29 Januari, 2008

Antara Seokarno, Soeharto dan Media

PERLAKUAN negara terhadap Soeharto saat ini berbanding terbalik terhadap tindakan yang diambil terhadap Soekarno. Pada masa revolusi pasca kemerdekaan di bawah pimpinan Soekarno, Jenderal Soedirman menderita penyakit TBC. Ketika itu, obatnya baru ditemukan di luar negeri, yakni streptomycin. Pemerintah Indonesia dalam keadaan yang sangat terbatas dan berperang menghadapi Belanda berusaha mendapatkan obat tersebut ke mancanegara, tetapi nyawa Panglima Sudirman tidak tertolong lagi. Dimasa pemerintahan Soeharto, hal itu tidak dilakukan terhadap Ir Soekarno. Hal yang bertolak belakang justru terjadi. Penyikapan pemerintah terhadap keduanya sangat berbeda. Penyikapan yang berbeda dimulai, ketika kedua mantan presiden tersebut mengalami gangguan kesehatan. Soeharto mendapat pelayanan medis dengan 40 dokter ahli dengan alat-alat canggih berbiaya mahal. Sedang Saat Soekarno sakit, hanya dirawat seorang dokter, dibantu seorang Kowad yang bukan perawat dan dilarang ditengok orang, termasuk keluarga sekalipun. Soekarno juga diisolasi di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala) yang penuh laba-laba, kecoa, tikus, kotor dengan penerangan redup seadanya. Mahar Mardjono (dokter yang merawat mantan Presiden Soekarno) menceritakan bahwa ada pihak yang dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Rachmawati Soekarnoputri berterus terang. Ia memiliki catatan medis Soekarno dari tahun 1967-1968. Rachmawati mengatakan bahwa Soekarno tak mendapat perawatan semestinya. Medical record tersebut menyebut bahwa Soekarno mengalami gagal ginjal. Mahar pun mengatakan bahwa Soekarno menderita batu ginjal dan tekanan darah tinggi sebagai komplikasi. Yang mengejutkan, kepada pers, Rachmawati mengatakan bahwa semua obat yang diberikan kepada Soekarno harus mendapat persetujuan Soeharto. Soeharto juga menolak keinginan keluarga agar Soekarno mendapat perawatan di luar negeri. Pengakuan Rachmawati ini seolah membenarkan “kemarahan” Mahar Mardjono saat ia menemukan resep obat yang dibuatnya untuk Soekarno ternyata tetap tersimpan di laci seorang dokter di RSPAD. Mahar mengaku bahwa penyimpanan resep ini dilakukan atas sebuah instruksi. Dan dari catatan tersebut ditemukan bahwa tak ada dokter spesialis yang memeriksa Soekarno. Satu-satunya dokter yang datang adalah Sularyo, seorang dokter umum. Sementara itu, obat yang diberikan melulu vitamin (B12, B kompleks, dan royal jelly) serta Duvadillan yang merupakan obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer. Tak ada obat untuk menurunkan tekanan darah Soekarno saat mencapai 170/100 dan tak ada pula obat untuk memperlancar kencing sewaktu terjadi pembengkakan. Dalam kondisi seperti inilah, Soekarno mengembuskan nafas terakhirnya pada 21 Juni 1970 di bumi yang ia perjuangkan kemerdekaannya. Tak Adil Rachmawati berniat menyerahkan medical record ini ke pemerintah. Ia ingin menunjukkan fakta bahwa negeri ini tak cukup adil dalam memperlakukan mantan presiden. Berpuluh tahun, Soekarno diperlakukan sebagai seorang pecundang dengan keberadaan Tap MPRS XXXIII/1967 yang mengaitkannya dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ia tak pernah diadili, meski tap tersebut jelas-jelas menyebut bahwa perlu ditempuh jalur hukum untuk membuktikan tudingan ini. Soeharto lebih memilih menyingkirkan Soekarno dengan mengasingkannya dan menjadikannya sebagai pesakitan. Tak pernah ada niat untuk membuktikan tudingannya di pengadilan. Sebagai gantinya, Soekarno mendapat pengadilan lewat citraan (image) sepihak yang dirancang oleh media massa yang berada di bawah kendali kekuasaan, juga melalui kurikulum yang dipasokkan ke generasi pasca-1960-an. Berpuluh tahun, Soekarno menjadi momok. Ajarannya diusahakan turut terkubur bersama jenazahnya. Bahkan memasang gambarnya pun dicurigai sebagai makar. Inilah fakta sejarah, bagaimana seorang Soeharto memperlakukan Soekarno, pemimpin besar revolusi yang diusia teramat muda 26 tahun membacakan plodeinya yang memukau, Indonesia Menggugat. Penyikapan yang Tidak Adil Beda dengan Soeharto, ketika publik ramai-ramai menggugat kejahatan-kejahatan Soeharto -atas tudingan korupsi-, pemerintah di bawah pimpinan Habibie justru memberikan hadiah berupa rumah senilai 1 Milyar Rupiah kepada mantan Presiden yang katanya telah membangun bangsa ini. Ketika rakyat menuntut Soeharto diadili, para pejabat negara justru bicara soal pengampunan. Tak hanya untuk Soeharto, tapi juga bagi Soekarno. Mereka menyebutnya: rehabilitasi. Namun rehabilitasi, menurut Sejarawan Asvi Warman Adam , hanya cocok untuk Soekarno yang selama puluhan tahun dituding berada di balik G30S. Sebuah tudingan yang kental dengan nuansa politis. Sementara tudingan yang diarahkan ke Soeharto menyangkut soal korupsi, penyalahgunaan uang rakyat, yang sama sekali tak berkaitan dengan tudingan politis. Bagaimana mungkin “obat” yang diberikan untuk Soeharto disamakan dengan Soekarno? Barangkali ada kekhawatiran bahwa tudingan kepada Soeharto akan merembet pada kasus lain, termasuk G30S yang ia tudingkan pada Soekarno dan sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di bawah kekuasaannya. Jika toh ini terjadi, sebaiknya negeri ini belajar bersikap adil. Keadilan, menurut Asvi, tak hanya cukup dilihat dari “pengampunan” kepada Soekarno dan Soeharto, tapi juga mempertimbangkan rasa keadilan mayoritas korban. Mereka yang kehilangan orang-orang terdekatnya, dimatikan kebebasannya, dan dinjak-injak harga dirinya selama berpuluh tahun akibat kebijakan politis yang dibuat Soeharto. Ribuan orang dibuang di Pulau Buru dan disekap di penjara-penjara Indonesia tanpa pernah diadili, ratusan ribu orang yang meregang nyawa hanya karena aspirasi politiknya, dan jutaan lainnya yang menjadi tumbal atas nama legitimasi kekuasaan, dari Tanjung Priok, Talang Sari, hingga Papua. Pramoedya Ananta Toer misalnya, meskipun namanya berkali-kali disebut sebagai kandidat peraih Nobel Sastra, sampai meninggalnya pun atas kebijakan negara yang fobia terhadap sastra belum mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan bangsa. Soekarnopun pernah dibuat makan hati, yakni 1 Juni 1970, Pangkopkamtib mengeluarkan larangan peringatan hari lahirnya Pancasila setiap 1 Juni. Soekarno sang proklamator dan pemrakarsa Pancasila sedang diperiksa atas tuduhan yang sangat tidak masuk akal, terlibat dalam percobaan kudeta untuk menggulingkan dirinya sendiri. Ini bukan persoalan dendam, tapi jika bangsa ini melupakan jasa-jasa pahlawannya, dan memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, maka inilah tragedi terbesar bagi sejarah nasional. Pada 22 Juni 1970, disediakan mobil jenazah yang sudah tua milik Angkatan Darat untuk jenazah sang Proklamator. Di Blitar di samping ibunya, Soekarno dimakamkan dengan Inspektur Upacara Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Panggabean pada sore hari. Sambutan dibacakan sangat singkat.Padahal dalam buku Wasiat Bung Karno (yang baru terbit pada 1998) mengungkapkan bahwa sebetulnya Soekarno mewasiatkan untuk dimakamkan di bawah kebun nan rindang di Kebun Raya Bogor. Beliau menuliskan dalam wasiatnya, untuk dikuburkan di bawah pohon rindang agar tetap dekat bersama rakyat, "Tulis pada nisanku, disini terkubur penyambung lidah rakyat". Wasiat yang ditelantarkan atas pertimbangan yang sangat politis.Sedang pemakaman Jenderal Besar Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto, sangat berlebihan. Prosesi pemakamannya dilakukan dengan upacara militer level tertinggi. Bahkan, prosesi pemakaman paling agung dan paling terhormat yang pernah ada di negeri ini. Upacara dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Petugas perwira tinggi yang memegang bendera merah putih penutup proses pemakaman, dilakukan langsung oleh Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, Kapolri Jenderal Pol Sutanto, KSAL Laksamana Sumardjono, dan KSAU Marsekal Madya Subadrio. Dibanding pemakaman mantan Presiden Soekarno, jelas upacara negara yang diberikan kepada Pak Harto lebih besar. Pak Harto dimakamkan tepat di sebelah ”rumah” peristirahatan terakhir istrinya, Ny Tien Soeharto, yang mendahului 12 tahun lalu. Makam Soeharto dikelilingi pintu gebyok setinggi tiga meter dan dijaga ketat prajurit Kopassus yang akan tetap berjaga 24 jam selama 7 hari. Soeharto dan MediaAda yang menarik. Media massa Indonesia, sejak kematian sampai pemakamannya, menampilkan seakan2 Soeharto adalah pahlawan dengan memberitakan pemberitaan yang positif tentang Soeharto. Sedangkan media luar negeri, justru memberikan kesan yang berbeda terhadap Soeharto. Media luar tetap menampilkan Soeharto sebagai diktator dan koruptor yang berhak diadili rakyatnya. Apa media kita lupa, Detik, Editor dan Tempo sebagai media nasional pernah dicabut izin penerbitannya. Bahkan Udin sebagai wartawan Bernas bisa menjadi contoh, betapa pekerja media bekerja di bawah bayang-bayang kematian. Saiful Haq benar, media seakan lupa apa yang telah ditinggalkan Soeharto, hutang, keterbelakangan, kuburan tak bernama serta jutaan hektar tanah rampasan. Semua itu seakan hilang bersama kematian Soeharto. Bahkan media nasional lupa, Soehartolah orang yang telah mengurung kebebasan pers selama tiga puluh tahun lebih.Nyawa seorang Soeharto ternyata lebih berarti bagi media, dibandingkan dengan nyawa para mahasiswa yang gugur dalam perjuangan menumbangkan Soeharto, atau lebih berarti daripada nasib aktivis yang dihilangkan oleh Soeharto. Di negeri ini nasib seorang diktator dan koruptor ternyata masih lebih baik dibanding nyawa para pahlawan reformasi itu. Untuk pahlawan reformasi itu, jangankan gelar pahlawan, hari berkabung saja tidak mereka dapatkan, berkas kasusnyapun malah masih dibiarkan menumpuk di meja-meja kerja tanpa diusut. Namun roda sejarah akan tetap berjalan, dan akan menemukan kebenarannya sendiri. Janji Tuhan akan selalu berlaku, bahwa disetiap masa akan ada segolongan orang yang tetap memperjuangkan kebenaran. Akan selalu ada jiwa-jiwa yang berani untuk tampil dan mengetukkan palu kebenaran dan menyatakan “Soeharto terbukti bersalah”. Kalau bukan jiwamu, bisa jadi jiwaku.

Wallahu 'alam bishshawwab.
Qom, 29 Januari 2007

Tidak ada komentar: