03 Maret, 2008

Perlunya Kesadaran Kemanusiaan

Saya tak habis pikir mengapa kematian tragis seseorang tak juga menyadarkan kita akan kelalaian yang berulang kali kita lakukan. Kita sibuk dengan diri kita sendiri, kita masih juga sibuk membahas pemberlakuan BHMN/BHP untuk institusi pendidikan meskipun mendapatkan tontonan dari meninggalnya pelajar ataupun orangtua pelajar bunuh diri karena tidak sanggup memenuhi tuntutan biaya pendidikan, sementara hanya lewat sekolah mereka berharap bisa menaikkan derajat dan harga diri mereka. Di Bogor, karena gara-gara malu belum bayar uang buku sebesar Rp30 ribu, Mudin Rudiansyah (13) siswa kelas I Madrasah Tsnawiyah (MTS) Alhusna Curug, Kabupaten Tangerang, bunuh diri. Anak yatim-piatu itu nekad mengakhiri hidupnya dengan gantung diri menggunakan tali di pohon kecapi di Kampung Pabuaran RT 05/03, Desa Curug Kulon, Tengerang. Sementara pejabat kita berebut kursi, tanpa malu berebut tempat memasang baliho dan umbul-umbul yang mengumbar janji kesejahteraan rakyat. Kita diperhadapkan oleh tontonan yang menyakitkan. Seorang ibu yang sedang hamil meninggal karena kelaparan. Bukan hanya Dg Basse, 35 warga di Jalan Dg Tata I Blok 5 Makassar yang menjadi korban kelaparan, tetapi juga anak-anaknya tak terselamatkan (Harian Fajar 1 Maret 2008). Ini hanyalah salah satu contoh yang diangkat oleh media, dan banyak lagi korban-korban yang tidak terekspos oleh media. Kasus yang muncul di media massa itu ibaratnya hanyalah puncak dari gunung es, kasusnya yang tidak terpublikasi tentu lebih banyak lagi. Sebuah keheranan kita, mengapa kasus-kasus seperti ini masih juga terjadi? kasus mati kelaparan ataupun meninggal bunuh diri karena kesulitan kehidupan ini terkesan sederhana dan tidak pernah disikapi secara serius sedang jumlah korban semakin bertambah ? atau pertanyaan penting yang harus dilontarkan, apakah kita masih punya kepedulian terhadap sesama ? Jika kita memulai dengan kondisi-kondisi di dalam diri individu, mungkin sebaiknya, kita awali dulu dengan pertanyaan`: apakah kita memandang orang di luar kita sebagai "sesama" ? Di sini kita berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis, yaitu proses pengenalan manusia. Sebab sulit mempercayai bahwa orang yang membiarkan orang lain menderita dan terzalimi memandang orang itu sebagai "sesama" manusia. Dengan yang dianggap sebagai sesama manusia akan memperlakukan orang lain sebagai sesamanya karena dirinya tercermin di dalam yang sama itu. Mengutip Empeklodes (500 sM) "Yang sama mengenal yang sama,". Kalau demikian, kita melihat yang lain itu bukan melihat yang sama, melainkan benar-benar berhadapan dengan yang lain. Orang lain dipersepsi dengan cara yang khas sedemikian rupa sehingga tampil dalam sosoknya yang terasing. Dengan kata lain, orang lain terdehumanisasikan. Apakah orang lain yang menderita dan mati kelaparan dianggap bukan sesama? bukan manusia ?. Kesimpulan yang diambil adalah perlunya kesadaran kemanusiaan. Melalui pendekatan-pendekatan kultural dan kemanusiaan mungkin bisa meluluhkan banyak hati yang beku terutama kesadaran kita akan peduli terhadap yang dialami sesama kita. Ada benarnya ucapan J.J Rousseau-pemikir Perancis-, "Segala yang jahat berasal dari kelemahan". Dan saya menganggap adalah kejahatan kemanusiaan, jika kita membiarkan orang lain mati kelaparan sementara kita masih bisa tidur dengan perut yang terisi makanan. Bukan mereka yang lemah, melainkan jiwa kita.
"Tidaklah beriman seseorang yang mebiarkan tetangganya kelaparan sementara ia tidur kekenyangan." -Muhammad SAWW-
Qom, 3 Maret 2008

Tidak ada komentar: