18 Maret, 2008

Belajar Sebagai Proses Pendidikan Menjadi Manusia Seutuhnya

“Sesungguhnya Aku mengingatkan kepadamu supaya kamu tidak termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Qs.Hud:46)
“Tuntutlah ilmu, dari ayunan hingga liang lahat…” -Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam-
“Disemua tempat dan dimana saja kehidupan berlangsung, kita dapat belajar”
-Andreas Harefa -
Jakob Sumardjo, dalam artikelnya “Hidup itu belajar” yang di muat Kompas, 24 April 1996, memberikan warning, mengingatkan bahwa manusia “Hidup untuk belajar” dan bukan “belajar untuk hidup”. Bila orang belajar untuk hidup, untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jabatan, dan sebagainya, maka ia akan menjadi pemburu gelar dan atribut-atribut simbolis yang tidak esensial. Mereka akan puas setelah diwisuda dan merasa sudah tamat belajar. Pandangan inilah yang sangat efektif membuat mahasiswa berhenti membaca dan menulis usai lulus Universitas. Mereka sudah dianugerahi Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Sudah kelar, selesai, ngapain belajar lagi.
Duh, kalau belajar Cuma untuk medapat “hadiah” Sarimin juga bisa. Untuk dapat sebutir kacang, Sarimin harus belajar meniru majikanya. Sampai ia bisa ke pasar, berdandan atau menari dengan topeng. Tapi kita manusia, bukan Sarimin, bukan monyet. Dan hakikat penciptaan manusia adalah belajar untuk jadi diri sendiri agar lebih manusiawi. Mestinya, kita menyadari bahwa kita hidup untuk belajar, sehingga konsekwensi logis dari belajar yang berupa gelar atau simbol-simbol (ijazah, sertifikat, diploma) dan implikasi kenikmatan hidup yang menyertainya berupa jabatan, pekerjaan, tunjangan, dsb) bukan menjadi tujuan utama. Tapi yang terpenting adalah “mengeluarkan” potensi diri dan membuat diri punya guna yang nyata bagi sesama-sebagaimana pesan para ulama salaf “Manusia yang hidup hanya untuk dirinya sendiri tidak pantas untuk dilahirkan-. Dan proses belajar, tidak boleh terhenti, tidak boleh selesai, sampai seseorang ‘menaruh nisan di atas pekuburan’ kita, sebagaimana hadits Rasulullah di atas.
“Hidup untuk belajar” dan “Belajar untuk hidup” walaupun pada dasarnya berbeda, bukan berarti bertentangan. Tetapi sebagai dua hal yang saling memberi makna, saling membutuhkan, saling bersinergi. Keduanya harus ditempatkan dalam konteks kesalingbergantungan. Pemisahan antar keduanya akan menjadi persoalan besar, terutama ketika kita berorientasi sebatas “Belajar untuk hidup”. Kita akan kehilangan eksistensi kemanusiaan kita yang unik, karena food oriented ataupun money oriented membuat mahasiswa terkadang menggadaikan idealismenya, cita-citanya, demi pekerjaan yang terkadang tidak sesuai dengan bakat dan potensinya. Tidak sedikit Sarjana Pendidikan, Sarjana Tekhnik, Sarjana Hukum yang bekerja di Bank dan institusi lain yang tidak sesuai dengan gelar akademiknya. Mereka inilah yang menurut Andreas Harefa sebagai orang malang, yakni orang yang dipaksa melakukan hal yang tidak di sukainya, hal-hal yang tidak sesuai dengan potensi dan bakat unik mereka sendiri, dan melakukannya demi sesuap nasi. Aa Gym dalam salah satu ceramahnya pernah mengatakan, tujuan utama dari bekerja bukanlah uang tapi bagaimana kita menunjukkan, mengeluarkan potensi terbaik kita secara maksimal. Nah, pada dasarnya meskipun kita mendapatkan imbalan yang relatif besar dari karier dan pekerjaan kita saat ini, namun apalah artinya jika kita sesungguhnya melakukan hal-hal yang tidak disukai karena bertentangan dengan minat dan bakat kita? meskipun kita kaya dengan itu tapi itu di lakukan tidak sesuai dengan kompas hidup dan potensi unik dalam diri kita, maka kita akan menjadi sangat miskin dalam hidup ini.
Apakah Belajar?
Ada sebuah kesalahan besar yang menjadi ‘pembenaran’ kita semua, yaitu menyamakan antara bersekolah dan belajar. Sekolah adalah belajar dan belajar adalah sekolah, artinya kalau ingin belajar maka syaratnya adalah sekolah. Sehingga perspektif kita dengan orang-orang yang tidak sekolah adalah orang yang tidak belajar, otomatis mereka adalah orang-orang yang tidak berpengetahuan, tidak intelek, tidak ilmiah dan tidak sebagainya. Mereka yang tidak punya biaya untuk bersekolah, akhirnya terjebak dalam kondisi pragmatis yang menjadikan sebagian dari mereka tidak percaya diri untuk berbuat, mereka merasa tidak tahu apa-apa, bukan apa-apa, bukankah mereka tidak pernah belajar ?
Lalu, sesungguhnya apa sih belajar itu ? kalau kita mau jujur, di sekolah, di kampus, yang kita akui sebagai kampungya orang-orang yang belajar (siswa/mahasiswa) tidak pernah diajarkan tentang belajar. Ya, kita tidak pernah belajar tentang belajar. Yang ada sekedar menghafal, sekedar pertransferan pengetahuan dari otak sang guru ke otak sang murid. Kalaupun kita belajar, kita belajar terlalu sedikit (too little), terlalu lamban (too slow) dan terlalu lambat (too late). Lembaga Pendidikan (sekolah/universitas) belum sepenuhnya menjadi mediator yang mampu menerjemahkan makna belajar.
Ubaidillah AN, memaknai belajar sebagai proses melakukan sesuatu, kemudian membebaskan diri dari situasi atau tekanan yang diakibatkan ketidaktahuan. Ya, inti dari belajar adalah melakukan, cara terbaik untuk mempelajari sesuatu adalah dengan melakukannya, seperti yang ditulis oleh Rex dan Carolyin Sikes: "We learn about a city from being there, not from a map or guide book. We learned to walk and talk without reading instructions or following recipes. Learning is doing something, then getting rid of the unwanted parasitic movements". Jadi, dengan pemaknaan belajar menurut Ubaidillah AN, tesis yang merupakan kesimpulan dari pandangan Reg Revans, Bob Sadino, Charles Handy dan Alvin Toffler, menimbulkan sebuah pertanyaan. Sebagai mahasiswa benarkah kita telah belajar ?
Belajar tentang, Belajar (melakukan) dan Belajar Menjadi
“Kau menciptakan malam, dan aku yang membuat pelita. Kau menciptakan tanah liat, dan aku yang membuat piala.” -Dr. Muhammad Iqbal -
Allah, memberikan kedudukan yang sangat tinggi terhadap akal, karena hanya manusialah yang dibekali akal, maka manusia adalah ciptaan terbaik Allah. Allah memerintahkan manusia untuk menggunakan akal, dan cemohan Allah buat manusia yang tidak mau menggunakan akalnya. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Qs.88:17-20)
Salah satu ayat dari al-Qur’an di atas menegaskan kekuasaan Allah, memperjelas kepada manusia bahwa kenyataan-kenyataan empiris di dalam alam ini seharusnya menjadi sarana manusia untuk memanfaatkan dan menggunakan akalnya, sebagai mediator pembelajaran, sehingga daya pikirnya terlatih, dan dengan demikian mampu membina ilmu pengetahuan, mampu memanusiakan dirinya, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk, ialah (orang yang berlaku) tuli, yang (berlaku) bisu, dan yang tidak (mau ) mengerti.” (Qs.8:22). Ayat ini, mencemooh manusia yang tidak mau belajar untuk menemukan hakekat kemanusiaannya dan memenuhi panggilan kemanusiaannya yang pertama, yakni menjadi manusia yang senantiasa belajar, menjadi manusia pembelajar –meminjam istilah Andreas Harefa-.
Tugas pertama manusia sebagai pembelajar memberikan kepada kita sebuah konstruksi pemikiran bahwa manusia beda dengan makhluk ciptaan Allah lainnya, khususnya binatang. Manusia dapat belajar tentang, belajar melakukan, dan belajar menjadi dirinya sendiri. Sedangkan binatang hanya bisa belajar melakukan tapi tidak mampu untuk belajar tentang, apalagi belajar menjadi dirinya sendiri.
Ignas Kleden, sebagaimana yang di kutip Andreas Harefa dalam bukunya “Menjadi Manusia Pembelajar” pernah menjelaskan perbedaan antara belajar tentang dan belajar. Dicontohkan, belajar tentang bersepeda berarti mempelajari teori-teori terkait dan itu dapat dilakukan di sebuah ruangan yang tak ada sepedanya sama sekali (cukup dengan buku, film atau video tentang cara-cara bersepeda). Lain halnya dengan belajar bersepeda. Belajar bersepeda berarti pergi membawa sepeda ke tanah lapang dan praktik langsung, merasakan langsung ketika jatuh, nabrak, terkilir dan sebagainya. Sama halnya, ketika siswa/mahasiswa sekedar membaca teori-teori keTuhanan, menghafal rukun Islam dan iman, tanpa mempraktikan atau mengamalkan maka ia belumlah dikatakan belajar Islam tapi sekedar belajar tentang Islam. Artinya, dapat ditegaskan bahwa belajar pada dasarnya melakukan sesuatu, berarti mempraktikkan sesuatu yang dipelajari, sedangkan belajar tentang hanya sekedar mengetahui sesuatu. Begitulah, belajar shalat berarti melakukan shalat, belajar bahasa Inggris berarti mempraktikan bahasa Ingris, belajar tekhnik berarti mempraktikkan langsung. Mempelajari manusia tidaklah cukup hanya mempelajari biologi, sosiologi, psikolofi, filsafat, teologi dan berbagai kajian ilmu yang meletakkan manusia sebagai obyek dan teori, tetapi dilanjutkan dengan praktik, mencoba menerapkan perilaku dan kebiasaan tertentu yang sesuai teori hanya dapat dilakukan manusia. Selama pengetahuan yang dipelajari belum diaplikasikan maka pada dasarnya ia baru belajar tentang dan belum belajar.
Satu hal yang perlu kita tambahkan setelah belajar tentang (teori) dan belajar (praktik) adalah belajar menjadi. Untuk dapat memanusiakan diri seseorang maka ia harus belajar menjadi, yakni: merenungkan tentang dirinya, menghayati keberadaannya sebagai “apa” dan “siapa”, dan axiology (untuk apa) sebagai manusia. Inilah yang membuat manusia menjadi makhluk unik yang tidak dapat dibandingkan dengan binatang, yakni kemampuan manusia untuk menyadari keberadaannya serta menempatkan dirinya dalam suatu hubungan (sesuai pilihannya) dengan Sang Pencipta. Kemampuan dirinya untuk beraksi, menggunakan daya kreatifnya memakmurkan bumi, mengubah ‘alam pertama’ sebagai bahan baku menjadi ‘alam kedua’ dalam bentuk tekhnologi. Kemampuan manusia untuk menjadi dirinya, belajar menunaikan tugas dan tanggungjawabnya sebagai manusia. Aksi manusia yang tidak dimiliki binatang maupun malaikat ini, dilukiskan oleh Muhammad Iqbal, dengan untaian kata yang puitis dan makna yang mendalam : Thou didst create night and I made the lamp Thou didst create clay and I made the cup Karenanya, mahasiswa….ayo belajar, untuk menjadi manusia yang lebih manusiawi (seutuhnya), yang lebih menikmati proses dibanding hasil. Karena tidak ada yang instant di dunia ini, semuanya butuh proses kecuali jika anda ingin dikecewakan. Terimakasih….!!!
Bahan Bacaan Al-Qur’anul Karim
A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran, Penerbit Mizan, 1998
Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 2000
Andreas Harefa, Sekolah saja tidak cukup, Gramedia, Jakarta, 2001
Andreas Harefa, Pembelajaran di Era Serba Otonomi, Penerbit Harian Kompas, Jakarta 2001
Ubaidillah AN, Belajar Untuk Orang Dewasa, situs e-psikologi, 2004

Tidak ada komentar: