03 Maret, 2008

Mengorek Palung Hati Kita

Aku berjalan di belakang kafilah orang mulia Berharap bisa menyingkap penyimpangan yang kutemui Jika aku nanti menyusul mereka setelah kepergian mereka Maka betapa banyak kelapangan untuk itu diberikan Sang Pencipta Namun jika aku diam menetap di muka bumi Maka sungguh berat mencapai kemuliaan… (Setetes Air Mata Cinta Buat Nabi, Syeikh Shalih al-Fauzan (et al) hal. 15)
Pernahkah kita membayangkan bahwa orang-orang yang telah mendahului kita sedang melihat gerak polah kita yang ada di dunia lewat sebuah layar tv ? bayangkan, sekiranya Imam Ali ra melihat kita yang lamban dalam menghafal ilmu, terlebih lagi ilmu tentang kalamullah. Bayangkan apa jadinya jika Umar bin Khattab melihat kita, mungkin wajahnya memerah menahan marah, rahangnya gemetar karena gregetan melihat pemuda jaman ini yang akrab dengan istirahat dan hura-hura. Bayangkan jika Mushab bin Umair melihat kita, mungkinkah ia membiarkan kita, para pemuda yang seringkali memperalat ayah ibunya. Bayangkan Abdurrahman bin Auf melihat kita, yang saban bulan mendapatkan penghasilan tanpa pernah kita usahakan. Bayangkan Salman Al Farisi yang berjalan ribuan kilo demi menuntut ilmu melihat kita, yang lebih senang menghabiskan waktu di mall dan di taman-taman kampus. Bayangkan semua itu…? Bisa saja ini hanya pengandaian, ya sekiranya mereka melihat kita. Malukah kita? Mari kita puaskan gersang hati kita dengan tetes embun rindu yang insya Allah mulia ini. Dahulu, di suatu saat, seorang sahabat menangis tersedu-sedu dalam shalat dan do’nya. Tangisnya begitu hebat, benar-benar memilukan bagi yang melihatnya. Tak lama setelah itu, sekembalinya di rumah dan menemui anak-anaknya. Di rumah tawanya mengembang. Ia asyik bercengkrama dengan keluarganya. Lalu seketika itu ia terdiam…dan berlari keluar rumah, tergopoh-gopoh, dengan tubuh bergetar penuh ketakutan berlari menuju kerumah Rasulullah, sembari berteriak, "Ya Rasulullah….aku munafik….aku telah munafik….!!!. Tapi itu dulu. Di negeri ini, begitu banyak yang menyatakan siap menjadi pemimpin. Bahkan berlomba-lomba mengkampanyekan dirinya. Sedangkan di jaman dahulu, berabad tahun lalu. Imam Ali dengan amat berat menerima amanah sebagai khalifah. Ia berdiri di atas podium seraya menegaskan bahwa jika dirinya melenceng dari ajaran Allah, maka ia siap menerima koreksi dengan tebasan pedang di lehernya. Ia pun berkata, sepatunya yang berkali-kali ia jahit dengan tangannya sendiri jauh lebih berharga dari kepemimpinannya kecuali ia gunakan untuk menegakkan keadilan. Tahukah kita, Gubernur Hisym dahulu kala termasuk dalam daftar orang-orang termiskin di negeri tersebut. Ketika ia mendapatkan bantuan materi dari khalifah, beliau justru membagikannya kepada rakyatnya. Siapa yang tak kenal budak hitam ? Bilal, yang demi mempertahankan prinsipnya rela ditindih batu di panasnya padang pasir. Siapa pula Khubaib, yang rela tubuhnya dicincang kaum kafir Qurays ? Mereka benar-benar istiqamah pantang menyerah, pantang didekte oleh lawan. Pantang berubah oleh situasi dan kondisi. Mereka tidak kuning karena kunyit, tidak hitam karena tinta, tidak merah karena darah, tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan dan tidak asin karena garam. Mereka senantiasa setia pada asas dan kepribadiannya. "Kalian adalah ummat terbaik yang di keluarkan buat manusia…" Qs. Ali Imron :110 "Mereka Ridha kepada Allah, dan Allah ridha kepada mereka…" Betapa indah perilaku manusia-manusia itu. Siapa gerangan orang tuanya ? siapakah gerangan gurunya ? atau di kampus manakah mereka menimba ilmu ? atau sekalian diktat macam apa yang dibacanya ?. Sumbu keindahan komunitas di masa kejayaan Islam bertumpu dan berkiblat pada satu sosok yaitu Rasululah Sallallahu Alaihi Wassallam. Anis Matta, dalam bukunya Mencari Pahlawan Indonesia, menyebut Rasulullah sebagai sang guru. Beliaulah pembimbing sejati yang dengan ilmu dan kebijaksanaannya mampu mencetak kader-kader unggul sepanjang masa. Beliaulah da’i sejati yang menyeru manusia menuju yang Satu, mengarahkan ummat manusia menuju keharibaan Allah. Mungkin mudah bagi kita menjadi pahlawan, sebagaimana dunia tak pernah kekurangan pahlawan atau tokoh-tokoh besar, namun mereka tak mampu mencetak pahlawan-pahlawan baru atau menjadikan orang disekitarnya turut menjadi pahlawan.
"Pada mulanya adalah embun. Laut kemudian akhirnya. Dari laut, terbentang riwayat kepahlawanan yang agung takkan terulang. " (Anis Matta, Mencari Pahlawan Indonesia, Hal. 222)
Sebagai seorang guru, negarawan, jenderal perang, lawmaker, pembaharu sosial, ayah dan suami yang penuh teladan menjadikan Michael H. Hart menempatkan Rasulullah sebagai tokoh teratas yang paling berpengaruh dalam sejarah. Saking banyaknya pujian tentang kredibilitas beliau ‘memaksa’ Abdul Wahid Khan untuk mengumpulkan rasa pengormatan intelektual non muslim tentang Rasulullah dalam bukunya, Rasulullah di Mata Sarjana Barat. Pengandaian kita belum berakhir disini. Kini saatnya kita membayangkan seandainya Rasulullah mengetuk pintu kamar kost atau rumah kita, hadir di depan kita. Apakah yang kita lakukan ? tidakkah kita malu kepada beliau, dengan koleksi buku kita yang kebanyakan jarang menceritakan tentang beliau. Koleksi kaset kalamullah kita, kaset ceramah tentang ajaran beliau yang teramat sedikit di banding kaset nasyid, lagu-lagu yang begitu menumpuk. Ketika Rasulullah berada di hadapan kita, mungkin setiap kita segera mengumpulkan sebanyak-banyaknya bahan untuk ditanyakan. Jamuan seperti apa yang akan kita siapkan untuk menyambut beliau ? saya yakin jamuan terindah yang akan kita persembahkan… alaesa kasalik, bukankah demikian ? karena beliau teramat indah untuk disaksikan. Jika rindu padanya teramat dalam, maka seharusnya wasiatnya tidak kita lupakan sedikitpun. Akankah kita mengabaikan begitu saja sunnah-sunnah beliau yang ia pertahankan dengan hinaan, hujatan, darah, peluh dan air mata beliau ? ataukah keluarga beliau yang beliau wariskan untuk dipanuti dan dimuliakan oleh ummat sepeninggalnya ? adakah waktu kita untuk menyelami sirah beliau, atau kita sudah cukup puas dengan memiliki buku Sirah Nabawiyah yang kemudian kita biarkan di sudut-sudut berdebu rumah kita ? berapa jam kita memuaskan kerinduan kita dengan mengkhayati kalam mu’jizatnya ataukah selama ini al-Qur’an hanya terletak di pinggiran hati kita? Kini, kita hanya bisa membayangkan dan mencoba meresapi semangat mereka. Akh, semoga saja kita punya waktu dan kemampuan untuk mengkhayati, agar dengan begitu burung jiwa yang lemah dapat kembali terbang dengan gagahnya…di atas cakrawala kehidupan. Ada banyak palung dalam hati kita. Palung yang bisa saja saat ini tempat berkumpulnya gumpalan dendam noda. Palung yang selama ini kita biarkan terkubur oleh konstruksi bangunan berpikir metropolis. Beranikah kita untuk membersihkan palung hati kita ? mengoreknya, kemudian mengisinya dengan kerinduan. Lalu kita menyebutnya sebagai palung rindu. Ya, itulah palung rindu kita, sebagai sumur hikmah yang tak pernah kering, sebagai penghubung kita dengan manusia-manusia unggul terdahulu. Mari… kita hidupkan kerinduan kepada Rasulullah, ahlul baitnya yang disucikan dan sahabat-sahabatnya yang setia sembari memupuk harap agar kita dapat berjalan beriringan dengan kafilah mereka di jannah-Nya nanti.
"Pada dasarnya para sahabat Nabi diberi kemampuan yang setara dengan kita saat ini. Hanya saja, jiwa kita saat ini sangatlah rapuh,
sehingga terasa betul jauhnya jarak antara kita dengan para sahabat yang mulia." (Fauzhil Adhim)
Beranikah kita membuka situs tentang mereka… yang selama ini bisa saja kita menganggapnya, sebagai situs purbakala???
Talasalapang, suatu hari di tahun 2005

Tidak ada komentar: