27 Maret, 2008
Sebuah Janji
18 Maret, 2008
Belajar Sebagai Proses Pendidikan Menjadi Manusia Seutuhnya
16 Maret, 2008
Islam dan Pembelaan Terhadap Kaum Tertindas
Spirit Keagamaan dan Perubahan Sosial
Jika kita menelaah sirah nabawiyah, maka kita dapatkan nabi-nabi utusan Allah senantiasa datang membawa perubahan besar dalam struktur sosial kemasyarakatan di mana nabi itu berada. Agama –ajaran- yang mereka bawa adalah agama pembebasan, agama revolusioner, agama yang terus menerus meneror pengikutnya untuk terus menabur benih perjuangan untuk menjadi pemimpin di muka bumi, dan menegakkan kedaulatan ilahi sehingga agama hanya diperuntukkan untuk Allah semata. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata'ala,
Secara definitif, kita kenali bahwa masalah adalah adanya kesenjangan jarak antara ranah idealitas dengan realitas yang ada. Masalah sosial keagamaan terjadi karena ada yang tidak sesuai dengan harapan yang telah ditorehkan dalam iman agama dengan realitas bagaimana agama tersebut diamalkan di tengah-tengah masyarakat. Kita lihat dalam praktiknya -terutama dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia- keberagamaan kita menampilkan wajah ambiguitas. Adanya perbedaan yang signifikan antara keshalehan pribadi dengan keshalehan sosial. Keshalehan pribadi yang kemudian diharapkan menular, menyebar untuk terciptanya kondisi sosial yang shaleh tidak jua terwujud. Realitas agama hanya terjebak pada dimensi keshalehan pribadi yang berorientasi pada kesucian perorangan. Ukurannya hanya sekedar persembahan belaka, tapi tidak mampu memperbaharui perilaku sosial. Ini terjadi karena pemeluk agama masih terejebak pada persoalan kuantitas keimanan, bukan pada kualitas keimanannya. Agama hanya dihayati sekedar ritual belaka, tetapi dirinya terasing terhadap realitas kehidupan kemasyarakatan. Misalnya, sebuah contoh nyata, ketika seorang muslimah memulai mengenakan jilbab yang sebenarnya, pada umumnya jilbab itupun kemudian menjadi hijab baru baginya untuk bergaul dengan masyarakat. Itulah realitasnya, penganut agama gagal mempraktikkan agama yang sesungguhnya, agama yang memiliki iman yang memihak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan keesejahteraan. Mengapa ? karena agama hanya dimengerti sebagai ritus belaka dan berorientasi pada dogma an-sich. Dengan demikian pemeluknya pun sekedar beragama formal dan fanatis. Selama ini tanpa sadar cara beragama kita masih sekedar menjalankan kewajiban persembahan belaka, bukan pada penghargaan hak-hak manusia lainnya. Penghayatan yang ritualistik ini melahirkan keimanan yang kurang terwujud. Karenanya, perubahan orientasi keagamaan seharusnya lebih difokuskan pada nilai-nilai kemanusiaan, sehingga spirit perubahan dalam agama benar-benar dapat muncul dipermukaan. Orang yang benar-benar religius adalah orang yang memiliki kepekaan dan sensitifitas yang tinggi pada penderitaan kaum miskin yang tertindas. Kemiskinan memang menjadi persoalan krusial yang kemudian wajib untuk diperangi, karena kemiskinan mendekatkan orang pada kekufuran. Maka melawan kemiskinan adalah perintah dan itu penting dalam Islam. Sehingga tindakan apapun yang dapat menciptakan kemiskinan, kesewenang-wenangan dan penindasan harus diperangi, bukan justru memerangi orang lain karena beda agama -dalam Islam tidak ada paksaan dalam agama-. Kualitas religius inilah yang akan membantu umat beragama memiliki kesadaran religiusitas yang berkualitas. Kualitas religiusitas inilah yang membawa nilai-nilai kemanusiaan semakin adil dan beradab. Sekali lagi ditegaskan, agama haruslah menjadi inspirasi untuk melakukan tindakan revolusioner, menuju perubahan kehidupan yang lebih bermakna, yang sarat dengan nilai-nilai ketauhidan sebagaimana yang Dia mau.
Tuhan bukan butuh persembahan tetapi ummat manusia yang bertindak adil bagi sesama, sebaik-baik manusia kata Rasulullah adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia yang lainnya. Tuhan akan muak dengan persembahan ibadah ritual kita jika tangan kita penuh darah, mulut kita penuh dengan pembualan dan dusta. Realitas itulah yang terjadi dalam wajah keagamaan kita sekarang. Keagamaan yang seharusnya membebaskan manusia menjadi agama yang terasing dengan realitas sosial dan sibuk dengan agama yang dikrangkeng di dalam aturan-aturan yang monolitik, monoton, dan tentu saja berdampak tidak sehat. Yang pada gilirannya, implementasi syariat Islam tidak menyentuh problem nyata masyarakat, bagaimana memberantas kesyirikan, menegakkan keadilan sosial, memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan, menjamin kemaslahatan manusia, memberikan pembelaan kepada mereka yang terampas hak-haknya. Padahal, inilah inti ajaran Islam dalam masyarakat modern seperti saat ini. Menurut hemat saya, inilah hal penting untuk menjadi landasan Islam membangun masyarakat dan peradaban. Wallahu 'alam bishshawwab.
15 Maret, 2008
Adakah Cinta Dewasa Itu Di Sekitar Kita ?
Salah satu unsur cinta dewasa adalah empati. Mengambil kepentingan pihak yang kita cintai untuk menjadi wilayah teritorial kita. Kalau kekasih kita haus, kita yang gugup mencarikan minum. Kalau kekasih yang terluka, perasaan kita yang mengucurkan darah. Itulah cinta dewasa. Cinta yang matang dengan kerelaan untuk berkorban. Untuk hal-hal yang menyenangkan ada kerelaan untuk mendahulukan. Sebaliknya untuk soal yang menyengsarakan, kita yang berdiri di garda terdepan. Contoh konkritnya, saat kenduri, kita makan belakangan, saat kebakaran kita yang paling akhir menyelamatkan diri. Itulah cinta dewasa. "Biarlah saya yang lebih dulu lapar, dan terakhir untuk kenyang."Kata-kata Imam Ali as yang tersimpan rapi dalam perbendaharaan sejarah. Menunjukkan adanya cinta dewasa pada diri Imam Ali as terhadap rakyatnya.
Cinta dewasa terkadang dilematik. Sebab romantisme seringkali berhadapan dengan rasionalitas. Kalau kita mencintai kekasih kita, bukan berarti harus menuruti apa saja yang dia minta. Salah satu modus pertanggungjawaban cinta adalah adanya kepandaian dalam menyeleksi keinginan-keinginan berdasarkan pemahaman yang paling sehat dalam kehidupan. Mencintai tentu saja beda dengan menjerumuskan. Meskipun menuruti kemauan sang kekasih adalah sebuah kemesraan universal yang memang nikmat. Sedangkan menghalangi untuk melakukan kesenangan-kesenangannya yang kita tahu itu tidak sehat, tentu saja ada rasa perih untuk melakukannya.
Kalau kita benar-benar saling cinta, saling menyayangi. Sungkan bakalan tidak ada. Takut juga tidak ada. Yang ada ikhlas untuk menerima. Seperti suami istri yang saling mencinta, tidak ada rasa takut untuk saling menegur. Misalnya, sang suami langsung bilang pada istrinya ketika memakai pakaian yang tidak pantas dikenakan. Sedangkan tetangganya belum tentu berani melakukannya. Begitu juga misalnya, ada seorang anak manjat pohon pada saat hujan. Orang yang lewat kurang lebih hanya sekedar bertanya dalam hati "Anak siapa ya ? kan bahaya naik pohon kala hujan ." kalau tetangga yang melihat, bisa saja hanya bilang," Hei turun, nanti jatuh!!". Cuman segitu, tidak diturutin juga tidak. Berbeda kalau yang melihat itu bapak atau ibunya, bukan cuman sekedar teriak tapi aksinya jauh lebih dalam, tapi dia datang bahkan sampai memanjat sambil menarik kaki anaknya. "Hayo turun !!!". Itulah wujud cinta dan kasih sayang yang sangat, berbeda dengan tetangga dan orang yang lewat. Tapi biasanya sang anak tidak mengerti. Dia pikir orangtuanya galak amat. Nah orang yang tak mau dikritik itu tidak jauh beda dengan anak-anak. Begitulah cinta dewasa memerlukan sikap kritis.
Nah, ketika kita ingin dicintai itu sama halnya kita siap untuk dikritik. Dalam hidup berumah tangga, saya memiliki teman hidup yang bersikap kritis terhadap saya. Hidup bersamanya benar-benar memberi saya kesempatan untuk mendewasakan diri, saya terpacu terus menerus justru dengan sikap-sikapnya yang ‘kejam’.
Dia menerapkan cinta dewasa justru dengan selalu mengupayakan penyelamatan atas proses hidup saya, melalui kritik-kritik, kecaman-kecaman, hardikan-hardikan bahkan mengisolasi. Terkadang itu teramat perih, tetapi ketika kita mampu berpikir dewasa memang itulah yang terbaik bagi pergaulan cinta antar manusia. Hardikan-hardikan mahasiswa di sudut-sudut jalan kepada pemerintahnya menurut saya adalah juga bagian dari wujud kecintaan mereka. 







