29 Juli, 2008

Memaknai Kematian

Diantara berbagai bentuk perpisahan, kematianlah yang paling dihindari. Padahal semua juga tahu, kematian adalah sesuatu yang menyertai kelahiran yang saling melengkapi. Hadir sebagai paket tanpa bisa dipisah. Namun, seberapapun kita menyadarinya, kita selalu berjuang setengah mati untuk menghindari mati. Sulit saya hilangkan dari ingatan, tentang sebuah adegan yang menegangkan dari video singkat yang pernah diperlihatkan teman saya dengan fasilitas video di HPnya. Adegan dimana seseorang berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari gigitan singa di kebun binatang, yang dianggapnya sifat liarnya telah hilang sama sekali. Adegan ini diawali dengan berphoto mesra dengan singa, menunggangi dan membelai-belai kepala sang singa. Singa sebagai raja hutan bisa jadi merasa terinjak-injak harga dirinya diperlakukan tidak ubahnya kucing rumah atau kelinci piaraan. Sang singapun mengaum keras dan tidak bisa dihindari adegan tragis itupun terjadi, keceriaan berubah menjadi kepanikan luar biasa. Sang pemuda hanya bisa teriak meregang nyawa, dan pasrah tubuhnya dicabik-cabik setelah sebelumnya berusaha melepaskan diri. Saya hanya bisa merenungkan, betapa tidak berdayanya kita terhadap kekuatan yang lebih besar. Siapapun sebenarnya tidak ubahnya sang pemuda di atas. Kita selalu berusaha menghindari kematian. Orang yang sudah tidak berfungsi pun masih ditopang oleh segala macam mesin agar bisa hidup. Siapapun pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan lebih lama. Saya juga teringat video detik-detik kepergian Imam Khomeini, jantungnya ditopang mesin untuk bisa berdetak lebih lama, bantuan pernafasan diberikan. Namun, sebagaimana sang pemuda yang akhirnya berlutut pasrah, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali, berusaha untuk mengucapkan selamat tinggal. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti. Saya percaya, penyebab kematian yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa. Tentu dalam menghadapi prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun bukankah dengan adanya kematian kehidupan ini jadi penuh dengan makna. Jadi, semua faktor yang selama ini dikatakan sebagai penyebab kematian, sakit, kecelakaan, bencana alam, diterkam singa dan sebagainya menurut saya sebenarnya adalah gejala yang terlihat, bukan penyebab. Semuanya bisa diartikan hanya gejala, syarat-syarat akhirnya masa hidup telah habis. Pada akhirnya kita akan berpisah. Kalau kematian pada akhirnya, dan kita bisa memilih, mengapa tidak memilih kematian itu datang saat kita sedang taat-taatnya kepada-Nya ?

Kutulis sesaat setelah menerima kiriman sms dari orang yang paling dekat hatinya keaku, begini bunyinya, “Innalillahi wainnalillahi rajiun…bpknya ka Ani brpulang kerahmatullah barusan. Doata… 7-05-1387 21:02:37
Turut Berduka Cita……

26 Juli, 2008

Quo Vadis, where are you going ?

Agama kita ini disebut juga agama Ibrahim. Rasulullah sering menyebut agama Islam ini adalah Millah Ibrahim, semuanya tradisi yang kita miliki meniru tradisi Ibrahimiyah, hanya sedikit modifikasi untuk dinyatakan Islam yang kita peluk ini sebagai agama yang sempurna, sebagai pelengkap ajaran Ibrahim. Rangkaian ibadah haji misalnya, tata caranya seluruhnya mengikuti tradisi nabi Ibrahim as. Oleh karena itu dalam shalat, kita tegaskan hubungan kita dengan nabi Ibrahim as, kita membaca, Allahummah shalli ‘ala Muhammad wala alihi Muhammad kama shallaita ‘ala Ibrahim wala alihi Ibrahim.
Salah satu tradisi Nabi Ibrahim as lainnya adalah perjalanan menuju Allah SWT. Mengutip kaum eksistensialis, kita terlempar di dunia ini tanpa kita rencanakan sebelumnya. Kita begitu saja tiba-tiba berada di sini. Heidegger menyebutnya Dasein (jika dipecah artinya Da Sein, ada di sana). Setelah berada di sana, kita diberi kebebasan untuk menentukan diri mau kemana. Tradisi Ibrahim adalah menuju Allah, as-sayr ilallah. Dalam Al-Qur’an ada pertanyaan yang singkat namun menyentak, “fa aina tadzhabun ?”. Tuhan bertanya kepada kita semua, “Kalian ini mau kemana ?” . Quo Vadis, where are you going ?. Nabi Ibrahim as memberi jawaban yang bagus, “Inna dzahibun ila rabbi sayahdin” artinya, “Aku sedang menuju Tuhanku, pastilah Dia memberi petunjuk padaku” (Qs. As-Shaffat : 99).
Perjalanan menuju Tuhan ini disebut sayr atau suluk, dan dalam menempuh perjalanan ini kita akan menempuh beberapa stasiun. Imam Khomeini menyebut perjalanan menuju Tuhan sebagai Mi’raj Ruhani dan menurut beliau hanya empat saja stasiun saja yang akan kita lewati. Untuk selanjutnya stasiun ini kita sebut maqam. Keempat maqam yang disebut Imam Khomeini, secara berurutan adalah ilmu, khusyuk, tuma’ninah dan mukasyafah. Maqam pertama yang akan kita lewati adalah ilmu. Dalam perjalanan menuju Allah banyak hal yang tidak kita pahami dan ketahui. Karenanya seorang salik (seorang yang menuju Allah) harus membekali diri dulu dengan ilmu.
Ilmu ini barulah stasiun pertama, justru langkah awal untuk menuju stasiun berikutnya. Namun kebanyakan kita mendapatkan ilmu sebagai penghalang untuk menuju stasiun berikutnya. Mengapa ?. Karena kita lebih senang membincangkan ilmu. Perbincangan kita menjadi bahan perdebatan kita. Ketika memiliki ilmu tentang Tuhan misalnya, seakan-akan kita telah bertemu Tuhan. Seakan-akan kita telah sampai di ujung perjalanan, sehingga kita lebih sibuk membincangkannya dari pada mengamalkan apa yang semestinya.
Setelah berada pada stasiun ilmu, sekarang kita melanjutkan perjalanan menuju stasiun berikutnya, yakni maqam khusyuk. Maqam ini tidak mudah untuk menempuhnya, kita akan mengalami puncak kerinduan yang sangat tinggi kepada Allah. Hati kita akan dilanda keresahan yang sangat, akan mengalami goncangan-goncangan batin yang luar biasa. Kita menyebut situasi ini sebagai keresahan spiritual, orang Spanyol menyebutnya, la noche oscura, malam jiwa yang gelap. Setelah berhasil melewatinya, tibalah kita pada maqam berikutnya, yakni tuma’ninah, ketentraman hati. Bagi yang telah mencapai maqam ini, maka ia akan disapa Tuhan untuk menghadap kepada-Nya sekarang juga. “Wahai jiwa yang sudah tentram (muthmainnah), kembalilah kamu kepada Tuhanmu, Tuhanmu itu ridha kepadamu dan kamu juga ridha kepada-Nya.” (Qs. Al-Fajr : 28-29). Kalau sudah sampai disitu, kita harus terus naik menuju puncak perjalanan yakni mukasyafah, yakni bertemu dengan Allah SWT.
Sudahkah Kita Bertemu Allah SWT ?
Jangan serta merta menyangka bahwa pertemuan dengan Allah SWT berarti kita tidak berada lagi di dunia ini, dalam arti kita telah meninggalkan dunia ini. Kita bisa bertemu dengan Allah sekarang dan disini. Selagi kita masih hidup. Imam Ali as, ketika ditanya, apakah Tuhan bisa dilihat atau tidak. Imam Ali as menjawab singkat, “Mustahil saya menyembah Tuhan yang tidak bisa saya lihat ?”. Allah pun menyebut, Dia bahkan lebih dekat dari urat nadi leher kita. Tapi apakah kita menyadari keberadaan-Nya ?. Allah menyebut dalam Al-Qur’an, “Kemanapun kamu menghadap, di situ ada wajah Allah.” (Qs. Al-Baqarah : 115). Sekarang ketika kita menghadap ke arah manapun kita suka. Apa yang kita lihat ? Allah kah? atau selain-Nya. Kalau yang kita lihat bukan Allah, apa berarti apa yang disampaikan Al-Qur’an itu yang salah ?. Mestinya menurut Al-Qur’an, kemanapun yang kita lihat, yang ada hanya Dia, yang tampak seharusnya wajah Allah. Bukan Al-Qur’an yang salah. Kita yang belum mengenal wajah Tuhan sehingga apapun yang kita lihat, kita tidak mengenalnya sebagai wajah Tuhan. Kita belum bertemu dengan-Nya, karenanya kita belum mengenal seperti apa Dia. Kita belum menempuh perjalanan menuju-Nya. “Wahai manusia, sesungguhnya kamu jika telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemui-Nya.” (Qs. Al-Insyiqaq : 6). Atau bisa jadi, perjalanan kita justru bukan menuju-Nya, malah menjauh dari-Nya. Karenanya Dia dengan kasih sayang bertanya, “Hai, mau kemana kalian ?”.
Nb. Model : Naufal dan Abinya
Judul Photo : Kita, mau kemana nak ?

23 Juli, 2008

Dunia Anak-anak yang Hilang -Refleksi Hari Anak Nasional-

Anak-anak bukan milikmu Mereka putra-putri kehidupan Yang rindu pada dirinya Kau bisa berikan kasih sayangmu Tapi tidak pikiranmu...
Begitulah Kahlil Gibran, penyair asal Libanon berbicara soal hakekat kemanusiaan. Syair diatas dikutip dari buku kecil, The Prophet, Gibran’s master piece, 1976 yang telah diterjemahkan dalam lebih dari 20 bahasa. Syair Kahlil Gibran tentang anak tersebut memang indah dan bermakna dalam. Kita dapat menangkap bahwa esensialnya anak itu adalah milik dirinya sendiri. Para orangtua dan masyarakat secara umum hanyalah berkewajiban membesarkan dan mendidik. Ibu berkewajiban memberikan cinta hatinya tetapi pikiran anak itu adalah hak dirinya sendiri sepenuhnya. Orangtua dalam membesarkan dan mendidik dapat dengan cara memberikan pengetahuan dan isi-isi untuk bahan pemikiran anak itu; tetapi tidak sampai membuat pikiran-pikiran orangtua adalah harus sepenuhnya menjadi pikiran anak juga. Dari sinilah kemudian terjadi ’kekisruhan budaya’ (meminjam istilah Emha Ainun Nadjib) hubungan antara anak dan orangtua. Dalam banyak kejadian sering orang-orangtua kita bukan sekedar memberikan alternatif tetapi menganggap bahwa apa yang diberikan kepada anak adalah satu-satunya yang terbaik, tidak ada alternatif lain. Ajaran orangtua sepenuhnya harus dianut, dipatuhi dan orangtua bisa sakit-sakitan dan bersedih hati jika sang anak tidak mengikuti pikirannya. Dalam hal ini, seringkali orangtua menjadi tirani bagi anaknya. Orangtua menerapkan konsep pikirannya pada anaknya. Orangtualah yang mengarahkan dan menentukan jalan hidup dan masa depan anaknya. Orangtualah yang memilihkan cita-citanya, profesi, bahkan sampai hal yang paling privacy mengenai pilihan suami atau istri misalnya. Anak-anak sering dianggap sepenuhnya adalah milik orangtua yang tidak memiliki dunia sendiri. Bagaimana kemudian kita melihat anak-anak yang sebetulnya cerdas menjadi kurang bertumbuh bahkan teramat kerdil karena kebanyakan orangtua punya kecenderungan untuk terlalu mengatur mereka, terlalu menentukan, terlalu menyutradarai, terlalu mengarahkan, terlalu banyak memerintah dan melarang yang pada akhirnya membuat nafas kemerdekaan anak-anak menjadi tersengal-sengal. Kreativitas yang Terpasung Kreativitas memerlukan kemerdekaan. Kemerdekaan disini bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Tentu saja yang dimaksud adalah kemerdekaan dalam konteks kodrati manusia. Ketika orangtua memberi pandangan. Sang anak berhak sepenuhnya untuk menerima atau menolak pandangan tersebut. Perlu ada kebiasaan untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk menentukan sendiri pilihannya, arah dari pilihan tersebut serta resiko apapun yang bakal terjadi dari pilihan tersebut. Persoalannya, anak kurang dididik untuk mengungkapkan dan mengenali dirinya. Anak lebih banyak dikendalikan daripada dimerdekakan. Sebab kemerdekaan itu besar resikonya dan dibutuhkan kesediaan untuk mungkin’diberontak’ oleh anaknya. Salah satu buktinya, polling yang pernah dilakukan oleh salah satu media tentang keinginan orangtua terhadap anaknya, hampir 70 % orangtua menginginkan anaknya rajin, sopan dan patuh dan hanya segelintir orangtua yang menginginkan anaknya cerdas dan kreatif.
Anak-anak (di) Sekolah, The Lost Generation
Faktor penentu selanjutnya anak-anak kehilangan kreativitas dan dunianya adalah pendidikan formal dalam hal ini sekolah. Sekolah yang idealnya menawarkan kegembiraan dan dunia petualangan yang bikin penasaran dalam banyak hal tidak lebih baik dari pola pendidikan orangtua kebanyakan. Di sekolah para anak didik terlalu disetting dan diformat sesuai dengan kehendak dan keinginan sekolah. Ketika memasuki halaman sekolah, anak-anak sebagai individu hilang secara autentik. Yang ada adalah penyeragaman yang menepis kekhasan manusia sebagai makhluk unik yang tak bisa dibandingkan dengan manusia lain diluar dirinya. Anak didik hanya memainkan peran pembantu, sebab guru adalah aktornya, pelajar hanya akan menjadi pelengkap penderita yang lebih diperlakukan sebagai obyek ketimbang subyek. Proses pendidikan semacam ini menurut Chaedar Alwasih (1993;23) hanya berfungsi untuk ‘membunuh’ kreativitas siswa, karena lebih mengedepankan verbalisme. Verbalisme merupakaan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, hubungan antara guru dengan murid sangat hirearkis dan bersifat vertikal; bahwa guru bicara, menjelaskan dan memberi contoh sementara murid menjadi pendengar saja. Tidak banyak yang sadar bahwa dengan model pendidikan yang menjadikan murid semata-mata sebagi obyek adalah bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap anak. Pendidikan gaya bank menghalalkan dipakainya kekerasan untuk menertibkan dan mengendalikan para murid. Murid dibelenggu dan ditekan untuk mematuhi apapun perintah dan anjuran pendidik. Kesadaran individu dikikis habis dan mengggantinya dengan kesadaran kolektif yang seragam. Efeknya memunculkan kepribadian yang mekanik, mirip dengan benda mati yang kehilangan kebugaran dan kreativitas. Dari sinilah proses pembinatangan (bahasa halusnya: dehumanisasi) terjadi. Kita dapat saksikan bagaimana nasib anak-anak yang sekarang waktu yang seharusnya diisi dengan permainan dan kegembiraan ditelan untuk belajar, menghapal, memahami dan mengerti berbagai paket pengetahuan, dari pagi hinga sore mirip pekerja pabrik menghabiskan waktunya di ruang kelas untuk menelan pelajaran yang dalam banyak hal tidak menyenangkan. Beban pelajaran ini kemudian diteskan lewat serangkaian ujian yang hasilnya kemudian dimuat dalam rapor yang penilaiannya berupa angka atau huruf. Parahnya, nilai kemanusiaan anak itupun direlevankan dengan nilai raport, semakin tinggi nilai raport maka akan semakin naik pula kemuliaan dan harga diri anak didik, orangtua dan gurunya. Korban dari sistem ini adalah eksistensi individu yang pada dasarnya memiliki kebebasan. Proses pendidikan yang seharusnya, sebagaimana makna sejatinya yakni menggiring keluar atau membebaskan potensi kemanusiaan yang ada dalam diri setiap individu belumlah terwujud. Yang ada justru pendidikan yang hanya menghasilkan airmata (Shindunata,2000).
Kesimpulan
Kutipan dari Ghibran diatas, mengajak para orangtua dan para pendidik secara umum untuk mengubah pandangan mereka tentang anak. Anak adalah putra-putri kehidupan para pemilik masa depan. Mereka harus dipersiapkan dengan dikasihi dan dididik menjadi diri mereka sendiri agar tumbuh dewasa dan mandiri. Anak-anak mesti dibiasakan sejak dini dari hidupnya untuk selalu belajar kepada siapa dan dimana saja, mencari dan menemukan. Agar ia bisa memilih dirinya, bisa menentukan ungkapan pribadinya, agar tidak lagi mengatakan, “Inilah dada bapakku” tetapi secara tegas berani mengatakan ”Inilah dadaku!”, begitu seharusnya seorang anak, kata Imam Ali. Seperti yang dipertanyakan juga oleh Emha Ainun Nadjib, dunia anak-anak itu ada mengapa kita tiadakan ?

15 Juli, 2008

Belajar dari Keadilan Imam Ali

Di awal pemerintahan, sejumlah orang yang masih belum mengenal Islam secara benar dan memiliki gaya berpikir layaknya politikus dan diplomat Internasional, menemui Imam Ali. Mereka menyatakan, “Pemerintahan baru baru saja berdiri, dan anda amat memerlukan kekuatan untuk memperkokoh sendi-sendi pemerintahan. Menurut hemat kami, usaha terbaik anda adalah membagi-bagikan harta baitul mal kepada para pemimpin, pembesar dan sanak keluarga. Dengan begitu, niscaya mereka tidak akan menentang anda.” Imam Ali as menjawab, “Apakah kalian berharap orang yang seperti aku ini akan memperkokoh sendi-sendi pemerintahan dengan kedzaliman dan penindasan ???, apakah dengan kaki syirik, kita dapat melangkah menuju tauhid?. Aku menerima kepemimpinan ini justru kumaksudkan untuk menyapu bersih ketidak adilan !”. Kisah ini dinukil oleh Prof. Muhsin Qiraati dalam salah satu bukunya.
Kita mengamati masyarakat Indonesia telah dan sedang disibukkan oleh pemilihan kepala daerah untuk memegang tampuk kepemimpinan di daerah masing-masing beberapa tahun kedepan. Yang jelas, siapa pun yang terpilih, tugas dan tanggungjawab besar telah menanti. Harapan kita, pemimpin terpilih melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya demi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Dalam upaya mengangkat harkat, martabat, serta ekonomi masyarakat, tiada ada jalan lain kecuali memihak pada kepentingan rakyat. Masyarakat di daerah manapun, tuntutannya sederhana, bisa hidup layak. Mereka tak banyak menuntut yang berat-berat, bila kehidupan ekonominya memadai. Sebaliknya, jika kesenjangan ekonomi semakin lebar, bukan tidak mungkin tuntutan demi tuntutan bakal bermunculan.Jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin yang makin lebar merupakan masalah krusial yang sering menjadi pemicu berbagai persoalan lain. Artinya, fokus kerja pemerintah ke depan setidaknya memperkecil jurang itu.Ada baiknya, kita belajar dari orang-orang besar terdahulu, bagaimana mereka menjalankan amanah kepemimpinannya. Izinkan saya, menyodorkan sosok Imam Ali as, sebagai panutan. Manusia suci yang memiliki banyak keutamaan, sepupu sekaligus menantu Rasulullah, yang ayahnya banyak memberikan pembelaan dan mendukung sepenuhnya perjuangan Rasulullah di awal-awal penyebaran Islam. Yang menyerahkan diri sepenuhnya terhadap perjuangan dan penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan memulainya di usia yang teramat muda, usia yang seharusnya ia bermain-main sebagaimana anak-anak kebanyakan. Thomas Carlyle menggambarkan, “Ketika Nabi Islam itu pertama-tama menyampaikan risalahnya kepada kaum kerabatnya, maka semuanya menolaknya. Kecuali Ali, waktu itu masih berusia 10 tahun, yang bangkit memenuhi dakwah nabi dan berikrar setia kepadanya.” Ia menambahkan, “Tangan kecil itu bergabung dengan tangan yang besar, dan mengubah jalan sejarah”. Keluasan ilmu Imam Ali ra tidak diragukan oleh siapapun, lewat sabdanya Rasul memuji, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya.” Sabda Nabi ini dibenarkan oleh para sahabat yang menyaksikan sendiri betapa Ali adalah satu-satunya orang sepeninggal Nabi yang menjadi rujukan dalam berbagai hal. Bahkan para khalifah, khususnya khalifah Umar bin Khattab sering meminta pendapat Ali dalam memghambil keputusan. Lebih jauh Umar mengatakan, “Jika tidak ada Ali maka celakalah Umar”. Tentang Imam Ali, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya posisi Ali disisiku sebagaimana posisi Harun di sisi Musa, hanya saja tidak nabi sesudahku”.Saya ingin mencoretkan kembali dalam kanvas sejarah tentang perjuangan, kepahlawanan dan keteguhan Imam Ali ra memegang prinsip keadilan yang diyakininya, yang karena rekayasa sosial menjadi banyak terlupakan. Lewat kolom yang terbatas ini, saya mengajak siapapun untuk melirik gaya kepemimpinan beliau. Sebagaimana kisah di atas, Imam Ali ra menerima kepemimpinan dengan maksud untuk menyapu bersih ketidak adilan. Kebijakan pertama yang dilakukan diawal pemerintahannya adalah mencopot para pejabat yang tidak layak lalu mengganti mereka dengan orang-orang yang cakap dan adil. Imam Ali yang dikenal dengan keadilannya juga mencabut undang-undang yang diskriminatif. Beliau memutuskan untuk membatalkan segala konsesi yang sebelumnya diberikan kepada orang-orang Quraisy dan menyamaratakan hak umat atas kekayaan baitul mal.Sikap inilah yang mendapat penentangan sejumlah orang yang selama bertahun-tahun menikmati keistimewaan yang dibuat oleh khalifah sebelumnya. Ketidakpuasan itu kian meningkat sampai akhirnya mendorong sekelompok orang untuk menyusun kekuatan melawan beliau. Thalhah, Zubair dan Aisyah berhasil mengumpulkan pasukan yang cukup besar di Basrah untuk bertempur melawan khalifah Ali bin Abi Thalib. Perang tak terhindarkan. Ribuan nyawa melayang sia-sia, hanya karena ketidakpuasan sebagian orang terhadap keadilan yang ditegakkan oleh Imam Ali as. Pasukan Ali berhasil memukul mundur pasukan yang dikomandoi Aisyah, yang saat itu menunggang unta, karenanya perang ini dikenal dengan nama perang Jamal. Aisyah menyadari kekeliruannya, dan mengakhiri peperangan. Sebagai pemimpin yang bijak, Ali memaafkan mereka yang sebelum ini menghunus pedang untuk memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke Madinah dengan penuh penghormatan. Fitnah pertama yang terjadi pada masa kekhalifahan Imam Ali as berhasil dipadamkan. Namun masih ada kelompok-kelompok lain yang menghunus pedang melawan Ali yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai poros kebenaran.Menu makanan Imam Ali setiap harinya hanya sekerat roti kering dengan garam atau cuka. Beliau tidak pernah membiarkan perutnya dipenuhi makanan atau minuman. Pakaian yang beliau kenakan terbuat dari kain kasar. Meski duduk sebagai khalifah dan memegang seluruh kekayaan negara atau baitul mal beliau tidak pernah tergoda oleh gemerlap dinar yang ada di dalamnya. Diceritakan bahwa ketika menghitung uang baitul mal untuk dibagikan kepada rakyat, beliau bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur karena tidak tergoda oleh harta yang ada di hadapannya. Kepada para bawahannya beliau menulis pesan, “Engkau tidak boleh membeda-bedakan walau sekecil apapun antara muslimin dan sanak keluargamu “(Najhul Balaghah). Imam Ali sadar betul, penyebab kebinasaan umat-umat terdahulu karena orang-orang kaya dan yang terpandang memiliki keistimewaan dalam pandangan penguasa dibanding orang-orang miskin dan tidak populer. Suatu kali, Imam Ali sedang menjahit sepatunya. Setelah selesai, sambil menunjuk ke arah sepatu itu, beliau bertanya kepada Ibnu Abbas, berapa harga sepasang sepatu ini? Ibnu Abbas menjawab harga sepatu yang sudah kumal seperti ini tidak lebih dari setengah Dirham. Imam Ali as mengatakan, “Demi Allah, sepatu ini jauh lebih berharga bagiku dibanding jabatan khilafah, kecuali jika dengan khilafah ini aku dapat menegakkan keadilan dan menumpas kebatilan”. Imam Ali adalah seorang pemimpin yang dalam dirinya tidak terlihat sedikitpun tanda-tanda kepuasan atau kerakusan atas jabatannya itu. Imam Ali as adalah seorang imam yang tidak pernah bisa tidur dalam keadaan kekenyangan karena ia tahu, masih banyak ummatnya yang kelaparan. Sebagai seorang pemimpin, Imam Ali as juga tidak pernah terlihat memakai pakaian indah karena ia sangat faham, betapa banyak ummatnya yang tidak mampu memakai pakaian yang pantas. Seorang penulis Kristen berkebangsaan Libanon, George Jordag, dalam bukunya yang berjudul “Ali, Suara Keadilan”, menulis, “Pernahkah Anda temukan dalam sejarah seorang pemimpin besar yang saat memimpin ia juga bekerja kasar menggiling gandum untuk keperluan hidupnya? Adakah di dunia ini seorang pemimpin yang menjahit sendiri sepatunya? Pernahkah Anda temukan dalam sejarah seorang pemimpin yang sama sekali tidak memiliki sedikitpun simpanan uang buat dirinya?”
Teori Keadilan Imam Ali
Imam Ali as seringkali berbicara mengenai keadilan, dan lebih memilih keadilan dibanding kedermawanan. Kebanyakan dari kita memilih pemimpin karena kedermawanannya dibanding sejauh mana ia bisa menegakkan keadilan. Karena keadilan disini tidak lain adalah menghargai hak orang lain dan tidak melanggarnya, sementara kedermawanan adalah membagikan hak yang dimilikinya kepada orang lain. Namun Imam Ali as menjawab sebaliknya. Beliau lebih mengutamakan keadilan daripada kedermawanan dengan dua alasan: Pertama, karena definisi keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, sementara murah tangan tidak demikian. Dengan kata lain, keadilan adalah memperhatikan hak-hak yang ada secara kongkrit, baru kemudian memberikan hak sesuai kapasitas penerima. Dengan pendekatan ini, orang akan bisa mengetahui tempatnya dalam bermasyarakat, dan selanjutnya masyarakat akan menjadi mekanisme yang teratur. Adapun kedermawanan, walaupun ia berarti memberikan hak yang dimilikinya kepada orang lain, perbuatan ini menjadi cacat dalam kehidupan bermasyarakat. Karena perbuatan ini tidak akan terjadi kecuali, jika masyarakat pada saat itu menjadi ibarat sebuah tubuh yang bagian anggotanya terdapat cacat atau sakit yang akibatnya akan memerlukan bantuan seluruh anggota tubuh yang lain untuk melakukan sesuatu, padahal idealnya dalam sebuah masyarakat hendaknya tidak ada anggota yang cacat, sehingga yang lain harus turut membantu tugasnya. Alasan kedua, keadilan adalah sebuah kendali yang bersifat umum, sementara kedermawanan bersifat spesifik. Yakni keadilan bisa dijadikan undang-undang umum yang mengatur seluruh urusan masyarakat dimana seseorang harus komitmen kepadanya, sementara kedermawanan adalah kondisi yang bersifat eksklusif dan tidak bisa dijadikan undang-undang umum. Imam Ali ibn Abi Thalib menganggap keadilan sebagai kewajiban dari Allah SWT, karena itu beliau tidak membenarkan seorang Muslim berpangku tangan menyaksikan norma-norma keadilan ditinggalkan masyarakat, sehingga terbentuk pengkotakan dan kelas-kelas dalam masyarakat. “Wahai orang-orang beriman, jadilah kau penegak keadilan, menjadi saksi Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (Qs. An-Nisa : 135). Bangsa ini telah cukup banyak memiliki stok pemimpin yang dermawan, namun sulit menemukan diantara mereka yang bisa berlaku adil.Selama masa singkat lima tahun pemerintahannya, Imam Ali a.s. berhasil mempraktekkan sebuah konsep keadilan yang saat ini menjadi harapan dan dambaan ummat manusia. Para penulis kontemporer sampai mengatakan bahwa adalah keliru jika mengatakan bahwa Ali dan keadilan adalah dua kata yeng berbeda, karena fakta sosial saat Ali memerintah menunjukkan bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mengenal dan mengagumi orang-orang besar semacam Imam Ali, bukan kultus individu, melainkan sebagai luapan kecintaan pada nilai-nilai yang beliau bawa dan peragakan. Sebagai penutup, izinkan saya mengadaptasi pernyataan Emha Ainun Nadjib, kalaupun dalam tulisan ini saya menampilkan tokoh Islam, ini bukan karena sentimen keagamaan ataupun keinginan menonjolkan Islam di atas agama lain, karena keadilan Imam Ali untuk semua, tanpa melihat agama dan madhzab. Kalaupun saya mengutip ayat Al-Qur’an, itu karena Al-Qur’an bukan hanya untuk umat Islam, melainkan untuk semua. Dan Islam meliputi semuanya.
Wallahu ‘alam bishshawwab.
Nb. Tulisan ini saya posting dalam rangka wiladah (hari kelahiran) Imam Ali As 13 Rajab 30 Tahun Gajah yang tahun ini bertepatan 16 Juli 2008. Mubarak Bod.....

14 Juli, 2008

Perempuan dalam Konstitusi Iran

Diantara alasan yang diajukan kubu yang tidak menyetujui berlakunya syariah Islam di Indonesia, bahwa pemberlakuan syariah akan memberikan ekses negatif terhadap kaum perempuan. Aturan fiqh Islam paling banyak mendapat sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Doktrin-doktrin agama dianggap sangat bias gender, perempuan dibatasi aksesnya untuk maju dan berkembang, bahkan suaranyapun dianggap berbahaya. Aktifitas di luar rumah dan pengaktualisasian kemampuan dirinya selalu diperbenturkan dengan tugas-tugas domestik di dapur, sumur, kasur dan mengurus anak. Kasus kekerasan suami terhadap istripun seolah mendapat pembenaran dalil-dalil agama. Wacana feminisme dan kesetaraan genderpun digulirkan untuk membendung laju wacana penerapan syariah Islam. Namun disini kita patut mengajukan pertanyaan, benarkah dalam tatanan Islam, perempuan ditempatkan sebagai the second human being, manusia kelas dua dibawah laki-laki, yang dianggap bukan makhluk penting melainkan sekedar ‘perkakas dunia’ saja, sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki ?.Sebagai negara yang menjadikan Islam sebagai landasan dalam merumuskan aturan-aturan kenegaraan dan kemasyarakatan, Republik Islam Iran (untuk selanjutnya kita sebut RII) dalam hal ini, bisa kita analasis untuk melihat sejauh mana sebuah sistem Islam memposisikan kedudukan perempuan.
Perempuan dan UUD RII
Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran sudah ada sejak Konstitusi/UUD RII pertama kali dibahas dan dirumuskan oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama perempuan -bernama Munireh Gurji- yang tergabung dalam majelis tersebut, UUD yang dihasilkan sangat respek terhadap kepentingan perempuan. Jika kita membandingkan, dalam UUD 1945 ataupun UUD AS tidak sedikitpun menyebutkan kata perempuan, sedangkan dalam UUD RII disebutkan sampai lima kali. Dalam Pembukaan UUD RII terdapat dua paragraf yang khusus berbicara tentang perempuan, yang intinya menyebutkan, kewajiban pemerintah memberikan penambahan (proporsi) yang besar atas penunaian hak-hak kaum perempuan yang pada rezim sebelumnya menderita opresi yang besar. Sedangkan dalam tubuh UUD RII terdapat dua pasal khusus yang berkaitan dengan perempuan, yaitu pasal 20 dan 21. Pasal 20 membahas kesetaraan di hadapan hukum. Di pasal ini tertulis, “Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam”. Sedangkan pasal 21 membahas khusus tentang hak-hak perempuan. Pemerintah harus menjamin hak perempuan, yang sesuai dengan kriteria Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di bawah ini: 1) menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan kepribadian perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material maupun intelektual; 2) perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan dan pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak yatim; 3) membentuk pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga; 4) menyediakan asuransi khusus untuk janda, perempuan tua, dan perempuan tanpa pelindung; 5) memberikan hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi kepentingan anak ketika tidak ada pelindung legal. Ada catatan menarik mengenai UUD ini. Dalam Pasal 115 mengenai kualifikasi calon Presiden. Di pasal tersebut dituliskan presiden harus dipilih di antara “rijal” relijius dan politisi yang memiliki kualifikasi : asli Iran; warga negara Iran; memiliki kapasitas administrasi dan kepemimpinan; memiliki masa lalu yang baik; jujur, bertakwa, beriman, dan berpegang teguh pada landasan Republik Islam Iran dan mazhab resmi Negara. Dalam pasal ini, tidak disebutkan secara jelas istilah ‘laki-laki’, melainkan digunakan kata ‘rijal’. Secara semantis, rijal adalah bentuk plural dari kata rajul, yang berarti laki-laki. Akan tetapi, istilah ini juga sering merujuk kepada arti personality atau tokoh yang tidak hanya bermakna laki-laki tapi juga bisa bermaksud perempuan (Dina Sulaeman, 2005). Disini, isu yang sering dijadikan bukti kediskriminatifan pemerintahan Islam yang menutup ruang terhadap perempuan menjadi presiden tidak menemukan relevansinya. Oleh karenanya, setiap kali event pemilu kepresidenan diselenggarakan, jumlah perempuan Iran yang mendaftar selalu signifikan. Mereka memang selama ini belum lolos dari “screening” capres itu. Akan tetapi, gugurnya mereka dalam pencalonan itu disebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat penting lainnya, seperti kualifikasi di bidang administrasi dan pemerintahan. Jadi, istilah “rijal” lebih dimaknai sebagai tokoh yang memiliki kualifikasi yang mumpuni, tidak berdasar pada apa jenis kelaminnya. Berbeda dengan negara-negara lain yang gembar-gembor soal hak politik dan kuota keterwakilan perempuan di parlemen dan partai politik, di Republik ini, perempuan sudah memasuki era tinggal landas. Meminjam istilah Muhsin Labib, mereka sudah melewati masa ‘minta jatah kursi politik’. Dalam pasal 28 UUD RII disebutkan perempuan memiliki hak untuk bekerja di luar rumah atau melakukan kegiatan ekonomi. Sedangkan kewajiban pemerintah menyediakan kesempatan kerja bagi setiap warga negara dan menciptakan kondisi yang setara dalam kesempatan kerja. Pekerja perempuan berhak atas cuti hamil dan melahirkan, serta berhak mendapatkan fasilitas pengasuhan anak selama jam kerja. Jika hak kerja saja mereka dapatkan, terlebih lagi hak memperoleh pendidikan. Data terakhir menyebutkan, jumlah mahasiswa perempuan Iran dua kali lipat dari mahasiswa pria. Ini hanya bagian dari UUD dan bagian parsial dari konstitusi ini lebih banyak lagi yang berbicara tentang pemenuhan hak-hak perempuan. Setiap akhir dari pasal-pasal tersebut selalu disebutkan penyikapan terhadap kaum perempuan harus sesuai dengan karakter Islam. Dengan demikian, Islam dalam pandangan ulama-ulama Iran adalah ajaran yang menempatkan perempuan dalam kedudukan yang terhormat. Mereka merasa perlu menyebut kata perempuan dalam konstitusi dasar negara sampai berkali-kali karena terinspirasi oleh Al-Qur’an yang diantara 114 surahnya terdapat surah An-Nisa’ yang khusus didedikasikan untuk perempuan. Dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam dimata mereka adalah sebuah revolusi yang mengeliminasi diskriminasi atas perempuan dengan penegasan persamaan status dan hak dengan laki-laki. Hal ini merupakan penegakan ideologi kemanusiaan, serta menempatkan perempuan sebagai pemegang peran utama dalam masyarakat sekaligus menjadi mitra perjuangan bagi laki-laki dalam berbagai area penting kehidupan. Pemberian tanggung jawab yang mulia ini kepada perempuan merupakan pengejawantahan nilai Islam yang agung dan mulia. Saya tidak sedang mempropagandakan Iran, saya hanya seorang warga Indonesia yang sedang belajar di Iran, yang terkadang heran, mengapa Iran yang menyebut diri sebagai Republik Islam tidak mendapat perhatian serius dalam studi-studi banding uji kelayakan penerapan syariah di tanah air. Kita selalu merujuk kepada Arab Saudi, Sudan, Pakistan ataupun Afghanistan yang justru membuat kita ngeri, sebab perempuan untuk sekedar menyetir mobil saja dilarang oleh undang-undang bahkan didukung oleh fatwa ulama mereka. Wallahu ‘alam bishshawwab
Qom, 14 Juli 2008 / 24 Tir 1387 HS

Menyingkap Tabir Perselisihan Kaum Muslimin

Kamis, 8 Rabiul Awal 11 H, demam Rasul SAW semakin meninggi. Beliau meminta kepada para sahabat yang berada di sekitarnya untuk mengambilkan kertas dan tinta, sayang permintaan beliau tidak diindahkan. Tentang ini, Imam Bukhari dalam shahihnya melalui sanad Ubaidillah bin Abdullah dari Ibnu Abbas ra, menuliskan :"Ketika ajal Rasulullah telah hampir, dan di rumah beliau ada beberapa orang, diantara mereka Umar bin Khattab ra, beliau bersabda, 'Mari kutuliskan bagi kamu sebuah surat (wasiat) agar sesudah itu kamu tidak akan pernah sesat.' Namun Umar berkata, 'Nabi telah makin parah sakitnya, sedangkan Al-Qur'an ada pada kalian. Cukuplah kitab Allah bagi kita !'. Maka terjadilah perselisihan di antara yang hadir, dan mereka bertengkar. Sebagian berkata, 'Sediakan apa yang diminta oleh Nabi SAW agar menuliskan bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan. Tetapi sebagian yang lain menguatkan ucapan Umar. Dan ketika keributan dan pertengkaran makin bertambah dihadapan Nabi SAW; beliau memerintahkan 'Keluar kalian dari sini !'." Hadits ini tak diragukan sedikitpun kesahihannya. Al-Bukhari meriwayatkannya sekali lagi pada bab "Al-Ilmu" (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355. Dua maksud saya menuliskan kembali hadits di atas, pertama, menyelesaikan ‘konflik’ saya dengan Prof. Achmad Ali di Harian Fajar (7-8/11/2007), tentang benarkah nabi Muhammad SAW buta huruf ?. Teks hadits di atas jelas, Rasulullah hendak menuliskan wasiatnya, bukan minta dituliskan. Kalau Prof. Ali ‘bersikeras’ bahwa Nabi Muhammad memang buta huruf, saya juga bersikeras bahwa mengganggap nabi buta huruf sama saja penghinaan terhadap kredibilitas beliau sebagai Rasul dan Insan Kamil yang patut diteladani umatnya. Perselisihan tentang buta hurufnya Nabi hanyalah sebagian kecil dari perselisihan yang dihadapi umat ini. Lebih bijak kalau energi intelektual kita, kita tujukan untuk mencari tahu kenapa perselisihan umat Islam terjadi bahkan sejak generasi awal umat Islam. Perselisihan yang membuat peran umat Islam sebagai "ummatan wasathan" yang bertugas menyebarkan rahmat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu jawabannya (menurut saya), wasiat Nabi yang tidak sempat tertuliskan, karenanya perlu pengkajian untuk itu. Inilah tujuan kedua saya menukilkan teks hadits di atas.
Ada Apa Setelah Nabi ?
Pada dasarnya, sejarah tidak lepas dari peristiwa kelam. Sejarah setiap bangsa dan pada dasarnya sejarah umat manusia, merupakan rangkaian peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan. Peristiwa-peristiwa kelam juga terjadi dalam dunia Islam dan kita tidak bisa menafikannya begitu saja. Ibnu Abbas ra menyebut peristiwa penolakan sahabat untuk memenuhi permintaan Nabi menjelang wafat sebagai Kamis Kelabu. Lebih dari itu, saling menumpahkan darah sesama kaum muslimin justru terjadi pada zaman sahabat yang disebut Rasulullah sebagai kurun terbaik. Dari khalifah ke dua sampai ke empat mati terbunuh. Semua yang membunuh termasuk muslim juga, kecuali pembunuh Khalifah Umar ra yang katanya seorang Majusi bernama Abu Lu'lu'. Peperangan Jamal, Shiffin dan Nahrawan adalah peperangan besar antara ribuan sahabat dengan sahabat lainnya. (lihat kitab-kitab Tarikh, seperti Taarikhu al-Thabari, Usduh al-Ghabah karangan Ibnu Atsir dan lainnya). Sementara Imam Husain ra (cucu Rasulullah) tak perlu banyak penjelasan. Sejarahnya sangat terkenal meskipun oleh sebagian orang selalu berusaha ditutup-tutupi. Beliau beserta kurang lebih 73 pengikutnya diperangi ribuan muslimin yang merupakan tentara kerajaan Bani Umaiyah atas perintah Yazid bin Mu'awiyah. Peristiwa ini mengabarkan bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah tidak seromantis yang kita bayangkan. Pertanyaan besar yang mesti kita dapatkan jawabannya, adalah : Apa sebenarnya yang ingin diwasiatkan Rasul kepada kita sebelum meninggalnya sehingga pengabaiannya berakibat fatal terhadap umat ini ?
Wasiat Nabi yang Diabaikan
Yang pasti wasiat yang hendak dituliskan Rasul adalah sesuatu yang pernah disampaikannya, dan hendak dipertegas kembali dengan 'hitam di atas putih', karena menyangkut masa depan umat Islam, agar tidak bercerai berai sepeninggalnya. Agama Islam telah sempurna dan tak ada lagi penambahan hukum setelah turunnya Surah Al-Maidah ayat 3 : "Pada hari ini, telah Aku sempurnakan agama untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu." Tak ada satupun ahli hadits yang menolak kesahihan hadits bahwa ayat ini diturunkan setelah Hajjatu'l-Wada (ibadah haji perpisahan). Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Rasulullah beserta rombongan berhenti di Ghaidir Khumm. Di tempat ini Nabi Muhammad menyampaikan khutbah perpisahan kepada seluruh jamaah yang ikut melaksanakan haji. Setelah membacakan khutbah maka turunlah ayat 3 dalam surah Al-Maidah tersebut. Pertanyaannya, persoalan apakah yang disampaikan Nabi dalam khutbah tersebut yang dengan itu sempurnalah agama Islam ini ?. Satu hal yang cukup misterius, jika kita mengamati keseluruhan ayat 3 dalam Surah Al-Maidah. Ayat maha penting di atas, yang Allah menyebutnya “Pada hari ini…” sampai dua kali terletak di tengah-tengah ayat yang membicarakan satu masalah yang lain sekali. Kalau memang benar, ayat-ayat Al-Qur’an disusun pada zaman kekhalifaan Usman bin Affan ra dan bukan disusun oleh Rasulullah sendiri, kita wajar mempertanyakan kelayakan peletakan ayat ini. Ada penyusunan ayat yang tampak tidak wajar, jika dibandingkan tata letak ayat-ayat Al-Qur’an lainnya. Jika ayat “Pada hari ini telah kusempurnakan” dihilangkan, aliran harmonis ayat-ayat sebelum dan sesudahnya tidak terganggu. Terkesan ayat ini sengaja disisipkan diantara ayat-ayat yang tidak ada kaitannya. Kenapa ? jawaban sementara saya, agar perhatian kita beralih kepersoalan lain setelah membaca keseluruhan ayat ini. Saya yakin, Allah SWT ‘sengaja’ memilih kata “Pada hari ini” untuk memberikan penegasan, akan pentingnya hari saat ayat ini diturunkan. Yaitu, pada hari Rasulullah menyampaikan khutbah terakhirnya yang di dalamnya, beliau menyampaikan wasiatnya. Dan wasiat ini dipungkiri atau tidak, oleh rekayasa sejarah tidak sampai kepada kita. Lihat saja, petikan hadits dalam Shahih Muslim bab al-Washiyah, Ibnu Abbas berkata, “Dan beliau (Rasulullah) mewasiatkan menjelang wafatnya,’ Keluarkan kaum musyrikin dari Jazirah Arab dan beri hadiah kepada utusan sebagaimana yang aku lakukan !’ (perawi hadits ini melanjutkan) Dan aku lupa yang ketiga”. Lihat,betapa politik waktu itu memaksa Ibnu Abbas dan perawi hadits lainnya untuk mengatakan bahwa mereka lupa. Sulit menerima bahwa mereka lupa apalagi ini wasiat nabi. Sengaja saya menukilkan semua ini, untuk mencari tahu sumber persoalan dalam internal sendiri, sebelum kita bermimpi menyelesaikan persoalan dunia. Dalam subjek apa saja, tidak tahu adalah sikap yang paling aman. Namun haruskah kita tetap berkubang dalam ketidaktahuan sementara keimanan membutuhkan semangat Horace: Sapere aude!, yakni berani tahu. Semoga tidak ada yang berkomentar saya mengada-ada atau bermaksud meresahkan. Sebab lebih meresahkan melihat umat ini tetap berselisih.
Wallahu ‘alam bishshawwab

10 Juli, 2008

Perlukah Anak di Sekolahkan ?

Pekan ini, hari terakhir anak-anak sekolah menghabiskan masa liburannya. Sedangkan bagi anak-anak yang baru didaftarkan, ini adalah hari terakhir mereka tidak harus dibangunkan terlalu pagi, untuk mandi, sarapan dan berseragam. Pengalaman hari pertama masuk sekolah bagi anak bisa jadi merupakan peristiwa penting yang sulit dilupakan. Ada kesan kegembiraan yang meluap disana, karena sekolah sejak awalnya menawarkan kegembiraan dengan teman-teman yang dapat diajak bermain-main dan menjanjikan pengalaman baru yang belum pernah dialami sebelumnya. Bagaimanapun juga, persiapan menjelang hari pertama masuk sekolah merupakan kesibukan tersendiri baik bagi orangtua terlebih lagi bagi sang anak. Hanya saja yang menjadi persoalan berikutnya adalah, benarkah selama ini sekolah berperan sebagaimana seharusnya bagi perkembangan pendidikan sang anak ?. Pertanyaan ini harus menjadi refleksi bagi para orangtua, agar tidak terjebak pada rutinitas menghantarkan anak ke sekolah, yang bisa berakibat fatal jika tanpa disertai kesadaran. Sebab tidak menutup kemungkinan, kita bukannya mengantar anak ke sekolah tetapi (maaf) malah membuangnya ke bak sampah. Saya tuliskan ucapan Everet Reimer, “Nenek ingin saya memperoleh pendidikan, karenanya, ia tidak mengizinkan saya sekolah” untuk menemani kita melakukan perefleksian ulang.
Persoalan Dasar Dunia Persekolahan Kita
Anak harus disekolahkan, idealnya memang seperti itu. Sebab fakta bahwa tak satupun keluarga yang mampu mendidik, mengajar dan melatih anak-anak mereka tanpa bantuan ‘orang sekampung’ (meminjam istilah Hillary Rodham Clinton). Pendidikan bagi anak menuntut adanya pembagian peran, tugas dan tanggung jawab dalam masyarakat. Dan dalam perspektif itulah lembaga-lembaga pengajaran atau dunia persekolahan (mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi) diberi tugas untuk membantu atau menerima sebagian tanggungjawab tersebut dan bukan seluruhnya, guna menolong orangtua agar dapat menjalankan peran mereka secara lebih bertanggungjawab. Hanya saja, realitas yang terjadi sebagian besar orangtua, mendidik anak itu berarti mempersiapkan uang sekolah, membelikan seragam, buku-buku dan perlengkapan belajar lainnya. Tanpa selanjutnya mau peduli dengan kondisi pendidikan anaknya dan menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga formal tersebut. Kalaupun anaknya mengeluh sulit belajar, orangtuapun memanggil dan membayar mahal guru-guru privat untuk memastikan anak-anaknya mendapatkan nilai tinggi di sekolah. Fakta inilah yang menyebabkan sekolah dan universitas terjebak pada semacam arogansi, sikap percaya diri yang terlalu berlebihan. Adanya ketergantungan orangtua yang sangat terhadap sekolah menyebabkan sekolah merasa mampu melakukan segalanya asal dibayar. Dengan berbagai ilusi konsep-konsep semacam ‘sekolah unggul’, alumninya diperhitungkan dilingkup nasional bahkan internasional dan lainnya, sekolah merasa wajar melakukan pungutan sebannyak-banyaknya kepada orangtua murid. Inilah sebabnya di Indonesia –sebagaimana yang dikatakan Andreas Harefa (2001)l- sulit membedakan antara sekolah terbaik dengan sekolah termahal.
Apa yang Terjadi dalam Kelas ?
Hampir selama beberapa generasi, proses pendidikan yang dijalankan tidak lebih dari sekedar pengalihan informasi dari guru ke murid secara sepihak. Anak didik dibebani dengan berbagai hapalan teori maupun rumus-rumus, sekedar untuk bisa menjawab soal-soal ujian tapi kemudian sulit diejawantahkan ke dalam realitas sosial. Anak didik hanya memainkan peran pembantu, sebab guru adalah aktornya, pelajar hanya akan menjadi pelengkap penderita yang lebih diperlakukan sebagai obyek ketimbang subyek. Proses pendidikan semacam ini menurut Chaedar Alwasih (1993;23) hanya berfungsi untuk ‘membunuh’ kreativitas murid, karena lebih mengedepankan verbalisme. Verbalisme merupakaan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, hubungan antara guru dengan murid sangat hirearkis dan bersifat vertikal; bahwa guru bicara, menjelaskan dan memberi contoh sementara murid menjadi pendengar saja. Tidak banyak yang sadar bahwa dengan model pendidikan yang menjadikan murid semata-mata sebagi obyek adalah bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap anak. Pendidikan gaya bank menghalalkan dipakainya kekerasan untuk menertibkan dan mengendalikan para murid. Murid dibelenggu dan ditekan untuk mematuhi apapun perintah dan anjuran pendidik. Kesadaran individu dikikis habis dan mengggantinya dengan kesadaran kolektif yang seragam. Efeknya memunculkan kepribadian yang mekanik, mirip dengan benda mati yang kehilangan kebugaran dan kreativitas (Eko Prasetyo, 2004) dari sinilah proses pembinatangan (bahasa halusnya dehumanisasi) terjadi. Kita dapat saksikan bagaimana nasib anak-anak yang sekarang waktu yang seharusnya diisi dengan permainan dan kegembiraan ditelan untuk belajar, menghapal, memahami dan mengerti berbagai paket pengetahuan, dari pagi hinga sore mirip pekerja pabrik menghabiskan waktunya di ruang kelas untuk menelan pelajaran yang dalam banyak hal tidak menyenangkan. Anak-anak diajarkan pada cara bagaimana ia bisa naik kelas, lulus dan lalu bisa dapat kerjaan. Mereka semata-mata diajarkan cara berhitung dan bukan tentang apa yang seharusnya diperhitungkan. Seorang peneliti pendidikan menulis di harian KOMPAS menurut temuannya rata-rata setiap murid SD kelas 3 sampai kelas 6 dalam setiap kuartal mempelajari sejumlah buku yang ketika ditimbang beratnya 43 kilogram, melebihi berat badan murid SD sendiri. Proses pendidikan yang seharusnya, sebagaimana makna sejatinya yakni menggiring keluar atau membebaskan potensi kemanusiaan yang ada dalam diri setiap individu belumlah terwujud. Yang ada justru pendidikan yang hanya menghasilkan airmata (Shindunata,2000). Betapa kita merindukan suasana sekolah yang didalamnya pertemuan antara guru dan murid terjadi dalam susana yang demokratis, dimana kecintaan guru terhadap murid-muridnya tak kalah dengan kecintaan ibu kepada anak kandungnya, guru bukan lagi figur yang hanya memberikan suapan bahan pelajaran tetapi teman yang menemani suka duka kehidupan murid. Sebab, kita percaya, sekolah dibangun untuk mengabdikan suatu pengalaman yang tidak lekang oleh waktu. Di sana, diperoleh pengalaman yang menakjubkan sekaligus mengharukan. Sekolah sesungguhnya adalah institusi yang menyenangkan, tempat mengembangkan mental juara dan menemukan jati diri, ranah kreativitas yang mengabulkan impian-impian indah dan membawa para anak didik semakin mendekati Tuhannya. Bukannya sekolah yang memunculkan anak yang tiba-tiba bunuh diri. Kalau realitasnya masih seperti itu, perlukah anak-anak kita sekolahkan ?. Wallahu 'alam bishshawwab
Qom, 10 Juli 2008/ 20 Tir 1387 HS

07 Juli, 2008

Menyoal Moralitas Iklan Pendidikan

Di tengah masa penerimaan (maha)siswa baru seperti saat ini, bukanlah sesuatu yang asing lagi bila kita melihat di sudut-sudut jalan tampak membludak iklan-iklan lembaga pendidikan baik dalam bentuk baliho, spanduk maupun dalam bentuknya yang (bisa jadi) kurang sopan seperti di tempel di pohon, di kendaraan umum, di tiang listrik bahkan di bak sampah. Dan tentu saja media cetak maupun elektronik turut kebanjiran iklan lembaga pendidikan. Dari sini, penulis dengan keawaman wawasan berusaha sedikit mengkritisinya.
Sedikit Tentang Iklan
Komunikasi komersial yang dikemas dalam bentuk periklanan pada mulanya dikenal hanya dalam dunia bisnis yang berorientasi pada pengembangan ekonomi yang bersifat kapitalis. Pada masa Yunani kuno praktik periklanan dalam bentuknya yang paling purba yakni periklanan lisan telah dilakukan oleh para penjaja keliling yang keliling kota berteriak menawarkan barang dagangannya. Sementara di Romawi orang-orang memasang iklan dalam bentuk tulisan-tulisan yang ditempelkan pada dinding kota namun baru sebatas untuk mengumumkan pertandingan pertarungan para gladiator dan mencari buronan. Baru kemudian sekitar tahun 1440-an saat Johannes Gutenberg dari Mainz Jerman menemukan mesin cetak maka terjadi suatu revolusi penting yang memicu perkembangan dunia periklanan, penemuan tersebut memungkinkan iklan-iklan dapat disampaikan lewat lembaran-lembaran cetakan. Sekitar tahun 1662 dengan terbitnya surat kabar pertama di Inggris yaitu The Weekly News oleh Nicholas Bourne dan Thomas Archer semakin memberikan dorongan luar biasa atas perkembangan iklan dalam bentuk iklan surat kabar. Hingga menjejak di zaman Bill Gates ini bentuk periklanan mencapai puncak kecanggihannya lewat media cetak, elektronik dan alat telekomunikasi lainnya, lewat browsing di internet misalnya.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, dunia periklanan terjebak pada situasi yang tidak sederhana, tidak lagi hanya berbicara pada tataran penginformasian produk belaka tetapi dalam banyak hal menjadi persoalan baru dalam masyarakat. Prinsip iklan jelas, yakni mengandung unsur bujukan, rayuan kepada masyarakat untuk membeli dan memanfatkan produk atau jasa yang ditawarkan. Namun unsur membujuk ini terkadang memperdaya masyarakat, melecehkan produk lain, mengabaikan kode etik dan tata krama kehidupan masyarakat yang bisa jadi sering bertentangan dengan substansi produk atau jasa yang ditawarkan. Bila kita cermati berbagai iklan di berbagai media maka nampaklah iklan tidak sebatas bermaksud menyampaikan informasi tentang produk atau jasa tetapi sampai pada tingkat bagaimana konsumen terhipnotis untuk selalu menggunakan produk yang diiklankan, yang bisa jadi sebenarnya bukanlah sesuatu yang penting tetapi oleh iklan dijadikan itu sebagai kebutuhan. Belum lagi persoalan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap anak-anak dan perempuan, tak perlu lagi mencari keterkaitan antara perempuan dengan oli mesin, yang jelas produk menjadi menarik jika mengekspos perempuan cantik dan seksi. Analisis terhadap iklan telah banyak dilakukan oleh pengamat, dan saya pada kesempatan ini membatasi diri untuk menyorot iklan pendidikan yang saya lihat masih kurang mendapat apresiasi di masyarakat.
Mendagangkan sekolah
Sebagaimana yang saya tulis di awal, setiap tahun ajaran baru tampak nyata ada semacam kompetisi antar lembaga pendidikan. Kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana masing-masing lembaga asyik menonjolkan dirinya sendiri. Ada yang menawarkan fasilitas tanpa uang pendaftaran, tanpa pembayaran gedung, pilihan waktu kuliah –pagi, sore atau malam-, staff pengajar bonafide lulusan luar negeri, tersedia fasilitas laboratorium, ruang belajar ber-AC, perpustakaan lengkap hingga memamerkan alumninya telah tersebar diberbagai instansi, bahkan tak sedikit pula pengelola lembaga pendidikan yang mengiklankan lembaganya dengan menampilkan figur terkenal di masyarakat (artis, misalnya) dan berbagai model bujukan lainnya. Yang jelas kebanyakan lembaga pendidikan menawarkan janji seragam; lulusannya akan memperoleh pekerjaan yang layak, gaji tinggi dan tentu saja karir yang terus menanjak. Untung jika lembaga yang diiklankan itu benar adanya dan memiliki fasilitas sesuai yang dijanjikan, tetapi bila hanya sekedar ’papan nama’ tentu yang menjadi korban adalah masyarakat sendiri. Sudah cukup banyak bukti yang terkuak betapa tidak sedikit lembaga pendidikan yang tidak bertanggungjawab di negeri ini. Bentuk penipuan dengan mengiklankan lembaga pendidikan lebih dari yang sebenarnya merupakan suatu bentuk kriminalitas pendidikan. Kriminal dalam arti yang seharfiah-harfiahnya, sederajat dengan maling, pemerkosa, koruptor dan bentuk kriminal lainnya. Karena itu masyarakat haruslah hati-hati dalam mensikapi dan menghadapi berbagai iklan pendidikan yang ada. Jangan terjebak oleh gombalan apalagi hanya oleh penampilan brosur mengenai suatu lembaga pendidikan yang luks, ekslusif dan mengkilat. Lembaga pendidikan yang tersohor sekalipun belum menjadi jaminan memiliki kualitas seperti yang diiklankan. Adanya semacam kompetisi antar lembaga pendidikan ini disebabkan semakin banyaknya jumlah lembaga pendidikan sehingga otomatis yang terjadi adalah persaingan dalam memperebutkan siswa. Ini disebabkan sejak awal oleh luwesnya aturan yang ada dibirokrasi pendidikan. Aturan menyangkut tentang pendirian sebuah sekolah nampaknya begitu mudah dan leluasa. Kalau niat mendirikan sekolah untuk melepaskan negara ini dari persoalan kulitas pendidikan yang semakin menukik tajam tentu saja bukan persoalan, bahkan membantu negara. Namun yang menjadi persoalan dalam banyak kejadian justru terjadi sebaliknya, bukannya bermotif pemerataan pendidikan melainkan semata-mata meraup untung. Mendirikan sekolah tidak ubahnya membuka biro travel, toko, ataupun super market. Mengiklankan sekolah tidak jauh beda dengan model pengiklanan sebuah produk kosmetik. Apa namanya ini kalau bukan komersialisasi pendidikan ?. Keberadaan lembaga pendidikan yang takluk di bawah kuasa modal semakin menambah carut marutnya dunia pendidikan kita. Ditangan mereka lulusannya dijadikan objek dunia industri dan kapitalisme global, bukannya subjek mandiri yang berilmu dan berwawasan luas. Kita tentu tidak begitu saja menggeneralisasikan, yang dibutuhkan hanyalah kejelian dan kehati-hatian. Agar mendapatkan lembaga yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan masyarakat perlu mencari informasi secara detail dengan misalnya, melihat kondisi kampus, dosennya, izin operasionalnya dan juga statusnya. Karena jelas, kesalahan dalam memilih lembaga pendidikan memiliki implikasi besar terhadap pengembangan diri dan masa depan. Disamping itu hendaknya pengelola lembaga pendidikan tidak mengobral janji terlalu muluk-muluk tanpa bukti hanya sekedar untuk merekrut (maha)siswa sebanyak-banyaknya. Bila realitas iklan pendidikan hanya sebatas obralan janji lewat iklan-iklan boombatisnya, tentu kita sulit membayangkan betapa tragisnya nasib masa depan bangsa ini nantinya. Karena bila lembaga yang kita nilai selama ini sebagai titik pusat produksi dan pengembangan moral dan kebudayaan tidak jujur lagi, siapa lagi yang kita percaya membenahi bangsa ini ?
Wallahu 'alam bishshawwab
Qom, 7 Juli 2008

04 Juli, 2008

Biarkan Saja FPI

Kulari ke Monas kemudian teriakku
Kulari ke pesakitan kemudian menangisku
Tolong, tolong dan sendiri aku benci
Aku mau damai, aku mau semua permai
Bosan aku dengan teror
Dan enyah saja engkau perang
Seperti berjelaga jika mereka paksa
Biarkan saja FPI-nya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh!
Aih… ada Habib menyulam
Sesat-pikir di tembok media putih
Kenapa tak halalkan saja darahnya biar masuk neraka
Atau aku harus lari ke pengadilan belok ke penjara…
Dimodifikasi dari puisi karya Rako Prijanto yang dibacakan oleh Dian Sastrowardoyo dalam film Ada Apa Dengan Cinta, 2002

Kekerasan dalam Islam, Untuk Siapa ?

Berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya, yang lebih ‘mengandalkan’ do’a dan bantuan kekuatan dari langit, Muhammad SAW memilih belepotan lumpur dan debu perjuangan untuk mewujudkan kehendak Ilahi. Ia mengajak sahabat-sahabatnya yang setia untuk menabuh genderang perang, mengangkat pedang dan membentangkan tinggi-tinggi panji perlawanan. Di mata para musuhnya, Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak ubahnya gerombolan manusia bar-bar yang haus darah dan kekuasaan. Islam bagi mereka adalah kabar buruk dan doktrin yang hanya akan merongrong kekuasaan yang telah ribuan tahun berada ditangan. Pandangan negatif tentang Muhammad dan ajarannya berlanjut sampai pada pergulatan wacana kontemporer dikekinian. Pemikiran Islam dianggap sebagai sosok dengan wajah angker, intoleransi, arasioanal, literalis bahkan terbelakang. Karenanya, setiap gagasan untuk memasukkan Islam kedalam wilayah publik akan di beri label-label pejoratif, radikal, puritan, fundamentalis dan merupakan tindakan teror. Setidaknya oleh Karen Armstrong, kekeliruan ini berusaha ditepis. Dalam bukunya -Muhammad: A Western Attempt To Understand Islam- ia menulis, “….Daripada berkelana dengan cara yang tidak duniawi di sekitar bukit-bukit Galilea, berkhotbah dan menyembuhkan seperti Yesus dalam Gospel, Muhammad (saw) harus terlibat dalam perjuangan politik untuk mereformasi masyarakatnya dan para pengikutnya bersumpah untuk melanjutkan perjuangan ini.” Ia memaparkan pandangan kritisnya bahwa tujuan utama Muhammad SAW mempimpin langsung dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan menskenario tiga puluh Sembilan peperangan yang dipimpin salah seorang sahabat yang ditunjuknya (Sariyah) selama sepuluh tahun pemerintahannya di Madinah bukanlah kekuatan politik, melainkan menciptakan masyarakat yang baik. Sebagai seorang muslim saya berterimakasih kepada mantan biarawati Katolik Roma ini, dengan penelitian yang intens dan serius tentang Islam dan para tokohnya, ia berusaha menepis kekeliruan pandangan Barat tentang Rasulullah SAW. Pandangan-pandangan kritis Barat tentang Muhammad SAW yang seorang nabi namun melibatkan diri dalam berbagai kegiatan politik, dan mengerahkan sahabat-sahabatnya untuk bersama membunuh manusia lainnya, berusaha dijawab Karen Armstrong dengan kejernihan dan ketajaman analisanya.
Bagi yang mempelajari sejarah Islam secara jujur dan adil, akan berhadapan dengan kenyataan bahwa Muhammad SAW datang untuk memproklamasikan slogan kemerdekaan dan kebersamaan. Hunusan pedangnya untuk menghancurkan nilai jahiliyah dan pikiran aristokrat. Khutbah-khutbah yang disampaikannya bukan untuk mengukuhkan penguasa yang tiran melainkan untuk membela kepentingan kaum lemah yang tertindas dan terpinggirkan secara sosial. Muhammad mendeklarasikan persamaan bagi semua. Dengan pemahaman semua manusia adalah sama, satu ras, satu asal, satu alam dan satu Tuhan, Ia runtuhkan aqidah politeis dan perbudakan sesama manusia. Rezim ekonomi yang kuat dilawannya untuk menegakkan keadilan sosial. Istananya tidak lebih dari tumpukan tanah liat, singgasananya dibangunnya dari pelepah pohon kurma. Ia terlihat diantara para pekerja yang mengangkut barang. Beliau menyuruh pembesar-pembesar dan kaum bangsawan untuk memendekkan jubah-jubah dan melarang berjalan dengan angkuh di jalan. Ia meruntuhkan semua simbol-simbol aristokrasi di depan umum. Muhammad al-Musthafa SAW beserta sahabatnya yang terpilih telah berjuang tanpa lelah. Perjuangan itu menghasilkan sekian kecemerlangan dengan bersatunya umat manusia dalam satu panji al-Islam. Dibawah kepemimpinannya, Muhammad SAW mampu melahirkan tatanan sosial masyarakat (the order of society) yang egaliter serta menjunjung nilai-nilai keadilan (justice value). Islam yang ditunjukkannya adalah Islam yang damai dan menentramkan, membawa keselamatan, persatuan dan persaudaraan.
Ja’far bin Abi Thalib ra berkata: ”Kami sebelum ini adalah penyembah berhala, pemakan bangkai, peminum khamr, pemutus persaudaraan, pelaku zina, sampai akhirnya Allah swt mengutus di tengah-tengah kami Muhammad saw. Dan karenanya Allah swt mengeluarkan kami dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.” Dr. Jeffrey Lang, professor Matematika di Universitas Kansas juga memberikan pembelaan serupa. Dalam penelitiannya, semua ayat yang berkenaan dengan perang menyiratkan bahwa Islam memperkenankan peperangan hanya untuk mempertahankan diri atau membela korban-korban kesewenang-wenangan dan penindasan. Perintah hidup secara damai dengan orang-orang Kafir terdapat dalam 114 ayat yang tersebar di 54 surah. Sedangkan perintah untuk berperang, “Diwajibkan atas kamu berperang…” (Qs. Al-Baqarah :216) dan surah At-Taubah ayat 5 yang dikenal dengan ayat pedang jumlahnya jauh lebih sedikit dan harus dilihat sesuai konteks ayat diturunkan, yakni berkenaan dengan perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar orang-orang musyrik. Keduanya menyimpulkan, ultimatum perang, pembunuhan dan tindak kekerasan hanya diperbolehkan untuk menegakkan keadilan, itupun ditujukan kepada kelompok yang menindas dan merusak perdamaian.
Islam Agama Toleransi
Namun sayang, berbagai usaha pembelaan terhadap Islam atas tudingan sebagai agama teror, yang sangar dan menyeramkan, dirusak oleh segelintir umat Islam yang juga mengatasnamakan pembelaan atas Islam. Aksi kekerasan yang dipertontonkan Front Pembela Islam (FPI) ataupun Laskar Pembela Islam (LPI) di lapangan Monas Jakarta awal bulan Juni sangat merusak citra Islam. Islam yang mereka pertontonkan semakin memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama kekerasan, agama agresif, agama yang tidak mau diajak berdamai. Tidak ada pembenaran sedikitpun dari Islam melakukan penyerangan dan kekerasan hanya karena alasan berbeda keyakinan. Allah SWT berfirman, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (Qs. Al-Baqarah : 256). Pesan Al-Qur’an ini sangat jelas, umat Islam tidak dituntut untuk mengislamkan orang-orang yang beragama selain Islam. Sikap memaksakan keyakinan merupakan pelanggaran keras terhadap wewenang Allah. Yang dituntut dari umat Islam adalah menjadi ’saksi atas manusia’. Mereka ditugaskan hanya untuk memperkenalkan Islam dan kemudian menyerahkan segalanya kepada mereka. Hidayah datang datang dari Allah, hatta Rasul sekalipun tidak bisa memaksa seseorang untuk beriman. Lakum dinikum waliyadin, adalah konsep Islam yang paling jelas dan terang tentang ajaran toleransi. Penghancuran yang dilakukan nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ibarat apa yang dilakukan petani terhadap tanah. Tanah dicangkul, diremukkan untuk kemudian dijadikan kebun yang menghasilkan buah-buah. Ataupun seperti yang dilakukan kuli bangunan. Bangunan yang lama dan tua diruntuhkan, diluluhlantakkan untuk kemudian dibangun diatasnya bangunan baru yang lebih indah. Muhammad SAW seolah mengatakan, “Bagaimana mungkin kau bisa makan roti yang enak jika sebelumnya kau tidak menghancurkan dan menggiling gandum terlebih dahulu ?”. Kekerasan –kalaupun itu harus disebut kekerasan- yang diajarkan Nabi Muhammad SAW adalah untuk kehidupan yang lebih cemerlang, pencapaian puncak sebuah peradaban, kegigihan agar manusia menemukan kemanusiaannya, perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan penindasan. Namun apa yang dilakukan FPI dan LPI jauh berbeda. Penghancuran yang mereka lakukan pemusnahan total, yang tidak menghasilkan apa-apa selain bara api kebencian dan permusuhan. Bercermin dengan prinsip Murtadha Muthahari, “…setiap kali dengan cara apapun suatu aspek dari tata hidup yang suci dan Ilahiah diserang, maka Islam lebih mampu mempertunjukkan dirinya dengan lebih kuat, lebih kukuh, lebih jelas dan lebih cemerlang.” Berbeda dengan apa yang dilakukan Karen Armstrong, Dr. Jeffrey Lang ataupun Syahid Murtdha Muthahari yang menggunakan kekuatan logika untuk membela Islam, FPI lebih memilih menggunakan logika kekuatan. Al-Qur’an mengatakan, “Wahai-wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Maidah : 105). Menghadapi ‘kesesatan’ Ahmadiyah dengan logika kekuatan (terlepas kasus Silang Monas rekayasa atau bukan ) dan bukannya kekuatan logika, menurut saya itu karena FPI belum mendapat petunjuk saja ?.
Wallahu ‘alam bishshawaab

Sekularisme, Musuh Para Agama

Dengan memilih judul di atas untuk artikel ini, jelas saya memposisikan diri berseberangan pemikiran dengan Luthfi Assyaukanie yang mengatakan sekularisme adalah berkah bagi agama-agama (2005). Ataupun dengan Abdullah Ahmad An-Naim seorang pakar Islam dan Profesor Hukum di the Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat dengan letupan pemikirannya, "Kita butuh negara sekuler untuk menjadi Muslim yang baik," (2007). Wacana sekularisme bukanlah wacana kemarin sore, namun telah mengalami pendiskusian yang seolah tak berpenghunjung sejak awal dicetuskannya, tidak kurang dari ulama sekaliber Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dan Prof Naquib al-Attas pun merasa perlu mendiskusikan panjang lebar mengenai istilah sekularisme. Keduanya sepakat, bahwa istilah sekularisme tidak ada akarnya dalam peradaban agama-agama. Pasalnya, sekularisme itu sendiri tidak ada sangkut-pautnya dengan agama apapun, sejak manusia memulai kesejarahannya sampai belasan abad setelah wafatnya Muhammad Saw, pembawa risalah agama terakhir.
Defenisi Sekularisme
Kata secular berasal dari bahasa latin, Saeculum yang arti harfiahnya suatu generasi atau zaman. Dengan tambahan kata isme jadilah sekularisme sebagai salah satu pandangan dunia yang memiliki sistem hidup sendiri yang membedakannya dengan isme yang lain. Kamus Oxford mengartikan sekularisme sebagai pandangan yang bersifat keduniaan atau materialisme, bukan keagamaan atau keruhaniaan. Seperti pendidikan sekuler, seni atau musik sekuler pemerintahan sekuler, pemerintahan yang bertentangan dengan gereja. Dengan pengertian yang tidak jauh berbeda Kamus Internasional Modern menyebutkan: Sekularisme sebagai suatu pandangan dalam hidup atau dalam satu masalah yang berprinsip bahwa agama atau hal-hal yang bernuansa agama tidak boleh masuk ke dalam pemerintahan, atau pertimbangan-pertimbangan keagamaan harus dijauhkan darinya. Harvey Cox dalam bukunya The Secular City menyatakan: Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one. Dengan defenisi ini sudah tercium bau permusuhan paham sekularisme terhadap agama-agama yang menyengat. Sekularisme yang dikatakan netral atau moderat sekalipun sangat sulit dikatakan bersahabat dengan agama, sebab dengan menjauhi agama dan mengurungnya pada surau-surau dan bilik-bilik doa bukanlah sikap netral dan moderat. Jika dikaitkan secara khusus dengan Islam, sekularisme lebih tidak dikenal lagi, sebab ajaran Islam sangat banyak yang berkaitan dengan masalah-masalah duniawi. Perintah untuk shalat misalnya, yang dapat mencegah dari kekejian dan kemungkaran ini sangat duniawi. Terlebih zakat, menuntut ilmu, pernikahan, sampai istinja' pun semuanya memiliki keterkaitan erat dengan urusan duniawi. Karenanya, jika sekularisme diterapkan, ini dapat membunuh agama-agama. Sebab ajaran agama manapun tidak hanya mengajarkan masalah spiritual namun juga persoalan-persoalan duniawi. Manusia sebagai obyek dan subyek dari agama itu sendiri tidak bisa terlepas dari masalah keduniawian. Memisahkan agama dengan dunia, sangat bertentang dengan ajaran agama. Agama dan sekularisme tidak mungkin disatukan, sebab takdir keduanya saling menghancurkan.
Bencana Sekularisme
Tidak satupun agama yang menerima paham sekularisme, kecuali jika sekularisme sendiri menyebut diri sebagai agama. Penganut agama manapun melihat paham sekularisme sebagai ancaman terhadap pemahaman keagamaannya. Kristiani misalnya, dalam pertemuan Misionaris Kristian Sedunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan sekularisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristian. Dalam usaha untuk mengkristiankan dunia, Gereja Kristian bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristian internasional. Ketika Myanmar bergolak, kita mendapatkan tontonan yang nyata tentang permusuhan antarkedua paham ini. Para biksu yang berarak di jalan-jalan untuk menunjukkan keprihatinannya terhadap kondisi sosial yang ada, diperhadapkan dengan tamparan, pemukulan dan penangkapan brutal, ditelanjangi sampai dibunuh dan mayat-mayat mereka dibuang begitu saja di sungai-sungai. Biksu Myanmar bukanlah biksu Shaolin yang belajar bela diri, perhatian utama mereka hanyalah bagaimana bisa mengamalkan ajaran agama sebaik-baiknya. Namun mereka mendapatkan permusuhan yang keras dari negara yang phobia terhadap agama.
Tidak bermaksud mengorek kembali luka sejarah. Namun bukankah Indonesia di zaman Orde Baru dengan doktrin Pancasila sebagai asas tunggalnya telah menimbulkan peristiwa-peristiwa tragis yang susul-menyusul dan berlangsung secara liar dan sulit dikendalikan kecuali dengan penangkapan dan pembunuhan. Ummat Islam tidak akan begitu saja melupakan kasus DOM Aceh, kasus Tanjung Priok, Lampung Berdarah yang telah memakan korban jiwa yang mengenai jumlahnya sulit mendapatkan data yang akurat. Kitapun bisa melihat negara-negara yang terang-terangan mengaku sebagai negara sekuler. Kehidupan beragama di negara-negara sekuler sangat tertekan. Kampanye negara-negara sekuler yang menyuarakan kebebasan dan persamaan sangat bertentang dengan fakta di lapangan. Negara sekuler selalu menyatakan diri tidak mencampuri keinginan warga negaranya dalam menjalankan syariat agama mereka masing-masing, termasuk menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti hijab, kalung salib, dan lain lain. Namun bukankah mayoritas negara sekuler justru menerapkan aturan yang sebaliknya? Pelarangan simbol-simbol keagamaan terkhusus jilbab bagi Muslimah adalah masalah-masalah standar yang selalu ada di negara-negara sekuler. Turki misalnya, sebagai bentuk negara sekuler yang digagas Mustafa Kemal Atat rk sejak 1920-an sampai sekarang tetap gigih menerapkan aturan pelarangan penggunaan jilbab meskipun Islam sebagai agama mayoritas penduduk di negeri tersebut. Kalau mereka mau jujur bukankah jaminan atas kebebasan dan hak individu bagian terpenting dalam penerapan sekularisme, dan menjalankan ajaran agama dengan sebaik-baiknya adalah hak yang paling asasi. Di sinilah saya sulit menemukan relevansi antara sekularisme dan rasionalitas. Bagaimana mungkin saya yang Muslim, bisa menjadi Muslim yang baik dalam naungan negara yang sekuler, negara yang mencampakkan ajaran-ajaran agama yang saya anut. Sebagaimana bingungnya saya dengan Nurcholis Madjid yang mendefinisikan sekularisme sebagai pembebasan diri dari tutelege (asuhan) agama, sebagai cara beragama secara dewasa, beragama dengan penuh kesadaran dan penuh pengertian, tidak sekadar konvensional belaka. Pengertian kalimat itu saja sudah kontradiktif. Jika diri manusia sudah dibebaskan dari asuhan agama, bagaimana dia bisa beragama dengan penuh kedewasaan?. Dan bagaimana bisa menjadi berkah bagi agama-agama, jika kita semakin diperhadapkan oleh kenyataan sekulerisme menyebabkan banyak petaka bagi agama dan kemanusiaan. Kita memang harus berpikir. Namun semakin berpikir, saya semakin menolak sekularisme.
Pernah dimuat di Harian Tribun Timur

Islam : Inovasi atau Stagnasi?

Saya memulai dengan menulis kembali sebuah refleksi kritis dari Nurcholis Madjid. Beliau menulis, "Sekarang ini dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru yang Protestan; Eropa Selatan dan Amerika Selatan yang Katholik: Eropa Timur yang Katholik Ortodox; Israel yang Yahudi; India yang Hindu; Cina, Korea Selatan, Taiwan Hongkong, Singapura yang Budhis Konfusianis; Jepang yang Budhis Taois; Thailand yang Budhis. Praktis di semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dalam sains dan teknologi."
Kritikan ini mau tidak mau harus kita terima. Fenomena yang terjadi di negeri yang mayoritas Muslim ini setidaknya membenarkan ungkapan beliau. Ketertinggalan bangsa kita, khususnya umat Islam, dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak terbantahkan. Etos keilmuan masyarakat kita sangat rendah. Lembaga-lembaga pendidikan lebih mengutamakan gedung-gedung yang megah, fasilitas belajar yang canggih dibanding membangun tradisi intelektual dan diskursus-diskursus ilmiah yang menggairahkan peserta didik. Pertimbangan ekonomi (perut), sosial (popularitas), dan politik (kekuasaan) jauh lebih diutamakan ketimbang urusan pendidikan dan pengembangan SDM yang unggul. Rendahnya alokasi dana pendidikan dalam APBN menunjukkan rendahnya komitmen itu.
Cukup mengherankan, sejarah ulama-ulama yang memiliki etos keilmuan dan tradisi intelektual yang begitu tinggi pada abad 8-14 M -yang penggambarannya dalam kitab-kitab sejarah mirip reportase jurnalistik saking mendetailnya- seolah tidak pernah ada. Kebanyakan lembaga pendidikan Islam (baca: pesantren) justru menjadi tempat pembelengguan potensi kreatif anak didik yang paling efektif. Yang terjadi bukan pertukaran ide-ide melainkan learning shut down (pembisuan kebutuhan belajar) karena dipasung konsep-konsep dogmatis seperti takdir, nasib, surga, neraka dan bid'ah. Selain itu apapun dari ustadz dan ulama selalu dianggap benar tanpa studi kritis yang berarti. Islam yang kita kenal dari mereka tidak lebih dari deretan aturan hitam putih. Islam mengatur segenap urusan hidup privat ataupun sosial manusia. Proses penentuan aturan keagamaan telah berakhir, karena tidak ada lagi pihak yang representatif melakukan itu. Otoritas diserahkan kepada para ulama terdahulu (Salafush Shalih). Umat sekarang hanya tinggal mengamalkan hasil pembacaan tersebut. Karenanya, mulai dari cara makan, cara beristinja, cara duduk bahkan menerangkan berbagai persoalan-persoalan ilmiah, harus menunggu arahan-arahan dari agama. Tanpa harus repot atau menanggung sedikitpun beban penyelidikan, kita akan mendapatkan keberhasilan sebanyak mungkin dari petunjuk agama. Tidak ada lagi yang mesti dipikirkan, semuanya telah diajarkan Nabi SAW dan bukankah beliau sebaik-baik petunjuk dan pemahaman ulama Salaf adalah sebenar-benarnya pemahaman? Pandangan ini menjadikan umat Islam tidak ubahnya bayi yang tidak usah susah-susah menguyah sebab makanan sebelumnya telah dilebur sekecil-kecilnya oleh sang ibu. Meminjam istilah Ayatullah Misbah Yazdi pandangan ini disebut Maksimalisme Agama (Din Haddeaksari).
Maksimalisme agama pada dasarnya menempatkan otak hanya sebagai isi kepala tanpa peran berarti. Dengan tersedianya segala sesuatu umat manusia tidak perlu lagi memanfaatkan atau memberdayakan kekuatan akal dan mengembangkan potensi-potensi karuniawinya. Saya menolak pandangan ini, sebab setahu saya agama sama sekali tidak pernah mengajukan diri bahwa ia datang untuk menggeser habis peranan akal dan membekukan kandungan potensial manusia. Agama juga tidak datang dengan mendakwakan kehadirannya sebagai penuntas segenap kebutuhan umat manusia. Maksimalisme agama hanya akan menyeret manusia zaman Bill Gates ini ke zaman Abu Hurairah. Disepakati atau tidak kehidupan manusia sendiri tidak statis, tidak jumud, tetapi bergerak dan berubah-ubah. Pergerakan dan perubahan ini mencakup seluruh sisi dzahir kehidupan manusia, sisi-sisi fisikal dan hubungan interaktif antarmanusia, serta dialog antarpikiran mereka. Perubahan kehidupan manusia hanya ada dua keadaan yang silih berganti. Apakah yang terjadi evolusi progressif atau justru evolusi regressif. Di sinilah Islam dimintai pertanggungjawaban ilmiahnya atas klaim sebagai agama yang paripurna. Sebagai ajaran yang sama sekali tidak kehilangan validitas dan akurasinya. Bagaimana Islam memberi hukum atas fenomena-fenomena sosial baru yang tidak ditemui Nabi SAW dan sahabatnya (ra) di masa mereka?
Agama Inovator
Syariat Islam bukanlah syariat yang semata-mata mengatur kehidupan Nabi dan sahabatnya (ra) di gurun pasir abad ke-6 Masehi, melainkan telah tersedia dasar-dasar dan kaidah yang umum sehingga dengan kaidah ini dapat dirumuskan hukum-hukum yang bersifat juz'i (parsial). Kaidah umum dalam pranata hukum Islam yang mengatur perbuatan manusia terdiri atas lima macam; wajib, haram, mustahab, makruh dan mubah. Lima macam hukum ini baik kecil maupun besar, sangat berkaitan erat dengan kebahagiaan duniawi serta akhirat manusia. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan yang harus kita lakukan untuk memenuhi kebahagian adalah perbuatan wajib. Dan perbuatan yang harus kita tinggalkan untuk menghindarkan diri dari kesengsaraaan disebut perbuatan haram. Melakukan perkara-perkara yang mustahab dan meninggalkan perkara-perkara yang makruh juga bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan, sehingga kedua ini sama pentingnya. Kecuali perkara mubah, sebab dilakukan atau ditinggalkan tidak memberi pengaruh pada kebahagiaan manusia. Dengan pembagian ini dapat ditegaskan bahwa semua perkara dan urusan yang pelaksanaannya ataupun cara pelaksanaannya tidak diwajibkan agama berada dalam agenda perencanaan, penyelidikan dan penelaahan manusia. Perkara mustahab dan makruh diserahkan kepada akal dan pengetahuan manusia untuk menelaah dan merumuskannya. Sehingga dengan berbagai riset ilmiah dapat ditemukan cara-cara baru untuk mencapai kesempurnaan manusia dan pemenuhan kebutuhan seoptimal mungkin. Oleh karena itu, dengan adanya penetapan kelima kaidah hukum ini Islam sama sekali tidak memberangus aktifitas dan peran akal dan mengharamkan pencerahan pemikiran serta pengembangan potensi-potensi manusia. Islam sama sekali tidak kompromi dengan pemikiran yang stagnan. Justru dengan penjelasan-penjelasan yang beragam, Islam mendorong untuk mencari ilmu, mengembangkan pemikiran, mendorong kemajuan dan menjadi inspirator penemuan-penemuan baru, selama tidak menganggu gugat hal-hal yang telah diwajibkan. Keabadian Islam tidak berarti bahwa agama ini mengambil sikap pasif dan phobia terhadap setiap perubahan yang terjadi pada umat manusia dan aspek-aspek kehidupannya. Islam tidak membekukan kehidupan manusia dari segala bentuk, jalur, dan caranya. Bahkan, Islam menuntut manusia untuk melakukan inovasi dan kreasi, aktivitas dan kreativitas. Salah satu æasma Allah SWT adalah Maha Kreatif. Dia selalu mencipta dan berkarya tiada henti. Dalam Al Quran tertulis, "Setiap waktu Dia dalam kesibukan". (Qs. Ar-Rahman : 29). Sebagai muslim kita harus menyerap sifat dan asma-Nya. Bukan begitu ?
Pernah dimuat di Harian Tribun Timur