28 Januari, 2008

Nasionalisme dan Kemandirian Bangsa yang Hilang

16 - 20 Juli kemarin di International University Imam Khomeini Qom, Republik Islam Iran, telah berlangsung sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh anak-anak bangsa yang menuntut ilmu di negeri-negeri Timur Tengah dan sekitarnya. Mereka menggabungkan diri dalam wadah organisasi yang mereka namakan Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia (BKPPI) Se-Timur Tengah dan sekitarnya. Konferensi Internasional yang ke-6 itu diselingi forum diskusi dengan mengangkat tema, "Membangun Kemandirian Bangsa Menuju Indonesia yang Berkeadilan". Sebenarnya tema ini sangat menggelikan, setelah 62 tahun merdeka dan berhasil membentuk negara bangsa yang para pendahulu kita menyepakatinya sebagai negara kesatuan, apakah kita perlu untuk membicarakan kemandirian bangsa, yang sesungguhnya dengan dibacakannya proklamasi kemerdekaan bukankah itu sebagai petanda kita telah merdeka dan berdaulat dan dengan sendirinya telah memiliki kemandirian ?. Namun kita harus membicangkannya, sebab tak ada yang memungkirinya bahwa sejak lama kita telah kehilangan kemandirian nasional, kepercayaan diri sudah luntur, kita bahkan tidak lagi merawat kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik dan kedaulatan hukum kita. Marilah kita lihat realita yang terjadi. Negara kita yang kaya akan minyak telah menjadi importir neto minyak untuk kebutuhan bangsa kita. Negara yang dikaruniai dengan hutan yang demikian luas dan lebatnya sehingga menjadikannya negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Walaupun telah gundul, masih saja terjadi penebangan liar yangdiselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar AS. Indonesiapun menjadi negara yang memiliki kerusakan lingkungan yang paling parah. Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Contoh yang paling menyayat hati, pertambangan emas paling besar di dunia, PT. Freeport melakukan praktik pertambangan secara ugal-ugalan tanpa pengawasan yang berarti dan masa kontraknya masih ada 30 tahun lagi. Rakyat yang adalah pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat minimal (untuk tidak menyebutnya ala kadarnya). 50,5 % perbankan nasional kita dicengkeram orang asing, padahal itu adalah urat nadi perekonomian kita. Yang lebih menyayat hati, Indosat tahun 2004 telah berpindah tangan ke Singapura, akibatnya tidak ada satupun lalu lintas informasi dan komunikasi di negeri ini yang tidak diketahui Singapura. Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS. Hampir semua produk pertanian diimpor. Pasir kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar dollar AS. Republik Indonesia yang demikian besarnya dan sudah 62 tahun merdeka dibuat bertekuk lutut harus mensahkan UU Penanaman Modal Asing yang menetapkan perlakukan yang sama dengan pemodal dalam negeri dan pemodal asing memiliki hak guna bangunan dan tanah sampai 99 tahun. Pemerintah kita bangga dengan pembangunan yang dibiayai utang luar negeri melalui organisasi yang bernama IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh lembaga-lembaga internasional dan dimintai pertanggungjawaban bagaimana mereka mengurusi Indonesia. Karenanya pemerintah lebih merasa bertanggungjawab kepada kepada lembaga-lembaga donor tersebut dibanding kepada parlemennya sendiri. Utang dipicu terus tanpa kendali sebab 40% nya dikorupsi sehingga sudah lama pemerintah hanya mampu membayar cicilan utang pokok yang jatuh tempo dengan utang baru atau dengan cara gali lubangtutup lubang. Sementara ini dilakukan terus, sejak tahun 1999 kita sudah tidak mampu membayar cicilan pokok yang jatuh tempo. Maka dimintalah penjadwalan kembali. Hal yang sama diulangi di tahun 2000 dan lagi di tahun 2002 dan begitu seterusnya. Kali ini pembayaran bunganya juga sudah tidak sanggup dibayar sehingga juga harus ditunda pembayarannya. Jumlahnya ditambahkan pada utang pokok yang dengan sendirinya juga menggelembung yang mengandung kewajiban pembayaran bunga oleh pemerintah. Bank-bank kita digerogoti oleh para pemiliknya sendiri. Kita mengetahui bahwa paket bantuan dari IMF disertai dengan conditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesi dan isinya demikian tidak masuk akal dan demikian menekan serta merugikannya. Kalau kita baca setiap LOI dan setiap Country Strategy Report serta setiap keikut sertaan lembaga-lembaga internasional dalam perumusan kebijakan pemerintah, kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali bahwa kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri. Kondisi ini sudah merupakan lingkaran setan yang disebabkan karena terjerumusnya pemerintah kita ke dalam lubang yang disebut jebakan utang atau debt trap. Kondisi dilematis yang kita hadapi sekarang adalah kehilangan kemandirian dalam merumuskan kebijakan. "Les to'a serbet", pepatah Perancis yang berarti sejarah selalu saja berulang, ya bangsa kita tidak pernah belajar dari sejarah masa lalunya. Di setiap pergantian pemimpin, selalu dikatakan bahwa kita kini telah merdeka!! Digambarkan seolah pemimpin sebelumnya adalah penjajah, penjarah dan perompak bagi bangsanya sendiri. Teramat sulit kita pahami kemerdekaan republik ini harus kita rebut berkali-kali, bahkan dari genggaman saudara sebangsa sendiri. Karena itu masalahnya menjadi sangat mendasar, apakah putera puteri terbaik bangsa kita yang bertahan untuk tidak menjual dirinya bertopang dagu dan berdiam diri saja ? Ketika bangsa Indonesia begitu mudahnya membebek, mengekor dan menjilat para penjajah modern yang menggunakan kapitalisme yang jahat dan perusahaan-perusahaan besar yang menjadi kaki tangannya, maka ini berarti pengkhianatan besar terhadap perjuangan dan patriotisme para pahlawan nasional. Kalau selama penjajahan yang tiga setengah abad lamanya itu kita dihadapkan pada kekuatan senjata kaum penjajah, yang kita hadapi sekarang bukanlah senjata, melainkan pikiran-pikiran yang membuat kita tidak dapat bergerak secara merdeka. Kita sesungguhnya belum merdeka 100% meskipun di atas kertas kita menyatakan itu. Buktinya, beranikah bangsa kita melanggar main stream thoughts dari masyarakat internasional ? Beranikah kita menghadapi embargo dengan segala konsekwensinya ? Kita telah dijajah lewat contract breuk yang ketika dilanggar negara ini harus dihukum dengan diisolasinya dari masyarakat internasional. Terus terang saja, dengan semua ini pemerintah drop popularitasnya di mata rakyat gara-gara tunduk sama kemauan super power. Kita tidak mungkin memperoleh kembali kemandirian kalau kita tidak berani melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif (Kwik Kian Gie, 2002). Inovasi dan kreativitas memang tidak mudah. Untuk melakukan itu semuanya ada biayanya, ada resikonya dalam bentuk kesengsaraan sementara. Yang lebih menyedihkan, akan lahir para komprador dan kroni bangsa kita sendiri yang menghujat dan menakut-nakuti melalui penguasaan dan pengendalian pembentukan opini publik. Keintelektualan yang mereka dapat dari perasan keringat rakyat, mereka gunakan untuk melayani kepentingan kekuatan-kekuatan global ketimbang membela kepentingan rakyatnya sendiri. Dalam bidang ekonomi kelompok ini sangat kuat karena mereka berkesempatan membangun jaringan nasional maupun internasional. Membangun Nasionalisme dan Cinta Tanah Air Hugo Chaves, Evo Morales, Ahmadi Nejad berhasil membangun kemandirian bangsa mereka dengan mengobarkan semangat nasionalisme. Sekarang, di negeri kita, masih adakah semangat nasionalisme itu ? kita kehilangan kebanggaan dengan bangsa sendiri. Penyakit inferior complex mengidap di jiwa-jiwa anak negeri kita yang mengakibatkan kita kehilangan kedaulatan diberbagai sisi kehidupan. Seruan persatuan dan kesatuan tidak pernah terdengar lagi, karena elit-elit negeri ini sendiri mencotohkan lain. Membangun semangat nasionalisme dan cinta tanah air sering dianggap sebagai doktrin yang kuno dan ketinggalan zaman. Coba saja kalau anda berani berceramah dan berpidato dengan menitip pesan, "Mari kita mencintai tanah air dan menggalang persatuan dan rasa nasionalisme!". Apa yang anda rasakan, anda akan minder sendiri dengan pesan itu. Namun menilik negara-negara lain, terutama Amerika yang selalu dijadikan sebagai simbol kemajuan apakah menganggap semangat nasionalisme sebagai doktrin yang ketinggalan jaman ?Presiden George W. Bush, baik dalam tutur katanya maupun dalam simbolisme-nya jelas seorang nasionalis sejati. Setiap hari dia menyematkan pin bendera Amerika Serikat pada dadanya, hal yang dilakukan oleh banyak dari para menterinya. Lebih dari itu, Bush menganjurkan supaya setiap orang Amerika setiap harinya menyematkan bendera Amerika di dadanya, dan hampir setiap department store menjualnya. Dan sejak tahun 1942 semua majalah di Amerika dianjurkan untuk memasang bendera Amerika pada cover-nya. Kata-katanya adalah : "July 1942 United we stand. In July 1942, America's magazine publishers joined together to inspire the nation by featuring the American flag on their covers. Be inspired." Dengan melihat para tokoh jagoan Amerika yang berpakaian warna bendera Amerika bukankah itu semangat nasionalisme ? Saya begitu merindukan Soekarno, gema pesannya kemana-mana, "Cinta tanah air bagian dari iman", meski berlebihan sampai beliau menyebutnya hadits, tapi itulah cara Soekarno untuk membangkitkan semangat nasionalisme rakyatnya. Mungkin saya kampungan, sebagaimana kebanyakan orang menilai pelajar dari Timur Tengah sulit diajak berpikir maju. Namun izinkanlah saya 'membakar' otak untuk membuat bangsa ini terlepas dari penjajahan dan tanpa membuat bangsa kita menjadi kuli di negaranya sendiri, yang meski 'mandi' pun harus melibatkan pihak lain. Wallahu 'alam. Qom, 22 Juli 2007 Pernah dimuat di Harian Fajar 25 Juli 2007

Tidak ada komentar: