummat manusia. Masa itu penuh tugas-tugas bodoh dan membosankan, peraturan baru yang tidak menyenangkan dan pelanggaran semena-mena terhadap akal sehat dan perilaku yang pantas.” -H.L Mencken- (dikutip dari The Cashflow Quadran, Robert T Kiyosaki) Kalau anda menonton film Scholl of Rock bisa jadi anda menemui fenomena yang berbeda sebagaimana yang digambarkan H.L Mencken di atas tentang sekolah. Sebaliknya, dalam film tersebut sekolah menjadi tempat yang begitu menyenangkan, ada kegembiraan yang meluap-luap, ada pendar-pendar kebahagiaan yang terkecapi oleh semua murid, yang ironisnya di ajar bukan oleh guru atau ahli pendidikan melainkan oleh seorang penipu. Si penipu yang dengan mahir melakukan banyak kebohongan, dengan mengaku sebagai guru, dibohonginya semua murid dan juga pengurus sekolah. Aksi tipu yang dilakukan sang tokoh ini mirip dengan kelakukan para birokrat pendidikan. Hanya saja, sang tokoh dengan keahliannya menipu berhasil disenangi oleh murid-murid karena dibebaskan dari tugas-tugas yang membosankan dan membuat aturan baru yang begitu menyenangkan : “Setiap murid diperbolehkan melakukan yang dia senangi, sesuai dengan bakat, minat dan talentanya”. Sedangkan birokrat pendidikan aksi tipunya menghasilkan deraian airmata. Saya menyukai film School of Rock (dan berkali-kali diminta untuk mem’bedah’nya), bukan hanya karena menawarkan tawa tetapi juga menggambarkan fenomena sekolah yang membuat saya berani menyimpulkan ada yang salah dengan sekolah kita. Lewat tulisan ini akan saya urai, kelakukan birokrat pendidikan yang terkadang mengeluarkan kebijakan sarat dengan penindasan dan ketidakadilan. Sulit dipungkiri, menipu memang merupakan aktivitas yang menyenangkan. Terlebih lagi jika dengan menipu mampu menumpuk laba. Aksi tipu-menipu pun masuk ke dalam dunia pendidikan kita. Sekolah adalah tempat yang penuh tipuan. Andreas Harefa menyikapi fenomena pendidikan di Negara kita dengan menyatakan, “Hanya dua bentuk respon yang bisa kita berikan menjawab pertanyaan tentang pendidikan kita, menangis atau gila.” Menangis karena sekolah kita selama ini memang hanya menghasilkan air mata dan gila karena persoalan pendidikan bagai benang kusut yang belum ketemu ujungnya sehingga sulit untuk diurai. Yang ada di ruang sekolah kita sejak dulu dan entah sampai kapan, adalah guru bohong-bohongan, murid bohong-bohongan, ijazah bohong-bohongan, ilmu bohong-bohongan, intelektual bohong-bohongan dan semuanya hampir tanpa terkecuali. Fenomena kedustaan, kebohongan dan penipuan di awali semenjak baru berencana memasuki gerbang sekolah. Di awal tahun ajaran baru, aksi tipu-menipu begitu gencar dilakukan pihak pengusaha sekolah. Kedustaan menjadi sesuatu yang lazim untuk mempromosikan sekolah yang dengan gencar dilakukan lewat saluran media, bahkan memanfaatkan artis yang populer, bukan karena berhasil sekolah melainkan sang artis berada pada posisi puncak ketenarannya. Sang artislah yang menjadi pemikat untuk menarik calon siswa agar mau mengeluarkan biaya untuk bersekolah disana, semahal apapun tidak menjadi persoalan. Iklan sekolah menjadi mirip iklan obat kulit karena memanfaatkan artis sebagai pemikat. Dalam promosinya, tiap sekolah menawarkan janji yang seragam; lulusannya akan memperoleh pekerjaan yang layak, gaji tinggi dan tentu saja karir yang terus menanjak. Lihat saja brosur promosi sebuah sekolah, meski hanya selembar, anda akan mendapat segepok info yang serba menakjubkan. Lantai sekolah yang licin, dinding gedung yang baru dicat, ruang kelas ber-ac, kantin yang menyediakan banyak menu dan nama pengajar yang gelarnya panjang sekali, tidak peduli prestasi apa yang pernah diraihnya yang penting mereka sangat berpengalaman bersekolah. Karena saking banyaknya, tiap sekolah bersaing satu sama lain dan terkadang dengan kompetisi, sekolah menjadi lembaga yang naïf. Kenaifan tersebut diawali dengan promosi sekolah yang berani memakai siasat bohong. Menjadikan besarnya sumbangan sebagai paramater diterima tidaknya seseorang menjadi siswa adalah bukti kenaifan lainnya. Uang mengambil peran yang signifikan dalam menentukan diterima tidaknya calon siswa. Meski ada kriteria nilai, menjadi tidak berarti jika si calon siswa mampu membayar sesuai jumlah yang diminta pihak sekolah. Diberikanlah berbagai macam istilah, jalur khusus, jalur mandiri atau apapun namanya buat mereka yang masuk berdasar biaya. Jangankan uang pangkal, untuk membeli formulir pendaftaran saja sudah ada kutipan biaya yang lumayan besar. Kebijakan pendidikan yang mahal ini tentu saja sangat merisaukan. Bukan hanya mengubur impian mobilitas kelas sosial bawah untuk memperbaiki status kelasnya, tetapi juga sampai pada skala ekstrim, tersingkirnya nilai-nilai kemanusiaan. Proses pembinatangan (bahasa halusnya : dehumanisasi) akan berlangsung secara cepat. Sebuah pertanyaan mendasar, mengapa uang mengambil peran yang sedemikian besar dalam dunia pendidikan kita ? Sekolah Dalam Cengkeraman Kuasa Modal Melihat realitas yang terjadi, ada benarnya pernyataan Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brazil, bahwa pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik. Pendidikan oleh penguasa dijadikan sebagai perpanjangan kebijakan untuk melanggenggkan kekuasaan atau melegitimasi dominasi mereka. Sehingga yang terjadi pendidikan harus sejalan sesuai dengan kepentingan penguasa. Kita sepakat, bahwa pendidikan harus memiliki keberpihakan. Hanya saja, adalah sebuah ironi jika pendidikan berpihak kepada kepentingan penguasa dan bukannya kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang lebih manusiawi. Persoalan selanjutnya, jika penguasa tidak sekedar menjalankan tugas penguasaannya namun sampai pada tataran pemenuhan nafsu untuk memanfaatkan kekuasaan dengan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, berbagai usahapun dilakukan. Dengan kondisi ini saya menyebutnya penguasa sekaligus pengusaha, dan dunia pendidikan pun tak terlepas dari incaran penguasaan untuk akumulasi modal. Pekerjaan sebagai pengusaha sekolah mampu menghasilkan laba yang tidak sedikit. Mandat sebagai pengusaha sekolah tidak lain adalah, bagaimana mendapatkan laba dengan mendirikan sekolah. Aktivitas pengusaha pendidikan memang berorientasi pada perolehan dan penumpukan laba. Karenanya segala perbuatan dan kebijakan diarahkan pada tujuan yang satu ini. Itu sebabnya merupakan kebutuhan primer pengusaha untuk berkoalisi dengan pemerintah untuk meloloskan berbagai kebijakan pendidikan yang menguntungkannya. Saling tukar menukar kepentingan akan semakin sukses jika pengusaha pendidikan merangkap sebagai politisi parlemen. Adapun keuntungan yang didapat yakni pengusaha bisa terlibat untuk mendorong kebijakan pendidikan agar sesuai dengan kepentingan-kepentingannya dan jika membuka suatu lembaga pendidikan akan memperoleh legitimasi dan mandat dari publik. Bagaimana pengusaha dengan orientasi penumpukan laba bisa mengeruk keuntungan dengan medium sekolah ? ada tiga langkah yang biasa dilakukan. Pertama, melakukan intervensi materi yang membuka peluang keterlibatan pengusaha, dengan cara mendorong sekolah untuk mengadopsi sejumlah materi-materi yang cocok dan tepat dengan kepentingan dunia usaha. Kedua, pengusaha menjadi pemasok kebutuhan-kebutuhan sekolah dari seragam, buku hingga kurikulum. Adanya keterlibatan pihak perbankan dalam usaha pendirian sekolah dengan maksud jelas: semua pembayaran harus melalui bank tersebut, adalah satu contoh fenomena. Metode yang ketiga adalah, pola rekruitmen sumber daya manusia untuk memenuhi kepentingan pengusaha. Lulusan dari sekolah diharapkan menjadi sekrup mekanisme yang taat dan dimasukkan dalam perusahaan-perusahaan. Kedekatan sekolah dengan industri makin menjadi-jadi dengan termanfaatkannya ruang yang luas di sekolah sebagai tempat promosi dan iklan sebuah produk. Ringkasnya sekolah tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu namun juga secara maksimal dapat memenuhi kepentingan kalangan pengusaha. Dari sini saya hendak menyatakan, merosotnya kualitas pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kebijakan negara dari sektor pendidikan. Menyamakan lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan adalah sebuah kebijakan yang keliru. Liberalisasi pendidikan pada hakekatnya telah membatasi akses sebanyak-banyaknya orang untuk menikmati sekolah. Komersialisasi pendidikan hanya memunculkan sekelompok orang yang menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Menyerahkan urusan pendidikan pada segelintir orang yang bermotif laba, musibah pasti muncul : pendidikan kian menyingkirkan diri kebutuhan riil rakyat. Buruknya Komitmen Pemerintah TAP No II/MPRS/1960 tentang Garis- garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 yang memerintahkan agar anggaran pendidikan berjumlah 25 persen dari anggaran belanja negara, tidak sempat dilaksanakan pemerintah dengan situasi politik yang carut marut. Sesuai dengan semangat Orde Baru, MPRS kembali membuat TAP No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan. Ketetapan ini menghendaki agar pemerintah melaksanakan anggaran pendidikan minimal 25 persen dari anggaran belanja negara. Lagi-lagi konstitusi tinggal sebagai kata-kata indah tak bermakna. Maka reformasi lewat amandemen UUD 1945 menempatkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (pasal 31 ayat 1 UUD 1945). Ayat (4) pasal ini menyebutkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Belajar dari rendahnya akuntabilitas publik pemerintah di bidang pendidikan, maka terbitlah UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 49 Ayat (1) UU ini menegaskan, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Besar kecilnya anggaran pendidikan jelas berhubungan positif dengan kinerja pendidikan nasional suatu negara. Tingginya alokasi anggaran pendidikan, akan membuahkan membaiknya kinerja pendidikan. Sebaliknya rendahnya dana pendidikan, akan mengakibatkan memburuknya kinerja pendidikan. Memang tidak salah jalan pikiran kalau sekolah memang harus mahal. Segala keperluan sekolah memang membutuhkan ongkos dan tidak gratis, hanya saja akan bermasalah jika keseluruhan beban biaya sekolah dibebankan kepada masyarakat. UUD 1945 yang mengamanahkan kepada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dinodai dengan kebijakan Pemerintah yang memberlakukan Badan Hukum Pendidikan sebagai penerapan liberalisasi sektor pendidikan. Akibat dari liberalisasi ini adalah swastanisasi serta privatisasi dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan kini harusmengubah strategi jika ingin dilirik, dari usaha pencerdasan menjadi kegiatan untuk melahirkan produk sebanyak-banyaknya. Tidak ada sekolah yang bangga dengan biaya yang murah tetapi akan selalu bertepuk dada karena fasilitas yang lengkap. Fasilitas itu bisa apa saja, dari ruangan yang super megah, ekstraklurikuler yang beragam sampai pengajar dari berbagai negara dan janjinya selalu saja seragam, akan lahir lulusan yang siap bertarung dalam iklim global. Dampak yang paling jelas adalah berujung pada seleksi kelas sosial pada lembaga pendidikan. Hanya mereka yang punya uang yang mampu mencicipi bangku sekolah, dengan kondisi ini sama halnya menyatakan sebagaimana judul buku Eko Prasetyo,” Orang Miskin di Larang Sekolah”. Ada banyak alasan menyatakan komitmen pemerintah begitu buruk terhadap persoalan pendidikan. Selain belum kucurnya dana 20 % dari APBN untuk anggaran pendidikan juga pekerjaan pemerintah sekedar mengutak-atik kebijakan tanpa perubahan berarti. Setiap ganti menteri ganti kurikulum adalah fenomena yang nyata. Merubah IKIP menjadi universitas tanpa perubahan kualitas tenaga pengajar hanya mengulang-ulang kesalahan. Kenyataan serupa terjadi pada kebijakan menejemen berbasis sekolah tetapi pengelolaan masih berbasis feodal, hal ini hanya menjerumuskan pendidikan dalam lingkaran keterbelakangan. Orientasi dagang dalam dunia pendidikan sangat kentara saat pendaftaran hingga ketika siswa lulus, semua jalur memakai uang dengan memanfaatkan motif yang seolah mulia. Kondisi yang diperburuk oleh rendahnya komitmen pemerintah untuk menglokasikan dana yang mencukupi untuk sektor pendidikan malah dengan konsep BHP intitusi pendidikan dituntut untuk menggali dana dari masyarakat. Upaya pengalihan ini dilakukan untuk mengurangi beban finansial pemerintah dan menyerahkan sektor pendidikan dalam arena pasar. Melalui kebijakan ini maka yang bisa diserap dalam lingkungan pendidikan adalah mereka yang memiliki modal yang cukup. Jika diusut penyebab ini semua. Tentu jawabannya adalah kebijakan ekonomi neoliberal. Yang terpokok dari ideologi neoliberal adalah dikarantinanya peran sosial negara dan menjadikan pasar bebas sebagai kiblat dari semua transaksi ekonomi. Ekonomi liberal ini membuat semua negara dipacu untuk membuka pasar dan mencabut semua subsidi yang memiliki tujuan perlindungan. Sekolah tidak perlu menjadi tanggungan negara, cukup diberikan kepada mekanisme pasar. Biarlah pasar yang menentukan sekolah yang patut dipertahankan dan mana yang harus gulung tikar. Di sini pendidikan hanya memberi pelayanan hanya kepada mereka yang kuat membayar. Sekolah tidak ubahnya menjadi hutan belantara dengan hukum rimba, siapa yang kuat dialah pemenangnya. Tawaran Solusi : Sekolah Mustinya Murah Usaha perubahan besar dalam lingkungan pendidikan, harusnya diawali dengan pemerataan kesempatan setiap orang untuk mengakses pendidikan. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Kurikulum didesain bukan untuk kebutuhan kompetisi apalagi keperluan memenuhi tuntutan pasar melainkan dirancang untuk kebutuhan pemanusiaan. Bukan masanya lagi menggunakan metodologi yang semata-mata mengandalkan fasilitas mewah melainkan menitikberatkan pada perkembangan jiwa peserta didik. Anggaran pendidikan yang lebih kecil dibanding anggaran pertahanan jelas tidak bisa memberikan solusi. Dana untuk sektor pendidikan hanya berkisar Rp. 13,6 trilun atau sekitar 4 % dari 20 % anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan. Minimnya anggaran pendidikan yang dikeluarkan pemerintah membuat pendidikan menjadi mahal. Inilah biang utama proses pemiskinan, karenanya pendidikan harus murah. Ada beberapa efek yang ditimbulkan akibat pendidikan yang bisa diakses murah. Pertama, pendidikan murah dapat menyenangkan sebanyak-banyaknya orang, terutama yang miskin. Perasaan senang adalah tugas sekolah karena dengan kegembiraan kita bisa melakukan apa saja. Kedua, pendidikan murah dapat menekan perilaku korupsi. Korupsi yang merambah dunia pendidikan karena melimpahnya dana di lingkungan pendidikan. Murahnya biaya pendidikan membuat dana pendidikan bisa diketahui, dikelola dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Ketiga, pendidikan murah akan memperkuat legitimasi negara dan memenuhi tugas pokok negara. Dengan pendidikan murah maka peran maupun posisi negara kian kuat dihadapan rakyat. Rakyat akan memberikan dukungan kepada pemerintah karena berada dipihaknya dan memperjuangkan hak-haknya. Pertanyaan taktis yang kemudian muncul, darimana ongkos pendidikan jika tidak mahal ? jika masyarakat hanya membayar murah ? uang darimana yang akan digunakan untuk membuat semua penduduk bisa menikmati pendidikan hingga perguruan tinggi ? uang dari mana untuk menggaji dan menjamin kesejahteraan guru agar bisa mengajar seefektif mungkin ?. Jawabannya, pemerintah harus mengalokasikan dana 20 % untuk pendidikan, ini adalah tuntutan konstitusional yang mewajibkan sekolah bisa menampung semua warga. Kedua, meminta komitmen pejabat tinggi pada institusi pendidikan dan kemajuan bangsa dengan bersedia dilakukan pemotongan gaji. Tumpukan kekayaan dari pejabat tinggi mulai dari Presiden hingga ke kepala dinas dan termasuk didalamnya anggota dewan jika dipotong 10 % dapat membantu pembiayaan pendidikan. Ketiga, menarik pajak pendidikan melalui perusahaan-perusahaan besar terutama yang menjadikan anak sekolahan sebagai konsumen terbesarnya. Pemberian beasiswa hanya menyentuh sejumlah orang sedangkan alokasi dana dapat membantu biaya pendidikan secara umum. Cara selanjutnya yakni melakukan penarikan dana langsung dari masyarakat. Penyelesaian dengan menaikkan ongkos pendidikan bukan solusi yang berdasar pada akal sehat, persoalan biaya lebih tepatnya jika didekati melalui mekanisme keterlibatan semua pihak. Saya percaya pemerintah sebenarnya mampu membiayai pendidikan hanya saja pemerintah tidak ‘mau’ melakukannya. Rendahnya komitmen dan menganggap pendidikan bukan prioritas adalah penyebab utamanya, selanjutnya adalah adanya tekanan dari rezim internasional untuk menjamin bahwa negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk patuh menjalankan prinsip pasar dan perdagangan bebas. Realitas inilah yang harus dipertanyakan dan dirubah. Realitas yang memerlukan perlawanan dan perjuangan yang panjang. Wallahu 'alam bishshawwab. Referensi: Sekolah kehidupan, Berhala globalisme dan kapitalisme global oleh Dimitri Mahayana Sekolah itu candu, Roem Topatimasang, Insist. The Cashflow Quadran, Robert T Kiyosaki Membedah relasi pendidikan dan politik kekuasaan, Alam. Jr Orang Miskin di Larang Sekolah, Eko Prasetyo, Resist Book. Film; School of Rock

Tidak ada komentar: