31 Januari, 2008

Islam dan Pembelaan Terhadap Kaum Tertindas (Refleksi atas Perjuangan Muhammad Sang Pembebas)

Sebelum menerima tugas kenabian, Rasulullah Muhammad Shallalahu Alaihi wa Sallam telah dikenal luas dimasyarakatnya sebagai seorang yang berkepribadian agung, memiliki integritas yang tinggi, jujur dan berakhlaq mulia. Muhammad sebelum diangkat sebagai Nabi telah menjadi orang kepercayaan dimasyarakat Arab yang saat itu masih jahiliyyah dan tanpa tata krama. Dilekatkannya gelar al-Amin di belakang namanya menjadi bukti telak Muhammad memiliki posisi yang amat khusus di tengah-tengah masyarakatnya. Sejarah mencatat, bahwa beliau dipercaya meletakkan hajar aswad ditempatnya semula setelah proses perbaikan Kabah yang rusak akibat banjir yang melanda kota Makah saat itu usai. Persoalan meletakkan hajar aswad bukan persoalan sederhana bagi masyarakat Arab yang saat itu masih fanatik dan terfragmentasi berdasarkan kesukuan. Hanya saja kemudian pandangan masyarakat Arab terhadap Muhammad berubah total setelah Muhammad mendapatkan tugas kenabian dengan menda’wahkan sebuah ajaran baru yang menyerukan kalimat Tauhid, tiada Ilah yang patut disembah dan ditaati selain Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Muhammad yang sebelumnya diberi gelar al-Amin tiba-tiba atas konspirasi para pembesar Qurays dijuluki sebagai pembual dan tukang sihir. Tentu menjadi pertanyaan besar jika sebelumnya mereka sendirilah yang menggelari Muhammad sebagai al-Amin dan berbagai gelar dan sebutan mulia lainnya lalu kemudian mereka pulalah yang menuduh Muhammad sebagai pembual dan berbagai tuduhan dan sebutan keji lainnya. Perubahan total sikap masyarakat Arab terhadap pribadi Muhammad tentu bukan hanya karena menyampaikan seruan untuk menyembah Allah Subhanahu Wata'ala, karena patut diketahui bahwa masyarakat Arab jahiliyyah Mekah mempunyai akar sejarah sebagai pewaris tradisi nabi Ibrahim As. Oleh karena itu walaupun warisan nilai-nilai samawi nabi Ibrahim sebagian besar telah diselewengkan mereka masih mengenal Allah dengan baik sebagai pencipta dan penguasa Alam Semesta. Tentu ada hal yang lebih fundamental yang tidak berkenan dihati kaum Jahiliyah Mekah sehingga mereka menentang habis-habisan seruan da’wah Rasulullah bahkan meskipun nyawa menjadi taruhannya. Adapun alasan terbesar kaum Jahiliyah Makah yang disponsori kaum bangsawan dari suku Qurayis menentang dan menolak kenabian Muhammad karena mereka tahu benar akan konsekwensi dari kalimat Tauhid "La ila haillallah". Mereka secara jujur mengakui Allah adalah pencipta dan pengatur alam semesta namun mereka menolak keras konsep bahwa Allah sebagai satu-satunya Ilah yang patut disembah. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ash-Shafat : 35-37 : "Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilahaillallah’, mereka menyombongkan diri dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila ?, Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)." Mereka mengetahui secara persis makna dari pernyataan ‘Laa ilahaillallah’, karenanya mereka engan untuk menyebutnya. Pernyataan ini berarti ketaatan total dan menyeluruh baik mengenai urusan dunia maupun akherat, kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Sementara masyarakat Arab saat itu hidup pada sebuah sistem bahwa antara manusia dengan Allah memerlukan perantara khusus yang sengaja mereka ciptakan demi keuntungan duniawi yang kepadanya mereka menghambakan diri. Mereka menyebut perantara itu dengan sebutan Latta, ‘Uzza dan ratusan lagi sebutan lainnya. Walaupun mereka mengakui bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta tetapi para penguasa, elite Jahiliyyah Mekah telah menciptakan sistem yang memungkinkan mereka melakukan penindasan dan kesewenang-wenangan untuk kesenangan hidup mereka sendiri. Inilah sebabnya mereka menentang habis-habisan seruan Rasulullah agar menempatkan Allah sebagai satu-satunya ilah, yang berhak mengatur hidup dan kehidupan mereka.
Islam, Agama Kaum Tertindas
Dunia Arab saat itu berkutat dalam proses dehumanisasi dan pemiskinan yang menggejala. Adanya ketimpangan sosial dan ekonomi. Distribusi kekayaan yang tidak merata karena terjadinya praktik monopolistik dan penghisapan dari kalangan borjuis Arab terhadap rakyat jelata. Yang kaya semakin kaya sedangkan kaum miskin Arab semakin miskin. Hal ini lebih diperparah lagi dengan sistem keyakinan yang notabenenya diciptakan oleh pembesar-pembesar kaum Arab saat itu. Kemiskinan yang dirasakan kebanyakan rakyat jelata itu sering digembar-gemborkan sebagai kutukan Tuhan, karena kedurhakaan mereka. Pengaruh kemiskinan dan penderitaan itulah yang menyebabkan kebanyakan mereka melakukan penyimpangan aqidah dari agama Ibrahim. Dengan setting sosial yang memiliki kesenjangan yang luar biasa antara kaum kaya dan miskin, lebih-lebih jika simiskin sudah mati-matian bekerja keras tapi juga nasibnya tidak berubah, sementara si kaya hanya duduk-duduk saja tapi dengan rezeki yang melimpah, dalam keadaan seperti itu menyebabkan kemiskinan menawarkan semacam keragu-raguan untuk mempertanyakan kebijaksanaan dan keadilan Tuhan dalam mendistribusikan harta kepada Ummat manusia. Inilah penyebab utama mengapa kemudian mereka merasa tidak cukup jika hanya meminta pertolongan kepada Allah tapi juga kepada benda lain yang mereka anggap bisa memberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi mereka. Ataupun karena merasa diri kotor, hina dan tidak pantas berkomunikasi dengan Allah yang Maha Suci, sehingga mereka dalam meminta kepada Allah mesti lewat perantara yang mereka anggap bisa menyampaikan segala keinginan mereka. Itu bisa lewat kuburan/patung-patung para Nabi, waliyullah ataupun benda-benda yang mereka anggap suci dan keramat. Dan keyakinan serta amalan mereka inilah yang terkategorikan sebagai kemusyrikan. Dengan demikian diutusnya Muhammad sebagai nabi dan rasul, yang pertama, berjuang menyebarkan tauhid dan merombak habis sistem kepercayaan yang syirik dengan cara menegakkan nilai-nilai keadilan dan merubah relasi sosial yang menyimpang. Keberpihakan Muhammad Shallalahu Alaihi wa Sallam pada kaum miskin bukan sesuatu yang mengejutkan dan karenanya menjadi prioritas dalam da’wahnya. Islam yang dibawa Rasulullah menawarkan konsep hidup egaliter yang menentang keras segala bentuk penindasan maupun penghisapan pada kaum miskin. Etika penghormatan pada kaum tertindas dalam Islam ditempatkan pada posisi teratas bahkan bisa menggugurkan amalan bila melakukan pendzaliman. Bahkan dalam surah al-Maun dipaparkan perlakuan yang semena-mena terhadap anak yatim dan kaum miskin disebut sebagai perilaku yang mendustakan agama. Keberpihakan Islam pada kaum budak juga tampak jelas dengan banyaknya anjuran Islam untuk memerdekakan budak. Gerakan pembebasan inilah yang pertama-tama dilakukan Rasululullah bersamaan dengan seruannya untuk hanya menyembah kepada Allah semata. Mengapa Islam menjadikan keberpihakan pada kaum miskin sebagai prioritas, setidaknya ada tiga jawaban yang bisa disampaikan; pertama, kemiskinan sangat berlawanan dengan misi Islam sebagai rahmatalil ‘alamin. Kemiskinan merupakan ekspresi kehidupan yang kalah serta tertindas. Kedua, kemiskinan sangat bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan dimuliakan. Kemiskinan telah menjatuhkan martabat manusia sebagai sosok yang bebas serta merdeka. Ketiga, yang paling utama adalah mandat al-Qur’an yang meletakkan prinsip keadilan sebagai kunci ketaqwaan yang sejati dan sempurna. Dengan demikian, berislam bukan semata-mata kepercayaan dengan adanya Allah tapi juga berfungsi sebagai pembebas dan pembela bagi manusia yang tertindas. Sebab eksistensi penindasan merupakan bentuk penodaan terhadap konsep tauhid dan pengingkaran terhadap makna ‘Laa ilahaillallah’ sebab jika ada penindas dan yang tertindas berarti yang tertindas menghambakan dirinya pada yang selain Allah dan yang sang penindas menempatkan dirinnya pada posisi Tuhan, dan ini merupakan kedurhakaan yang luar biasa, sebagaimana sabda Rasulullah, maksiat yang dipercepat adzabnya di dunia adalah durhaka pada orangtua dan berbuat dzalim (menindas orang lain). Karenanya, sangat memalukan kemudian jika para da’i yang mengaku penerus nabi dan menyerukan Islam sebagai rahmatalil ‘alamin tapi kemudian tidak memberikan pembelaan pada kaum miskin dan yang tertindas. Ulama siapakah yang turut mendo’akan arwah marsinah dan pembantu lainnya yang meninggal akibat kesewenang-wenangan majikannya ? adakah ulama yang turut membela petani dan kaum miskin kota yang tergusur dari sawah tempat mereka menggantungkan hidup ? dan berapa sih yang turut serta meneriakkan penolakan terhadap harga yang makin melonjak ? adakah kita menuntut penghidupan yang layak bagi saudara-saudara kita yang bahkan untuk makan harus mengais-ngais tempat sampah ? Begitupula organisasi Islam yang menjadikan da’wah kepada tauhid dan pemberantasan kesyirikan sebagai prioritas dan yang utama tapi tetap membiarkan terjadinya penindasan. Keasyikan belajar tentang agama bisa jadi mengikis makna substansial agama dalam menjawab soal-soal kemanusiaan. Pada gilirannya, implementasi syariat Islam tidak menyentuh problem nyata masyarakat, bagaimana memberantas kesyirikan, menegakkan keadilan sosial, memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan, menjamin kemaslahatan manusia, memberikan pembelaan kepada mereka yang terampas hak-haknya. Padahal, inilah inti ajaran Islam dalam masyarakat modern seperti saat ini. Agama adalah revolusi karena mengandung ajaran-ajaran pembebasan manusia dan perlawanan terhadap segala bentuk kejahatan yang menistakan dirinya. Sedangkan para Nabi dan Rasul adalah revolusioner, mereka diutus Allah untuk mengubah dunia sesuai dengan kehendak Ilahi. Wallahu ‘alam bishshawab Parang Tambung, suatu hari di tahun 2006

Tidak ada komentar: